dance
kisah klasik (untuk masa depan)
Jarak yang tercipta oleh langkah kaki yang tak bersebelahan itu bukanlah suatu masalah yang besar. Cukuplah salah seorang dari kedua anak manusia itu untuk memberanikan diri, menyusuri jejak tapak kaki; beri waktu, dan perlahan akan berubah kata jauh menjadi dekat. Sesederhana itu.
Sedangkan jarak yang tercipta oleh tradisi dan kasta yang berbeda—
“Siapa yang peduli?” tanyanya pelan.
Di sekeliling mereka adalah berpasang insan, menari diiringi alunan lagu band kerajaan. Tetapi pasangan-pasangan itu lelaki dan perempuan sekasta. Tak terdiri atas seorang anggota royal dengan orang desa, tak terdiri atas langit dan jejalan raya—
“Chaewon,” ujarnya lagi, dan kali ini satu kata itu disertai sebuah uluran tangan dan seulas senyum yang hati-hati. Gemintang mengerjap di matanya, berhamburan dalam wujud sebuah pinta,
“Berdansalah denganku.”
Dan mereka hanyalah sepasang insan yang di luar kebiasaan, sepasang insan yang semestinya tak punya tempat dalam cerita-cerita kerajaan. Sepasang insan yang hanya tahu satu sama lain, dan kedua degup hati seirama yang menginginkan jemari untuk saling menggenggam.
Honda Hitomi adalah anggota kehormatan, seorang putri kerajaan yang seharusnya menantikan seorang pangeran, dan Kim Chaewon hanyalah seorang penduduk desa yang ingin menerima uluran tangannya, menerima hatinya, menerima dirinya.
Dingin yang menyapu telapak tangan itu melenyap, tergantikan oleh jemari hangat yang kasar oleh kerja keras dan lembut oleh pengertian,
“Your wish is my command.”
Senyum yang merekah di bibir Hitomi menenggelamkan berpasang mata yang menoleh tajam. Dari jauh, ujung matanya menangkap sang Raja yang bergegas turun dari singgasananya, disusul oleh penasihat-penasihat istana—namun poros dunianya adalah Hitomi, dengan kilat jenaka di matanya kala band kerajaan mengubah kecepatan lagu menjadi irama yang mengundang tawa, dengan tangan di pundaknya yang tak lagi dirundung ragu, dengan rona merah di bibirnya yang membuat mawar-mawar di kebun istana melayu malu.
Chaewon tersenyum, masih tersenyum saat kedua bibir bertemu dalam manisnya cium, masih tersenyum saat derap kaki sang Raja dan para penasihatnya terdengar semakin mendekat, masih tersenyum saat seseorang dari band kerajaan tetiba memekik “Kebakaran!” dan seisi lantai dansa seketika terpencar dalam panik dan histeria. Ia menoleh ke arah personel-personel band itu berada, bertukar pandang dengan Yena—sang teman masa kecil, sang wingman, sang revolusioner—dan senyumnya pecah menjadi tawa. Digamitnya jemari Hitomi dan mereka tahu langkah selanjutnya, tahu tanpa perlu bicara, namun Hitomi tetap bertanya keras-keras,
“Mau dibawa ke mana aku?”
“Ke kerajaan tetangga,” ucap Chaewon lantang. Di tengah kericuhan itu berpasang telinga masih mendengarkan, dan fakta itulah yang mereka andalkan. Fakta itulah yang mereka harap akan membawa pasukan istana ke tempat yang salah. Diangkatnya sebelah tangan untuk menyisir helai rambut sang putri kerajaan, dan ia ucapkan sisa naskah mereka,
“Ikut aku ke tetaman hijau yang hanya tahu hujan tanpa pernah kemarau. Hidup bersamaku di antara perbukitan, di samping panjang alir sungai yang tak pernah tersendat oleh kekeringan.”
“Baiklah,” ujar Hitomi, dan sinar matanya tulus, lengkung senyumnya lembut kala ia keluar dari naskah:
“Selama aku bersamamu.”
Lalu mereka berlari, dengan tangan yang bergandengan dan langkah kaki yang beriringan; melompati jarak yang dicipta tradisi dan kasta, sebab siapa yang peduli?
Bukan mereka.
Yang mereka punya sudah sempurna.
END.
Comments