Keping 3

Protect!

Alunan piano menjadi penutup lagu yang dibawakan Jae Hwan. Tepukan tangan para pengunjung Melody Kaffee sontak menggema ke seisi ruangan. Ya, Melody. Kisah Oh Chang Sub selaku pemilik, yang membuang mimpinya sebagai penyanyi karena enggan menuruti permintaan agensi untuk merombak wajah, menjadi latar belakang pendirian kafe ini.

Seolah melampiaskan hasrat terpendamnya, Oh Chang Sub menyulap dekorasi kasual Melody dengan konsep musik. Tidak hanya menambahkan hiasan tangga nada di seluruh dinding, Chang Sub juga nekat membobol tabungannya demi membeli sejumlah instrumen.

Setiap malam, akan ada satu di antara lima pengisi acara yang akan berdiri di atas panggung. Dan, berdasarkan survei kecil-kecilan yang Chang Sub lakukan, Lee Jae Hwan lah yang paling banyak dinanti. Bermodalkan wajah tampan dan suara manisnya yang khas, Jae Hwan memang cukup populer di kalangan pengunjung wanita. Hal itulah yang melandasi Chang Sub untuk mengundangnya selama tiga malam per minggu.

Menyisihkan empat musisi amatir lain di hari-hari selanjutnya.

“Kau melakukannya dengan baik,” puji Chang Sub, tepat setelah Jae Hwan menuruni panggung. Si telinga lancip tersenyum, kemudian lantas menduduki kursi jangkung di tepi coffee bar. Tatapan Jae Hwan berkeliaran, mengabsen barista dan waiter yang berlalu-lalang.

“Taek Woon-ie sudah pulang?”

Chang Sub mengangguk, “Ya, padahal hari ini jadwalnya lembur.”

Dua cangkir caffé latté terhidang tanpa aba-aba, sebagai teman obrolan mereka. Hong Jun Hyung, barista kesayangan Chang Sub, sudah memahami kebiasaan keduanya. Begitu Jae Hwan selesai menunaikan tugas, dua lelaki yang berselisih umur satu dasawarsa itu akan berbincang sampai dini hari. Topiknya beragam, namun lebih sering mengarah ke bisnis.

Meski Jae Hwan mengaku hanya menjajaki bangku perkuliahan di dua semester awal, Chang Sub betul-betul terpukau dengan wawasan si Lee sulung pada perkara bisnis. Berbagai masukan cerdas dilontarkan Jae Hwan: pengontrolan laporan keuangan, survei selera pasar, turun ke lapangan setidaknya tiga kali seminggu dan pengecekan absensi. Bisa dibilang, ia bahkan lebih berkontribusi dibanding Kang Ho Won, penyandang gelar manajer di Melody.

Jadi, wajar bila predikat “anak emas” di genggaman Lee Jae Hwan bukan sekadar desas-desus. Kalau saja Jae Hwan mau, sudah sejak empat bulan lalu status manajer jatuh ke tangannya. Sayang, Oh Chang Sub tidak bermaksud memaksakan keputusan sepihak itu.

Suara bantingan cangkir menginterupsi percakapan mereka, disusul bunyi berdebum yang asalnya tidak jauh dari coffee bar. Chang Sub dan Jae Hwan segera bangkit, mendapati seorang pengunjung wanita dengan topi rajut dan masker putih bersimpuh di lantai. Entah karena nyeri di bokong atau pecahan cangkir keramik yang menusuk telapak tangannya, ia mulai menangis.

“Kau baik-baik saja, Agasshi?” Jae Hwan membantu wanita bersurai emas itu untuk berdiri. Begitu melihat tetesan darah menghujani lantai, wajah Jae Hwan sontak memucat.

“BIAR! BIARKAN SAJA WANITA JALANG ITU MATI KEHABISAN DARAH!”

Umpatan itu berasal dari pemuda berkacamata hitam yang berdiri tepat di hadapan mereka. Oh, masker berwarna senada yang membalut mulutnya tak mengurangi volume suara si pemuda. Chang Sub pun berupaya menengahi, “Tuan, apa pun masalahnya, Anda tak boleh menyerang wanita. Terlebih, Anda mengganggu kenyamanan pengunjung lain, jadi―”

“JANGAN IKUT CAMPUR!”

Dalam satu hentakan tangan, Chang Sub tersungkur. Netra Jae Hwan kontan berkilat, menusuk sang pemuda bermasker lewat pandangan. Namun, Lee sulung masih berusaha mengontrol emosinya, “Kau berada dalam masalah, Tuan. Seluruh ruangan dalam kafe ini telah dipasangi kamera pengawas. Tidak lama lagi, polisi akan datang menjemputmu, uh?”

Tak disangka, ancaman remeh Jae Hwan ternyata berpengaruh besar. Nyali si masker hitam tampak menciut, seiring dengan decihan sinisnya ketika melarikan diri, “Sial!”

Agasshi, lukamu harus segera diobati.” Atensi Jae Hwan kembali pada sang pengguna topi rajut. Walau dengan kepala tertunduk demi menyembunyikan isakannya, wanita itu menurut saja saat Jae Hwan memboyongnya ke ruang karyawan.

***

Ringisan sang wanita tidak membuyarkan konsentrasi Jae Hwan untuk membaluri obat merah. Usai sekali lagi memastikan bahwa tak ada pecahan yang masih melekat di telapak lembut itu, Jae Hwan pun menyambar gulungan perban dan melilitkannya.

“Terima kasih,” bisik wanita itu, “namamu…”

“Jae Hwan. Lee Jae Hwan,” tukas si telinga lancip sembari mengeratkan perban. Fokus Lee sulung masih tertancap pada tangan yang sama, sampai tidak menyadari kalau pemiliknya menarik sudut bibir. Terbilang sangat cuek, di mana seharusnya pria lain seketika menggila karena terpikat senyum malaikat itu. “Kau?”

Geraian rambut sebatas dada milik si wanita berhasil menyamarkan rona wajahnya, “Umm, namaku Park So Jin. Memangnya… Kau betul-betul tidak mengenaliku?”

Jae Hwan mengernyit. Meskipun Park So Jin telah melepas topi rajut berikut masker putihnya, Jae Hwan tak merasa familiar. Cantik, tapi… Tetap saja tidak menggugah sang pemuda untuk lebih memutar otak, “Tidak. Memang kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Sungguh? Apa kau tidak punya TV?” Sebelah alis So Jin terangkat. Kebisuan Jae Hwan menjadi jawaban telak atas retorikanya. “Kalau punya, apa kau tidak pernah menyalakannya? Setahuku… Drama Severely selalu mendapat rating tertinggi!”

“Kau aktris?”

Entah harus bersyukur atau malah tidak sama sekali, So Jin mengangguk. Ck, padahal sebelum drama itu melambung pun, nama Park So Jin sudah menjadi buah bibir di masyarakat. Tiga judul film, enam drama―yah, walaupun dua di antaranya cuma sebagai pemeran pembantu―dan sejumlah iklan seharusnya cukup untuk membuatnya dikenal.

“Jujur saja, aku tidak suka menonton drama,” imbuh Jae Hwan sembari merapikan keperluan medis darurat dalam kotak. Hei, dia mengatakan yang sebenarnya. Kalaupun ada aktris yang bisa diingat Jae Hwan, paling-paling hanya Song Hye Kyo dan Park Shin Hye.

Park So Jin mendesah, “Sayang sekali.”

“Aku tidak perlu mengantarmu pulang ‘kan?” Jae Hwan bangkit, membuka loker dan mengambil ranselnya. Melihat So Jin menggeleng, si Lee sulung lantas memberengut. “Hei, seorang aktris terkenal tidak seharusnya pergi ke mana pun tanpa man―”

“PARK SO JIN!”

Satu lagi pemuda menyeruak masuk ke ruang karyawan. Suara bass-nya jauh lebih menggelegar dibanding si masker hitam tadi. Khawatir tragedi serupa kembali terulang, Jae Hwan pun batal beranjak, “Maaf, kalau boleh tahu, Anda itu…”

“Ah! Terima kasih sudah menjaga So Jin!” Jambul ombak si pemuda terayun, serempak dengan bungkukan hormatnya. Membuat ingatan Jae Hwan segera terhubung pada warna sejenis yang beberapa hari lalu dilihatnya di layar kaca. “Kau baik-baik saja ‘kan?”

Masih terperangah, Jae Hwan menyahut singkat, “Ya.”

“Syukurlah!” Rambut indigo itu kini berkilau-kilau, terkena paparan sinar lampu. Seraya membetulkan letak sunglasses-nya, sang pemuda meraih lengan So Jin, “Kau masih bisa berjalan, So Jin-a ? Tanganmu… Perlukah kita ke rumah sakit?”

Surai emas sang wanita bergerak ke kanan dan kiri, pertanda menolak.

“Paling tidak, kau selamat.“ Dielusnya puncak kepala So Jin. Tak melupakan presensi Lee Jae Hwan, pemuda itu mengangguk sekilas. Berpamitan sebelum menghampiri mobilnya yang diparkir sembarangan. “Sekali lagi, terima kasih. Jika tidak ada kau―”

“Sampai jumpa!” tandas So Jin, memutus perpisahan dramatis itu. Jae Hwan pun terpaku di ambang pintu karyawan. Bahkan, hingga lambaian tangan Park So Jin lenyap tertelan jendela mobil, lamunan Jae Hwan tak kunjung usai. Dibarengi dengan pijatan pada bahu serta sedikit lenguhan, barulah Jae Hwan menyambar ranselnya lagi.

Hari ini… Benar-benar melelahkan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ephemeral--
#1
Chapter 5: interesting!!