2: Adaptasi

BrightWin ― DEEPER

 

...

..

.

 

Win membuka mata. Ketukan di pintu kamar merobek kenyamanan istirahatnya. Ia mendecak kesal sebentar. Dengan langkah malas ia membuka pintu kamar. Raut tak suka masih terpajang di wajahnya. Namun sedetik kemudian raut itu berubah menjadi senyuman manis saat ia melihat sosok pengetuk pintu kamarnya.

Senyum palsu tentu saja.

Bright sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi makanan. Tanpa basa-basi, Bright menyeruak masuk ke dalam kamar Win. Tatapan tak suka di wajah Win terlewatkan oleh Bright. Dia menuju ke satu meja di sisi ranjang lalu menyimpan nampan itu. Sama sekali tak minta izin pada Win.

Bright memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Win. Otomatis Win kembali memasang senyum palsunya.

"Apa tidurmu nyenyak?" Bright melirik ke arah kasur. "Maaf, kalau kasurnya tipis. Kami sudah memesan dari kota, tapi belum datang juga."

Win tersenyum. Berusaha semanis mungkin. "Tidak masalah. Aku terlalu lelah untuk memikirkan kalau kasur itu tidak nyaman. Yang penting aku bisa istirahat."

Bright mengangguk senang. "Untuk pagi ini, sarapan aku antarkan karena kupikir kau pasti lelah." Bright menunjuk sarapan yang sudah ia letakkan di meja. Win melirik sebentar, lalu mengucapkan terima kasih. "Tapi, mulai besok kau harus sarapan di sana, bersama yang lain," sambung Bright sambil menunjuk ke arah jendela.

Win melangkah ke arah jendela, mengikuti arah telunjuk Bright. Otomatis dia menghela napas panjang lalu ia embuskan pelan. Kali ini bukan demi menenangkan diri, tapi karena ia takjub dengan lingkungan yang begitu hijau.

Tadi malam keindahan desa kecil ini tak begitu tampak karena masih ditelan gelap bumi. Namun pagi ini semua keindahan itu tampak jelas. Ia tak mendapatkan suasana ini di kota besar yang ia huni sejak kelahirannya.

Bisa ia lihat tiga meja panjang terbentang di tanah lapang sisi rumah sementaranya. Tiap meja berisi sekitar tiga puluh orang dari berbagai umur. Mayoritasberisi para tetua. Sebagian di antaranya—yang masih muda dan bugar—sibuk hilirmudik membawa mangkuk berisi makanan untuk disimpan di atas meja. Suasana yang begitu harmonis.

Untuk pertama kali, sejak tadi malam, Win tersenyum karena benar-benar ingin tersenyum. Dia bisa merasakan kehangatan penghuni desa kecil ini.

"Yang duduk di depan sana, orang tuaku." Bright menunjuk meja berisi dua orang yang terpisah di bagian depan.

"Kau tak ikut makan?" Entah kenapa Win refleks bertanya demikian.

Bright membuat kedua tangannya terlipat di dada. Senyuman yang lagi-lagi mengingatkan pada seringai serigala terpajang di wajahnya. "Seharusnya aku ikut sarapan. Tapi aku mendapat tugas mengantar sarapan untuk seorang dokter yang baik hati."

Win terkekeh sebentar. Setelah itu dia kembali sadar. Ia tak seharusnya bertingkah demikian. Dia bukan sedang liburan sekarang.

"Ya sudah, semoga Dokter suka sarapan yang disajikan desa kami."

Seperginya Bright, Win menatap tas kecil berisi alat medis. Tas dengan lambang palang merah. Pikirannya berkecamuk. Setelah itu matanya beralih ke nampan berisi makanan yang tadi Bright bawa.

Mungkin memang begini jalan takdir Win. Dia harus bisa.

Tapi, tetap saja. Jauh di dalam hatinya Win benci berpura-pura.

 

 

=0_0=

 

 

"Dokter!"

Win menolehkan kepalanya. Anak kecil berumur sekitar tujuh tahun datang ke kliniknya bersama anak kecil lainnya yang berumur sekitar lima tahun. Anak kecil berumur lima tahun itu menangis. Darah nampak mengucur di keningnya.

"Adikku terjatuh di pantai." Anak berumur tujuh tahun itu menarik-narik sisi celana panjang Win.

Win berjongkok, menyamakan tinggi dengan sang anak kecil yang tengah menangis. Pasien anak kecil pertama setelah hampir seminggu Win berada di pulau ini. Anak kecil itu menatap Win dengan matanya yang basah. Win tersenyum. Senyuman tulus agar anak kecil itu tak takut.

Sambil berkata-kata manis dan bertanya nama kedua anak itu, Win mengobati luka yang untungnya tak berbahaya. Dua anak itu tampak nyaman berada di sekitar Win. Hal yang membuat Win merasa hangat. Sudah lama Win tak mendengar tawa polos seperti yang anak-anak ini hasilkan.

"Nong Fiat, berjanjilah untuk tidak berlarian lagi, ya!" Win mengusap pelan kepala Fiat, si anak umur lima tahun. Dia mengangguk girang dan menyahut dengan suara yang lucu.

"Dan Nong Chimon, berjanjilah untuk menjaga adikmu dengan baik, ya!"

Chimon mengangguk.

"Ingat, ini rahasia kita," ucap Win sambil mengedipkan satu matanya.

Chimon mengangguk senang. "Terima kasih, Dokter Win." Anak berumur tujuh tahun itu memeluk Win. "Dokter Win keren! Aku mau jadi seperti Dokter Win!" Chimon mengacungkan jari jempolnya ke arah Win dengan cengiran lebar di wajahnya.

Win tersenyum miris. Tangan kirinya ia pakai mengelus kepala Chimon. Jika Chimon tahu siapa Win yang sebenarnya, Win yakin Chimon tidak akan berkata demikian. Win hanya berharap semoga Chimon tak menjadi seperti dirinya.

Sungguh, Win senang berinteraksi dengan jiwa-jiwa polos seperti ini.

 

 

=0_0=

 

 

Malam hari dengan purnama begitu meninggi. Win duduk sendiri di atas batu besar. Matanya memandang gerak api di bagian tengah lingkaran sekumpulan orang. Ia dipaksa ikut berkumpul dengan warga desa. Ada api unggun dan beberapa makanan yang dipanggang.

Pesta warga merayakan hasil panen anggur dan ubi yang begitu sukses.

Win rindu ini.

Win rindu tawa canda yang membuat relung terdalamnya merasa hangat. Semua orang nampak tulus dan saling nyaman. Win bahkan hampir tak ingat kapan terakhir kali dia merasa hangat seperti ini.

Win rindu suasana hangat seperti ini.

"Dokter Win!"

Win melihat Chimon berlari ke arahnya. Di sampingnya ada seorang anak. Yang jelas bukan Fiat. Fiat masih duduk di pangkuan ibunya di dekat api unggun.

"Dokter Win mau ubi bakar?"

Chimon menyodorkan ubi bakar yang sudah separuh tergigit ke arah Win. Pipi Chimon menggembung, sedang mengunyah ubi bakar yang separuhnya sekarang ia sodorkan ke arah Win.

Win tersenyum. Senyuman tulus. Dia selalu merasa anak-anak adalah satu-satunya hal di dunia yang begitu menyenangkan dan tak palsu. Mereka mendekat hanya karena ingin berteman, bukan karena ingin mencari untung.

Win pun menggeleng. "Kalau aku mau, nanti Chimon makan apa?"

Mata Chimon terbelalak. Dia kaget. Mulutnya bahkan berhenti mengunyah. Dia langsung mendekap ubi bakar yang tadi ia sodorkan ke arah Win.

Win pun terkekeh. Dia senang berinteraksi dengan anak-anak. Dia ingin memeluk Chimon yang tampak begitu menggemaskan.

Win menepuk bagian kosong di sisinya, meminta Chimon untuk duduk. Chimon pun menurut.

Namun tidak dengan temannya.

"Phi Pluem, sini!" Chimon memanggil anak yang satu lagi untuk ikut duduk.

Win memberikan senyum manisnya. Lagi, senyum yang benar-benar tulus. Tangan kirinya terulur untuk menyambut Pluem. Rasa hangat menyeruak ketika anak kecil itu mendekat. Dia menyambut tangan kiri Win lalu duduk. Duduk sangat rapat dengan sisi tubuh kiri Win.

"Siapa namamu, Nong?"

Anak itu tak menjawab. Dengan kepala mendongak dia menatap mata Win. Wajahnya polos, matanya sendu.

"Phi, Dokter Win bertanya. Ayo jawab!" ujar Chimon sambil menempelkan tubuhnya ke sisi kanan Win.

Win menoleh pada Chimon yang duduk di sisi kanannya. Dengan nyaman Chimon menyandarkan tangan kirinya di paha Win. Win tersenyum. Tangan kirinya terulur untuk mengusap kepala Chimon.

Win menoleh pada Pluem di sisi kirinya. Pluem masih mendongak. Melihat gerak-gerik Win. Matanya masih menatap lurus ke dalam mata Win. Win pun masih tersenyum manis. Pluem sama seperti anak-anak lainnya. Terkadang memperhatikan begitu detail ketika bertemu dengan orang baru.

Tangan kanannya terjulur, berniat untuk mengusap kepala Pluem.

Setelahnya napas Win tercekat. Pluem baru saja menghindar. Dia tak mau disentuh Win.

Mata Win hilang arah. Mendadak dia merasa ciut. Sekilas dia melihat mata Pluem berubah tajam. Hanya sedetik. Namun Win menangkap itu dengan jelas.

"Kau bukan dokter."

Napas Win kembali tercekat. Kalimat lirih dari mulut Pluem barusan begitu menamparnya. Sudah lama Win tak merasa seperti ini. Dia merasa kacau.

"Apa maksudmu, Phi?" Chimon masih menempel di paha kanan Win. "Fiat bisa sembuh karena Dokter Win." Kali ini Chimon menunjuk ke arah Fiat.

Win mengusap kepala Chimon dengan tangan kirinya. Ujung matanya mengintip ke arah Pluem yang masih mendongak untuk menatap Win.

"Kau monster."

Kepala Win teralih menghadap ke arah Pluem. Yang diucapkan Pluem barusan membuat letupan emosi di dalam tubuh Win.

Aku bukan monster! jerit Win dalam hati.

Namun belum selesai letupan emosi itu mereda, sedetik kemudian tubuh Win terasa lemas. Pluem tengah menunjuk tangan kanan Win.

"Kau monster," ucap Pluem lagi sambil menunjuk telapak tangan kanan Win.

Chimon berdiri. Tangannya bercakak di pinggang. "Monster?" Wajahnya cemberut. "Dokter Win bukan monster. Dokter Win membuat luka Fiat hilang seperti sulap!"

Win kembali terkaget. Untuk kesekian kalinya di saat itu. "Nong Chimon!" Tanpa sadar suara Win sedikit kasar. Setelah melihat tubuh Chimon sedikit berjengit, Win berusaha bicara dengan nada lembut. "Kau ingat kalau itu rahasia kita, kan?"

Chimon refleks menutup mulutnya. Matanya membesar sebentar. Setelah itu Win tersenyum, meminta Chimon untuk tak takut padanya. "Maafkan aku, Dokter. Aku janji aku tidak akan bilang ke siapa-siapa." Kini Chimon menunjuk Pluem. "Phi, kau juga tak boleh memberitahu siapa-siapa kalau dokter Win menyulap luka Fiat, ya!"

Win mengatur napasnya. Dia tak boleh lepas kontrol. Anak-anak memang begitu polos.

Win pun menoleh ke arah Pluem. Win tersenyum manis ketika mendapati Pluem masih menatap Win. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Napas berulang kali dia atur.

"Tapi, monster yang baik," ucap Pluem lalu menyentuh pipi Win sebentar dengan telunjuknya. Setelah itu dia tersenyum.

Win pun ikut tersenyum. Dia merasa bahagia ketika Pluem menyentuh pipinya barusan tanpa rasa takut.

"Oh ... aku tahu!" teriak Chimon. Chimon lalu berpura-pura mengerang. Berpura-pura akan menerkam Win. "Aku juga monster baik," jerit Chimon sambil melompat dengan wajah semringah.

Pluem tertawa sambil mengangguk. "Kita monster baik!" Anak itu juga ikut semringah.

Win mengembuskan napas lega. Dia terkekeh canggung lalu memeluk dua anak itu. Dia bersyukur dengan kenyataan bahwa Pluem hanya bercanda tadi. Mungkin hanya asal bicara selayaknya anak seumurnya.

"Aku tidak bercanda," bisik Pluem di telinga kiri Win.

Mata Win membeliak. Ia tercengang mendengar kalimat Pluem barusan.

Bisa Win rasakan Chimon masih memeluknya dengan girang. Chimon sama sekali tak melihat Pluem yang kini sedang memberi tatapan tajam ke arah Win. Chimon sama sekali tak melihat kalau Pluem tengah menunjuk tangan kanan Win. Tangan kanan yang terbalut sarung tangan dan masih mengusap kepala Chimon.

Pluem kembali ikut berpelukan sambil tertawa senang. Berbanding terbalik dengan Win yang tengah bingung, kaget, dan menerka-nerka yang terjadi barusan.

Bisa Win rasakan Pluem menempelkan bibirnya di telinga Win. "Tak usah kaget. Aku sama seperti Dokter Win, " bisik Pluem di telinga Win.

Makna kalimat Pluem barusan tak berhasil membuat Win tenang. Kalimat itu membersihkan sebuah tanda tanya dan menghadirkan tanda tanya berikutnya. Win malah kembali terkaget.

 

Apa maksud Pluem?

Pluem sama dengan Win?

 

 

=TBC=

 

Tolong abaikan umur asli mereka ya. Hehe.

Chimon

Chimon

Fiat

Pluem

Pluem

Pluem

 

 

Halo, drop kesan, pesan, saran dan kritik kalian di sini yaa.

Terima kasih sudah singgah. Semoga betah :)

 

by AnubeeNuhippo

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet