01: Rumah Hantu

Disney Nightmare [Indonesian]

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


01: Rumah Hantu

“Lulu! Apa yang kau lakukan di luar?” Ibuku berteriak. Dia muncul dari dalam rumah sesaat kemudian.

Aku membuka mata dengan malas saat dia mendekat, mengayunkan sendok di udara untuk mendapat perhatianku. Apronnya diikat rapi membentuk pita di sisi-sisinya dan sekali lagi aku penasaran bagaimana dia selalu terlihat seperti seorang Ratu meski dengan penampilan seperti itu.

“Apa kau sedang bermalas-malasan? Kenapa kau tidak keluar? Bertemu teman-teman?” Dia menghela napas.

“Teman...,” ulangku dengan lirih.

Ya, itu kata yang lucu. 

“Kalau begitu bantu aku menyiapkan makan malam. Ayo, berangkat.”

“Dua menit lagi. Aku akan ada di sana dalam sekejap.” Aku menjanjikan.

“Baiklah. Tapi aku akan datang dan menyeretmu kalau dua menit itu jadi dua-puluh. Jangan tidur lagi.” Dia berkata dan berbalik kembali.

Aku menghela napas dan menutup mataku lagi, mengangkat kakiku, membiarkan rumput menggelitiki kakiku. Aku mendengar kucingku menguap dan beberapa detik kemudian, merasakan kuku-kuku runcingnya tertanam di kulitku.

“Cassiopeia.” Aku meninggikan suaraku dan menatapnya dengan tatapan marah sebagai balasan.

Ia sama sekali tidak tampak terganggu seraya menarik kembali kuku-kukunya, lalu yang aku rasakan malah bantalan empuk kaki-kakinya.

“Itu lebih baik.” Aku bergumam.

Kelopak mataku terasa berat lagi dan rasanya sia-sia melawannya. Aku masih punya dua menit, kan? Lebih baik memanfaatkannya dengan bijak. Aku baru saja akan tertidur saat ku dengar gemerisik tanaman. Bunyinya termasuk cukup keras juga untuk ukuran sesuatu yang bersembunyi di balik semak-semak, jadi apa pun yang ada di sana pastilah benda berat. Aku mengintip dari balik bulu mataku, namun menggelengkan kepala saat tak menemukan apa-apa, berpikir bahwa itu mungkin imajinasiku. Namun saat itu terjadi kedua kalinya, rasa penasaranku menguasai dan aku tak kuasa selain bangkit dan mengamati. Aku melompat, mendapat desisan marah dari kucingku yang ekor lembutnya tidak sengaja aku injak, lalu ku kenakan sepatuku sebelum berjalan mendekati tanaman itu, menyibakkan dahan-dahan selagi aku semakin masuk. Aku tersandung padahal tidak ada apa-apa, namun dua lengan panjang dan kuat menangkapku. Tangan-tangan memeluk bahuku, memastikan aku tidak akan jatuh. Aku terlonjak kaget dan mendapati sesosok pria muda, tinggi dan tampan. Dia bisa saja menjadi Snow White versi laki-laki, dengan rambut yang hitam, bibir merah dan kulit putih. Tapi itu kalau tidak ada ekspresi agak jengkel di wajahnya yang sebaliknya, sempurna.

Aku meminta maaf dengan membungkukkan badan dan mulai berjalan lagi, tak tahu cara mencari rasa nyaman di dekat kesempurnaan semacam itu.

“Tidak ada gunanya, Luhan.” Suaranya  yang dalam dan sangat laki-laki memanggilku.

Aku pun berhenti dan berbalik, kaget. “Bagaimana kau tahu namaku?”

“Tahu saja.”

Dia berjalan melampauiku dan aku bahkan tidak tahu apa yang mempengaruhiku untuk mengikuti orang asing ini, tapi sebelum aku menyadarinya, kakiku sudah melangkah di jalan yang sama dengan yang dilewati pemuda tinggi di depanku itu. Terkadang dia memperingatkanku benda-benda yang dapat membuatku tersandung, tapi lupa mengatakan dia akan berhenti mendadak, membuatku menubruknya saat dia melakukannya.

“Luhan, apa kau tahu mimpi-mimpi yang di dalamnya kau jatuh?” Dia bertanya, tanpa menghiraukan kecanggunganku.

Aku mengernyit seraya berdiri di sebelahnya. “Tahu.”

“Apa kau menikmatinya?”

“Kenapa?”

“Kau menikmatinya?” Dia tidak menghiraukanku.

“Tidak.”

“Kalau begitu aku khawatir kau tidak akan senang dengan ini. Tapi kita bisa pergi bersama.”

Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk mencerna seraya dia menggendongku ke dadanya dan mengambil satu langkah ke kiri. Seluruh tubuhku serasa tidak berbobot, perutku serasa dikocok dengan kejadian yang tiba-tiba ini.

“Tidak lama lagi.” Dia berkata dan baru kemudian aku sadar aku berpegangan pada kemejanya, menyembunyikan wajahku di dadanya.

Dia mungkin terlihat sedikit tidak tertarik dan galak, tapi setidaknya dia mengatakan hal yang sebenarnya karena memang, tidak lama kemudian, perasaan tadi hilang lalu dia melepasku, dengan hati-hati menurunkanku. Kepalaku masih pening sehingga butuh waktu beberapa detik sebelum aku sadar sepenuhnya, namun saat tersadar, aku hanya bisa menatap istana pink raksasa di belakangnya.

“Hei,” aku menunjuk bangunan tersebut, “itu terlihat seperti Istana Disney.”

“Luhan, apa yang paling kau senangi dalam hidupmu?”

Aku tersenyum. “Disney.”

“Dan apa yang sama sekali tidak kau senangi?”

Aku meneguk ludah. “Roller coaster.”

Ia mengangguk sekali. “Selamat datang di Disneyland. Tempat yang akan sangat kau suka dan juga kau benci.”

Aku melihat ke sekeliling. “Kenapa tidak ada seorang pun di sini?”

Itu membuatnya tertawa. Seolah aku baru mengatakan hal yang sangat lucu dibanding pertanyaan sederhana.

“Ngomong-ngomong,” dia melanjutkan usai tawanya mereda, “lihatlah jamnya. Aku harus pergi.”

“Ap—”

“Oke, aku hanya akan mengatakannya sekali jadi tulislah, catat di kepalamu, aku tidak peduli tapi aku tidak akan mengulang.”

“Ba—”

Dia berdehem seakan-akan bersiap untuk pidato penting. “Jangan percaya pada siapa pun selain aku dan si penyembuh, Yixing. Mungkin angin juga boleh, sedikit. Agak nakal tapi aku rasa dia tidak apa-apa.”

Sebagai balasan, berhembus angin kencang, meniup semua rambutku ke depan sampai mataku tertutup sepenuhnya. Anak laki-laki itu tertawa kencang sebelum melanjutkan pidato yang sudah ia latih sekian tahun sampai bosan bahkan sebelum menggumumkannya.

“Jangan menggantungkan nasib pada Zitao. Dia bukan orang yang kau mau untuk diajak berteman. Tapi juga bukan orang yang bisa kau jadikan musuh. Bertindak cepat dan pintar. Kecerdasan akan membantumu di saat kau dibutakan hal-hal lain. Jawaban tidak selalu mudah. Tapi jangan mencari terlalu jauh. Berhati-hatilah dan pikirkan aku saat kau dalam kesulitan. Aku akan datang dan menolongmu segera.”

Ia tersenyum, dan kemudian menghilang dengan bunyi kecil yang sangat aneh.

“HEI!” Aku berteriak, tapi hanya mendengar suaraku sendiri bergema di jalanan kosong di hadapanku.

Aku berbalik beberapa kali, namun saat kelihatannya dia tidak di sini lagi, aku memutuskan pergi mencarinya. Toh, siapa dia membawa-bawa aku kemari dan tidak memberi penjelasan apa pun? Suara gema itu digantikan dengan decitan kecil dari sepatuku setiap langkah yang kuambil. Biasanya aku membencinya, namun karena hanya itu suara yang ada, aku menemukan sedikit kenyamanan di dalamnya. Aku tidak perlu pergi jauh untuk menemukan bundaran dengan tiga jalan, masing-masing ke arah yang berbeda. Aku berhenti dan memikirkannya selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk mengikuti arah jam dan mangambil jalan pertama dari kiri. Mataku menyerap setiap detail, setiap warna, setiap bentuk, namun perhatianku akhirnya tertuju pada sebuah mansion (rumah besar--pen.) di atas bukit. Mungkin mereka tahu di mana menemukan pemuda berambut hitam itu? Aku menaiki tangga, berhenti di depan sebuah pintu kayu, besar dan hitam, dengan gagang pintu emas di tengahnya. Aku menggunakannya untuk mengetok pintu, dan beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka lebar.

Angin berhembus di rambutku lagi dan aku bersumpah ia memintaku untuk tidak masuk. Aku ragu untuk sesaat tapi betapa miringnya aku kalau aku benar-benar mendengar angin bicara? Pintu itu tertutup dengan bunyi keras begitu aku masuk ke dalam, meninggalkanku dalam kegelapan sepenuhnya.

“Halo?” Aku berkata pelan.

“Penasaran itu hal yang aneh, bukan begitu?” Terdengar suara bicara entah dari mana dan aku terlonjak kaget, mengambil beberapa langkah mundur.

Derai tawa puas mengikuti. “Dia takut, Kyung. Manisnya.”

“Nyalakan lampunya, Hyung. Terlalu gelap di sini. Bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri.” Suara pertama tadi berkata lagi.

Hening selama beberapa saat sebelum deraian tawa pecah lagi dan bertambah berkali lipat. Untuk kedua kalinya, aku tidak paham candaan mereka.

“Maaf?” Aku ragu.

Tawa itu berhenti. “Ya?”

“Bisa kau nyalakan lampunya? ...Tolong?”

“Tentu. Seseorang hanya perlu meminta.” Terdengar tawaan kecil sebelum aku tidak bisa melihat apa-apa karena seluruh penjuru ruangan jadi terang.

“TIDAK SEGITU TERANG JUGA, HYUNG!”

Cahayanya meredup hingga menjadi terang yang nyaman. Begitu mataku terbiasa, aku melihat dua orang anak laki-laki di hadapanku. Mereka tidak terlalu tinggi, tapi sangat tampan. Mereka sama sekali tidak mirip, kecuali fakta bahwa mereka berdua mengenakan baju militer hitam, lengkap dengan kancing emasnya. Topi mereka berlogo Disney di tengahnya.

“Ah, itu dia. Oh, kau memang setampan yang mereka bicarakan.” Seorang di kanan terkikik. “Tapi jangan biarkan itu menghalangi perkenalan yang pantas dari kami. Kami adalah pemilik rumah ini, Hyung dan Kyung. Singkatan dari Baekhyun dan Kyungsoo, tapi kami akan membunuhmu kala kau memanggil kami dengan nama itu.”

Aku mengangguk cepat. “Siapa yang siapa tapi?”

“Aku Kyung.” Orang yang di kiri menjawab, tapi menunjuk temannya. “Dan ini kakakku Hyung.” Dia melanjutkan dan menunjuk ke dirinya sendiri.

“Jadi, kau Hyung?” Aku merengut dan menunjuknya juga.

“Bukan, aku Kyung. Tolong jangan menunjukku, Tuan. Itu benar-benar tidak sopan.” Dia menggelengkan kepalanya, mencela.

“Ah, kau benar.” Aku memberinya senyuman minta maaf dan menurunkan jariku. “Maaf.”

“Tidak apa-apa.” Yang lainnya, entah Hyung atau Kyung (aku agak bingung), menenangkan. “Tapi apa yang membawamu ke Mansion kami?”

“Ini bukan tempat yang baik untuk pemuda cantik sepertimu.”

“Aku... Aku sedang mencari seorang laki-laki. Sedikit lebih tinggi daripada aku, rambutnya hitam, wajahnya tampan? Tapi kalau tidak ada di sini ya sudah aku akan pergi lagi. Maaf sudah mengganggu kalian.” Aku membungkuk dan berbalik pergi.

“Tidak perlu pergi.” Salah satu dari keduanya berkata, membuatku berbalik lagi.

“Ya, tinggallah sedikit lebih lama lagi mumpung kau di sini. Hanya ada kami berdua di sini...” Yang di kiri merengut. “Kami sangat bosan, tinggal di dalam sepanjang waktu. Kenapa kau tidak bermain bersama kami saja?”

“Oh... Tentu.” Aku mengangguk dan tersenyum kecil. “Kedengarannya menyenangkan.”

Kedua anak itu melompat-lompat kegirangan dan saling melirik satu sama lain sebelum memegang pergelangan tanganku dan menarikku ke tangga besar. Mereka menuntunku melewati lorong-lorong tiada akhir, tiap dinding diisi lukisan-lukisan lama, sebelum membawaku ke suatu ruangan yang sama gelapnya dengan yang lain, tapi menjadi agak terang dari sinar yang tiba-tiba muncul dari anak yang lebih pendek di kananku. Ada sebuah kursi yang  kelihatannya nyaman di depan perapian, mereka mendorongku kasar ke situ.

“Ayo bermain petak umpet. Kau harus menemukan kami berdua dalam waktu... kira-kira... tiga puluh menit. Banyak, ya kan, Kyung?” Anak itu berkata dan melihat partnernya.

Yang satunya menggangguk setuju. “Sangat banyak, Hyung.”

Mereka saling tersenyum sebelum fokus kembali padaku. Dua pasang mata menatapku seolah melihat ke dalam jiwaku.

“Peraturannya sederhana.”

“Yaitu tidak ada.”

“Kau boleh pergi ke mana saja kau ingin. Selama kau tetap berada di Mansion ini. Kalau kau menemukan kami dalam batas waktu yang ditentukan, maka kau boleh melanjutkan dan kembali ke taman.”

“Kalau kau kalah maka kau akan berada di sini selamanya.”

“Kami selalu menginginkan teman main yang baru.” Anak itu, yang ku yakini Hyung, bicara dengan senyum kegirangan.

“Tapi aku harus pulang sebelum ibuku sadar aku pergi.” Aku mengernyit, ingin bangkit.

Aku bersumpah ada gempa sesaat karena badanku oleng dan malah jatuh kembali ke kursi.

“Tidak perlu lari, Lulu. Ayo mainkan permainan ini dulu.”

“Hitung sampai dua puluh lalu cari kami.”

“Semoga beruntung!” Suara mereka terdengar bersamaan sebelum mereka berbalik dan lari keluar.

Tanganku berkeringat saat ditinggal di ruangan yang lampunya mati begitu mereka menghilang. Aku berusaha mengatur napasku seraya menekan kedua mataku bersamaan dan berusaha menenangkan diri. Aku mencengkeram lengan kursi kulit itu sebelum bangkit. Aku merentangkan tanganku ke depan selagi berjalan ke pintu.

“Hitung sampai dua puluh dulu.” Sebuah suara terdengar entah dari mana, mengagetkanku dengan cara yang sangat tidak enak.

Dengan cepat aku mulai berhitung keras-keras, berharap dapat membuat suara tanpa badan itu puas.

“--, sembilan-belas, dua-puluh, Bisa aku... pergi sekarang?” Aku bertanya pada bukan siapa-siapa rupanya.

“Waktu berjalan.” Suara yang sama menjawabku dan aku meloncat keluar ruangan, berusaha mencari-cari ke mana aku harus pergi dengan tanganku.

“Ke kiri.”

“Tidak, ke kanan.”

Rumah itu memenuhi ruangannya sendiri dengan suara-suara yang tidak ada habisnya, masing-masing memberi tahu aku arah lain untuk pergi, dan suara keras tik tok jam. Pikirannya terselubungi segala sesuatu begitu aku keluar dari ruangan.

“Ku mohon, jangan bicara lagi.” Aku meminta pada suara tanpa akhir.

“Waktumu tinggal 25 menit.” Suara paling keras dan jernih berkata, dan aku berusaha untuk tetap tenang sebisa mungkin.

“Aku tidak bisa melihat apa-apa.” Aku bergumam pada diriku sembari mengambil satu langkah lagi.

Suara desisan kucing terdengar sebelum aku merasakan sesuatu berlari di antara kakiku. Aku berteriak kaget, sukses mendapat tertawaan dari tiap suara.

“Gunakan ponselmu.” Suara yang paling kecil dan lembut berkata.

Tanganku pindah ke kantong celanaku dan mengambil ponsel dengan cepat. Aku membuka kunci layarnya, mengetik kodenya, dan mempertahankan cahaya dari display di depanku, memakainya layaknya senter.

“Waktumu tinggal 20 menit.” Suara itu berkata lagi.

Apa lima menit berlalu sebegitu cepatnya? Itu tidak mungkin...

Kakiku terus berjalan cepat, jariku sesekali mengetuk layar kalau sinarnya mati. Aku berusaha konsentrasi sebaik mungkin sementara suara-suara berisik itu terus bertambah keras dan semakin keras dan satu suara khusus terus mengingatkanku waktu yang tersisa.  Lukisan-lukisan di dinding semuanya menatap ke arahku seolah aku mengganggu mereka dari tidur ribuan tahun mereka.

“Waktumu tinggal tujuh menit.”

Aku harus berpikir dan aku harus melakukannya dengan cepat dan tepat. Aku duduk di lantai tempatku berdiri lalu menutup mata dan telingaku untuk menghadang semuanya. Sebuah penglihatan akan Snow White laki-laki muncul. Dia berdiri di samping sebuah lukisan dan menatapku dengan wajah serius. Mataku kembali terbuka dan aku mulai berlari. Berapa banyak waktu yang ku butuhkan untuk menemukan lukisan sebuah pohon dengan dua belas simbol di sekelilingnya? Aku melewati lorong demi lorong, berusaha fokus ke sisi-sisi sementara suara-suara hantu itu benar-benar menghilang.

“Waktumu tinggal empat menit.”

Aku capek berlari, dan berhenti sejenak, tangan di atas lutut.

“Pikirkan aku saat kau dalam kesulitan.”

Aku memejamkan kelopak mataku dan memikirkan orang itu. Tolong aku.

Terdengar bunyi aneh itu lagi dan saat ku buka mata, anak laki-laki itu sudah ada di sebelahku. Dia terlihat kesal. Mungkin karena dia sudah harus menolongku secepat ini. Dia mulai berlari dan aku mengikutinya, pergi ke kanan, pergi ke kiri.

“Waktumu tinggal dua menit.”

“Iya, iya. Tenanglah Zitao.” Pemuda itu menjawab dan akhirnya berhenti.

Dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Aku butuh sesaat untuk mengambil napas dan saat aku melihatnya, dia sudah menghilang lagi. Kini di hadapanku terdapat sebuah lukisan. Beruntungnya aku, itu lukisan yang aku cari. Aku ambil selangkah mendekat, jariku mengelilingi figura, berharap menemukan semacam bukaan. Sayangnya, tidak ada apa-apa.

“Waktumu tinggal semenit.”

Tidak ada waktu untuk panik, aku terangi sepenuhnya lukisan itu dengan sinar ponselku. Simbol-simbol itu dilukis dengan warna emas, pohon dengan hijau dan coklat, sama berkilaunya dengan warna emas. Yang aku butuhkan hanyalah petunjuk.

“Waktumu tinggal tiga puluh detik.”

Tanganku yang berkeringat merabai seluruh permukaan lukisan dengan cermat, ku tutup mataku supaya setidaknya dapat menemukan sesuatu.

“Waktumu tinggal dua puluh detik.”

Pikiranku tiba-tiba dipenuhi kata-kata yang bahkan tidak aku tahu ada di sana. Mereka terdengar sama anehnya bagiku.

“Waktumu tinggal sepuluh detik. Sembilan, delapan, tujuh.”

We are one.” Aku mendengar suaraku keluar, lalu aku mundur selangkah.

Kanvas itu lepas dari dinding dan menyingkap dua lelaki yang aku cari selama 29 menit 58 detik ini.

“Ketemu.” Aku tersenyum.

“Satu.” Suara tadi berkata dan aku berani sumpah suara itu terdengar tidak senang daripada sebelumnya.

“Bagaimana kau bisa tahu passwordnya?” Salah satu dari keduanya merengut begitu keluar dari tempat persembunyian bersama mereka.

“Aku tidak tahu.” Aku mengaku dengan tenang.

Lampunya kembali menyala dan aku menutup mataku.

“Ayo main permainan baru!” Salah seorang dengan rambut yang lebih terang menepuk tangan.

“Aku rasa aku harus pergi sekarang,” gumamku.

“Ah, satu permainan lagi. Tadi menyenangkan, bukan?”

“Maaf, tapi aku benar-benar harus pergi. Menyenangkan bertemu kalian berdua.”

“Aww, ayolah, Lulu. Jangan jahat-jahat pada kami. Kami tidak memiliki teman sama sekali di sekitar sini.”

Mereka terlihat tidak berbahaya. Namun kemudian aku mengingat-ingat apa yang baru saja mereka paksa untuk ku lakukan, jadi aku mundur dan membungkuk sebelum berbalik dan melangkah pergi.

“Datanglah lagi kalau kau bosan, Luhannie! Kami akan menantikan kadatanganmu.”

Aku mulai berlari saat menuruni tangga, senang melihat pintu di depanku. Aku memegang kenop pintu dan menariknya, tapi pintunya tidak terbuka. Aku coba dua kali lagi, tapi kenopnya sama sekali tidak bergerak. Suara tawa terdengar sesaat kemudian.

“Kau tidak benar-benar berpikir kami akan membiarkanmu pergi begitu saja, bukan?”

“Teman bermain kami yang pertama dalam waktu yang terasa seperti selamanya.”

Mereka muncul sejurus kemudian dan ku rasakan kakiku mundur selangkah hingga punggungku menabrak pintu raksasa itu.

“Aku benar-benar harus pergi.” Aku mencoba, namun suaraku tidak keluar dengan baik.

“Tidak, kau tidak boleh pergi. Ayo bermain sekali lagi.”

“Hanya sekali.”

“Aku capek.” Aku bersikeras.

“Ada tempat tidur di sini.”

“Iya, tapi--”  

Kalimatku terpotong saat ku rasakan jari-jari panjang melingkari pinggangku. Aku teringat perasaan saat terjatuh, kepalaku serasa berputar. Sensasi itu berhenti tiba-tiba dan saat aku buka mata lagi, aku berada di luar Mansion.

“LUHANNNNN~!” Terdengar teriakan dan bumi pun bergoncang hebat, membuatku terjatuh.

“Kyung mesti melatih emosinya. Dia belum pernah membuat gempa bumi seperti ini sejak lama sekali. Dia pasti sangat menyukaimu.” Dia berkata sembari mengulurkan tangannya.

Aku menerimanya dan bangkit lagi. “Apa dia--”

“Aku belum pernah memberitahumu namaku, ya? Kau harus tahu namaku saat membutuhkanku. Namaku Jongin.”

“Oh. Senang bertemu denganmu kalau begitu, Jongin. Terima kasih sudah menolongku... Dan maaf... ku rasa.”

“Simpan maafmu, Luhan. Jalan masih panjang.”

 



translated by amusuk

edited by amusuk

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next