Keping 1

Protect!

"Anda terampil sekali. Apa ini bukan pertama kalinya Anda bercocok tanam?"

Dengan mata terhunus pada televisi, Hye Ra membanjiri mangkuk sereal dengan susu hangat. Cara makannya memang berbeda. Ketika orang-orang di luar sana memakan gandum olahan itu saat masih renyah, Lee Hye Ra justru menunggunya lumat. Jadi, ia tak perlu repot mengunyah.

"Ya. Dulu di depan rumahku ada kebun sayuran. Aku biasa membantu ibuku untuk menyiram atau menaburkan pupuk. Dan, saat panen, betul-betul menyenangkan!"

Tak hanya Hye Ra, si pembawa acara pun ikut tergelak kala mendengar jawaban narasumbernya. Siapa juga yang menyangka jika rapper berpenampilan sangar―dengan perawakan tinggi besar, jambul biru terang dan tindikan―seperti dia berwatak polos?

"Kalau begitu, setelah debut pun Anda masih sering berkebun?"

Sebungkus roti tawar menghalangi pandangan Hye Ra pada acara reality show itu. Terlampau penasaran dengan mimik sang rapper saat menjawab, gadis berambut sepunggung itu kontan menjerit, "Oppa! Bisakah kau minggir sebentar? Paling tidak, geser rotimu!"

"Tentu saja tidak. Kasihan bila tanaman yang kupelihara mati karena tak terurus."

Tidak terima, pemuda yang dipanggil "oppa" itu balas menyahut, "Hei! Hanya karena acara TV, kau berani membentakku? Ke mana sopan santunmu, Lee Hye Ra?"

"Aissh! Bukan begitu! Acaranya sudah akan selesai, uh?" bantah Hye Ra sembari menjulurkan leher―demi menangkap penjelasan si narasumber―dari balik ketiak Lee sulung. "Tidurku bisa tidak nyenyak kalau tak menyelesaikannya!"

"Kau mengancamku? Baiklah!" Lee Jae Hwan merampas remote dari tangan Hye Ra, kemudian mengacungkannya. "Mulai besok, tidak ada televisi saat makan pagi!"

Usai menggeser mangkuk serealnya ke tempat yang lebih aman, Hye Ra berjinjit untuk bisa meraih remote kembali, "Oppa! Aku benar-benar tidak bisa tidur nanti malam! Tak bisakah kau sebaik si rambut ombak itu? Setidaknya, dapat memaklumi keinginanku?"

"Walau begitu, aku masih menyimpan kaktus di balkon apartemen. Hanya tiga pot seukuran cangkir, tapi berhasil mengobati kerinduanku pada rumah."

"Keterlaluan! Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!" Volume suara Jae Hwan meninggi. Pun begitu dengan tangannya yang masih mengangkat remote tinggi-tinggi, agar sulit dijangkau sang adik. "Bisa-bisanya kau lebih percaya pada orang yang belum kau kenal sekalipun! Dari penampilannya saja, dia tidak lebih baik dariku, tahu!"

Lee bungsu masih bersikukuh dengan pendapatnya, "Tapi, dia pecinta tanaman, uh? Bukankah Eomma bilang, orang yang mau memerhatikan tanaman itu orang baik?"

"Sudah kukatakan, lihat penampilannya! Apa-apaan telinga yang ditindik tiga kali itu? Seperti gantungan baju saja!" tukas Jae Hwan sengit. Lantaran besar di keluarga yang sama, tak heran jika mereka memiliki ego serupa. "Belum lagi, dia juga bertato!"

Hye Ra lantas mengernyit, "Mana? Aku tidak melihatnya!"

"Itu dia! Kau sama sekali tak mengenal orang itu, kenapa terus-terusan membelanya?" Jae Hwan berkacak pinggang. "Aku bahkan ragu kau mengetahui lagu yang dia bawakan!"

Lee Hye Ra bungkam. Yah, ini memang kali pertama ia menyaksikan tingkah polah si rapper di layar kaca. Itu pun karena terpincut pada jambul birunya yang nampak seperti gulungan ombak. Jangankan lagu... Namanya saja Hye Ra tidak mengetahuinya.

"Let Me Go. Itu lagu terbarunya musim ini." Desisan Jae Hwan meleburkan lamunan sang adik. Sekesal apa pun si Lee sulung pada Hye Ra, memang takkan bertahan lebih dari sepuluh menit. "Habiskan sarapanmu. Ahn-seonsaengnim akan datang sebentar lagi 'kan?"

"Siapa?" Netra gadis itu kini berbinar. "Siapa namanya?"

Meski sibuk membuka tutup selai, Jae Hwan masih sempat berdecak, "Kim. Namanya Ravi Kim. Kau benar-benar... Nama saja tidak tahu, tapi sudah membelanya mati-matian."

Wajah Hye Ra kini berubah cerah, walau setelahnya Jae Hwan kembali melayangkan teguran lantaran Lee bungsu tak kunjung menuntaskan sarapan. Sebaris nama yang disebut sang kakak telah menyita segenap atensinya, berbonus keingintahuan yang kian menjadi-jadi.

Ravi Kim. Satu orang lagi yang akan menjadi idola Hye Ra.

***

Buku-buku, kotak kacamata dan alat tulis yang tercecer di meja sudah disusun rapi, ketika sebuah colekan mendarat di bahu Hye Ra, "Sudah selesai? Bagaimana dengan PR matematika yang kemarin kaukerjakan? Ahn-seonsaengnim sudah memeriksanya 'kan?"

"Seratus!" Hye Ra bersorak. Seraya mengambil ancang-ancang, sudut bibir gadis itu tertarik lebar. "Karena Oppa sudah berjanji, hari ini Oppa yang jadi setan! Hitung sampai tiga puluh, ya!"

Sesuai instruksi sang adik, Jae Hwan menutup mata dengan telapak tangan. Meski begitu, Lee sulung tetap sempat memberi peringatan kala langkah Hye Ra bergema, "Jangan terlalu cepat! Ingat, kau hanya boleh bersembunyi di lantai empat! Mengerti?"

"Iya! Kau cerewet sekali, Oppa!"

Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh tingkah kekanakan Lee bersaudara, maka Jung Taek Woon lah orangnya. Asal tahu saja, markas andalan keduanya tak pernah berubah sejak pertama kali bermain petak umpet di apartemen ini. Selalu kamar 401 milik Taek Woon yang menjadi korban.

Tidak ada cara untuk menolak kedatangan mereka. Sebab, pintu kamar Taek Woon sudah tak bisa dikunci lagi sejak Jae Hwan nekat mendobraknya―seingat Taek Woon alasannya karena Hye Ra pernah terkurung di sana―saat si pemilik sedang sibuk bekerja.

Jae Hwan sendiri bukannya enggan bertanggung jawab. Tanpa menunggu hari esok, ia segera mendatangkan petugas untuk mengganti pintu 401. Namun, Taek Woon tak mengijinkannya, dengan alasan mengantuk-dan-tak-ingin-ada-suara-bising. Kini... Agaknya Taek Woon menyesal.

Privasinya tidak pernah berlaku lagi untuk penghuni kamar 402 itu.

Sebagai pribadi yang tenang dan tak banyak tingkah, Taek Woon selalu terusik dengan keramaian Lee bersaudara. Ditambah keadaan kamar mereka yang hanya dipisahkan selapis dinding bobrok, membuat pembicaraan bervolume maksimal mampu tertangkap di telinga masing-masing.

Pekikan Hye Ra, omelan Jae Hwan, semua sukses mengacaukan tidur Taek Woon!

Menjadi seorang waiter yang sering mendapat shift malam memang berat, tapi terasa lebih berat ketika memiliki tetangga yang tak mengenal kata "diam" seperti Jae Hwan dan Hye Ra. Ugh, kalau saja deposit di sini tidak besar―atau setidaknya gaji Taek Woon bisa dilipatgandakan―mungkin ia akan segera mencari apartemen baru agar dapat hidup tentram!

"Lee Hye Ra! Bersembunyilah dengan baik karena aku akan melihat rambutmuuu!"

Taek Woon sontak membenamkan wajahnya ke bantal. Hari ini pun dia tak bisa beristirahat dengan damai. Tadi ia juga mendengar suara derit pintu, yang berarti salah satu dari mereka memasuki wilayah teritorinya lagi. Oh, jangan katakan kalau Hye Ra bersembunyi di balik mesin espresso, atau malah lemari pajangan yang menaungi cangkir-cangkir koleksi Taek Woon!

"Ssst, Oppa! Jangan beritahu Jae Hwan-oppa, ya?"

Pemuda Jung itu berjengit. Baru saja ia melompat dari kasur, tahu-tahu sebentuk kepala muncul dari bawah. Ugh, untung saja Taek Woon selalu menjaga kebersihan apartemennya, termasuk kolong kasur, yang saat ini digunakan Hye Ra untuk bersembunyi dengan nyaman.

"Taek Woon-ie! Hye Ra ada di sini 'kan?"

Engsel pintu 401 kembali berderit. Cih, selain bibir yang tak pernah terkatup, panggilan itulah yang membuat Taek Woon jengkel pada Lee Jae Hwan. Hei, mereka memang lahir di tahun yang sama, tapi bukan berarti Jae Hwan yang lebih muda tiga bulan bisa seenaknya memanggil Taek Woon dengan embel-embel itu! Cuma orangtua dan nuna Taek Woon yang berhak melafalkannya!

"Lee Hye Ra, keluarlah!"

Jae Hwan meneliti setiap sudut ruang tamu. Sofa, meja dan lemari cangkir tak ayal menjadi sasaran penyelidikannya. Tidak menemukan sang subyek incaran, Jae Hwan beralih ke kamar tidur Taek Woon. Tatapan jengah si pemilik ruang pun terarah padanya.

"Ah! Aku menemukanmu!"

Dengan bibir mengerucut, Hye Ra merayap dari kolong ranjang. Agak kerepotan sampai-sampai Jae Hwan harus menarik si Lee bungsu agar bisa keluar dengan selamat.

"Kau ini. Tidak bisakah memilih tempat lain untuk bersembunyi?" Jae Hwan mencubit sepasang pipi Hye Ra. "Bagaimana kalau di dalam sana ada perangkap tikus?"

Bukan Hye Ra namanya jika tak membantah, "Tidak ada! Aku sudah memeriksanya!"

Sambil mengacak-acak poninya yang sewarna karamel, Taek Woon mendengus. Ugh, para penghuni kamar 402 itu memang lebih terlihat sebagai pasangan lovey dovey―atau malah pengantin baru?―ketimbang kakak beradik. Bukan saja lantaran kedekatan mereka, namun juga tingkat kemiripan yang minim. Baik secara postur maupun kontur wajah.

Jae Hwan dengan sedikit sentuhan Europoid: hidung mancung, bibir penuh, serta ujung telinga lancip―di benak Taek Woon langsung terlintas peri-peri hutan dalam buku cerita bergambar. Dia tidak sejangkung Taek Woon, namun masalah postur, Jae Hwan lebih unggul dari si poni karamel yang agak bungkuk kala berjalan. Lalu, Hye Ra... Apakah seperti gadis Asia Timur pada umumnya?

Tentu saja.

Fitur yang Hye Ra miliki tak ubahnya gadis-gadis Korea lain: kulit putih pucat, alis lurus dan mata berbulu lentik yang akan membentuk garis saat tersenyum. Gigi geliginya juga mungil―semungil tubuhnya yang kurus―dan berderet rapi. Dan, pipi Hye Ra memang tidak tembam, tapi Taek Woon rasa sudah lebih menebal sejak awal-awal mereka bertandang di apartemen ini.

Bahagiakah ia?

Pasti. Sejauh pengamatannya selama ini, Lee Hye Ra selalu melewati hidup dengan keceriaan. Padahal, mulanya Taek Woon pikir akan sulit bila seorang anak perempuan tinggal jauh dari ayah dan ibunya. Yah... Jawabannya pastilah karena Lee Jae Hwan.

Siapa juga yang mampu menolak virus kegembiraan dari pemuda itu?

Taek Woon sendiri mengakuinya. Sebelum putra-putri keluarga Lee pindah ke sebelahnya, Taek Woon tidak pernah mendapat kunjungan penghuni apartemen lain lebih dari lima menit. Bocah dari kamar 403 itu pun―siapa namanya? Han Sang Hyuk?―langsung lari terbirit-birit usai menyerahkan handuk "tanda perkenalan" mereka pada Taek Woon dulu.

Jae Hwan dan Hye Ra berbeda. Tak cuma sering menjadikan kamar 401 sebagai markas, keduanya kerap pula menyeret Taek Woon ke "istana cinta" mereka. Juga, mengenalkan Taek Woon kepada para tetangga: Kyung Hoon-ajeossi dari kamar 404, serta si kembar Min Hee-Min Ho di 405.

Bahkan, kalau tidak ada Jae Hwan, Taek Woon juga tidak akan pernah tahu betapa lezatnya masakan Cha Hak Yeon yang hanya terpaut satu kamar darinya di 403.

Lee bersaudara hidup seperti tanpa beban. Padahal, setahu Taek Woon, Jae Hwan tak punya pekerjaan tetap. Lalu, bagaimana cara memenuhi kebutuhan harian―termasuk membayar guru privat―dengan mengandalkan upah sebagai penyanyi kafe yang cuma dua-tiga kali seminggu?

Ah, sudahlah.

Terlalu banyak kata "padahal" bila sudah disangkutpautkan dengan Lee bersaudara.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ephemeral--
#1
Chapter 5: interesting!!