4: Batu

BrightWin ― DEEPER

...

..

.
 

Lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk klinik berbunyi. Win yang tadi tengah menunduk sambil membaca buku refleks menyambut.

"Selamat dat—"

Kalimat Win terhenti. Dia terpaku ketika melihat Bright melangkah dari ambang pintu untuk mendekat ke arahnya. Detak jantung Win sempat tak menentu saat melihat senyum bak seringai serigala menghiasi wajah tampan Bright. Win sampai menelan ludah dan mengatur napasnya dalam-dalam.

"Hai." Dengan nada ringan Bright menyapa Win. Bahkan Win baru menyadari bahwa suara Bright bisa seintim ini. Dengkulnya terasa lemas.

Senyuman canggung terbentuk di wajah Win. Dia mendadak kikuk. Dan dia merutuki dirinya sendiri untuk itu. Tak seharusnya dia begini.

"Sudah makan?"

Pertanyaan Bright membawa Win untuk menoleh kepala ke arah dinding di belakangnya. Sudah jam makan siang rupanya. Dia sama sekali tak merasa lapar karena begitu fokus membaca buku dongeng yang akan ia bacakan pada anak-anak nanti.

Win menggeleng. "Belum," jawabnya singkat.

"Aku bawa ini." Bright meletakkan satu susun rantang.

Win tersenyum. Senyum palsu agar terlihat manis. "Terima kasih banyak. Aku akan memakannya nanti."

Tanpa dipersilakan Bright duduk. Bukan di kursi di hadapan Win, tapi di meja. Persis bersisian dengan Win yang kini terduduk lemas.

"Kenapa tidak makan sekarang?" tanyanya sambil memainkan poni rambut yang sempat menutupi daerah mata kiri Win.

Win mengelak sedikit. Perlakuan Bright membuat napasnya sedikit sesak. "Aku belum lapar." Seperti orang ketakutan Win menjawab dengan suara yang kecil.

Bright tersenyum. Ia bergerak membuka rantang dan Win hanya diam. Seingatnya dia sudah bilang akan memakannya nanti. Entah kenapa Bright seperti punya pemikiran berbeda. Pria tampan itu malah tanpa ragu membuka semua rantang dan memajang makanan yang ia bawa.

"Hargai usahaku. Bersusah payah aku cepat-cepat kemari. Makanan ini akan nikmat jika disantap selagi hangat. Kau akan merusak cita rasanya jika sampai makanan ini dingin."

Mata Win melebar. Makanan di hadapannya terlihat menggiurkan. Tanpa tahu malu perutnya berbunyi. Dan itu berhasil membuat Bright tertawa girang. "Kau yakin kau tak lapar, Dok?"

Win tersenyum malu-malu. Dia sampai menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. "Sepertinya aku lapar."

Bright menyodorkan paha ayam goreng ke hadapan mulut Win. Karena terkejut, Win hanya menatap Bright. Dia agak tak yakin untuk menyambut yang Bright lakukan. Hal ini terasa bodoh dan aneh. Apa Bright berniat menyuapinya? Semanis itu?

"Halo, Dokter. Tanganku lelah," ucap Bright sambil menggoyangkan ayam goreng yang ada di hadapan mulut Win.

Tanpa sadar Win tersenyum sebentar. Ia membuka mulutnya dan menerima ayam yang Bright sodorkan. Setelah itu dengan sendirinya Win melahap semua makanan yang Bright bawa. Tanpa diragukan, memang lezat seperti yang ia perkirakan.

Baru kali ini dia mendapat hantaran makan siang yang cukup sesuai dengan seleranya. Hari-hari sebelumnya dia sering mendapat umbi-umbian yang dibakar ataupun direbus. Bahkan yang paling ajaib, dia pernah dibawakan acar ikan. Amisnya bukan main. Tapi karena yang membuatnya adalah ibunya Chimon, mau tak mau dia menghabiskan walau memakan waktu cukup lama. Dia menikmati rasa terima kasih dari seluruh pulau, walaupun seringkali tak sesuai dengan seleranya.

"Oh, ya. Harit bilang kamu membutuhkan buku."

Win yang baru saja selesai makan kembali mengalihkan perhatiannya pada Bright. Dia mengerutkan alisnya. "Harit?"

Bright menyerahkan satu tas jinjing berisi buku-buku. Dia mengambil tas itu lalu memperhatikan buku di dalamnya. Buku-buku petunjuk pengobatan rupanya. Lagi-lagi ini soal misi berpura-pura menjadi dokter. Win harus sempurna. Seisi pulau untungnya tak menaruh curiga ketika Win meminta dibelikan berbagai macam barang dari kota. Asal membawa embel-embel klinik, dengan manis barang-barang itu akan sampai di kliniknya tidak lebih dari dua hari.

"Terima kasih banyak, ya. Kau begitu baik. Aku sampai bingung bagaimana membalasnya."

Bright tersenyum. Kini ia menyandarkan dua tangannya di meja dan menatap Win lurus-lurus. "Aku tahu cara untukmu berterima kasih."

Win menelan ludahnya. Napasnya seperti tercekat. Jujur dia belum siap jika Bright meminta untuk tidur bersama. Yang pastinya tidak ada kegiatan tidur di dalamnya. "Apa?" tanya Win berusaha tampak tenang.

"Besok sore ayo kita kencan."

Win yang tadi berusaha menenangkan diri dengan meminum air kini malah tersedak. Ia terbatuk hebat sambil mengipasi wajahnya yang terasa panas. Bright malah tertawa lebar. Ia merasa senang dengan reaksi Win.

Bright mengulurkan tangan untuk mengelus-elus punggung Win. Tentu saja kekehan masih betah bersatu dengannya.

Setelah Win cukup tenang Bright melanjutkan bicara. "Tidak kencan secara penuh kok. Lebih tepatnya kau menemaniku untuk mengecek dermaga. Tadi ada yang melapor kalau besok akan ada bongkar muat minyak. Aku harus mengontrolnya."

Win masih terbatuk kecil akibat sisa tersedak tadi. "A-apa..." Win terbatuk, "...aku boleh," Win terbatuk lagi, "menolak?" dan ia kembali terbatuk.

Bright menggeleng. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Win. "Karena itu bukti ucapan terima kasihmu, kau tidak boleh menolak."

Saat itu pula Win bertanya-tanya. Bagaimana teman-temannya bisa menjalankan misi. Apakah target misi mereka begitu manis seperti Bright?

Karena jujur, Win sedang kesulitan sekarang.


 

=0_0=


 

Suasana sore itu cukup nyaman dengan udara hangat yang menyebar tanpa membuat gerah.

Ketukan pintu memecah konsentrasi Win yang tengah memasang sarung tangan sambil memandang ke luar jendela. Untungnya sarung tangan yang ia pakai tak terjatuh.

Senyuman lebar tersaji di depan pintu ketika Win membukanya lebar-lebar. Bright dengan wajah semringahnya adalah sajian itu.

Mereka memang ada janji kencan sore ini. Walaupun Bright berkilah bahwa Win hanya menemaninya mengontrol transaksi minyak di dermaga.

Win sendiri tak berniat untuk memberikan penampilan terbaiknya. Tapi tetap saja, sehabis mandi tadi, dia hampir membongkar seluruh isi tasnya untuk mencari baju terbaiknya. Seperti mengibuli diri sendiri, Win mendoktrin diri bahwa dia ingin tampil sempurna demi menjerat Bright—bukan karena antusias akan berkencan.

"Wah, kau sudah siap rupanya."

Win merasa pipinya mendadak hangat. Memang dirinya tak bisa melihat pipinya sendiri, tapi jika melihat senyuman puas di wajah Bright, Win tahu kalau dirinya tengah tersipu malu sekarang. Dan Bright tampak menikmati itu.

Bright menarik lengan Win untuk keluar dari rumah. Dengan santai dia menutup pintu lalu kembali menarik Win. Win menyadari bahwa ia sudah gila karena hanya sibuk memperhatikan Bright. Dia bahkan tak sadar kalau Bright datang membawa sepeda. Untunglah dia tak harus berjalan kaki hari ini.

Kayuhan sepeda Bright begitu cepat. Dengan jahil dia memilih jalanan yang tak rata agar Win mau memegang pingangnya. Demi keamanan sendiri, Win pun melingkarkan tangannya pada pinggang Bright. Berharap pria tampan itu mau lebih berhati-hati ketika membawa sepeda.

"Bisakah lebih pelan sedikit?" Win berteriak karena suaranya memang harus melawan deru angin dan suara sahut-menyahut ombak yang menghantam batu karang.

"Kenapa?" Suara Bright tak kalah kencang.

Win agak ragu menjawab. Tapi dia sendiri juga tak tahan kalau terus-terusan begini. "Bokongku sakit," cicit Win dengan malu-malu. Dia merasa aneh untuk menceritakan keadaan bagian privasinya.

"Apa?" teriak Bright karena tak jelas mendengar suara Win.

"Bokongku sakit!" Kali ini cukup lantang Win berteriak.

Bright tanpa segan tertawa terbahak. Dia tetap mengayuh sepedanya dengan kencang. Tapi kali ini dia tampak menghindari jalan yang berlubang. Jika pun jalanan itu tak mulus dia akan memperlambat lajunya sebentar agar Win tak kesakitan.

Dengan Bright yang melajukan sepedanya secara teratur dan mulus, membuat Win jadi lebih tenang. Dia mulai merasa nyaman. Sebagai hasilnya, fokus Win terbagi. Aroma tubuh Bright yang terbawa angin memenuhi indera penciumannya. Aroma yang cenderung mirip kayu manis dengan campuran lemon. Win tak pernah sadar sebelumnya—atau lebih tepatnya memilih tak sadar. Mendadak aroma itu terasa seperti aroma terapi yang memberikan efek tenang dan membuat Win ingin selalu tersenyum.

Dengan senyuman yang terukir di wajahnya, Win memandangi punggung bidang milik Bright. Tangannya tergelitik untuk menyentuh punggung lebar itu.

Tepat ketika tangannya terulur Win merasa dirinya telah gila—lagi dan lagi. Beruntung rem dadakan sepeda Win membuat ia terbangun dari masa gilanya. Jidatnya sampai terhantuk punggung lebar Bright. Ada sisa aroma tubuh Bright yang menempel di hidungnya tanpa sopan santun.

Kekehan Bright terdengar. Entah kenapa suara itu terdengar merdu. Win bahkan merasa malu ketika Bright menertawainya.

"Wah, Dokter Win juga datang? Apa aku mengganggu kencan kalian?"

Itu Harit. Senyuman lebar dengan sorot mata meledek terpajang di wajahnya. Alisnya sibuk naik turun dengan pipi yang membulat seperti moci.

Bright hanya tersenyum. Dia menoleh ke arah Win. "Kau tunggu sebentar, ya. Aku periksa itu dulu," ucapnya sambil menunjuk kapal kecil yang tampak berisi beberapa barang. "Kau bisa duduk di situ." Bright menunjuk sisa patahan kayu panjang yang bisa ia duduki.

Win mengangguk. Tanpa dirusuh dua kali dia langsung duduk di sisa patahan kayu itu. Sepertinya batang pohon yang sudah tua dan mati. Sambil menikmati sepoi angin, dia menatap kepergian Bright yang melangkah bersama Harit.

Jika hanya seperti ini, kenapa Bright minta ditemani? Tempat ini bahkan lebih dekat dari rumahnya. Jika dia menyusul Win, dia harus memutar sedikit. Entah apa yang dipikirkan Bright. Jika Win berada di posisi Bright, sudah tentu dia tak akan menjemput Win. Hanya buang-buang energi dan buang-buang waktu.

Ya, Walaupun sebenarnya Win juga tak keberatan diajak ke sini. Dia bisa melihat indahnya dermaga yang sebelumnya pernah ia datangi namun terhalang gelapnya malam. Tapi tetap saja, kalau dia ada di posisinya Bright, dia tak akan menjemput.

Win masih melihat Bright dan Harit yang sibuk di ujung dermaga. Pria itu tampak serius berbicara dengan beberapa awak kapal yang membawa pasokan dari kota untuk pulau kecil ini.

Tangan Win otomatis membalas ketika Bright tersenyum dan melambai ke arahnya. Senyuman manis yang tak dipaksakan bahkan terpajang di sana. Setelah tersadar, dia kembali merasa bodoh.

Dia terus membathin. Bagaimana bisa teman-temannya menjalankan misi. Win hampir menyerah. Dia hampir tak pernah merasa hangat seperti saat di sini. Terlebih karena ada kegalauan yang berkaitan dengan Bright.

Misi ini berat bagi Win.

"Dokter Win!"

Teriakan Harit seperti memecah balon lamunan yang menggelembung di kepala Win. Harit tengah berlari ke arahnya.

Win menelan ludah.

"Apa kau betah di sini?" tanya Harit sambil menyodorkan kelapa yang sudah dipapas bagian atasnya dan diberi sedotan.

Win tak menjawab. Pertanyaan Harit barusan terasa seperti jebakan. Dia memilih meminum kelapa yang Harit berikan tadi.

"Harit, jangan ganggu dia." Beruntung Bright datang tak lama kemudian. Dengan mudah dia mengalihkan perhatian Harit.

"Aku tak mengganggunya. Hanya bicara sedikit, kok!" Harit bahkan menggerakkan kedua telapak tangannya. Menyangkal mati-matian tuduhan Bright.

Bright duduk di samping Win. Dengan tak tahu diri dia meminum air kelapa yang tadi Win pegang. Dari sedotan yang sama!

"Memangnya kalian membicarakan apa?"

Bright memang bertanya pada Harit. Namun matanya terus menatap Win. Win sampai salah tingkah dibuatnya.

"Win bilang dia menyukaimu."

Mata Win terbeliak. Refleks dia menoleh ke arah Harit. Dia tak pernah mengatakan hal semacam itu. Dia bahkan tak menjawab pertanyaan Harit tadi. Bisa dibilang Win tak mengatakan apapun pada Harit.

Bright terkekeh. Dia berdiri lalu mendorong Harit untuk pergi. "Dia tak mungkin mengatakan itu. Menyebut namaku saja dia enggan." Bright menoleh ke arah Win sebentar lalu menggerakkan tangannya seolah mengusi Harit. "Kalau berbohong tolong sedikit lebih pintar."

Harit menurut. Sambil meledek sekali lagi kalau Win mengatakan menyukai Bright—dia berlari ke arah mobil bak yang menganggkut barang-barang dari kapal.

Seperginya Harit, Bright kembali duduk di samping Win. "Apa benar?" tanya Bright.

"Apanya?" Win malah balas bertanya.

Bright tersenyum. Dia urung untuk membahas ledekan Harit. Dia memilih menatap Win yang tampak lucu ketika menyedot air kelapa.

Merasa ditatap, Win pun menoleh. Benar saja, Bright tengah menatapnya.

Win yang salah tingkah memilih meletakkan kelapa yang tadi ia pegang di tengah-tengah. Tepat antara dirinya dan Bright. Dan Bright melihat itu dengan jelas. Dia menangkap pesan yang Win sampaikan. Dia ingin Bright menjaga jarak. Karena terlalu dekat tak baik untuk hatinya.

"Jika kau berhasil menyusun lima batu dan batu itu tetap utuh sampai keesokan harinya, konon keinginanmu akan terkabul." Bright merunduk untuk mengambil beberapa batu.

Win hanya diam. Ia ikut bergerak ketika Bright berjalan ke ujung patahan kayu yang mereka duduki.

"Benarkah?" tanya Win sambil ikut berjongkok.

Bright mengangguk.

"Permintaan apapun?"

Bright kembali mengangguk. "Itu yang dipercayai di pulau ini. Mungkin sedikit lucu bagimu." Bright memberikan dua batu pada Win. Setelah itu dia meletakkan batu yang paling lebar di ujung patahan kayu. "Ayo letakkan."

Win menurut. Entah kenapa hal seperti ini tampak menyenangkan dan membuatnya antusias. Dia terbiasa mendengar hal-hal teoritis yang dibuktikan dengan ilmu. Hal-hal seperti ini baru dan membuatnya terasa ringan.

Secara bergantian mereka menyusun lima batu menjadi satu tumpukan.

Win otomatis bertepuk tangan ketika Bright berhasil meletakkan batu paling atas. Lima batu itu dengan kokoh tersusun. "Wah, kau hebat!" puji Win dengan rasa antusias yang tulus. Ia pandangi lagi deretan batu itu. Satu tangannya bersiku pada lutut dan menumpu wajahnya. Dia tak sadar kalau Bright tengah menatapnya dengan lekat.

Tangan Bright terulur. Dia menangkup wajah Win dan memagut bibirnya tanpa izin.

Win yang kaget, refleks mendorong pundak Bright.

Bright mengerti. Dia berhenti memagut alat bicara Win. Masih dengan tangan menangkup wajah bersemu milik Win, Bright berkata, "Aku berdoa semoga kau mencintaiku." Tatapan matanya lurus, seolah menyampaikan bahwa ia sungguh-sungguh.

Win meneliti dengan lekat ekspresi wajah Bright. Tak ada gurat canda dan bualan di sana. Win mengatur napasnya sebentar. "Kuaminkan doamu..." Senyuman manis langsung terukir di wajah Bright. "...Phi Baii," sambung Win dengan wajah bersemu.

Bright tersenyum lebar sekali. Dia merasa kelewat senang dengan sapaan Win barusan. Dia berdiri lalu berteriak seperti pemain sepak bola yang berhasil mencetak gol. Dengan bodohnya ia berlari sebentar lalu berteriak lagi.

Win sampai terkekeh dibuatnya.

"Bright!!"

Mereka berdua serempak menoleh ke sumber suara.

Di tepi jalan tampak ayah dan ibu Bright dengan wajah yang entah kenapa tak seramah biasanya.

Win menelan ludahnya. Tiba-tiba dia merasa takut, sedih, dan tertekan secara bersamaan. Terlebih jauh di belakang orang tua Bright—di antara pepohonan dan pasti tak terlihat oleh mata manusia biasa, dia melihat Joss tengah menyeringai.

Seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah ia menunduk. Dan ketika menunduk, ia mendapati susunan batu yang tadi kokoh berdiri sudah jatuh berantakan.

Seketika itu juga Win ditampar kenyataan, dia datang ke pulau ini bukan untuk jatuh cinta.




 

=TBC=
 

Halo, semoga betah untuk singgah :)

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet