3: Selangkah

BrightWin ― DEEPER

...

..

.
 

"Kau suka anak-anak?"

Untuk pertama kali, Win tersenyum tulus sambil mengangguk menjawab pertanyaan Bright. Sedari tadi memang Win terus memasang senyum palsunya. Kakinya lelah. Dia ingin segera sampai dan beristirahat. Namun mendengar pertanyaan Bright barusan, senyumnya tulus dan benar-benar keluar dari hatinya.

Mereka baru saja pulang sehabis mengobati salah satu tetua yang demam tinggi. Dan saat ini Bright tengah mengantar Win pulang ke rumah pondoknya. Win sudah bilang bisa pulang sendiri. Tapi Bright memaksa. Mereka berjalan melewati jalur yang entah kenapa malah Win rasa memutar jauh.

"Aku lihat kau sering bermain dengan Fiat, Chimon dan Pluem."

Win kembali mengangguk. Anak-anak itu memang sering datang ke klinik atau pondok singgahnya. Win tak pernah merasa terganggu, walaupun mereka datang saat Win sedang merasa lelah. Win malah merasa mendapat tambahan energi tiap kali ia dikunjungi anak-anak yang kadang hanya datang untuk bermain atau malah menumpang tidur siang.

"Kuharap kau tak terganggu dengan mereka. Chimon memang senang berteriak, Fiat senang berlari, dan Pluem sering..." Bright menggantungkan nada bicaranya. "Eum... sering sedikit berbeda," sambung Bright dengan nada sedikit tak yakin dengan yang ia katakan. "Pluem memang sering mengucapkan kata-kata yang sedikit membuat kaget. Tapi dia anak yang manis."

Win terkekeh. Dia memang sempat kaget dengan Pluem. Tapi setelah melihat Pluem yang santai bermain dengannya, membuat Win tak ambil pusing. Bukan berarti Win lupa, dalam hati dia penasaran. Tapi, yang penting Pluem masih mau mendekatinya. Itu artinya Win bukan monster di mata Pluem.

"Mereka menyenangkan, kok," ucap Win sambil tersenyum lebar hingga membuat kerutan di ujung luar matanya.

Bright berhenti melangkah.

Win yang menyadari itu pun ikut menghentikan langkahnya. Dia menatap Bright dengan penuh tanda tanya. "Ada apa?"

Bright mengerjapkan matanya. Setelah itu dia terkekeh sambil menggaruk tengkuknya sendiri. Matanya menatap Win sebentar lalu sesekali menunduk. Dia tampak salah tingkah.

"Ada yang salah?" tanya Win yang sejujurnya tak suka dan tak sabar dengan tingkah Bright.

Ini membuat Win kesal.

Kaki Win sudah begitu letih karena diajak memutar oleh Bright. Dia hampir tak pernah berjalan kaki sejauh ini. Dan entah sampai kapan dia harus berjalan kaki lagi. Tentu kini dia tak sanggup menghadapi Bright yang mendadak bertingkah aneh seperti sekarang. Win bahkan sudah tak lagi pura-pura tersenyum. Rasa lelah sudah menguasai tubuhnya.

Win pun mendengus. Dia melangkah duluan. Meninggalkan Bright yang masih senyum-senyum sendiri tak jelas.

Setelahnya langkah Win terhenti. Bright tengah memegang tangannya.

"Maaf, kalau aku menyinggungmu."

Win menggeliatkan tangan yang dipegang Bright. Bright pun segera melepaskan pegangan tangannya, mengerti kalau Win tak mau disentuh.

"Aku hanya merasa..."

Nada bicara Bright menggantung. Win menautkan alisnya. Tak sabaran dengan tingkah Bright sekarang.

"...senyummu sangat bagus," sambung Bright sambil mengacungkan jempolnya.

Win menautkan alisnya. Win pikir apa, ternyata hanya kalimat tak penting. "Kau yakin?" Tanya Win menyelidik. Dia yakin Bright menyembunyikan sesuatu.

"Aku yakin. Kau begitu manis ketika tersenyum. Kerutan di matamu dan gigimu membuatmu seperti seekor kelinci."

"Ha?" respon Win dengan nada kaget. Bukan ini jawaban yang Win tunggu. Maksud Win, dia ingin bertanya apakah Bright yakin hanya ingin mengatakan kalimat itu. Dia merasa Bright menyembukan makna lain. Dan tentu saja dia bukan menanyakan tentang kebagusan senyumnya. Peduli setan soal itu!

"Sungguh! Aku tak bohong. Kau benar-benar manis!"

Win memutar bola matanya. Beruntung Bright tak melihat karena masih menunduk sambil menendang kecil patahan ranting-ranting kayu. Pria yang memiliki senyuman bak seringai serigala itu tampak salah tingkah. Dan itu tampak lucu bagi Win. Setelah itu Win kembali memajang senyum palsunya. "Terima kasih." Entah kenapa terselip amat sangat sedikit rasa senang ketika mendengar pujian Bright.

Setidaknya Bright memperhatikan Win. Ini akan memudahkan misinya.

"Boleh aku bertanya?" Win berusaha memecahkan suasana canggung antara dirinya dan Bright.

Bright menggangguk. Wajahnya tampak polos ketika menatap Win dengan mata membesar dan pipi sedikit mengembung.

"Bukankah jalur ini lebih jauh?"

Bright terkekeh. "Benarkah?" Dia malah balik bertanya pada Win.

Win mendengus dalam hati.

"Aku sengaja," ucap Bright sambil lagi-lagi terkekeh. Deretan giginya dengan sempurna terpajang rapi.

Entah apa yang lucu, pikir Win. "Sengaja?" tanya Win heran. Dia hampir meledak marah. Namun dengan cepat kembali mengatur napas untuk menetralkan detak jantungnya. Dia tak mau suatu yang buruk terjadi.

"Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu, Dokter."

Alis Win bertaut. Maksudnya? Tanya Win dalam hati.

"Aku suka Dokter Win."

Kali ini giliran Win yang langkahnya terhenti. Dia yakin dia tak salah dengar barusan. 

Tapi apa iya?

"Aku suka Dokter Win. Jadi, aku sengaja memilih jalur yang lebih jauh, supaya aku bisa lebih lama bersama Dokter Win."

Win masih terdiam. Dia masih tak yakin dengan kalimat yang baru saja ia dengarkan. Ini aneh, tapi Win merasa ada gelitik hangat dan ngilu di bagian perutnya. Win yakin ini bukan hasrat ingin ke toilet. Lalu apa?

"Jika diizinkan, apa aku boleh mencium Dokter Win?"

Pandangan mata Win otomatis terfokus ke mata Bright. Sosok yang sedari tadi tampak begitu mudah terkekeh kini tampak serius. Semburat kemerahan muncul di telinganya. Sudut bibirnya juga berkedut menahan senyum senang. Wajahnya Semringah.

Ternyata Win tak membutuhkan seratus hari. Dalam tujuh hari saja dia sudah berhasil membuat Bright jatuh hati padanya.

Semudah inikah misi Win?

Dan dengan bodohnya Win mengangguk. Memberi izin Bright untuk memagut bibirnya di bawah sinar bulan.

 

 

=0_0=


 

Hari demi hari berlalu. Bright dengan jelas menunjukkan ketertarikannya pada Win. Bahkan anak-anak juga sudah terbiasa melihat Bright berada di samping Win. 

Pernah suatu ketika Bright tak ada. Kalau tidak salah dia harus membantu orang tuanya mengatur persediaan makanan untuk seisi pulau. Anak-anak dengan polosnya bertanya di mana Bright dan kenapa tidak menemani Win.

Win hanya tertawa. Untungnya anak-anak dengan mudah beralih fokus ketika Win menunjukkan buku dongeng. Semua dengan manis akan duduk dan mendengarkan dongeng yang Win bacakan.

Bright juga sering bercanda bahwa Win akan menjadi orang tua yang hebat. Karena begitu mudah akrab dengan anak kecil. Bahkan bukan hanya anak kecil. Seisi pulau juga menerima Win dengan baik.

Seperti malam ini Win memakai setelan baju putih-putih yang Bright berikan. Titipan dari salah satu tetua yang memintal sendiri benang-benangnya dan menjahit baju itu untuk Win. Setelan itu membuat Win tampak bersinar bahkan menurut Win sendiri. Dia terbiasa memakai setelan berwarna gelap. Jelas setelan ini tampak berbeda dari pakaiannya yang lain.

"Kau mau makan apa?"

Win membalikkan tubuhnya. Menatap Bright yang berdiri di belakang Win dengan wajah semringah. Win pun memasang senyum palsunya.

"Sejujurnya aku tak terlalu lapar. Aku mendapat banyak ubi rebus dan jeruk di klinik tadi."

Bright terkekeh. "Itu karena semua orang mencintaimu," ucap Bright lalu kembali terkekeh.

Sudah hampir tiga minggu Win pulau kecil ini. Semua warga menyapanya dengan ramah. Bahkan sesekali Win mendapat antaran makan siang di kliniknya dan makan malam di rumah pondok sementaranya. Entah dari siapa saja. Tak jarang juga ia mendapat buah hasil petik kebun dari warga yang tak sengaja bertemu di jalan.

Semua menerima Win dengan baik. Win merasa hangat. Untuk sementara dia merasa menjadi manusia normal.

Seperti saat ini, dia diundang untuk menghadiri pernikahan salah satu warga. Win benar-benar merasa hidup sebagai manusia normal.

"Termasuk aku," sambung Bright sambil menyerahkan segelas minuman anggur merah pada Win. "Aku juga mencintaimu."

Win melirik Bright sebentar. Yang dilirik hanya terkekeh sambil mengusap-usap telinganya yang memerah.

Kalimat Bright barusan berhasil kembali menghadirkan kecamuk risau dalam diri Win. Dia sampai berulang kali mengatur napas, tak mau detak jantungnya menderu. Setelah itu Win menenggak anggur di gelasnya. Habis tak bersisa dalam sekali tenggak. "Aku ke toilet dulu."

Win separuh berlari. Menghindari kerumuman orang yang mulai meramaikan acara pernikahan. Menghindari wajah bertanya-tanya milik Bright.

Setelah cukup jauh dari kerumunan, Win menghentikan langkahnya di bawah pohon besar. Toilet hanyalah alasan. Di bawah pohon itu, Win terduduk. Dia sama sekali tak ambil pusing dengan fakta bahwa pakaian putihnya akan kotor.

Win mengatur napasnya. Dia merasa hangat. Entah kenapa tersimpan rasa senang di relung hatinya ketika mendengar kalimat Bright tadi. Win yakin, rasa itu adalah rasa senang karena semua rencananya berjalan mulus. Bukan senang karena hal lain.

Bright begitu mudah dijerat. Dia bahkan sudah tak bisa menghitung sudah berapa kali alat bicaranya berpagut dengan Bright akhir-akhir ini. Bright seperti tergila-gila pada Win.

Semudah itukah misi Win?

Hatinya mendadak gelisah. Dia merasa kacau dan bodoh ketika perasaan senang hadir saat Bright mengungkapkan perasaannya. Sebagian hati Win senang, namun separuh hatinya pula merasa ini semua salah.

Angin kencang menerpa wajah Win dan memutus kecamuk dalam dirinya. Aroma mawar menyapa hidungnya. Win tahu persis kalau dia kedatangan tamu. Tamu yang sangat ia kenal. Yang membuat Win menjalani tugas seperti sekarang.

"Kau mulai betah sepertinya."

Satu suara mengisi telinga Win seiring dengan terlihatnya sosok yang lebih tinggi darinya. Sosok itu berdiri di hadapan Win. Win tak mengubah posisi. Ia masih terduduk di bawah pohon besar.

"Ingat, tugasmu! Kau bukan ditugaskan untuk jatuh cinta."

Win memejamkan matanya. Ia malas mendengar sosok berbau mawar itu. Ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Ia tak perlu didatangi seperti ini. "Bisa kau pergi, Joss? Aku yakin profesor tak menyuruhmu datang padaku."

Joss mendecakkan lidahnya. "Aku tak bisa tenang di sana jika kau terus menerus gundah gelisah seperti ini." Nada bicara Joss sedikit naik. "Hei, ayolah! Kau hanya perlu menjebaknya."

"Aku tahu!" Win mengubah posisinya. Ia berdiri dengan tegap untuk menantang sosok di hadapannya. "Misi ini akan selesai sebelum seratus hari." Win dengan lantang dan sombong mengucapkan itu. Memang beberapa kali dia dan Bright hampir melewati batas ketika berciuman. Namun rasa bersalah selalu membuat Win menggagalkan semua yang Bright lakukan. Bright pun untungnya mengerti. Jika Win menolak, ia tak pernah memaksa.

"Kau tahu, dia sudah tertarik padaku." Lagi, dengan lantang Win mengutarakan fakta.

Joss menyunggingkan senyum sinis. "Sama seperti dirimu."

"Apa maksudmu?"

Joss melangkahkan kakinya. Mengeliminir jarak antara mereka berdua. Dengan sengaja ia merundukkan tubuhnya. Membuat wajah mereka saling berhadapan dengan begitu dekat. "Kau lupa kemampuanku?" Sunggingan senyum sinis masih menghias wajah Joss. "Kau tak bisa berbohong padaku, Win!"

Win diam. Dia memang tak akan pernah bisa berbohong pada Joss. Win benci ini.

"Ingat takdirmu, Win! Kau bukan manusia biasa. Kau sama saja menurunkan derajatmu kalau bersatu dengan mereka."

Win tertunduk. Kalimat Joss barusan kembali menghadirkan peperangan antara otak dan bathin hangatnya.

"Jangan jadi pengkhianat seperti Gun!"

Kalimat Joss barusan membuat emosi Win tersulut. Dia tak senang nama sahabat baiknya diungkit. Bagi Win, Gun sudah berjuang demi kumpulannya. Seharusnya Joss sadar itu.

Dengan gerakan kilat Win membuka sarung tangan kanannya. Telapak tangannya ia sentuhkan ke lengan Joss.

Dan...

dalam sedetik fisik Joss menghilang.

Sisa-sisa bau mawar masih sampai di hidung Win. Dia hanya bisa berharap kalau barusan Joss memang  lebih dulu menyelamatkan diri. Bukan menghilang karena Win.

Dia tak mau kembali membuat orang celaka karena tangannya.

Seperti orang tuanya dulu.




 

=TBC=

 

Terima kasih sudah singgah. Semoga betah :)

Ditunggu saran dan kritiknya yaa :)

 

 

Revelader Charater:

Gun

Gun

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet