5: Konfrontasi

BrightWin ― DEEPER

 

...

..

.

 

Sisa suara gebrakan meja masih menyisakan pengang. Bright tengah bersikeras. Dia yakin Win tak seperti yang orang tuanya ragukan. Dia yakin Win orang baik.

"Kau tahu kita punya Pluem. Kau masih meragukan Pluem?"

Bright mengacak rambutnya. Ia frustasi mendengar pertanyaan ayahnya barusan. Sudah beberapa hari ini memang pembahasan mengenai Win terus terselip di antara obrolannya dengan orang tuanya. "Tapi dia itu orang baik. Hampir setiap saat aku memantaunya. Dan tak ada yang aneh dalam sebulan ini!" Bright memunggungi orang tuanya.

Dia mengatur napasnya sebentar. Keringat dingin mengular di balik pakaiannya di bagian punggung.

Dengan tangan yang bergerak ke berbagai arah karena emosi, Bright pun melanjutkan bicaranya. Untuk sejenak ia membiarkan seluruh emosinya tertumpah. "Semua warga menyukainya. Bahkan semua anak silih berganti bermain ke pondoknya karena dia sering membacakan dongeng. Dia bahkan mengajari anak-anak membaca. Dia orang baik!"

"Siapa yang bilang dia jahat?" Kali ini Ibu Bright yang bicara. Kalimatnya tegas namun wajahnya lembut. Menatap lurus ke arah putranya. Tangannya menggenggam erat seolah menahan agar tak lepas kontrol pada anaknya.

"Kalian memang tidak secara gamblang mengatakan dia orang jahat." Bright mengatur napasnya lagi. Dia tak mau salah bicara. "Tapi kalian menuduh Win—dokter yang merelakan kehidupan perkotaan demi menolong kita—menginginkan sesuatu dari kita. Apa bedanya?" Dia menoleh sebentar ke orang tuanya lalu kembali memunggungi.

Ayah Bright menggelengkan kepalanya. Heran melihat tingkah sang putra yang seolah dibutakan oleh rasa cintanya. Ya, orang tua Bright dengan jelas bisa melihat kalau anak mereka itu mencintai Win. "Kau akan menjadi pimpinan di pulau ini setelah aku tak ada. Seharusnya kau lebih bisa membuka pikiranmu." Kata-kata sang ayah terdengar seperti memohon namun dengan tegas ada tuntutan di dalamnya.

Bright mendengus. Jika ia bisa memilih, ia tak mau menjadi pimpinan pulau ini. Persetan dengan itu semua.

"Aku tahu kau menyukainya."

Posisi tubuh Bright berubah untuk menghadap kedua orang tuanya. Kalimat ayahnya barusan benar. Namun nada bicara ayahnya seolah menyiratkan kalau Bright melakukan kesalahan besar. Seperti ia berkhianat atau apa. "Lalu? Ada yang salah?" Bright menantang ayahnya untuk menjawab.

"Bright! Jaga sikapmu, Nak!" bentak sang ibu dengan mata membeliak tak senang. Sang Ibu akhirnya melepaskan emosinya. Dia sayang putranya, namun jika sudah keterlaluan, amarah memang kadang dibutuhkan.

Sang ayah menyentuh lengan sang ibu. Tak mau ada perdebatan lebih panjang. "Aku tahu dari Pluem," ucap Sang Ayah pada Bright. "Kuharap kau bisa lebih bijak, Nak."

Bright mendengus kesal. Ia tak suka kalau orang tuanya begitu mengaturnya. Ini semua terjadi setelah tragedi sang kakak dulu. "Kalau Phi Jumpol masih ada, apa kalian akan bersikap seperti ini juga padaku?"

"Bright!" Sang Ayah membentak Bright. "Kenapa kau malah mengalihkan pembicaraan?" Nada bicara ayahnya mendadak sendu, seiring dengan riak di wajahnya.

Bright tahu persis ayahnya akan merasa sedih jika Bright membahas ini. Jumpol adalah orang yang tepat untuk menjadi penerus ayahnya. Dia sangat bertanggung jawab dan dengan serius mengurus selurh urusan pulau. Dia bahkan hapal semua silsilah keluarga di pulau ini. Sangat berbeda dengan Bright yang berjiwa bebas dan terbiasa dimanja oleh Jumpol.

"Aku tahu aku tak akan pernah bisa menggantikan Phi Jumpol. Aku tahu dan aku sadar." Bright menatap lurus mata Sang Ayah.

Sang Ayah hanya mengembuskan napas. Tangannya bergerak untuk memijat pelan keningnya. "Kau tahu kalau kami hanya khawatir. Kami tak mau kau salah langkah."

Bright diam. Dia berusaha mendengar perkataan orang tuanya. Namun saat ini rasa untuk melindungi Win jauh lebih besar. Jauh di dalam hatinya dia tahu Win tak seperti yang orang tuanya tuduhkan.

"Kau tahu persis yang Jumpol alami," sambung Sang Ayah dengan suara tenang. Dia juga tak ingin Bright emosi. "Aku hanya tak mau kejadian seperti Jumpol terulang."

"Tapi Win bukan monster seperti G—"

"Cukup!" teriak Sang Ibu memotong kata-kata Bright. "Cukup... jangan kau teruskan lagi."

Sang Ibu tertunduk menangis. Bright pun memalingkan wajahnya. Dia tak mau bertemu tatap dengan kedua orang tuanya. Kenangan akan Jumpol adalah kenangan yang ingin Bright hapus. Masih jelas di ingatan Bright bagaimana Jumpol meregang nyawa. Demi menyelamatkan orang yang dicintainya.

Bright benci kenangan itu.

 

 

=0_0=

 

 

Win menghampiri Bright yang duduk sendiri di tepi pantai. Deburan ombak dan deru angin begitu berisik. Mungkin itu pula yang membuat Bright tak mendengar langkah kaki Win. Pria yang biasa tampak bersemangat itu kini tampak dinaungi awan kelabu.

"Apa yang kau pikirkan?"

Tubuh Bright agak berjengit sedikit. Setelahnya dia mengembuskan napas lega. Win melemparkan senyumnya. Entah senyum tulus atau senyum palsu. Win makin tak bisa membedakan. Seperti sudah terbiasa tersenyum ketika bertemu Bright.

"Maaf, aku mengangetkanmu."

Bright menggeleng sambil mengerakkan tangannya. Seolah berkata kalau yang Win lakukan bukan masalah besar.

"Apa dokter yang baik hati ini boleh duduk di samping calon pemimpin pulau?"

Bright terkekeh. Win memang sering meledek Bright akhir-akhir ini. Tanpa menunggu jawaban, Win mengambil posisi duduk di samping Bright. Dia mengeluarkan sekantung jeruk yang tadi diantarkan Harit ke klinik.

Win memangku tangannya di atas dengkul yang tertekuk. Karena Bright diam saja ia lantas menyandarkan dagunya ke tangan yang terlipat di atas dengkul dan menatap wajah Bright dalam-dalam.

Gurat lelah terukir di wajah Bright. Win tak mau mengakuinya. Tapi dia merasa sedih ketika melihat wajah Bright tak seceria biasanya. Ia tampak murung dan memandang kea rah lautan dengan tatapan kosong.

Sekali lagi Win bertanya apa yang Bright pikirkan. Memancing Bright untuk mengatakan semuanya.

Sebenarnya Win tahu. Bright pasti memikirkan perdebatan dengan orang tuanya semalam. Ya, Win menguping perdebatan Bright dengan orang tuanya. Tentu saja Bright tak tahu kalau Win menguping.

Tapi tetap saja, Win bertanya pada Bright sekarang. Ia ingin mendengar pengakuan dari mulut Bright dan juga bertanya tentang banyak hal.

Bright memilih tak menjawab. Dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya mengenai kegiatan Win di klinik. Bright memuji Win. Karena dengan kedatangan Win, hampir semua tetua yang mengeluh sakit sudah membaik. Tentu ini hal yang baik bagi misi Win.

Win mengerti, Bright menghindari bahasan inti mengenai dia dan keluarganya. Win belum berhasil, untuk kali ini.

Satu hal yang Win dapati tadi malam. Pluem sepertinya memang manusia yang sedikit berbeda. Sama seperti Win. Win sempat kaget ketika mendengar ini. Seluruh tanda tanya yang berputar di kepalanya langsung terhapus. Tentunya tetap menghadirkan tanda tanya baru. Jika Pluem sama seperti Win, dari mana Pluem mendapatkannya?

"Kenapa kau selalu memakai sarung tangan?"

Pertanyaan Bright sampai di telinga Win. Bright menunjuk tangan kanan Win yang berbalut sarung tangan kulit berwarna hitam. Melihat Win yang kesusahan membuka kulit jeruk, karena sarung tangan, membuat rasa penasaran Bright pun akhirnya terpanggil. Rasa penasaran yang sebelumnya terus ia simpan sendiri. Takut bertanya karena tak mau menyinggung Win.

Tapi, setelah melihat Win adalah orang yang baik, Bright pun mencoba keberuntungan. Tak ada salahnya mencoba bertanya.

Win menaikkan alisnya. Dia sudah menduga akan tiba masanya Bright menanyakan hal ini. Win sudah siap berkilah. "Karena aku seorang dokter. Aku harus membiasakan tanganku steril."

Bright mengangguk. Senyuman seperti seringai serigala terhias di wajahnya. "Hanya satu tangan?"

Win terkekeh. Lagi-lagi dia sudah siap menjawab pertanyaan itu. Profesor di markasnya sudah menyiapkan Win dengan berbagai hal. Termasuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini. "Kau bisa lihat kan? Satu tangan saja aku kewalahan. Apalagi kalau kedua tanganku memakai sarung tangan."

Bright kembali mengangguk. Dia mengambil jeruk yang sudah ia kupas lalu menyodorkannya ke arah Win. "Makan yang ini saja."

Win menaikkan alisnya. Senyuman meledek ada di wajahnya. "Apa ini sogokan karena kau menyukai dokter baik hati ini?"

Bright hanya tertawa mendengar canda Win. Entah kenapa dia menikmati semua ledekan Win. Bagi Bright, Win adalah harapan barunya.

Bahkan jika suatu saat Win meminta Bright melepaskan semua hal di pulau ini, Bright akan menurut tanpa ragu. Bright sudah jatuh terlalu dalam. Jatuh ke dalam jurang pesona Win.

Beberapa kali berdebat dengan orang tuanya membuat Bright semakin memperhatikan Win. Dan hasilnya sama. Win selalu mempesona di mata Bright. Dia baik dan manis. Benar-benar sempurna tanpa cela.

Tangan Bright terulur untuk membetulkan letak poni rambut Win yang tertiup angin. "Apa kau bisa mengobati semua penyakit?"

Win mempercepat kunyahannya. Berniat menjawab pertanyaan Bright tanpa membuatnya menunggu lama. Dia menelan paksa jeruk yang hanya separuh terkunyah. "Aku mengusahakan semampuku. Kenapa?"

Win menatap sisi wajah Bright yang sedang melihat jauh ke arah laut. Tangannya yang tadi merapikan poni Win kini sibuk memainkan kulit jeruk. Bright yang biasa tampak bersemangat kini benar-benar terlihat begitu murung. Dia seperti menyimpan banyak pikiran yang sayangnya tak bisa Win ketahui.

Kemampuan Win tak sama dengan Joss dan ... Pluem.

Bright mengubah posisi untuk melihat ke arah Win. "Tolong sembuhkan seseorang."

Win tak tahu siapa orang itu. Tapi yang jelas, jika melihat sorot mata Bright, dapat Win lihat kalau ini adalah orang yang sangat berarti bagi Bright. "Akan aku usahakan."

Bagi Win, walaupun ia sedang melakukan misi dari sang profesor, ia harus tetap memberikan hal baik.

Setidaknya, agar orang tak lagi menganggap golongannya sebagai monster.

 

 

 

=TBC=

 

Masih betahkah dengan cerita ini?

Terima kasih sudah singgah :)

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet