8: Pelarian

BrightWin ― DEEPER

...

..

.

 

Bright dan Win melangkah cepat. Kemungkinan akan kedatangan Joss masih ada. Bright pun tak mau ambil risiko. Separuh memaksa, dia mengajak Win untuk bersembunyi di rumah Gun.

Bright yakin tempat itu adalah tempat teraman sejauh ini. Joss tak bisa membaca pikiran Gun, begitu juga pikiran Win. Di sana pula Bright bisa sembunyi dari penduduk pulau. Bright berulang kali meyakinkan Win kalau itu adalah pilihan terbaik.

Melihat kesungguhan Bright, keputusan Win pun bulat. Ia tak mau kembali ke markas. Ia sudah begitu jatuh ke dalam jerat cinta seorang Bright.

Kalimat Gun terus menghantui Win. Gun memang memilih tak kembali ke markas karena sadar, kalau anaknya perlu tumbuh sebagai manusia normal. Bukan menjadi manusia yang dikembangkan potensinya dengan rekayasa gen.

Win pun tak mau anaknya mengalami hal sama sepertinya. Dikatai monster.

Hampir seisi markas terikat bathin karena sama-sama mengalami kejadian kelam, dikatai monster, diberi tatapan aneh, dan ditunjuk-tunjuk dengan tatapan yang menyakitkan.

Ingatan buruk barusan membuat Win tak fokus melangkah. Win terjatuh.

Kakinya memang sudah tak sanggup untuk melangkah sedari tadi. Seluruh tenaganya seperti habis. Ia lelah.

"Hei, kau duluan saja. Sudah kubilang aku akan segera menyusulmu. Aku pasti datang."

Win menggeleng. Bright memang sudah menyuruhnya memakai kemampuan berpindah tempat. Bright juga tak mau melihat Win kelelahan. Tapi Win takut, kalau ia berpisah dengan Bright sekarang, maka mereka tak akan bertemu lagi.

Joss memang mungkin tak bisa lagi melacak Win. Tapi, di markas profesor ada banyak mutagen yang punya kemampuan saling melengkapi. Anak di kandungan Win lebih berharga dari bongkahan emas. Seisi markas tahu betapa pentingnya menghadirkan nyawa baru dengan kualitas mumpuni. Mereka pasti tengah mengawasi Win. Dan tentunya mereka juga tak mau Win celaka karena tengah mengandung.

"Tapi, aku juga khawatir padamu, Win. Kau benar-benar tampak lelah sekarang."

Lagi-lagi Win menggeleng. "Tolong jangan paksa aku. Aku tak mau berpisah darimu, Baii."

Bright mengembuskan napas kasar. Sedikit kesal dengan Win. Napasnya terbilang cukup teratur karena terbiasa menjelajahi hutan. Beda dengan Win yang kini mengeluarkan napas sengal dengan tubuh dipenuhi keringat. "Aku pasti menyusulmu. Tenang saja, Win."

Win kembali menggeleng. Ia menautkan jemari tangannya dengan milik Bright. "Ayo jalan lagi." Win memberikan senyuman manisnya. "Gun pasti senang dengan keputusanku."

Tarikan tangan oleh Win membuat Bright melembut. Dia tak mau memaksa Win. Dia pun tersentuh karena Win terus ingin bersamanya. Semua sisa rasa ragunya sirna. Bright benar-benar yakin kalau mereka saling mencintai.

Bright pun siap meninggalkan pulau ini demi membangun hidup baru bersama Win. Memang terkesan egois, tapi Bright sudah lebih dari siap untuk dibenci oleh orang tuanya dan juga seisi pulau. Demi Win dan anak mereka.

Mereka kembali melangkah. Namun semangat Win tak mudah sejalan dengan langkah kakinya. Win sudah kelewat lelah. Dia kembali terjatuh.

"Aku benar-benar akan marah saat ini." Bright melepaskan tautan jemari mereka. "Kumohon pakailah kemampuanmu itu. Kalau kau kelewat lelah, akan berbahaya untuknya," sambung Bright sambil mengelus perut Win.

Win masih betah menggeleng. Dia kembali menyatukan jemari mereka yang sempat terpisah.

"Aku pasti menyusulmu. Aku janji."

"Bukan ..." Win menjawab Bright di antara sengal napasnya, "...bukan aku tak percaya padamu, Baii. Tapi Aku yakin Joss bisa datang kapan saja. Joss tak sebodoh itu. Apalagi Profesor."

Bright kembali memaksa. Betapapun Bright ingin berjalan bergandeng tangan dengan Win, dia tetap tak bisa menutup mata. Faktanya memang Win sudah tak sanggup. Beruntung pria manis itu pun menurut.

Win menatap lurus ke arah mata Bright. "Aku tunggu kau, Baii. Ingat janjimu." Dengan menyebutkan sekali lagi bahwa ia benar mencintai Bright, Win pun menghentakkan kaki di tanah sebelum menghilang seperti ditelan angin hutan.

Dalam hitungan detik dia sudah berada di rumah Gun.

Gun sempat kaget. Dia sampai terduduk dari posisi tidurnya di atas ranjang.

Tanpa aba-aba, Win langsung memeluk Gun.

Sedikit ragu, lebih tepatnya karena kaget, Gun pun menaikkan tangannya untuk mengusap kepala Win yang tengah memeluknya. "Ada apa? Kau mengagetkanku," ucap Gun dengan nada lembut. Dia tahu Win sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Riak wajah Win masih sama, walaupun setelah sepuluh tahun tak bertemu.

"Gun, aku memilih Bright. Aku tak mau berpisah dengannya. Aku ... aku ... aku kabur."

Senyuman puas terulas di wajah Gun. Dia mengeratkan pelukannya pada tubuh bergetar Win. "Tenang, Win. Tenang. Semua akan baik-baik saja. Kau hebat! Kau dan Bright pasti bisa!"

Win melepaskan pelukannya dia mengangguk. Ada senyum antusias walau berhias kalut. "Aku tak mau kembali ke markas Profesor. Aku yakin anakku bisa tumbuh dengan baik tanpa mutasi gen. Aku yakin aku dan Bright bisa menjaganya dengan baik."

Gun mengusap kepala Win dengan lembut. "Ya, kau pasti bisa, Win!" Berita Win barusan tentu disambut dengan senyum senang oleh Gun. Gun senang ada yang mengikuti jejaknya untuk keluar dari markas profesor. Menjadi manusia mutagen bukanlah suatu hal yang membanggakan. Menjadi manusia normal jauh lebih menenangkan ketimbang menjadi mutagen.

"Bright mana?"

"Dia masih di perjalanan ke mari." Win juga meminta Gun ikut mendoakan keselamatan Bright. Sama seperti dirinya, Gun pun tak yakin semudah itu untuk mengecoh Joss. Memang benar, Joss tak berhasil melacak Gun hingga saat ini. Gun sendiri pun bertanya-tanya akan itu.

Tapi yang jelas, Profesor tidak akan melepaskan Win dengan mudah. Pasalnya ia adalah harapan terakhir induk kandung bagi golongan mutagen. Win dan kandungannya adalah harta penting.

Embusan napas lega keluar dari mulut Win. Dia otomatis berdiri ketika mendengar ketukan pintu. "Itu pasti Bright!"

Win hendak melangkah, namun ditahan oleh Gun. Jari telunjuk Gun menempel di bibirnya. "Dengarkan dulu," bisiknya.

Ketukan pintu berlanjut. Sama seperti kode ketukan yang biasa Bright pakai.

Separuh berlari, Win melangkahkan kaki untuk membuka pintu. Dia tahu bahwa Bright tidak akan melanggar janjinya. Bright pasti datang.

Air mata langsung mengalir deras saat Win melihat sosok di ambang pintu.

Sosok itu sampai heran. Tangannya terulur untuk memeluk Win. "Hei, kenapa?"

Win balas memeluk erat. Perasaan lega membanjiri dirinya. Brightnya ada di sana. Utuh dengan wajah tampan dan pakaian yang sedikit basah karena keringat. "Aku mencintaimu, Baii. Sungguh." Win mengucapkan kata-kata itu dengan sungguh-sungguh.

Bright terkekeh. Tangannya terlurur untuk mengusap kepala Win. Ia ciumi pelipis Win penuh rasa sayang. "Aku kan sudah janji. Aku pasti datang."

Mereka berdua begitu asyik menyalurkan rasa kasih sayang. Mereka tak sadar Gun dari dalam rumah meneteskan air mata.

Mendadak ia merindukan Jumpol dan Pluem.

 

 

=0_0=

 

 

Gun membersihkan jatuhan daun kering di atas makam Jumpol. Dia tersenyum lebar. Dia senang kali ini dia tak datang sendiri. Ada Bright dan Win yang menemaninya. Sudah beberapa hari hidupnya ditemani dua nyawa baru dan itu membuatnya senang.

Gun tak percaya tuhan atau dewa. Tapi jika sudah di depan makam Jumpol, dia otomatis tertunduk dengan jemari berjalin dalam genggaman dan memanjatkan doa. Doa yang entah dia tujukan pada siapa. Yang jelas dia selalu meminta agar Jumpol bahagia di atas sana dan bisa mengawasi Pluem untuk tumbuh dengan baik.

Win menggenggam tangan Bright dengan erat. Pria pilihan hatinya itu tampak diliputi awan kelabu ketika datang ke makam ini. Win paham. Masih sulit bagi Bright jika harus mengingat kenangan tentang kakaknya.

"Baii, kau mau kita pulang duluan?" tanya Win sambil mengusap pundak Bright.

Bright menghela napas panjang. Dia menelan ludahnya lalu menggeleng. "Tidak usah. Aku juga sudah lama tidak ke sini."

Win memberikan senyuman manis sambil mengangguk. Dia menggoyangkan sedikit jemari mereka yang bertaut. Seolah memberikan kekuatan dan mengatakan kalau dia akan selalu berada di samping Bright.

Gun menoleh ke arah adik ipar dan sahabatnya. Tatapan prihatin ia berikan ke arah Bright. Gun tahu persis perasaan Bright saat ini.

Setelah meletakkan kelopak bunga segar, Gun berdiri. Ia menghampiri Bright yang masih menatap makam Jumpol dengan mata nanar. "Hei," sapa Gun sambil menyentuh pundak Bright.

Bright seperti terkesiap. Ia beralih menatap Gun.

Gun memajang senyuman tipis. Dia menjulurkan tangannya yang memegang sekeranjang kelopak bunga. "Mau menghadiahi kakakmu?"

Untuk sesaat Bright hanya diam. Saat ini pikirannya berkabut dan tak jelas. Dia mendengar Gun bicara, tapi dia tak bisa memproses dengan jelas apa yang harus dan ingin dia lakukan.

Win menggoyangkan sedikit tautan jemari mereka. Seperti ingin menarik Bright untuk sadar dari pikirannya yang berkabut. "Baii," panggil Win lembut.

Bright mendehem. Ia mengatur napasnya sebentar lalu mengambil keranjang yang Gun tawarkan tadi.

Gun memberikan senyumannya. "Aku dan Win tunggu di rumah, ya."

Seperti robot, Bright hanya mengangguk. Dia memang butuh waktu sendiri untuk berdua dengan kakaknya, walau dalam bentuk gundukan tanah.

 

 

=0_0=

 

 

Jarak makam Jumpol ke rumah Gun memang tidak terlalu jauh. Di perjalanan menuju rumah Win dan Gun banyak bicara. Mereka juga memetik beberapa tanaman yang bisa diolah untuk jadi makanan.

Walaupun Profesor berhasil merekayasa gen, Profesor tetap tak bisa merekayasa agar mereka selalu kenyang. Mereka tetap butuh makan.

Apalagi Win. Ada nyawa baru di perutnya.

Dia memang bukan manusia biasa berjenis wanita. Tapi dia tetap tiba-tiba menginginkan sesuatu. Seperti roti gandum dengan selai anggur misalnya.

"Apa daun ini enak?" tanya Win sambil memegang segenggam daun yang Gun petik di jalanan tadi. Dia bertanya-tanya apa daun itu bisa dijadikan selai dan menggantikan kenikmatan selai anggur buatan di desa.

Gun mengangguk. Wajahnya yakin seperti tak ada beban. "Bisa dimakan dengan saus tomat dan potongan roti gandum. Cukup untuk mengatasi lapar. Alasan makan kan untuk bertahan hidup. Tak masalah kalau tak seenak selai anggur."

Win mendesah berat. Dengan lemah ia mendudukkan tubuhnya di kursi dapur. Dia prihatin dengan kehidupan Gun yang terpencil dan memanfaatkan tumbuhan sekitar untuk bertahan hidup. "Pantas saja kau tak sembuh-sembuh. Apa kau tidak kekurangan nutrisi?"

Gun terkekeh geli. Memang dia kadang merindukan makanan-makanan tertentu. Tapi kondisinya tak memberikan ia banyak pilihan. Yang penting ia bisa bertahan hidup. Tak masalah tubuhnya lemah dan sakit-sakitan. "Sesekali aku ke sungai untuk menangkap ikan. Itu sudah cukup membuatku puas."

Win berdiri. Mendengar ucapan Gun soal ikan sungguh membuat ia ingin makan ikan juga. Tapi untuk sekarang dia ingin fokus pada Gun. Ia mendekati Gun lalu bertanya dengan serius. "Kau mau makan apa? Biar aku usahakan." Win bahkan lupa dengan keinginannya sendiri untuk ikan bakar.

Gun menggeleng. Ia menolak. Ia merasa cukup dengan apa yang dia punya sekarang.

"Gun, aku memaksa. Aku cukup kuat untuk mencari ikan di sungai atau pergi ke hutan untuk mencari beberapa buah yang kau inginkan."

Gun masih betah menggeleng. "Win, aku tidak apa-apa. Aku benar-benar merasa cukup dengan yang aku punya."

Win bersikeras. "Tapi aku ingin melakukan sesuatu untukmu, Gun."

Belum sempat gun menjawab, tak lama kemudian terdengar ketukan dari pintu rumah. Karena sudah menjadi kebiasaan dalam beberapa hari ini, Win menunggu.

Ketukan pintu berlanjut seperti kode ketukan yang biasa Bright pakai.

Tanpa ragu Win menuju pintu untuk menyambut Bright. Senyuman lebar sudah ia siapkan untuk menguatkan kekasih hatinya itu.

Senyuman lebar itu berubah menjadi makin lebar saat melihat Bright berdiri di ambang pintu. Bukan soal Bright. Lebih tepatnya keranjang yang Bright bawa. Keranjang yang tadinya berisi kelopak bunga sudah berganti dengan beberapa ekor ikan.

"Kukira kau akan suka kalau kubawakan ikan."

Win mengangguk senang. Matanya terus tertuju ke keranjang yang berisi ikan itu. Dengan antusias ia mengambil keranjang itu lalu membawanya ke arah dapur. Dia bahkan lupa untuk menyambut Bright dengan mesra.

Bright hanya tertawa. Dia merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Senyuman Win adalah alasannya.

Kakinya dengan ringan melangkah ke arah Win dan Gun yang tengah membersihkan ikan sambil bercakap-cakap. Dengan inisiatif ia menyiapkan kayu bakar di tungku.

Setelah api menyala, Win dan Gun mendekati Bright. Mereka bertiga duduk di depan tungku sambil menyesap teh bunga matahari yang Gun seduh.

Tak lupa Gun menawarkan madu untuk menambah rasa manis teh mereka. Dengan senang hati pula Win mengambil madu itu lalu menuangkan ke dalam gelas tehnya. Setidaknya manis teh bisa untuk mengobati sedikit rindunya pada selai anggur. Lagipula keinginannya untuk makan ikan bakar terwujud tanpa ia harus susah payah ke sungai.

Win akhirnya paham. Mungkin ini yang Gun sebut sebagai cukup dengan apa yang ia miliki. Mungkin perasaan lega dan tenang seperti inilah yang Gun rasakan selama ia mengasingkan diri di balik bukit.

Win membuka pembicaraan. "Gun, kau yakin tak menginginkan sesuatu?" Win masih bersikeras. Dia ingin mengabulkan keinginan Gun sebisa mungkin. Hatinya masih menyisakan rasa kasihan dan prihatin dengan hidup sahabatnya itu.

Gun masih betah menggeleng. "Memangnya kau pikir aku akan menginginkan apa?" Gun malah balik bertanya.

Win menggidikkan bahu. "Entahlah," katanya dengan wajah bingung. "Ayam goreng atau anggur merah begitu?"

Gun menggeleng lagi. Ia menyesap sedikit teh dari cangkir yang ia pegang. Ia diam sambil menatap gerak api dan bunyi keretek dari ikan yang tengah dibakar dengan alas daun. Bohong kalau dia tidak menginginkan sesuatu. Tapi yang dia inginkan bukan makanan. Kemungkinan itu terwujud pun sangat amat kecil.

Win melihat kemelut perang pikiran Gun. Itu tergambar jelas di wajah Gun yang hanya menatap hampa geliat api dengan napas yang terus-menerus dibuang kasar.

Sayangnya Win bukan Joss atau Pluem yang bisa membaca pikiran.

Bright mengembuskan napas kasar. Win yang sedari tadi fokus memperhatikan Gun sampai menoleh ke arah Bright dengan kaget. Ia tak mengira Bright akan mengembuskan napas yang sama kasarnya dengan Gun. Ia pun bertanya-tanya, apa yang Bright pikirkan sekarang. Tak jauh beda dari Gun, mata Bright juga menatap geliat api dengan hampa.

"Aku tahu yang kau inginkan."

Ucapan Bright barusan membuat dua nyawa menatapnya dengan wajah bertanya-tanya. Ditujukan pada siapa kalimat barusan.

"Pluem."

Ucapan barusan berhasil membuat Gun goyah. Dengan tangan gemetar ia meminum teh dari cangkir yang ia pegang dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyusul setelah itu. Gelas yang tak berat itu pun ditopang dengan dua tangan.

Begitu melihat efek satu nama pada Gun, Win pun paham. Yang Gun inginkan bukan makanan. Yang Gun inginkan adalah anaknya.

Win menggeser posisi duduknya untuk lebih rapat dengan Gun. Ditepuk-tepuk pundak sahabatnya itu. Ia tak berani memeluk. Ia khawatir airmatanya tumpah. "Kau merindukannya?"

Gun tak menjawab. Dia hanya menunduk—menatapi gelas teh yang kini terposisi di antara tungkai kakinya yang bersilang.

Bright menghabiskan sisa minumannya. Setelah itu dia berdiri lalu meletakkan gelas kosong di gundukan kecil samping tungku.

"Aku akan ke desa sebentar."

Kalimat Bright membuat Gun mengangkat kepalanya. Ia menatap Bright dengan tatapan serius.

"Aku akan temui Pluem. Seperti biasa, kau bisa menyentuh tanganku nanti untuk melihatnya."

Setetes air mata meluncur di pipi Gun. Ia berterima kasih dalam diam. Tatapan matanya sudah bicara lebih dari seribu kata.

Bright berbagi tatap dengan Win. Seolah memberi kode agar Win mengantarnya sampai depan pintu.

Dengan mantap Bright melangkah dan Win mengekor di belakangnya.

"Kau mau kubawakan apa? Sekalian."

Win menggeleng. Dia hanya tersenyum ketika tangan Bright terjulur untuk mengelus kepalanya.

"Yang benar? Kau tak ingin ayam goreng atau anggur merah?"

Win terkekeh. Bright membalikkan ucapan yang ia tujukan untuk Gun tadi. "Aku benar-benar memancing Gun saja tadi. Aku tak menginginkan itu."

Bright tersenyum. Ia senang melihat Win yang tekekeh dengan pipi membuntal lucu. "Lalu apa yang kau inginkan?"

Win menelan ludahnya. Kedua tangannya terjulur untuk menangkup wajah Bright. Ada tatapan serius walau berbalut senyum. "Berjanjilah kau akan kembali padaku."

Bright mengangguk. "Tentu aku akan kembali. Aku belum makan ikan bakar."

Win kembali terkekeh. "Janji, ya!"

Bright mengangguk. "Aku janji." Bright lalu menyentuh tangan Win yang mengangkup wajahnya. "Nanti malam bulan purnama. Biasanya banyak kunang-kunang di tepi sungai. Ayo kita sana untuk kencan."

Win mengangguk. Rencana sempurna untuk menikmati masa pelarian ini.

 

 

=TBC=

Akan ada give away di bagian akhir cerita ini untuk yang rajin singgah dan rajin meninggalkan jejak (tiga orang terpilih). Jadi, jangan malu-malu untuk meninggalkan jejak ya. Aku nggak gigit kok.

Terima kasih sudah singgah :)

16 Juli 2020

@AnubeeNuhippo

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet