9: Pergulatan

BrightWin ― DEEPER

...

..

.

Kala itu matahari sore sudah mulai tenggelam. Layaknya pencoleng Bright mengendap-endap ketika sampai di rumah. Ia masuk dari pintu belakang yang memang dengan mudah dilepas kaitan pintunya.

Bunyi derit pintu membuatnya mematung. Aliran darahnya mendadak dingin. Ia menunggu sebentar sambil menahan napas. Berharap orang tuanya atau siapa pun itu tak mendengar.

Napas lega ia embuskan setelah beberapa waktu tak tampak tanda-tanda seisi rumah menyadari keadaannya.

Ia lanjut melangkah perlahan ke arah kamar Pluem sambil tetap memasang radar waspada. Beruntung kamar ponakannya itu terletak tak begitu jauh dari pintu belakang.

Setelah sampai di kamar, Bright melihat ponakannya itu sedang tertidur. Ia pandangi Pluem dengan lekat. Apa yang ia lihat sekarang akan dilihat oleh Gun nanti. Jadi dia dengan sengaja melihat jengkal demi jengkal sosok yang tengah tertidur lelap itu. Dia ingin melalui matanya ia bisa merekam dengan detail perkembangan Pluem saat ini. Ia juga mengedar pandang ke seluruh kamar Pluem.

"Phi ..."

Pandangan Bright beralih. Dengan cepat ia mendekat ke arah Pluem dan menaruh jari telunjuknya di depan bibir. "Sst!"

Pluem yang memang memiliki sifat tenang dengan mudah menurut. Ia sama sekali tak bersuara. Matanya mengikuti gerak-gerik Bright yang kini melangkah ke arah pintu kamar. Bright membuat celah kecil di pintu. Ia mengintip sebentar lalu menutup dan menguncinya.

Ketika melihat Bright mendekat, Pluem mengubah posisinya untuk duduk di tempat tidur. Ia menyenderkan tubuhnya ke bagian kepala tempat tidur. Tubuhnya yang gempal masih tertutup selimut putih sebatas pinggang.

Ketika Bright ikut duduk di kasur, Pluem langsung memeluknya. "Ke mana saja, Phi?"

Bright tersenyum. Ia balas memeluk Pluem dan mengelus rambut anak kecil itu.

Pluem melepas pelukan Bright. "Ayah dan Ibu kemarin panik."

Rasa bersalah sempat menghinggapi Bright. Bukan ia tak sayang dengan orang tuanya. Tapi jujur saja ia tertekan kalau demi memantaskan diri untuk jadi kepala pulau ia harus meninggalkan Win. Hatinya sudah memilih Win. Tak ada keraguan di dalamnya.

"Aku ada urusan sedikit." Bright menjawab Pluem dengan suara sekecil mungkin tanpa menghilangkan nada hangat di dalamnya.

"Lalu apa urusanmu sudah selesai?"

Mata Pluem membundar dan mengerjap sesekali. Dia tampak menggemaskan. Sebisa mungkin Bright merekam itu dengan matanya sebelum menggeleng. "Urusanku masih panjang. Aku ke sini karena merindukan adikku yang lucu ini."

Pluem terkekeh. Ia memeluk Bright sekali lagi.

"Mau main ke pantai?"

Pluem menggeleng. "Sebentar lagi malam, Phi." Ia sudah terbiasa patuh untuk tidak ke arah pantai saat malam hari. Memang jalanan menuju pantai cukup bahaya untuk anak kecil lalui.

Bright tersenyum lagi. Pluem memang selalu menjadi anak baik. "Ya sudah. Kalau begitu ayo kita mewarnai saja."

Pluem mengangguk. Dengan semangat ia melompat dari tempat tidur untuk mengambil buku gambar dan krayon miliknya. Setelah itu ia kembali ke tempat tidur dan langsung duduk bersisian dengan Bright. Ia membalik beberapa lembar kertas sampai menemukan gambar yang ia inginkan.

Bright mengusap kepala Pluem. Ponakannya itu memang menggemaskan. Rasa sedih dan prihatin membanjiri relungnya. Seandainya mungkin, ia ingin membawa Pluem untuk bertemu dengan Gun.

Namun sekarang bukan waktu yang tepat.

Nanti. Ya, nanti Win akan menghadiahkan Pluem untuk Gun.

"Phi, aku tahu kau ke sini bukan karena merindukanku."

Bright berhenti mengelus kepala Pluem. Dia mengembuskan napasnya. Jujur dia sempat lupa kalau Pluem bukan anak biasa.

Bright menggeleng sambil tersenyum. "Siapa bilang? Aku sungguh merindukanmu."

Pluem hanya diam. Dia menatap Bright masih dengan mata lugunya. Tangannya memainkan salah satu batang pewarna untuk diputar-putar di jemarinya.

"Dengarkan aku, Pluem." Bright menarik napas sebentar. Ia berusaha mencari kalimat yang pas untuk bicara dengan Pluem. "Kau berhentilah membaca pikiran ya. Itu berbahaya."

Pluem tak langsung menjawab. Ia hanya memasang wajah heran.

"Barusan kau salah membaca pikiranku. Bisa jadi kau akan salah membaca pikiran lagi. Dan itu akan berbahaya jika kau ungkapkan. Paham?"

Pluem mengangguk.

"Apa kau memberitahu Chimon dan Fiat kalau kau bisa membaca pikiran?"

Pluem dengan cepat menggeleng. Ia menggaruk pipinya yang tanpa sengaja bersentuhan dengan pewarna yang ia pegang. "Ayah dan Ibu bilang itu kekuatan rahasia yang dewa titipkan padaku."

Bright mengangguk membenarkan pikiran yang sudah menempel pada ponakannya. "Benar. Kau tidak boleh bilang siapa-siapa ya. Hanya aku, ayah, dan ibu yang boleh tahu."

Masih dengan wajah polosnya, Pluem mengangguk.

"Kau anak pilihan dewa. Jadi jangan buat dewa marah, ya!"

Sekali lagi Bright mengelus kepala Pluem. Dia perhatikan lamat-lamat Pluem yang sudah mulai mewarnai.

Setidaknya ini bisa jadi hadiah untuk Gun sebelum dia dan Win benar-benar pergi meninggalkan pulau ini.

 

 

=0_0=

 

 

"Bright!"

Suara panggilan ceria itu menghentikan langkah Bright. Dia menoleh dengan wajah panik. Ia sudah dekat jalan masuk dengan hutan. Dan sangat mengecewakan kalau rencana ia kembali ke balik bukit harus gagal.

Bright mengembuskan napas lega. Tangannya terulur untuk membalas pelukan seseorang yang tengah memeluknya kini.

"Hei, kau mengagetkanku, Harit."

Bright menatap Harit yang berhias senyum semringah. Orang kepercayaan rumahnya itu membawa satu keranjang ubi. "Dari siapa?"

Harit ikut menatap keranjang yang ia bawa. "Ooh, ini dari ibunya Chimon. Tadi aku membantu membetulkan pagar rumahnya." Tatapan Harit beralih tepat ke mata Bright. "Kau dari mana saja?"

Bright mendesah kasar. Ia menepuk pundak Harit beberapa kali. "Aku ingin memperjuangkan pilihanku," jawab Bright dengan serius.

Harit tampak bingung. "Apa ada hubungannya dengan Dokter Win? Dia juga sudah beberapa hari ini tak ada."

Bright ragu harus menjawab apa. Ia berpikir sejenak. Jika diingat-ingat lagi, memang hanya Harit yang benar-benar mendukung hubungannya dengan Win. Harit juga dekat dengan Win. Beberapa kali Harit singgah di pondok dan klinik Win untuk mengantarkan barang pesanan atau sekadar camilan.

Akhirnya Bright mengangguk.

Wajah Harit berubah semringah. Dan itu menular pada Bright.

"Aku pikir kau kabur karena bertengkar dengan orang tuamu."

Bright tak mau mengakuinya. Salah satu alasan jelas memang itu. Tapi alasan paling berat adalah perasaannya pada Win. Bright tak suka karena berada di pulau ini terus menghadirkan perasaan was-was dengan gerak yang terbatas.

"Lalu sekarang kau mau mana?"

Tanpa ragu Bright menjawab. Reaksi harit yang dengan jelas mendukungnya membuat Bright yakin kalau ia bisa mempercayai Harit. "Ke rumah Gun."

Wajah semringah Harit seperti ditendang tiba-tiba. "Gun?" wajahnya terheran. Kepalanya miring ke kanan lalu ke kiri dengan mulut yang separuh terbuka.

Bright sampai terkekeh melihat wajah heran Harit. Ia lupa kalau seluruh penduduk direkayasa memori oleh Gun ketika Jumpol meninggal dan dia pergi mengasingkan diri. Hanya dirinya dan orang tuanya yang menyimpan memori utuh pulau ini, termasuk tentang Gun.

Terlebih Harit memang datang ke pulau ini setelah kejadian itu berlalu. Wajar kalau ia tak tahu siapa itu Gun.

"Dia temanku. Tinggal di balik bukit sana. Untuk sementara aku tinggal di rumahnya."

Harit mengangguk cepat. "Oke-oke. Lain kali aku singgah, ya! Nanti aku bawakan camil—tenang saja, akan kusimpan rahasia ini!" Dengan cepat Harit mengatakan itu ketika Bright tampak ingin mengingatkannya untuk menjaga rahasia. "Lagipula temanku di pulau ini hanya kau dan Win. Aku mendukung kalian!"

Bright merasa lega. Ia menerima separuh keranjang ubi yang Harit serahkan. Untuk Win katanya.

Pria ceria itu dengan santai menadah setengah ubi di bajunya bagian perut. Ia juga menyerahkan senter yang ia pegang untuk Bright bawa.

Sambil melambaikan tangan ia pergi.

Bright mengembuskan napas lega. Sekilas ia melihat ke arah langit. Bulan purnama sedikit lagi akan sempurna. Ia tak sabar untuk berkencan dengan Win di tepi sungai, sambil memakan ubi yang Harit berikan.

 

 

=0_0=

 

 

Win mematut dirinya sekali lagi. Ia meminta Gun untuk merapikan rambutnya dan memastikan bahwa ia sudah tampil dengan baik.

Berulang kali ia tertawa sendiri karena membayangkan kencannya dengan Bright.

Ia berjalan ke arah belakang rumah. Kepalanya mendongak untuk mengintip bulan purnama yang sudah sempurna berada di tengah langit. Betul-betul indah. Ada hamparan bintang juga di sana.

"Indah bukan?"

Kepala Win tertoleh. Gun sudah berdiri di sampingnya. "Mhm. Pemandangan yang tak pernah kita dapatkan saat di markas Profesor."

Gun mengangguk. Ia menemani Win untuk melihat bulan dan bintang. Mereka larut dengan pikiran masing-masing. Campur aduk antara bahagia, antusias, dan mengantisipasi. Win dengan pikirannya tentang Bright, dan Gun dengan pikirannya tentang Pluem. Sebentar lagi ia bisa melihat Pluem, walau melalui mata Bright.

Embusan napas lega keluar dari mulut Win. Dia otomatis tersenyum ceria ketika mendengar ketukan pintu. "Itu pasti Bright!"

Gun ikut tersenyum. Teman kecilnya itu tampak begitu jatuh cinta.

Separuh berlari, Win melangkahkan kaki untuk membuka pintu. Dia tahu bahwa Bright tidak akan melanggar janjinya. Bright pasti datang.

"Ba-"

Kalimat Win terputus, senyuman di wajahnya pun memudar.

"P-profesor ..." lirih Win separuh tak percaya.

Langkah kakinya otomatis mundur. Ia ketakutan. Keringat dingin langsung menjalar ketika melihat seringai tajam di wajah Profesor.

Namun seketika darah Win mendidih. Seperti ada yang mencubit jantungnya. Di belakang Profesor, tampak Joss dan Saint yang sedang menggiring Bright. Wajah Bright babak belur. Baju abu-abu mudanya terhias bercak darah yang mungkin menetes dari wajahnya.

Win melangkah lebar. Ia menabrak Profesor. "Lepaskan dia!" teriak Win lalu berlari ke arah Bright.

Joss dan Saint menghempaskan tubuh Bright ke tanah. Tubuh sosok yang Win cintai itu dibiarkan tergeletak di rumput, bagai bangkai binatang yang tak berarti. Mereka sama sekali tak peduli dengan Bright yang kini terbatuk darah dan kesusahan mengatur napas.

Hati Win begitu teriris.

Langkah Win terhenti. Saint dengan kemampuan telekinesisnya menghempas tubuh Win ke dinding rumah.

Profesor melirik Win dengan senyuman sinis. "Jika tugasmu sudah selesai, seharusnya kau pulang," ucap profesor sambil mengusak surai hitam Win lalu menjambaknya kasar.

Kilat amarah memancar di mata kelam Win. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa mereka melacak keberadaan Win dan Bright. Memang Win yakin profesor tidak akan tinggal diam. Tapi dia masih tak habis pikir bagaimana mereka bisa berhasil.

"Aku memang tak bisa membaca pikiranmu. Tapi apa kau lupa? Walau sulit dan memakan waktu, aku bisa membaca pikiran Bright?"

Joss bicara seolah ia masih bisa membaca pikiran Win.

Win hanya diam. Dia tersungkur ke tanah ketika Saint tak lagi mengunci gerakannya. Dia terbatuk sebentar sebelum melindungi perutnya ketika Profesor menggerakkan kaki untuk menendangnya. "Memang sulit melacakmu. Tapi jangan kira aku bodoh."

"Prof ... cukup!" Bentakan Saint menghentikan tendangan Profesor.

Win langsung berlari ke arah Bright. Sama sekali tak peduli dengan profesor yang masih berdiri di depan pintu rumah dan menatap marah ke arah Gun.

"Oh ... pengkhianat ini masih hidup rupanya."

Joss terkekeh sambil melangkah. Nada pura-pura kaget nan meledek sangat jelas terdengar.

"G-Gun ..." Suara Saint terdengar benar-benar kaget. Walaupun punya tujuh kemampuan seperti Win, Saint tak bisa membaca pikiran layaknya Joss.

Dengan Bright dalam pelukannya, Win menatap Saint yang kini terbalut wajah kaget. Mata Saint membeliak lebar. Sama seperti Win ketika melihat Gun pertama kali.

"Tolong aku, Saint," bisik Win.

Saint teralih untuk melihat Win. Win memberikan tatapan memelas. Dia tahu kelebihan Saint bisa mendengar bisikan. Telinganya setajam elang.

Profesor dan Joss pasti tak mendengar itu. Tapi Saint mendengarnya. Terbukti dengan matanya yang gamang dan riak wajahnya yang kalut dan was-was. Dia tampak begitu senang karena sahabatnya, Gun, masih hidup. Tapi dia juga sedih, karena harus bertikai seperti ini.

Win memanfaatkan kegundahan Saint.

"Saint, kumohon. Selamatkan aku dan ayah anakku."

Lagi-lagi Saint mendengar ucapan lirih Win. Win mengusap perutnya sambil memeluk dan menciumi kening Bright.

Saint menutup mulutnya yang terbuka karena kaget. Setetes air mata mengalir di matanya.

"Aaak!"

Jeritan Gun berhasil merobek tatapan mata Win dan Saint.

Tampak di sana. Joss tengah mencekik Gun.

"Joss!" Dengan teriakan penuh emosi, Saint mengarahkan tangannya ke arah tubuh Joss. Joss terpental, menjauh dari Gun yang juga sempat ikut terpental.

Profesor menoleh tajam ke arah Saint. "Apa-apaan kau? Membela pengkhianat?"

Saint tak menyahut. Dia melangkah mendekati Gun lalu memeluk sahabatnya itu. Gun terkulai lemas. Matanya terpejam. Napasnya hilang.

Win hanya bisa menangis melihat Saint yang juga menangis sambil memeluk tubuh Gun yang terkulai. Gun memang sudah begitu lemah bahkan sebelum pertikaian ini. Hempasan kuat barusan sudah begitu cukup untuk meregang nyawanya. Napasnya hilang dalam hitungan detik.

"Saint, awas!"

Teriakan Win barusan terlambat disadari Saint. Kaki profesor sudah tepat menginjak Saint di bagian punggung. Tubuhnya terjerembab.

Joss yang sudah tak bisa membaca pikiran Saint dan Win pun seperti mati langkah. Dia hanya bisa menghampiri Saint lalu memukulinya. Tentu Saint tak diam. Dia kembali membuat tubuh Joss terpental dengan kemampuannya.

Melihat Joss yang tak berdaya Win berlari setelah mengecup sebentar kening Bright. Dia merasa memiliki kesempatan untuk membalas kebusukan Joss.

Ia menghampiri tubuh Joss yang tersungkur beberapa meter dari tubuh Saint. Dengan cepat Win membuka sarung tangannya. Ini saat yang tepat untuk memakai kekuatan negatifnya.

Dengan buncahan amarah dan detak jantung yang menderu, telapak tangan kanan Win yang tak terlapisi sarung tangan pun berubah menyala. Merah menyala bak bara api di tungku perapian dengan asap mengepul di sekitarnya.

"Kau pantas menerima ini, Joss," ucap Win lalu menyentuhkan telapak tangannya ke wajah Joss.

Jerit kesakitan Joss tak membuat Win gentar. Win memeilih memejamkan matanya. Dia tak suka melihat orang kesakitan. Tapi dia juga tak terima kalau dirinya dan sahabatnya harus tersakiti karena Joss. Apalagi Bright. Joss dengan kurang ajar menyakiti Bright. Joss pantas mati.

"Sudah, Win!"

Teguran Saint tak membuat Win berhenti. Dia terus menempelkan telapak tangan panasnya ke wajah Joss hingga tubuh itu menghitam bak arang.

"Win! Kau akan membunuhnya!"

Karena Win tak kunjung mendengar, Saint pun kembali memakai kekuatannya untuk menggeser tubuh Win.

Win terpental. Dia langsung tertunduk, menangis, sambil memeluk perutnya sendiri.

Joss sudah tak bernyawa. Sesungguhnya Win tak suka menggunakan kekuatannya untuk membunuh. Cukup orang tuanya saja yang jadi korban, ketika ia belum tahu cara mengendalikan kekuatannya dulu.

Dia tak suka kalau Bright melihat sisi buruknya. Win tak mau kalau Bright menganggapnya sebagai monster.

Bright?

Oh ya... Bright.

Mata Win beralih ke posisi tubuh Bright tadi. Matanya berubah nyalang dalam hitungan detik. Tak ada tubuh Bright di sana.

"Kau kira semudah itu berkhianat dariku?

Kepala Win tertoleh. Tepat di depan matanya, tampak Bright yang tengah dicekik oleh profesor. Kaki Bright separuh melayang tak menyentuh tanah. Kepalanya terkulai tak berdaya. Kedua tangannya mencengkram tangan kiri profesor yang tengah mencekiknya.

Win berusaha bangkit, dia berusaha melawan. Ia menghentakkan kakinya. Membuat tanah di hadapannya retak hingga posisi berdiri profesor.

Tapi, sepintar apa pun Win, dia tak akan lebih pintar dari profesor. Profesor dengan kekuatannya dalam sekejap membuat Bright menghilang.

"BAAAAAIIII!!"

Teriakan Win tak bisa mengubah apapun. Ia tersungkur lalu meraung sambil memukuli tanah. Seisi markas tahu, selain merekayasa gen dengan otak jeniusnya, profesor memang memiliki kekuatan untuk menghilangkan sesuatu.

Begitu pula nasib Bright.

Hilang begitu saja karena kekuatan sang Profesor.

 

 

=TBC=

Sesak napas pas nulis ini. Pusing pala tante. Hehehe.

Masih betahkah? Jangan lupa singgah ke cerita BrightWin yang satu lagi ya. Judulnya "Pejantan Tangguh" dengan genre fluff.

Ada give away dengan ketentuan sebagai berikut. Good luck yaa... :)

:)        

 

Saint

Saint

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet