Keping 5

Protect!

Uap-uap panas dari panci seketika menguar saat Jae Hwan membuka tutup kacanya. Di belakang si Lee sulung, Hye Ra nampak antusias menunggu ramyeon  masak sempurna. Tak lupa, sepasang sumpit dan piring keramik sudah berada dalam genggaman gadis itu.

Oppa… Setelah ini, bisakah kau membantuku?”

Panci ramyeon mendarat di meja makan dengan selamat. Merasakan jarinya hampir melepuh, Jae Hwan mencubit cuping telinga dan berujar, “Jadwal transfusi masih lusa ‘kan? Ah, atau… Ahn-seonsaengnim memberimu PR matematika lagi?”

“Bukan itu,” jawab Hye Ra sambil mengangkat lembaran mie tinggi-tinggi, untuk dipindahkan pada piring. Meski ragu Jae Hwan akan mengabulkan permintaannya, ia berusaha untuk berterus terang. “Begini… Sebenarnya, aku ingin memberikan…”

Dering bel memaksa Hye Ra mengurung lagi ucapannya. Seakan sudah terprogram, Jae Hwan meninggalkan meja dan lantas membuka pintu, “Ah, siapa?”

Mendapati bukan subyek tujuannya yang datang menyambut, sang tamu tak diundang sontak kebingungan, “Umm, maaf, ini… Ini betul kamar 402 ‘kan?”

Tatapan tajam Jae Hwan menyensor habis pemuda bermata bulat itu. Dari puncak kepala sampai ujung kaki. Kemeja flannel monokrom dan jeans hitam, serta sneakers plus hoodie berwarna navy yang sudah terlipat di tangan… Apa dia pendatang baru yang tersesat?

Oppa, siapa yang da―ah, Lee Hong Bin?” Tahu-tahu si Lee bungsu menyeruak, mengenyahkan atmosfer canggung di antara mereka. Sejenak, keterkejutannya lebur menjadi tanya. “Oppa, kenapa kau tidak mengajaknya masuk? Di luar pasti dingin, uh?”

“Siapa kau?” Tanpa berkedip, manik legam Jae Hwan masih tertusuk pada makhluk asing di hadapannya. Memberi kesan ketidaksukaan yang begitu lugas.

Lee Hong Bin kontan salah tingkah, ”A… Aku…”

Oppa! Dia ini teman sekolahku dulu!” tukas Hye Ra. Ditariknya lengan Hong Bin kuat-kuat, sampai pemuda berponi cokelat gelap itu terhuyung memasuki pintu. Linglung.

Bukan hanya lantaran sorot mata Jae Hwan yang mengintimidasi. Ada faktor lain yang membuat Lee Hong Bin hilang kendali: sentuhan Hye Ra. Oh, mengingat satu pak kalender telah mereka habiskan tanpa bertemu pandang, Hong Bin belum terbiasa mendapat perlakuan seintim ini. Semasa di tingkat menengah pun, ia hanya dapat mendambakannya!

“Ayo, makan bersama kami! Akan kuambilkan piring untukmu!”

Lihat? Jika ini masih bagian dari mimpi, tolong jangan bangunkan Hong Bin!

Tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendalami kepribadian si mata bulat, Jae Hwan batal memulai santapan, “Benar kau teman Hye Ra sewaktu sekolah?”

“Iya. Kami sekelas saat tahun keti—“

“Kau melanjutkan ke SMA?” sergah Jae Hwan.

Pemuda delapan belas tahun itu mengangguk, “Di Sekolah Seni Hanlim. Kelas dua. Dan, mulai musim semi tahun lalu, aku juga terdaftar sebagai trainee di agensi GF Entertainment.”

Di luar ekspektasi Hong Bin, si Lee sulung. tak berminat merespons lebih. Tiada ungkapan kekaguman di wajah Jae Hwan. Alhasil, niat Hong Bin untuk menaikkan derajat tak dapat direalisasi.

“Ini dia!”

Pekikan khas Hye Ra menunda dialog sengit mereka. Secepat kedipan mata, raut tak bersahabat milik Jae Hwan musnah, “Mari nikmati ramyeon-nya, Lee Kong.”

Kong (kacang)?” Serempak dengan lekukan dahi Hye Ra, Hong Bin pun turut membelalak. “Oppa! Sudah kubilang, namanya itu Lee Hong Bin! ‘Bin’ di sini berbeda dengan ‘bean’ bahasa Inggris, uh?”

“Ah, sama saja.”

Kendati bingung, Hong Bin tetap berusaha melunak, “Yah, boleh juga. Terdengar seperti panggilan akrab. Benar begitu ‘kan, Hyeong-ie?”

Mendengar kata terakhir yang dilagukan Lee-haksaeng, Jae Hwan nyaris memuntahkan suapan mie pertamanya. Hei, sejak kapan mereka berdua menyepakati panggilan sensitif itu?

Sampai mati pun, Jae Hwan takkan sudi!

“Ah, aku tidak tahu kalau kalian bisa dekat dalam waktu singkat,” cetus Hye Ra seraya mengangkat lembaran mie tinggi-tinggi dari panci, kemudian menaruhnya di piring. Disodorkannya pula segelas air pada sang rekan sekelas. “Ini untukmu, Lee Hong Bin!”

Bersamaan dengan anggukan malu-malu pemuda tanggung itu, Jae Hwan mendelik sembari berdecih sinis. Jangan harap kau bisa pulang dalam keadaan selamat, Lee Hong Bin!

***

Ditemani sayup-sayup lagu Let Me Go dari sumpalan earphone, kedua ibu jari Hye Ra terpaku di layar ponsel. Hong Bin sudah berjanji untuk menghubunginya malam ini, tapi tak satu pesan pun ia terima sejak pukul delapan tadi. Dua jam menanti, apa tidak jemu?

Kau sedang apa?

Sadar jemarinya refleks mengetik, cepat-cepat disentuhnya tombol backspace. Tidak sepatutnya seorang wanita mengirim pesan pertama, uh? Ini masalah harga diri!

🎵Berakhir, kisah kita berakhir di sini
Saat pandanganmu tak lagi terarah padaku seorang
Di situlah semua berakhir

Hye Ra lantas menghampiri meja belajarnya yang dipenuhi ornamen babi, lalu menjuhut buku catatan usang di laci. Hye Ra ingat, buku inilah yang menjembatani sebagian interaksinya dengan Hong Bin semasa sekolah. Mengenalkan ia pada debaran manis berlabel cinta monyet.

Pulang nanti, mau minum bubble tea bersamaku?

Sudut bibir si Lee bungsu kontan tertarik. Meski dulu Hye Ra kerap menolak ajakan Hong Bin—apa lagi alasannya kalau bukan kekangan sang kakak—tapi pemuda berambut cokelat gelap itu tak pernah menyerah. Tawaran Hong Bin pun kian variatif. Mulai dari mengerjakan tugas di perpustakaan, menonton pertandingan baseball, hingga jogging bersama di hari Minggu.

🎵Jangan coba genggam tanganku lagi
Jangan coba perlihatkan tangisanmu lagi

Belasan tahun berada dalam lingkar rantai Lee Jae Hwan, itu pertama kalinya Hye Ra merasa begitu diperhatikan oleh anak lelaki seusianya. Terlebih, Hong Bin dikenal bertutur kata baik, sopan dan memiliki lingkup pergaulan yang cukup luas. Imej yang tetap bersih sekalipun disertai kekurangan—mengingat Hong Bin agak lambat dalam menyerap pelajaran.

Yah, walau kadang kepercayaan dirinya kelewat batas.

Tidak heran jika Hong Bin pula yang berinisiatif memulai perkenalan. Sekadar informasi, Hye Ra bukanlah siswi populer yang mudah menjalin pertemanan. Berbanding terbalik dengan keceriaannya di rumah, Hye Ra di sekolah adalah sosok yang tak banyak mencuri perhatian. Berinteraksi seperlunya, menjauh apabila ada yang menargetkan lebih.

Tapi, Lee Hong Bin berbeda.

Sejauh apa pun Hye Ra berlari, selama apa pun Hye Ra bersembunyi, Hong Bin tetap berpijak satu langkah di belakangnya. Tipikal agresif, namun tak terburu-buru melayangkan panah. Mendekat lewat keramahan… Menciptakan degup asing dalam dada Hye Ra.

🎵Saat pelukanmu tak lagi untukku seorang
Di situlah kita berakhir

Wastafel di ujung koridor menjadi saksi pertukaran cakap perdana mereka. Selepas kelas melukis, Hye Ra yang hendak mencuci palet tak memperkirakan derasnya air yang keluar dari keran. Benar saja. Saat beradu dengan wadah cat, kontan air menimbulkan cipratan ke banyak tempat.

Kemeja, poni dan tentu saja… Wajah.

Diserang warna-warna tipis—perpaduan air dan sisa cat—Hye Ra kelimpungan merogoh saku. Mencari tisu yang sialnya tertinggal di tas, sampai… Sehelai handuk jatuh di puncak kepalanya.

“Ya ampun, basah sekali! Cepat keringkan!” Sang pemberi yang berdiri di belakang Hye Ra memekik khawatir. Sekilas nampak asing, dalam artian bukan wajah yang biasa si Lee bungsu lihat di kelas selama dua tahun terakhir. “Hei, kenapa diam saja? Kalau tidak segera dikeringkan, kau bisa masuk angin, tahu!”

Hye Ra terkesiap, “Terima kasih, kau—”

“Aku Lee Hong Bin.” Seraya tersenyum, anak lelaki itu menunjuk papan nama di dada. Padahal Hye Ra tak tergugah mengorek identitasnya. “Nama keluarga kita sama ‘kan?”

Memang bukan perkenalan yang manis, tapi cukup membekas. Terlebih, pada tahun berikutnya, mereka dipersatukan di kelas yang sama. Duduk berseberangan, makan siang dalam satu meja—atas pemaksaan dari pihak Hong Bin, tentunya—dan berakhir dengan perpisahan dramatis di gerbang sekolah saat Jae Hwan datang menjemput. Selalu begitu.

Ibarat drama, Jae Hwan adalah lagu penutup bagi kebersamaan mereka.

Setelah lulus tingkat menengah dan memutuskan berpisah rumah dengan orangtuanya, komunikasi antar Hye Ra dan Hong Bin pun terputus. Mereka juga tidak pernah terhubung lewat telepon atau SNS. Jadi, sementara yang satu disibukkan dengan kegiatan di SMA serta mengikuti audisi keartisan, sisanya justru menikmati fasilitas home schooling sembari beradaptasi pada lingkungan baru. Tanpa berinisiatif untuk mencari kabar masing-masing.

🎵Perlukah kuingat semua janji-janji masa lalu?
Tentang kesetiaan yang tak pernah terwujud
Tentang ketiadaan dusta yang kaulanggar

Tapi, jika saat ini Hong Bin menemukan Hye Ra, bukankah berarti… Dia memang berusaha melacak keberadaan si Lee bungsu, selayaknya permainan petak umpet yang diajarkan sang kakak?

🎵Diam di sana, jangan pernah beranjak
"Kita" benar-benar sudah berakhir
Jangan buang tenagamu untuk mengejarku

Selepas menutup catatannya, Hye Ra merebahkan kepala pada bidang datar meja. Kelopak mata gadis itu mulai memberat, seiring jarum jam yang terhenti di angka sebelas. Oh, Jae Hwan pasti akan mengomel jika mendapatinya tergolek di meja belajar esok hari!

🎵So, please let me go, baby

Baru saja netranya hendak terpejam lagi, tiba-tiba getaran singkat khas penerimaan pesan mengalun. Membuat si Lee bungsu terlonjak dan lekas membuka lock screen.

Sudah tidur, ya?

Penantian yang tidak sia-sia.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ephemeral--
#1
Chapter 5: interesting!!