6: Berharga

BrightWin ― DEEPER

...

..

.

 

"Baii?"

Win menatap tubuh Bright yang basah kuyup. Hujan deras memang sedang berbalap dengan kilat guntur. Beberapa detik lalu ketukan pintu membuat Win terbangun dari tidurnya. Dan di sinilah dia. Berdiri di ambang pintu dengan wajah kaget karena melihat kondisi Bright.

"Peluk aku."

Alis Win bertaut. Kalimat Bright barusan bisa ia dengar dengan jelas. Tapi apa iya?

"Peluk aku..."

Oke, Win tak salah dengar. Tapi kenapa?

"...kumohon," sambung Bright dengan suara yang begitu getir.

Win masih terpaku. Dia bingung dengan sikap Bright. Tiba-tiba saja dia datang selarut ini. Tanpa memakai pelindung hujan.

Bahkan alas kaki pun tidak.

Bright mengembuskan napas kasar ketika melihat Win bergeming. "Oke, maaf. Aku tak mau membuat pakaianmu basah." Dia mengacak rambutnya sendiri. Percikan airnya bahkan mengenai wajah Win. Win otomatis memejamkan matanya sebentar, refleks karena sensasi dingin itu. "Lebih baik aku pergi," ucap Bright lalu membuat lengkungan senyum di bibirnya.

Win tahu itu. Itu senyuman palsu. Senyuman yang tak pernah Win lihat di wajah seorang Bright sebelumnya. Bright selalu menghias wajahnya dengan senyuman semringah ketika bersama Win. Sudah Beberapa hari terakhir ini senyuman semringah itu pudar. Malam ini puncaknya. Pria di hadapan Win itu mendadak tampak rapuh.

Punggung Bright yang sudah siap melangkah meninggalkan pondok pun menghiasi mata Win. Entah apa yang mengisi otak Win. Dengan begitu saja dia mendekati Bright lalu memeluknya.

Bright terkaget. Dia tak menyangka Win akan memeluk tubuhnya. Lagi pula tubuh Bright basah kuyup. Apa Win tak takut basah?

Keraguan Bright menghilang. Bisa ia rasakan Win tengah menyandarkan wajah di punggungnya. Lengan Win mengerat di lingkar pinggang Bright. Kepala Bright tertunduk. Ia mengusap pelan lengan Win.

Bisa ia lihat telapak tangan kanan Win yang masih tertutup sarung tangan. Bright menepuk pelan punggung telapak tangan Win itu.

"Ada apa, Baii?" tanya Win lembut.

Bright melepas tautan lengan Win yang melingkar di pinggangnya. Dia mengubah posisi tubuhnya agar bisa bertemu tatap dengan Win. Adu mulut dengan orang tuanya kembali terjadi. Bright masih bersikukuh. Dia yakin Win bukan seperti yang mereka tuduhkan.

"Aku bertengkar dengan orang tuaku."

Wajah Win melembut. Dia tahu persis rasanya bertelingkah dengan orang tua. Tangan kirinya terjulur untuk menyentuh pipi Bright. Pipi itu terasa dingin. "Memangnya kenapa?" tanya Win dengan nada yang entah kenapa terdengar begitu lembut penuh belas kasih. Win ingin menampar dirinya sendiri. Tak seharusnya dia begini.

Bright menaikkan tangannya. Membuatnya menyentuh tangan Win. "Sudahlah. Lupakan." Bright lalu mengecup telapak tangan Win. Mana mungkin Win bersikap semanis ini jika tuduhan orang tuanya benar. Dia yakin kalau orang tuanya berlebihan. Win orang yang baik dan manis. Dan Win sepertinya juga menyambut perasaan Bright. Dokter manis itu bahkan sudah punya panggilan khusus untuknya.

Dengan lembut Bright menyingkirkan tangan Win dari pipinya. Kedua lengan Win ia genggam erat. Tidak terjadi apa-apa. Jika Win benar seperti yang dituduhkan orang tuanya, pasti sudah terjadi sesuatu dengan Bright sekarang. Sepertinya memang benar adanya, Win memakai sarung tangan supaya tangannya steril.

"Lebih baik aku pulang." Bright mengembuskan napasnya. Desahan yang panjang dan berat. Seperti ingin membuang semua beban yang terus berputar di otaknya.

Win menatap mata Bright. Kegelisahan dengan jelas terpancar di binar matanya. Hati Win melembut. Seperti ada yang menyuruhnya, Win kembali memeluk Bright.

"Jangan pergi, Baii. Menginaplah."

"Tidak. Aku sedang kalut." Bright melepas genggamannya di tangan Win. "Kau tahu aku begitu menyukaimu, Win. Menginap adalah hal yang harus aku hindari." Tangan Bright terjulur untuk membelai kepala Win. "Aku tak mau terjadi hal yang tidak diinginkan."

Telunjuk kiri Win menempel di alat bicara Bright.

"Sst!" Masih dengan jari telunjuk tertempel di bibir Bright, Win meminimalisir jarak antara mereka. "Kau mendapat izinku."

Alis Bright bertaut. Matanya mengerjap seperti mencerna ulang kalimat Win barusan.

"Aku menginginkanmu, Baii," ucap Win lalu mengecup jari telunjuknya yang masih menempel di bibir Bright.

Di otaknya, Win berulang kali mengucap maaf pada Bright. Dia tak berniat mempermainkan perasaan Bright.

Sungguh, di relung paling dalam hatinya, Win tahu. Ini bukan soal misi. Kali ini Win benar-benar menginginkan Bright.

Persetan dengan misi seratus harinya. Persetan dengan semua instruksi profesor. Persetan dengan fakta bahwa Joss di ujung sana pasti tengah memantau. Persetan itu semua.

Untuk kali ini saja, Win ingin menikmati fakta bahwa ia juga terjerat pada Bright.

 

 

=0_0=

 

 

Win duduk di ujung kaki ranjang. Tangannya sibuk mengusak pelan rambut Bright yang terduduk di lantai. Ia tengah mengeringkan surai hitam legam milik Bright dengan handuk. Handuk putih yang biasa ia pakai untuk dirinya sendiri kini dipakai juga oleh Bright. Entah kenapa hal tersebut terkesan intim bagi Win.

Matahari sudah meninggi. Mereka melewatkan waktu sarapan. Begitu lelah karena energi yang mereka miliki terpakai habis tadi malam.

Mereka bercinta, menurut Bright.

Mereka bercinta, menurut Win pula.

Walaupun di dalam hati terselip rasa bersalah, Win tak bisa bohong. Dia terjerat oleh Bright. Bukan dari pandang pertama seperti Bright terhadapnya, tapi rasa itu tumbuh seiring waktu. Wajah Bright yang selalu berhias senyum, serta sikapnya yang menurut Win manis, pelan tapi pasti mampu merayap ke hati terdalam Win.

Seandainya Bright tak selalu hadir di harinya, seandainya Bright tak selalu menemani Win mengisi waktu kosong, dan seandainya Bright bukan target utama dari misinya, mungkin Win tak perlu begitu memperhatikan Bright. Memperhatikan Bright justru membuat pertahanan Win terguncang.

Rasa bersalahnya semakin bertambah seiring munculnya rasa cinta.

"Hei..."

Win mengalihkan perhatiannya kepada Bright. Gaung kegundahan rasa yang mengisi otaknya pun buyar.

"...kau belum menjawab pertanyaanku." Bright mendongakkan kepalanya untuk melihat Win.

"Oh, maaf. Aku tak fokus." Win berusaha tersenyum.

Bright terkekeh. "Apa karena masih sakit di bawah sana?" tanya Bright lalu mengedipkan matanya sebelah.

Rona kemerahan menghiasi pipi dan telinga Win. Dia tersenyum begitu lebar. Malu karena Bright menyinggung aktivitas tadi malam. Dia menutup kepala Bright dengan handuk lalu mendorongnya agar menjauh.

Bright masih terkekeh geli. Dia senang melihat Win salah tingkah.

Win sendiri memilih untuk menghadap cermin dan merapikan dirinya. Ini hari minggu. Dia tak wajib berada di klinik. Tentu ia senang bisa kembali memakai setelan hitam secara utuh. 

Melalui pantulan cermin bisa ia lihat Bright tengah menatapnya. Senyuman lebar terpajang di wajah Bright.

"Kau benar-benar indah, Win."

Perutnya seperti diserang ratusan kupu-kupu ketika mendengar Bright menyebut namanya. Win terkekeh geli. Sesuatu yang bisa dibilang hampir tak pernah ia lakukan semenjak ia berada di markas profesor.

Profesor.

Hah ... Win benci jika mengingat dia harus menjalankan misi dari profesor.

Setidaknya dia sudah mengerjakan misi dari profesor. Dia sudah berhasil bersetubuh dengan Bright. Seharusnya ia sudah bisa pergi sekarang. Kembali ke markas. Kembali bersama teman satu golongannya.

Tapi ... kenapa hatinya terasa berat? Waktu yang ia lalui di sini terasa begitu berharga dengan segala pengalaman manisnya.

"Bagaimana?"

Tubuh Win berjengit. Bright tengah memeluknya dari belakang sambil bertanya. Lagi-lagi Win gagal mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Bright. "Oke," jawab Win asal. Dia bahkan tak tahu apa yang Bright katakan tadi.

"Kalau begitu, ayo jalan."

Win menautkan alisnya. Mau ke mana memangnya? "Oke." Lagi-lagi Win asal menjawab. Dia menyusul Bright yang sudah melangkah ke ambang pintu.

"Kau tak membawa tas medismu?"

Win kembali heran. Tas medis? "Oh ya, aku sampai lupa," dalih Win. 

Dengan segala kebingungannya, Win mengambil tas medisnya. Setidaknya dia bisa bertanya nanti di jalan. Mulai saat ini, ada baiknya dia menaruh seluruh antensinya secara penuh pada Bright. Ia tak mau kembali kebingungan seperti sekarang.

Soal kembali ke markas profesor, sepertinya bisa ia lakukan setelah ini. Nanti malam mungkin, setelah semua penduduk desa terlelap. Dia bisa menyelinap ke perahu nelayan.

Bright menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah Win yang langkahnya melambat. Win memajang senyumnya. Memastikan Bright kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Setelah itu mereka melangkah. Menuju ke arah bukit di bagian belakang pedesaan. Tanda tanya masih mengisi kepala Win. Seingatnya, Bright pernah bilang kalau area perbukitan merupakan area tertutup. Warga cenderung jarang dan hampir tidak pernah menginjakkan kaki di area itu. Babi hutan dan ular berbisa masih begitu bebas berkeliaran.

Tapi sepertinya itu tak benar. Sejauh ini tidak tampak apa-apa seperti yang diceritakan. Hutan ini hanya berisi pohon, pohon, dan pohon. Entah sudah berapa ratus pohon mereka lewati.

Mimik tak suka menghiasi wajah Win. Dia gagal mengontrol wajahnya. Win benar-benar benci berjalan kaki, sejauh ini dan selama ini. Sesekali Bright menoleh ke arah Win yang mengembuskan napas tersengal. Tapi melihat wajah serius Bright, membuat Win tak berani mengeluh.

Bright tak banyak bicara. Membuat Win juga mau tak mau menutup mulutnya. Hanya desau dedaunan dan sahut menyahut binatang hutan yang mengisi telinga mereka. Win menghela napas panjang. Berusaha mengatur sengal napas agar menjadi normal. Oksigen di area ini benar-benar berbeda. Sungguh menyegarkan.

Sangat berbeda dengan kehidupan kota dan bau bahan-bahan kimia yang mengisi markas profesor, rumah bagi Win sejak lima belas tahun lalu.

Setelah hampir satu jam berjalan, dapat Win lihat sebuah rumah kayu di kaki bukit. Mimik girang beriring napas lega pun muncul dari Win. Tubuhnya separuh basah karena peluh mengucur walaupun angin sejuk hutan bertiup.

Tanah lapang yang membentang membuat rumah itu begitu mencolok. Satu-satunya bangunan yang dikelilingi pohon cedar nan menjulang. Cerobong asapnya mengepul. Ada kehidupan di sana.

Win menoleh ke arah Bright. Pria yang berdiri di sampingnya itu masih tampak serius. Hanya ada gurat menegangkan di wajahnya.

"Baii," sapa Win dengan suara lembutnya. Entah kenapa akhir-akhir ini Win bicara dengan nada belas kasih seperti itu ketika bersama Bright.

Bright masih menatap rumah kayu itu. Win menautkan jemarinya mereka. Bisa ia rasakan Bright sedikit menggenggam erat jemari Win. "Tolong rahasiakan kalau aku membawamu ke mari. Terutama dari orang tuaku, dan Harit."

Win tak begitu mengerti alasan Bright berkata demikian. Tapi dia tetap mengangguk. Wajah serius Bright tak memberi kesempatan untuknya menelisik lebih jauh.

Bright melangkah. Membimbing Win untuk mengikutinya dengan tangan yang masih bertaut erat. Dalam hati, Win bertanya-tanya. Pun dalam hati, Bright gundah.

Tak ada satu pun dari mereka yang melangkah dengan hati tenang.

"Kuharap kau bisa mencoba semampumu. Kumohon sembuhkan dia."

Win tercengang. Dia mengangguk sebentar walau bingung. Jadi, Win ke sini untuk mengobati seseorang? Memang Win ingat beberapa hari lalu, di pantai, Bright meminta Win untuk mengobati seseorang. Namun Bright tak bilang siapa orang itu.

Bright mengetuk pintu. Dua ketukan dengan jeda sebentar di tiap ketukan, lalu tiga ketukan rapat tanpa jeda.

"Bright?" seru satu suara dari dalam rumah.

Sepertinya ketukan tadi adalah kode tertentu agar tahu kalau yang datang adalah Bright. Buktinya orang dalam rumah langsung tahu kalau itu Bright.

"Ya, ini aku."

Terdengar langkah kaki yang diiringi gemericit lantai rumah yang terbuat dari papan kayu. Bersambung kemudian bunyi kunci dan gagang pintu.

Selanjutnya pintu terbuka dan menampakkan satu sosok.

Mata Win membulat saking kagetnya. Darah mengalir deras ke sekujur tubuh Win. Jantungnya terpacu membuat nada yang hampir sama dengan genderang perang. Telinganya sampai pengang karena itu. Tangan kanannya terasa panas.

"Gun?!"

Wajah kaget Win, tak jauh berbeda dengan Gun ... dan Bright.

Bright bertanya-tanya, bagaimana bisa Win mengenali kakak iparnya.

Sosok yang melahirkan, Pluem.

 

 

=TBC=

 

Bisa menebak-nebak?

Semoga betah untuk terus mengikuti cerita ini sampai akhir yaa :)

 

12 Juli 2020

by AnubeeNuhippo

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet