lonceng

kisah klasik (untuk masa depan)

 

 

Di hadapan keluarganya, Kim Chaewon bukanlah seseorang yang dikenal sentimental. Bukan karena ia tak punya perasaan; ia hanya lebih suka memendamnya diam-diam. Berbicara tentang hati itu susah. Bersikap seolah semua baik-baik saja seringkali lebih mudah. Kecuali ia sudah tak sanggup membendung lapisan emosinya lagi, seperti waktu perpisahan di masa sekolah dulu, atau ketika nenek tersayangnya meninggal dunia.

Maka dari itu, keputusannya untuk pindah dan tinggal di desa mendiang neneknya mengundang banyak tanya. Sang Ayah sempat memprotes, sebab Chaewon baru saja lulus kuliah dan satu posisi di perusahaan yang beliau kepalai sudah siap untuk ditempati. Tetapi sang Ibu—yang sedikit lebih tahu tentang ikatan Chaewon dengan neneknya—membujuk beliau untuk memberi Chaewon waktu. Kalau Chaewon tak betah, toh, ia masih bisa kembali ke kota. Dan jika ia betah, yah…

Chaewon sudah cukup umur untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, ‘kan?

Diberi kepercayaan seperti itu, Chaewon sebetulnya agak gamang. Tetapi begitulah arti mendewasa; ada tanggungjawab yang perlu ia pikul, bagi keluarga dan bagi dirinya sendiri. Maka diiyakannya tutur Ibu, dan disampaikannya terimakasih ketika sang Ayah melunak dan akhirnya mengizinkannya pergi.

Chaewon bukanlah seseorang yang dikenal sentimental.

Maka di kalangan pertemanannya pun, ia tak begitu punya seseorang yang bisa ia beritahu betapa deru kereta api yang ia tumpangi mengundang kilas balik beragam memori. Betapa dering default ponsel ibu-ibu separuh baya yang terkantuk-kantuk di hadapannya mengingatkannya akan perjalanan tiap libur panjang masa sekolah. Betapa suara pengumuman stasiun-stasiun yang ia lewati membawanya kembali ke saat-saat di mana ia tak henti menanyai sang Ibu, nenek sudah dekat apa belum?

Barangkali rasa cintanya pada musik turut punya andil. Kadang tanpa ia sadari, Chaewon telah merekatkan memori atau suatu arti tersendiri pada suara-suara yang suatu saat akan ia dengar lagi. Tiupan cerobong kereta api, promosi tak lelah kakang-kakang cangcimen, sahut-sahutan kawanan babang becak begitu ia keluar stasiun tujuan akhirnya.

Sembari menggelengkan kepalanya untuk menolak banjir tawaran kendaraan dengan sopan, Chaewon melangkah keluar. Sepupunya sudah janji akan menjemput, asal Chaewon rela berjalan agak jauh ke area yang tak sesak oleh para pencari rezeki. Disusurinya jalan desa yang sudah beraspal, seulas senyum tipis menyungging bibir kala seorang penjual es krim lewat dengan suara tenot-tenot yang tak lalai membuatnya nostalgik. Lalu, begitu sampai di bawah pohon yang teduh dan mengirim selayang pesan ke Wooseok untuk minta dijemput, dihirupnya nafas dalam-dalam.

 

 

 

Chaewon diam-diam sentimental.

Ia temukan kepingan-kepingan dirinya yang berkisah tentang masa lalu di suara-suara yang ia jumpai lagi. Kring-kring bel sepeda yang berlalu-lalang, tabuh bedug masjid di dekat poskamling, petekak-petekok ayam peliharaan tetangga yang menyapa dengan ramah ketika sepeda motor yang disetir Wooseok mulai memasuki pekarangan.

“Mau masuk nggak?” tanya Wooseok ketika Chaewon terpaku setelah turun dari sepeda motor. “Kalau mau semedi dulu juga boleh.”

Chaewon mendengus, mencubit lengan sepupunya. Rumah mendiang nenek masih berdiri tegak, terawat—berkat Wooseok—dan hampir sama seperti dulu. Hampir, karena nenek sudah pamit, tak akan bisa Chaewon jumpai lagi di dalam rumah itu. Hampir, karena nenek sudah izin untuk menunggu mereka di stasiun kehidupan yang berikutnya, tak lagi bisa memanggil nama Chaewon seperti biasanya.

Tenggorokan Chaewon tercekat. “Aku mau keliling dulu, Seok.”

“Oh.” Sinar mata Wooseok paham. Diangkatnya barang bawaan Chaewon, memberi satu anggukan pasti. “Ati-ati, jangan sampe dikejar entog Pak RT lagi.”

Chaewon memutar bola matanya sebelum berbalik pergi.

 

 

 

Chaewon itu, sejujurnya, sentimental.

Ia ikatkan utas-utas pita kenangan pada suara-suara yang kadang akan ia dengar lagi. Entah itu lagu, deru kereta api, sahutan abang-abang supir bemo yang mengejar setoran, atau suara lonceng perpustakaan desa yang berdentang manakala Chaewon membuka pintu ke bangunan berdinding pastel yang hangat ke pandangan.

Chaewon melongok masuk, degup jantungnya berdetak sedikit lebih keras saat pandangannya jatuh pada sesosok gadis yang sedang menata sekardus buku baru ke dalam rak-rak yang masih setengah kosong. Gadis itu membelakangi pintu masuk, dan seiring dengan dentang lonceng yang perlahan sayup, Chaewon membiarkan waktu mengalir tanpa kata untuk sementara.

(Lonceng yang dipaku dekat kusen pintu itu sudah mulai memudar warna keemasannya, namun suara yang Chaewon dengar tetap sama. Untaian jumpa yang menyeruak kembali di ingatannya tetap sama. Tumpukan buku, secangkir teh, setoples kue. Senyum cerah yang ditemani perbincangan hingga berjam-jam. Hangat usapan jemari pada punggung tangan sesaat sebelum perpisahan. Sampai jumpa lagi, iya ‘kan? Sampai jumpa lagi, Chaewon selalu bilang. Sampai jumpa lagi, Hitomi.)

“Hitomi.”

 

 

 

(Chaewon itu sentimental.

Hitomi tahu, dan Chaewon tahu bahwa Hitomi tahu. Sebab beberapa tahun lalu, di tahun pertama Hitomi magang di perpustakaan ini, Chaewon berkelana masuk ke surga buku itu untuk pertama kali demi menghindar dari ajakan Wooseok untuk mbeteti ikan gurami. Setengah jam setelah Chaewon duduk di pojok dengan sebuah buku yang tak kunjung ia baca, suara pertunjukan wayang mulai mengalun dari radio. Chaewon mendongak. Honda Hitomi sedang menata ulang barisan buku di rak bacaan anak-anak.

Tetapi seulas senyum tenang terukir di wajahnya, dengan kepala yang mengangguk-angguk pelan mengikuti irama suara sang dalang yang melakonkan Kresna Gugah. Entah berapa lama waktu sudah berlalu sampai akhirnya Chaewon berdiri, lalu melangkah mendekati Hitomi selagi dalang memberitakan datangnya Patih Udawa ke hadapan Prabu Baladewa yang senewen ingin bertemu adiknya. Bedanya, Hitomi bukan Baladewa, dan Chaewon bukan Udawa. Hitomi mengerling ke arahnya kala Chaewon duduk di sampingnya, dan Chaewon memberitahunya betapa rekaman wayang ini mengingatkannya pada mendiang kakek.

Oh, maaf!” Hitomi terbata, sudah hendak bangkit. “Biar kuganti—

Jangan,” Chaewon bilang, lingkar jemarinya di pergelangan tangan Hitomi menahannya di tempat. “Nggak apa-apa kok. Cuma bikin kangen aja.

Perbincangan yang kemudian terjadi adalah intipan pertama Hitomi pada sisi Chaewon yang sentimental. Sisi Chaewon yang mendengar lakon wayang dan mengingat sang kakek, pagi-pagi buta, duduk bersandar di teras dan mendengarkan siaran wayang di radio sembari menghirup rokoknya. Sisi Chaewon yang, entah mengapa, di depan Hitomi, tak sungkan untuk muncul ke permukaan. Hitomi memasang kaset lama di radio dan Chaewon akan memberitahunya jika ada kenangan yang kembali mampir karena lagu ini atau lagu itu. Hitomi menyapu lantai perpustakaan dan Chaewon akan mengintip dari celah buku-buku di rak terdekat, bersenandung pelan—dan setelah itu, tiap ia bersenandung di dekat rak buku ia akan teringat tentang Hitomi.)

 

 

 

Setelah bertahun, ada banyak hal yang mengingatkannya pada Hitomi. Senandung di dekat rak, suara lonceng yang tertancap di kusen-kusen pintu, kue kacang dan secangkir teh, atau denyut samar di sudut hatinya yang membuatnya ingin kembali ke desa ini.

“Chaewon?” Hitomi berputar, pendar matanya melunak kala pandangan mereka bertemu. Chaewon menelan ludah, melangkah masuk. Hitomi menaruh buku-buku yang belum sempat ia tata, dan melangkah cepat-cepat untuk mencapai Chaewon.

Sudah berbulan lamanya mereka tak berjumpa, tapi Chaewon tak perlu berpikir panjang sebelum ia membuka kedua lengannya dan menyambut Hitomi ke pelukan.

“Hei.”

“Halo.”

Hitomi menarik diri, menatapnya dengan senyum. “Kapan sampai?”

“Barusan,” ujar Chaewon, tenggorokannya mengering tiba-tiba. “Aku, em, langsung ke sini.” Ia tersenyum tipis. “Aku perlu liat kamu.”

Hitomi mendengus, seperti tak percaya, tapi senyum di bibirnya merekah sedikit lebih indah dan Chaewon tahu Hitomi tersipu. Kedua pipinya ikut menghangat, tapi tak cukup lama, karena Hitomi kemudian mundur selangkah dan berdeham.

“Berapa lama liburanmu?”

Dan Chaewon tak tahu. Ia tak tahu apa yang ia lakukan, tak tahu apakah ia sanggup tinggal di rumah mendiang nenek dan mengatasi sesal akan masa-masa di mana ia terlalu sibuk untuk datang menengok ketika nenek masih bisa menantinya. Ia tak tahu jika keputusannya benar atau sang Ayah yang lebih paham. Ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan dengan kediaman yang diwariskan nenek untuknya dan ia tak tahu bagaimana cara memberitahu Hitomi semua ini tanpa meledak, tapi ia tahu setidaknya satu hal.

Ia ingin bertemu Hitomi lagi esok hari. Ia ingin mendengar suara lonceng perpustakaan lagi esok hari. Ia ingin melangkah masuk, memanggil Hitomi, dan menariknya ke satu pelukan yang tanpa Hitomi tahu sudah memberinya kekuatan untuk berdiri sedikit lebih tegak.

Maka tanpa menjawab pertanyaan Hitomi ia bilang, “Jalan, yuk. Besok sore. Ada waktu?”

Hitomi mengerjap, kedua matanya membulat. “…Jalan?”

Chaewon menghela nafas, dan mengangguk sembari menurunkan pandangan matanya ke lantai. “Jalan. Ada pasar malam di desa sebelah, kata Wooseok. Nggak harus… sebagai apa-apa kok. As friends?”

“Chaewon.” Ia ingin mendengar suara Hitomi memanggil namanya lebih sering. Chaewon mendongak, menatap senyum simpul di wajah Hitomi. “Nggak harus?” ulang Hitomi pelan. “Memangnya… kamu maunya kita jalan sebagai apa?”

Chaewon menelan ludah. Berdeham. Diambilnya satu langkah untuk kembali berdiri di depan Hitomi lagi, dan, sebelum buncah keberanian di dadanya menguap, diciumnya ujung bibir Hitomi, hela nafas gadis di hadapannya terkesiap.

Sesaat, ia khawatir ia sudah melakukan kesalahan besar.

Namun sebelum ia dapat menarik diri dan meminta maaf, Hitomi tertawa kecil, meraih satu tangan Chaewon dan meremas jemarinya dengan ringan.

“Susah ya, ngasih tau lewat kata?”

Chaewon terbata. “Ah. Itu, soalnya…” Apa yang ia bisa bilang? Bahwa ia sudah lama ingin melakukan itu? Bahwa ia sudah lama yakin bahwa ia akan selalu kembali ke tempat ini selama Hitomi masih ada di balik rak-rak buku itu, bahwa ia sudah lama tahu ia ingin Hitomi untuk hadir lebih lama di dalam kehidupannya, tapi tak pernah cukup berani untuk mengubah bagaimana ia datang dan pergi dari kehidupan sang pustakawan?

Hitomi tersenyum, menggelengkan kepalanya. “Kebiasaan deh,” godanya. “Sulit mau terus-terang.”

Chaewon mendengus. “Hei, seenggaknya sekarang aku berani ngajak jalan.”

Sekarang? Memang sebelum-sebelumnya sudah pernah ingin ngajak jalan?”

 

 

 

(Chaewon baru kembali ke rumah mendiang nenek saat senja  menjelang. Wooseok membuka pintu dengan wajah merengut, tapi batal muntab ketika ia sadar Hitomi juga datang. Bertiga, mereka menyusuri seisi rumah. Wooseok mencatat hal-hal penting, dan Chaewon menyibak lembar kisah yang menyelempit di tiap sudut rumah. Hitomi memegang tangannya, dan menanyakan hal-hal kecil yang ia temui: Itu fotomu? Patung kura-kuranya lucu. Tambalan di boneka ini rapi sekali, Chaewon, buatan Nenek Kim? Dan tanpa Chaewon sadari, ia mulai menceritakan butir-butir kenangan yang telah ia buat bersama mendiang nenek.

Ketika ia mulai menangis, luapan rindu dan sesal merembes dari kedua matanya di tengah cerita tentang kotak alat jahit yang ditata di dekat televisi, Hitomi memeluknya dan membiarkan seisi hati Chaewon tumpah. Wooseok menepuk punggungnya pelan dan meninggalkan ruangan, dan untuk waktu yang lama Chaewon bertumpu pada pelukan Hitomi. Ketika ia akhirnya bisa bernafas tanpa tersengal oleh air mata, ia menarik dirinya dan berkata lirih, “Masih mau jalan besok sore?” Ia takkan menyalahkan Hitomi kalau Hitomi berubah pikiran setelah dibebani tur emosional.

Tapi Hitomi hanya tersenyum, mengangguk, dan mengecup keningnya lembut. Seolah ia tak akan pergi. Mungkin ia memang tak akan pergi.

Dan selama Hitomi tak pergi, Chaewon tahu ia akan tinggal di sini.)

 

 

 

END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Dandyul0v3
1346 streak #1
Chapter 9: kangen izone TT
Nblash #2
Chapter 5: Habis baca cute, lompat ke treat.. Sungguh ini uwu sekali ~~
cheeky-ssam
#3
Chapter 5: LUCU AAAAA---logat Jawanya awokwokwokwok bikin makin tergelitik. Jadi gatel melanjutkan fanfiksi yang juga tentang maba & kating di fk, tapi ngga sampai hati menulis-- untung ada yang menulis spt ini,, dahaga jadi terpuaskan:D

Thank you for writing this great piece, nont--sama:DDDDDDDDD
Hiinako75106
#4
Chapter 5: Duh maba lutcu, sini dek sama kk aja :D
cheeky-ssam
#5
Chapter 2: Baca ulang karna bentar lagi lepas gelar MABA #Eaaa lama banget anjir w yudisiumnya...

NAKOCHAN SAMA W AJA GIMANA-
taequeen10 #6
Chapter 4: Hiya hiya hiyaaa... Diabetes gue.. Bgus amat kata2nya
letsmeetagain
#7
Chapter 1: damn, i really wish i could understand this smh a whole tragedy, luv
taesecretfan #8
Chapter 4: I wish i can understand at least half of this. But still, i enjoyed reading this. Thank you~
Hiinako75106
#9
Chapter 4: Chaewon : bla bla bla
Gue : *muntah online, cringy bgt anjir
kimtaetaehwang #10
Chapter 4: Baca berkali2 pun pingin rasanya nge geplak chaewon
Gombalannya luar biasa bikin orang pingin muntah
Untung SsamBbang lucu, kan jd tetep aja senyum2 sambil ngeremet guling gara2 saking manisnya coba itu orang lain udah tak tendang kali biar terbang ke luar angkasa biar dimakan alien xD