Chapter 7 : The Drunkard

Second Confession

(Seo Kang Joon POV)

Aku mengedipkan mataku selama beberapa kali, tidak mempercayai sosok yang berdiri di hadapanku saat ini. Kenapa dia bisa ada di sini? Dan kenapa dia bisa dalam kondisi seperti ini? Wajah Soo Ae merah karena pengaruh alkolhol, bahkan matanya mulai memerah, tanda-tanda di mana dia telah minum terlalu banyak. Ketika aku menghela nafas melihat kondisinya seperti ini, Soo Ae malah terus menatapku dengan mata memelas.

Kami sama-sama berdiri di posisi kami selama beberapa menit, sebelum Soo Ae mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah diriku, memanyunkan bibirnya dan berteriak, "Semua gara-gara kamu! Dasar penjahat!!" Aku mengernyitkan alisku, kenapa aku yang menjadi penjahat ketika dia yang meinggalkanku beberapa tahun lalu? Rasanya ingin sekali aku melontarkan pertanyaan tersebut, tetapi dia tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan dari diriku dalam keadaan mabuk seperti ini. Hatiku mulai bergejolak dengan apa yang harus kulakukan. Mengantarnya kembali ke rumah atau meninggalkannya di pinggir jalan seperti ini? Tetapi pilihan terakhir rasanya terlalu jahat dan kejam untuk dijalankan.

Aku berjalan perlahan mendekat ke arah dirinya, mengulurkan tanganku untuk merangkul pundak kecilnya yang kelihatan rapuh, tetapi Soo Ae malah memukul tanganku dan berteriak, "Jangan pegang diriku!!" Aku memutar bola mataku. Inilah sebabnya aku tidak pernah membiarkannya untuk minum sampai mabuk selama berpacaran dengan diriku. Dia bisa berubah menjadi super tidak masuk akal dalam kondisi seperti ini.

"Jadi apa yang harus kulakukan biar kamu mau mengikutiku buat kubawa pulang ke rumahmu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah rumah sebelahku. Dan setelahnya aku merasa seperti orang idiot yang berbicara dengan orang dari planet alien, ketika ia mulai duduk di atas jalanan, menjulurkan kedua kakinya, dan menangis sambil meronta-ronta.

"Tsk!" aku turut berjongkok di hadapannya. "Yah, kamu tidak mau masuk ke dalam sana? Kamu lebih memilih untuk tidur di luar sini?" tanyaku lagi. Setelah beberapa menit ia memanyunkan bibirnya sambil merengek kata-kata yang tidak kumengerti, akhirnya ia terdiam dan menatap ke arahku. Kali ini dengan mata berkaca-kaca. Perlahan, air matanya mulai mengalir.

Soo Ae membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia kembali menutup mulutnya, menghela nafas, dan menunduk perlahan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian menggelengkan kepalanya.

"Kepalamu sakit?" tanyaku, kali ini dengan nada khawatir. Kemudian melihat ke kiri dan ke kanan, untuk memikirkan apa aku harus meninggalkannya sementara untuk mencari obat minum untuk melegakan rasa mabuk.

Ia menggeleng, kemudian kembali mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku. "Aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud meninggalkanmu hari itu. Aku bahkan sudah siap membuang segala sesuatu kesempatan yang kumiliki di sini," ujarnya tiba-tiba, membuatku tidak tahu harus menjawab dengan kata-kata apa.

Apa maksudnya ia tidak bermaksud meninggalkanku? Bukankah dia yang dengan sangat kejam mengucapkan semua kata-kata tersebut 5 tahun yang lalu? Membuatku depresi dan tidak bisa memikirkan hal lain selain bermain musik. Aku mengulurkan kedua tanganku, menyentuh kedua pipinya, dan menaikkan wajahnya ke arahku.

"Kalau kau tidak berniat meninggalkanku, kenapa kamu mengatakan kata-kata seperti itu dan memintaku untuk meninggalkanmu?" aku bertanya dengan nada lirih. Aku benar-benar tidak pernah bisa mengerti apa yang berada di dalam pikirannya. Walaupun aku telah menjadi teman terbaiknya selama bertahun-tahun dan berpacaran dengannya selama bertahun-tahun sebelum hubungan kami menjadi seperti ini, aku tidak pernah benar-benar mengerti apa yang ada di pikirannya.

"Aku tidak menceritakan alasannya kepada dirimu, karena aku sudah berjanji untuk tidak akan pernah membicarakannya kepada siapa pun juga," ujarnya, sebelum akhirnya teler sepenuhnya di dalam rangkulanku.

***

(Soo Ae POV)

Aku terbangun di pagi hari dengan kepala yang super berat karena banyaknya minuman yang kutenggak semalam. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa tiba di rumah dengan selamat, karena ingatan terakhir yang kumiliki adalah Dong Won yang setengah mabuk memanggilkan taksi dan menyuruhku untuk pulang terlebih dahulu dan dia akan mencari taksi berikutnya, sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Aku menatap ke arah cermin dan terkejut dengan penampakkan yang kulihat di balik cermin tersebut. Siapa orang yang mengenakan lipstick berlepotan, mascara luntur karena air mata dan rambut berantakan ini?

"Aish, aku memang seharusnya tidak bole keluar minum bersama si brengsek itu. Pada akhirnya kami selalu menghabiskan minuman melebihi kemampuan kami," umpatku kesal, kemudian bergegas ke bawah sebelum ibuku sempat meneriaki namaku.

Setibanya di ruang makan, ibuku menatap tidak percaya ke arah wajahku. "Yah! Bukankah lebih baik kalau kamu merapihkan wajahmu? Benar-benar tidak tahu malu!! Harus berapa kali kukatakan kalau kamu ini anak cewe, jadi jangan mondar mandir dengan wajah seperti ini!"

"Mom!! Kamu kira aku yang ingin mondar mandir dengan wajah seperti ini? Aku juga tidak tahu apa yang kulakukan semalam. Kau seharusnya bersyukur aku bisa sampai di rumah dengan selamat,"

"Dan kamu seharusnya bersyukur karena Joonie menemukanmu di depan rumah dan membawamu masuk ke dalam!" sahut ibuku, sambil meletakkan sebuah kotak berisi kue buatannya. Joonie adalah panggilan kesayangan ibuku kepada Kang Joon.

"Kang Joon yang membawaku masuk ke dalam?!" teriakku. Otakku mulai berteriak tidak karuan dan kehilangan konsentrasi. Aku mulai berpikir keras apa ada sesuatu yang kukatakan kepada dirinya selama aku sedang mabuk. Tapi ingatanku mengkhianati diriku karena aku bahkan tidak ingat aku bertemu dengan Kang Joon di depan rumah. Aku membenturkan wajahku ke atas meja.

"Cepat mandi, dan bawa kue ini untuk Joonie, kau tahu dia senang memakan kue buatanku," ujar ibuku, sambil mendorong ke arah kamar mandi.

"Mom, kau tahu dia senang makan kue itu karena dia tidak ingin membuatmu kecewa dengan mengatakan kuemu enak. Hanya anak perempuanmu yang cantik ini yang berani mengatakan hal sebenarnya kepadamu,"

Ibuku memutar bola matanya, "Hanya anak perempuanku yang selalu mencari alasan untuk mencela dan menyakiti hatiku," ralatnya.

"Mom! Kamu tidak senang memiliki anak perempuan cantik seperti diriku?" protesku.

"Cepat masuk ke dalam kamar mandir dan siap untuk berada di hadapanku dalam waktu 30 menit, atau aku akan menghapus namamu dari kartu keluarga," ujarnya sambil mendorongku ke arah kamar mandi.

***

(Seo Kang Joon POV)

"Kak, kau tahu apa yang terjadi pada Soo Ae 5 tahun yang lalu sebelum aku berangkat ke luar negeri?" pertanyaan yang kulontarkan kepada Minah, kakakku semalam masih terngiang di telingaku.

Kakakku mengernyitkan alis dan menggelengkan kepalanya perlahan. Kalau kakakku juga tidak tahu apa yang terjadi, satu-satunya yang bisa kutanya hanyalah dari Soo Ae sendiri. Tapi melihat dia tidak membocorkan sepatah kata pun di saat dia mabuk, membuktikan kalau dia berniat menjaga rahasia ini rapat-rapat.

Aku berbaring di atas tempat tidurku, memikirkan semakin banyak kemungkinan. Memeras kepalaku untuk mengingat setiap detail yang terjadi di tahun itu. Tapi apa pun yang terjadi, tidak ada satu hal pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk meninggalkanku.

Bel pintuku berbunyi dan aku mengumpat kecil sambil turun dari tempat tidur. Seisi rumahku sedang keluar dan sibuk dengan kesibukannya masing-masing, meninggalkan diriku seorang diri di rumah. Mau tidak mau, aku harus menyeret kakiku menuju ke arah pintu pagar untuk membukakan pintu buat tamu yang mengangguku kesenangan diriku saat ini.

Aku membuka pintu dan kembali kehabisan kata-kata ketika melihat Soo Ae, orang yang semenjak dari tadi ada di dalam pikiranku. Tanpa banyak bicara ia menyerahkan kotak kue yang ada di hadapannya, dan berbicara singkat, "Rasa terima kasih dari ibuku karena semalam telah mengantarku pulang," dan membuang mukanya ke arah samping, seolah tidak rela bertatapan dengan diriku.

Aku menerima kotak kue yang ada di hadapannya, mengucapkan terima kasih dan Soo Ae membalikkan badannya. Aku mengigit bibirku, dan berteriak perlahan, "Soo Ae-yah!"

Soo Ae menghentikan langkahnya, tetapi tidak membalikkan badannya. "Aku menarik kembali kata-kataku di restoran... Aku belum bisa sepenuhnya memaafkanmu, tetapi aku tidak keberatan untuk kembali menjadi temanmu," ujarku, menunggu jawaban dari dirinya.

***

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet