Keping 2

Protect!

Dentingan sumpit yang beradu memenuhi seisi kamar 403. Bagaikan pagar, Jae Hwan menjaga sepotong bayam gulung yang tersisa dengan sepasang sumpitnya. Menghalangi bocah bernama Han Sang Hyuk untuk melahapnya, “Hyeong! Yang terakhir ini milikku!”

“Enak saja! Aku saja baru makan tiga potong!” balas Jae Hwan sengit.

Sang Hyuk melotot, meski tidak terlalu kentara lantaran matanya terbilang kecil, “Tapi, setelah ini kau dapat puding ‘kan? Ayolah, Hyeong, mengalah padaku! Kau tahu ‘kan kalau aku tidak bisa makan sesuatu yang berhubungan dengan susu… Kumohon!”

“Hei! Tidak bisakah kalian makan dengan tenang?” bentak Cha Hak Yeon, seraya memukul puncak kepala Jae Hwan dan Sang Hyuk dengan sendok sup. Sama sekali tidak membedakan status mereka sebagai tetangga atau sepupu kandungnya sendiri. “Bertengkar di meja makan seperti ini, tandanya kalian tidak menghargai masakanku!”

Jae Hwan mengelus dahi, “Sang Hyuk lebih tidak menghargai! Kau lihat ‘kan, Hyeong? Dia hanya mengambil lapisan ikan dan tidak memakan bayamnya!”

“Hye Ra-nuna juga tidak memakan ikannya!” bantah Sanghyuk.

“Aku terpaksa, tahu!” Hye Ra juga tersulut untuk meramaikan debat. “Lagipula, yang kumakan itu sisa bayammu ‘kan? Dengan begitu, kau tidak perlu diomeli Hak Yeon-oppa!”

Sang Hyuk menggebrak meja, “INI TIDAK ADIL! KALIAN CURANG!”

Pusing, Hak Yeon nyaris kehilangan fokus untuk mengeluarkan puding aprikotnya dari cetakan. Tak bisa dipungkiri, Hak Yeon memang seringkali mengundang Lee bersaudara untuk bersantap bersama. Rasanya terlalu sepi jika hanya ada ia dan Sang Hyuk di meja makan. Namun, bukan keramaian seperti ini yang Hak Yeon harapkan. Ini kericuhan!

Berprofesi sebagai koki paruh waktu di restoran bergengsi, kepandaian Hak Yeon dalam urusan dapur memang tidak perlu diragukan. Bukan sekadar hobi, memasak ialah kebutuhan hidupnya setelah makan dan tidur. Hak Yeon suka mengolah beragam jenis bahan, mencoba berbagai resep dan menciptakan menu baru. Tapi, jika hanya mengandalkan lidah amatir Sang Hyuk, kesempurnaan masakannya takkan pernah mendapat peningkatan!

Si pendiam Jung Taek Woon yang merupakan penghuni 401 kadang juga bergabung bersama mereka. Kalau saja jadwal kerja Taek Woon tidak serabutan, mungkin akan ada satu orang lagi yang memperebutkan bayam gulung berlapis ikan harring. Asal tahu saja, walau nampak tenang, saat makan Taek Woon tidak kalah brutal dengan Jae Hwan dan Sang Hyuk.

Oppa! Berikan ekstra susu untuk pudingku, ya!”

Hak Yeon terkekeh mendengar seruan Hye Ra. Oh, inilah yang tak bisa ia dapatkan dari sang sepupu, Han Sang Hyuk. Lactose-intolerant yang diderita bocah itu memang membuatnya tidak dapat menikmati olahan susu. Pernah sekali Hak Yeon nekat memberinya milk tea, Sang Hyuk terpaksa absen bersekolah selama tiga hari karena sakit perut.

Selain itu, Lee bersaudara juga kerap menyerahkan bahan-bahan makanan untuk ekperimen Hak Yeon. Semisal kali ini, aprikot kaleng dan susu yang ia sulap menjadi puding custard. Mereka seperti mengetes kemahiran Cha Hak Yeon, uh?

“Sang Hyuk-ie! Tugas mengarangmu sudah selesai?” tanya Hak Yeon, usai menaruh baki berisi tiga porsi puding di meja. Sang Hyuk menggeleng. Ugh, sebagai orang yang bertanggungjawab atas hidup-mati bocah itu selama tinggal di Seoul, mau tak mau Hak Yeon memberinya atensi lebih. “Ck! Jadi, kau sama sekali tidak mendengarkan nasehat Hyeong kemarin? Jangan terlalu sering menonton kartun. Kau bisa tinggal kelas!”

“Bohong. Jae Hwan-hyeong masih suka menonton One Piece sampai sekarang, tapi dia tidak pernah tinggal kelas.” Sang Hyuk membela diri, sembari menghirup kuah sup.

“Hei, aku ‘kan sudah lulus bertahun-tahun yang lalu!” tukas si Lee sulung.

Tinggal bersama bocah yang selisih umurnya sepuluh tahun lebih muda memang agak sulit. Kalau saja Hak Yeon tidak ingat jika Sang Hyuk adalah putra kesayangan Han Dae Won, adik laki-laki ibunya, mungkin Sang Hyuk sudah ditelantarkan di jalan. Menyusahkan!

Dan, daripada menjatuhkan harga dirinya dengan kekalahan debat, Hak Yeon pun memilih beralih topik, “Omong-omong… Jae Hwan-ie, tadi aku membeli sarung tangan di supermarket. Ada potongan harga untuk pembelian di atas dua pasang, jadi―”

“Kau membeli tiga pasang dan aku harus membayar salah satunya, begitu?”

Mendengar tebakan Jae Hwan, Hye Ra dan Sang Hyuk terkekeh bersamaan. Sudah menjadi rahasia umum kalau Cha Hak Yeon dan kata pelit tercipta seperangkat. Sifat turunan dari sang ibu yang juga gila penghematan. Hak Yeon mungkin terbilang loyal untuk memenuhi kebutuhan memasak, tapi tidak pada biaya hidup lainnya!

Tak jarang Sang Hyuk mengomel lantaran uang saku kiriman ibunya harus jatuh ke tangan Hak Yeon. Dijatah agar cukup untuk satu bulan serta tiada toleransi pada biaya internet café, software game dan semua yang tidak berkaitan dengan sekolah. Membuat Sang Hyuk berambisi untuk lulus tingkat menengah lebih cepat, agar bisa bekerja sambilan demi menghasilkan uang sendiri. Tapi, mengingat pembawaannya yang malas, sepertinya mustahil.

“Terima kasih atas makanannya! Enak sekali!”

Seiring bungkukan hormat Lee bersaudara, Hak Yeon tersenyum. Dua puluh lima tahun hidupnya memang didedikasikan untuk memegang wajan dan pisau.

***

Malamnya, Hye Ra mengantar Jae Hwan sampai ke teras. Ada panggilan untuk meramaikan kafe dengan suara emas si Lee sulung, “Ingat, jangan coba-coba memasak saat Oppa pergi. Kalau ingin makan sereal, tunggu sampai susunya menyerap. Jangan bukakan pintu untuk orang asing. Jangan menurut saja kalau Sang Hyuk mengajakmu bermain. Ja―”

Oppa! Kau jadi pergi tidak sih?!” protes Hye Ra.

“Kalau terjadi sesuatu, segera telepon aku.” Jae Hwan akhirnya menggulung lengan kemeja dan lantas beranjak. Sebelum menutup pintu, Hye Ra melambaikan tangan sekilas.

Huh, tidak terasa sudah hampir dua tahun mereka hidup seperti ini. Jauh dari ayah dan ibu, meninggalkan rumah besar yang hening, juga berbagai alasan klise yang dilontarkan kedua orangtuanya untuk menolak berkumpul bersama. Kala itu, Hye Ra masih terlalu kecil untuk mengerti makna perceraian. Sekadar makan malam di meja yang sama, apa susahnya?

Jika harus memilih, Hye Ra juga lebih suka kehidupannya yang sekarang. Perlu digarisbawahi, walau di rumah besar itu ada sepuluh pelayan yang bisa diajaknya bermain, Hye Ra tetap merasa kesepian. Mereka lebih mirip robot ketimbang manusia.

Sekarang, meski harus tinggal sendirian di apartemennya yang kumuh saat Jae Hwan bekerja, Hye Ra masih bisa melipir ke kamar 403 untuk main game bersama Sang Hyuk, mencicipi resep baru Hak Yeon atau sekadar merecoki tidur Taek Woon di 401.

Tiga orang kepercayaan sang kakak.

Sesekali, Lee bersaudara menemui orangtuanya secara bergantian. Adakalanya Jae Hwan harus menunggu di gedung JB Foundation―perusahaan sang ayah―sejak pagi dan baru bertatap muka dengan Lee Jae Bum pada malam hari. Juga, Hye Ra yang tidak beranjak dari kafe selama berjam-jam demi menanti Park Hye Mi―ibu mereka―selesai mendesain sejumlah aksesori mewah, yang akan dijual lewat merek pribadi bernama ÉTOILE.

Jengah? Tentu saja.

Pertemuan mereka hanya sekadar formalitas. Menanyakan kabar, memesan minuman dan pamit. Tidak jarang pula Jae Bum atau Hye Mi pulang sebelum waktunya, dengan alasan yang sama: pekerjaan. Cih, cuma dalam konteks ini mereka menjadi kompak.

Bila dua tahun lalu Jae Hwan tidak nekat mengajaknya pergi dari rumah, Hye Ra yakin ia akan berubah menjadi patung es lantaran tinggal di rumah berpenghuni sedingin itu.

Tidak, semestinya ini bukan kebencian. Lee bersaudara hanya tak ingin dikecewakan untuk kesekian kali. Dengan pergi menjauh, paling tidak orangtua mereka tahu rasanya kesepian. Paham akan betapa tidak enaknya duduk sendirian di meja makan. Dan, terutama, mengerti bahwa sekoper uang tak berarti apa-apa dibanding kebersamaan yang hangat.

Di apartemen ini, Hye Ra dan Jae Hwan sudah membuktikannya.

Dering bel memaksa Hye Ra menghentikan lamunan. Si Lee bungsu pun mengintip dari lubang kecil yang disediakan. Ah, Taek Woon rupanya, “Oppa? Ada apa?”

“Titipanmu.” Pemuda jangkung itu mengangkat paper bag bawaannya.

Hye Ra tersenyum. Tetangganya yang satu ini memang sangat murah hati. Meskipun Taek Woon tampak mengantuk karena jadwalnya lompat―kemarin shift malam dan sekarang harus kembali hadir di kafe sejak pagi―dia masih sempat memenuhi permintaan Hye Ra.

Ya, karena Taek Woon tahu kalau Jae Hwan takkan mengabulkannya.

Oppa kelihatannya lelah sekali. Mau kubuatkan teh atau kopi?” tawar Hye Ra, selepas mengecek barang titipannya—terlebih pada mini album Ravi Kim. Taek Woon lantas mengacungkan satu lagi paper bag. Hanya dengan melirik sekilas, Hye Ra pun paham.

Jung Taek Woon membelikannya cake cokelat dengan taburan almond!

Tak perlu menunggu lama, Hye Ra kini sudah berada di kamar 401. Tepatnya, ruang tamu Taek Woon. Di meja sudah terhidang susu hangat dan dua potong cake cokelat, namun baru Hye Ra yang memulai pertempuran. Taek Woon sendiri masih sibuk menguap sembari bertopang dagu. Terhenyak dengan antusiasme gadis berambut sepunggung itu.

Bukannya ia tak ingin merepotkan Hye Ra untuk sekadar menyeduh teh. Taek Woon mengajaknya ke sini karena tak pernah tahan berlama-lama di kamar 402. Berbeda dengan ruangan Taek Woon yang diisi warna-warna membosankan―seperti putih, hitam, cokelat dan hasil kombinasinya―istana Lee bersaudara malah didominasi warna pink dan biru yang sangat mencolok mata. Baik dinding maupun propertinya. Sesuai dengan kesukaan mereka.

Oppa, jika Oppa belum mau makan, boleh kupinta almond-nya?”

Bermaksud mempersilakan, Taek Woon mengangguk. Oh, selain alasan kenyamanan mata, yang kedua adalah presensi Lee Jae Hwan. Sejuta larangan konyol dari pemuda dua puluh tiga tahun itu tak bisa diterima akal sehat. Dan, cake cokelat bertabur irisan almond termasuk di dalamnya. Padahal, setahu Taek Woon, Hye Ra tidak memiliki riwayat alergi pada bahan-bahan utamanya ‘kan?

“Ah! Ini enak sekali!”

Lahir sebagai bungsu di keluarga Jung, Taek Woon senang turut andil dalam membuat Hye Ra tersenyum. Apa begini rasanya memiliki saudara yang lebih muda? Selalu ingin membahagiakan, meski hanya dengan hal-hal kecil yang kadang terlewatkan. Selalu ingin menciptakan tawa yang sama, walau kadang menyusahkan… Sejak kapan?

Sejak kapan tarikan bibir seorang gadis menjadi kebutuhan hidupnya?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ephemeral--
#1
Chapter 5: interesting!!