[end] 10: Pugar

BrightWin ― DEEPER

...

..

.

Enam tahun kemudian.

 

Win menghentikan kayuhan kakinya pada pedal sepeda. Di keranjang depan sepedanya, tampak sekantung buah peach dan satu kotak makan. Sepedanya ia posisikan untuk bersandar di sisi tiang listrik.

Setelah itu dia melangkah untuk mengetuk pintu rumah sederhana yang terbuat dari kayu.

Pintu itu terbuka.

"Hei, kau lama sekali!"

Win terkekeh. "Maafkan aku, Saint." Win langsung menyodorkan isi keranjang sepedanya ke tangan Saint.

Setelah itu dia kembali duduk di atas sepedanya.

"Menjemput Lun?"

Win mengangguk. Setelah mendengar ucapan agar berhati-hati dari Saint, Win pun mengayuh sepedanya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Lun, Win menikmati suara debur ombak yang menghantam bebatuan batas pantai. Sesekali sahut menyahut suara burung dan angin yang bertiup membuat Win merasa tenang.

Jubah dokter berwarna putih miliknya berkibar. Membuat Win separuh merasakan apa itu yang namanya terbang.

Setelah kejadian enam tahun lalu, Win memilih untuk tak kembali ke markas Profesor. Dia tak mau menjadi orang spesial. Dia ingin menjadi manusia biasa. Memang dia sempat beberapa kali dipaksa untuk kembali. Tapi Win dengan kekuatan tangan api yang ia miliki tak kesulitan untuk mengusir orang-orang kepercayaan Profesor.

Dan di sinilah ia, kembali menjalani kehidupan di pulau, membantu penduduk pulau dengan tangannya. Tangan ajaib yang bisa menyalurkan energi positif untuk menyembuhkan penyakit ringan dan berubah menyeramkan jika jantungnya terpacu dengan amarah.

Beruntung orang-orang di pulau ini tak ada yang memiliki penyakit serius. Hanya flu biasa, terkilir, atau luka robek karena tersangkut kail jala ikan atau bahkan terluka karena alat berladang.

Semua bisa Win sembuhkan dengan tangannya.

Semua penduduk masih menganggap Win dokter yang baik.

Mereka bahkan tak curiga ketika Win hamil. Mereka hanya menganggap Win gendutan. Dengan kilah berhasil diet, dia kembali menjadi Win yang kurus.

Lagi-lagi tak ada yang curiga.

Bahkan ketika Bright menghilang, semua penduduk percaya bahwa Bright kabur untuk menikah dengan orang pilihannya. Karena memang itulah jawaban orang tua Bright.

Seluruh penduduk desa juga dengan mudah percaya bahwa Lun adalah anak Win dengan istrinya di kota. Bercerai adalah dalihnya.

Win dan Saint kini hidup bertetangga. Win juga membuat alasan untuk itu. Lagi-lagi orang-orang dengan mudah percaya.

Ya, Saint juga akhirnya ikut meninggalkan markas professor hampir dua tahun setelah kejadian pertikaian di rumah Gun. Saint mengajak anaknya untuk turut serta dan memutuskan menjadi asisten juru masak di pulau ini. Mengaku pernah bertugas di restoran terkenal, seluruh penduduk terkagum bahkan saat Saint asal menyebut nama masakan.

Orang tua Bright dengan tangan terbuka menyambut Win. Mereka menyanyangi Win. Dan untuk kebaikan bersama, terlebih dirinya dan Lun, Win memutuskan tak menceritakan apapun tentang kejadian enam tahun lalu.

Menyoal profesor, Saint dengan kemampuan hipnotisnya membuat profesor tak terlalu banyak bicara ketika Win dan Saint memutuskan tak kembali ke markas. Tentu itu setelah pergulatan lebih dari dua belas purnama. Win sempat merutuk, seandainya sedari dulu Saint sadar bahwa hidup dengan manusia normal tidaklah buruk, tentu dia sudah menghipnotis profesor.

Bukan hanya mereka berdua, beberapa mutagen juga memutuskan untuk kembali hidup di tengah manusia biasa. Ingin merasakan hidup normal adalah cita-cita hampir seluruh isi markas.

Win sadar, profesor awalnya memang berniat baik. Profesor hanya ingin melindungi manusia-manusia dengan kekuatan spesial seperti Win. Namun, ambisi profesor semakin tak terkendali. Profesor mulai mengadakan rekayasa gen untuk menambah kekuatan spesial pada tiap orang di markas. Ada yang bisa berkembang seperti Win, Saint, dan Gun, namun ada pula yang tak bisa direkayasa seperti Joss dan termasuk profesor sendiri.

"Papi!"

Teriakan Lun membuat Win mengalihkan atensinya pada anak semata wayangnya. Buah cintanya bersama Bright.

Dengan seragam kuning dan tas punggung berwarna merah, Lun berlari menghampiri Win yang masih mengayuh sepeda, sedikit lagi sampai di depan Lun.

Ada satu hal yang menangkap mata Win. Seekor kucing yang mengekori anaknya. Lun yang menyadari tatapan Win pun menampakkan cengiran lebar. "Namanya Meng!"

Meng?

Lun dengan tatapan memelas, memohon agar Win mengizinkannya membawa Meng pulang. Katanya Papa memberikannya.

Papa?

Win pun heran. Mungkin guru baru di sekolah lebih memilih dipanggil 'Papa', ketimbang 'Pak Guru'. Memang beberapa guru meminta untuk dipanggil dengan sebutan yang mereka sukai. Bahkan ada guru yang meminta dipanggil dengan sebutan presiden. Hanya sebutan iseng agar murid-murid merasa akrab.

Win meletakkan Meng di keranjang depan sepedanya. Beruntung kucing itu tak rewel. Dia malah tampak senang ditempatkan di keranjang depan. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Lun bercerita kalau guru baru yang ia sebut Papa itu membagikan permen di sekolah. Tapi, karena Lun telat, Lun tak mendapat permen.

Bukannya kecewa, Lun malah tertawa girang. Dia senang karena tak mendapat permen. Pasalnya, dengan kehabisan permen, Lun mendapat seekor kucing yang lucu.

Win tersenyum. Apa pun yang membuat Lun senang, pasti membuatnya senang juga.

Sesampainya di halaman rumah, Meng melompat. Lun pun ikut melompat lalu berlari mengejar Meng. Anak kecil itu tak sadar bahwa yang ia lakukan barusan membuat Win kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.

Win hanya terkekeh. Lun tengah berteriak memanggil Meng sambil berlari.

Win tak tampak jelas ke mana Meng berlari. Yang jelas, Lun sekarang berlari ke arah rumah Saint. Mungkin Meng juga berlari ke arah sana. Mencium bau makanan sepertinya.

Win menyimpan sepedanya di teras rumah. Rumah singgah yang dulu ia pakai saat melakukan misi seratus hari. Rumah yang menjadi saksi kisah cinta dengan Bright berkembang dalam waktu yang begitu singkat, namun membekas begitu dalam.

Setelah sepedanya terposisi dengan baik, Win melepas jubah dokternya. Ia tatapi sepeda itu. Sepeda yang pernah ia pakai saat kencan dengan Bright. Dia mendesah kasar lalu berusaha tersenyum. Ia menyampirkan jubah dokternya di gagang pintu rumah. Dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal selop kayu.

Langkah kakinya berlanjut ke arah tempayan penampungan air hujan. Dia menciduk air untuk mencuci muka. Dia juga meminum air itu sedikit. Rasa dahaganya langsung hilang.

Kakinya terasa lebih ringan untuk melangkah ke arah rumah Saint. Hanya sekitar belasan langkah, dia sudah sampai. Namanya juga bertetangga.

Begitu sampai di depan rumah Saint langkah Win terasa berat. Di hadapannya tampak Lun yang tengah memeluk seseorang dengan wajah semringah. Orang itu membelakangi pandangan mata Win. Hanya tubuh bagian belakangnya yang bisa ia lihat.

Di sisi lainnya, tampak Saint yang melangkah ke arah Win. Win memberikan tatapan penuh tanya pada Saint. Alisnya bertaut semakin dalam ketika Saint hanya tersenyum sambil menepuk pundak Win lalu melangkah ke luar rumah. "Kuberi kalian waktu."

Win mengalihkan perhatiannya kepada sosok yang Lun peluk. Desir hangat hadir di dalam tubuh Win. Hanya pundaknya saja yang tampak. Namun pundak itu berhasil membuat Win merasakan hal lain.

Dia tak mau bermimpi di siang bolong. Tapi ... pundak itu begitu mengingatkan pada seseorang.

"Papa, itu Papi."

Papa? Tanya Win dalam hati.

Kalimat Lun barusan berhasil membuat sosok itu menoleh.

Aliran darah Win mendadak menjadi begitu cepat. Seluruh sendinya terasa lemas. Dalam hitungan detik dia tersungkur. Terduduk lemas dengan mata menatap nanar sosok yang Lun panggil dengan sebutan Papa.

"Papi!"

Jerit kaget Lun menjadi hal terakhir yang Win dengar dengan jelas.

Dengan pandangan sedikit kabur, sosok yang Lun panggil dengan sebutan Papa pun melangkah lebar. Sosok itu menopang tubuh Win dalam pelukannya.

"Hei, beginikah caramu menyambutku?"

Win mengerjapkan matanya. Dia tak mau kerinduannya membuat khayal mimpi di siang bolong. 

Tapi kekehan sosok itu begitu sama. Win yakin ia sedang tak bermimpi. "B-Baii?" Win seperti tak yakin dengan ucapannya barusan.

Sosok itu kembali terkekeh lalu tersenyum.

Persis ... Win yakin itu Bright-nya. Senyuman yang menyerupai seringai serigala. Tak ada pembandingnya.

Hanya Bright yang menghasilkan suara aneh ketika terkekeh. Hanya Bright yang deret giginya terpampang luas ketika terkekeh. Dan hanya Bright yang menampakkan lekuk seperti serigala ketika tersenyum.

"Ya ... ini aku, Win."

Air mata Win mengalir deras. Untuk sejenak ia tak peduli dengan Lun yang juga ikut menangis karena melihat Papinya menangis. Dia memeluk Bright dengan erat. Tak menyisakan jarak satu senti pun.

Begitu banyak yang Win ingin tanyakan. Namun Bright dengan cepat melumat bibirnya. Mereka melepas rindu yang sudah terpendam enam tahun lamanya. Win begitu rindu dengan bibir Bright. Bright pun rindu dengan bibir Win.

"B-bagaimana bisa?" tanya Win begitu alat bicara mereka terpisah.

Bright tersenyum. "Kenapa kau tak kembali ke markas?"

Win menggeleng. Bukan itu yang ia ingin dengar. "Jawab aku dulu!" Win bersikukuh dengan suara yang justru terdengar merengek.

Win mendengar Saint memanggil Lun. Dengan tatapan sedih Lun menatap Win. "Papi kenapa?"

Bright menoleh ke arah Lun. Ia mengusap kepala Lun sebentar lalu mengecup puncak kepalanya. "Lun mainlah sebentar dengan Paman Saint, ya!"

Lun mengangguk dengan ragu. Ia melangkah. Sesekali ia menoleh untuk memastikan bahwa Papinya baik-baik saja.

"Baii ... jawab aku." Win mencengkeram bagian depan baju Bright. Ia minta diperhatikan.

Bright terkekeh. "Apa kau mau terus di sini? Ayo kita masuk dulu."

Win menggeleng. Ia memeluk Bright dengan erat. Bright sampai terduduk. "Aku tak mau bergerak sebelum kau menjawabku."

Lagi dan lagi Bright terkekeh. Ia memeluk Win sambil mengusap kepalanya. "Profesor menyesali apa yang sudah dia lakukan."

Win langsung mengerti, ini pasti efek hipnotis Saint.

"Dan rasa penyesalan Profesor, membuat apa pun yang menghilang karena sentuhannya kembali muncul."

Win melepaskan pelukannya. Ia menatap Bright dengan saksama. Wajah itu masih tampan. Sama seperti enam tahun lalu.

"Sekitar lima tahun lalu aku kembali ke depan rumah Gun. Mungkin kau tak sadar, tapi waktu itu Profesor menjemputku dan membawaku ke markas. Dia merawatku."

Win mendesah kasar. Sepertinya ia ingat kejadian itu. Waktu itu dia langsung kabur karena mengira professor akan kembali memaksanya untuk pulang ke markas.

"Setelah aku pulih, aku meminta untuk kembali ke pulau. Rasa rinduku kepadamu seperti sudah tak terbendung."

Win tanpa sadar menangis. Tatapan matanya tak pernah lepas dari wajah Bright.

"Berterima kasihlah kepada Profesor Harit. Ternyata dia tak sejahat itu," lanjut Bright lalu tersenyum.

Win ikut tersenyum puas.

Harit, yang menjadi tangan kanan orang tua Bright, yang menjadi pembantu pengurus pulau, adalah sang Profesor yang menghabiskan puluhan tahun untuk mengamati penduduk pulau ini.

Meski tak terlihat, Harit adalah sosok mutagen yang berhenti tumbuh di umur 25 tahun. Tentu orang tak akan percaya kalau umur sebenarnya sudah hampir seabad.

Tangan Bright terulur untuk menghapus air mata Win. "Ayo kita temui orang tuaku," ucap Bright masih menatap Win. "Kita ajak Lunde."

Win mengangguk.

"Mereka pasti senang saat tahu Lunde adalah cucu mereka."

Sempat ragu, namun akhirnya Win kembali mengangguk. Masih dengan derai air mata bahagia.

 

 

=0_0=

 

 

Lunde menolehkan kepalanya.

Baru saja namanya diteriakkan dengan lantang oleh sosok yang kini berlari lurus ke arahnya, Pluem. Setelah jarak benar-benar minim, Pluem yang baru saja selesai lari pagi, bertanya tujuan Lunde.

"Mau ke lapangan," jawab Lunde sambil mengelus Meng di gendongannya.

Pluem menaikkan alisnya. Bingung karena Lunde jalan sendiri tanpa ditemani orangtuanya. Karena tak mau sepupunya itu kenapa-napa, ia pun memutuskan untuk menemani Lunde. Lagipula tujuan mereka sama, sarapan di tanah lapang. Tradisi yang masih berlanjut di desa ini.

Sesampainya di tujuan, Lunde langsung berlari ke pelukan Kakek yang membentangkan tangan dengan senyum semringah. Pluem langsung duduk bersama Chimon dan Fiat setelah menyapa nenek yang sedang memilah makanan untuk diletakkan di piring kakek.

Setelah sadar Lunde sendirian, kali ini Kakek dan Nenek yang keheranan. Alasannya sama seperti Pluem, tak pernah-pernah Bright dan Win melepas Lunde jalan sendirian.

"Di mana Papimu?" tanya Nenek sambil melongokkan kepalanya menoleh ke berbagai arah.

Lunde menjawab bahwa Papi ada di rumah, tak ikut sarapan karena ada yang diurus. "Lalu Papamu?" Nenek lanjut bertanya sambil mengusap kepala Lunde yang duduk di pangkuan Kakek.

Lunde terdiam. Dia memejamkan matanya sebentar. Kakek dan Nenek menunggu dengan sabar. Lunde sedang melihat keberadaan Papanya dengan kemampuan jelajah ruang yang ia punya.

Beberapa saat kemudian mata Lunde terbuka. Dengan santai dia menjulurkan tangan mengambil sebutir anggur lalu mengunyahnya. "Phapah shedhangh mhembhanthuh phapih, Nhekh."

Dua orang berumur uzur itupun keheranan. Bukan karena ucapan Lunde yang sedikit tak jelas. Tapi, "apa yang mereka lakukan?" Nenek kembali bertanya.

Lunde dengan polos menjawab, "barusan kulihat Papa sedang membantu Papi membuka baju di kamar."

Untuk kesekian kalinya, orang tua Bright hanya bisa menggelengkan kepala. Masih sering heran dengan kenyataan bahwa anak dan menantu kesayangan mereka itu memang luar biasa. Bisa-bisanya mereka melepas Lunde demi main kuda-kudaan di pagi hari.

 

 

=END=

Jadi, bagaimana kesanmu dengan cerita ini? Silakan bertanya kalau ada yang tidak jelas ya. Akan aku jawab sekalian dengan pengumuman pemenang GiveAway di Wattpad.

Dan yes, tokoh Harit di sini terinspirasi dari perannya di serial The Gifted.

Semoga tidak kecewa dan sampai jumpa di cerita lainnya.

Santunlah dalam berbahasa, cermatlah dalam bertingkah ;)

 

Penampakan Lunde

Penampakan Lunde

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet