Second Confession - Prologue

Second Confession

(Soo Ae POV)

Aku hanya menunduk terdiam ketika Kang Joon meraih tanganku, mengenggamnya erat dan menatapku dengan tatapan tidak percaya. Aku tidak berani mengangkat wajah untuk menatap ke arah dirinya karena aku tahu kalau aku tidak akan mampu membendung air mataku bila aku melihat ekspresi wajahnya sekarang.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Kang Joon dengan suara yang mulai gemetar. Aku merapatkan bibirku, menelan ludah, namun tidak memberikannya jawaban. Rasanya aku ingin berteriak kalau aku belum berubah pikiran, rasanya aku ingin berteriak kalau aku juga masih tetap ingin berada di sebelahnya. Tetapi lagi-lagi aku membulatkan tekad, mengeraskan hatiku, mengangkat sebelah tanganku dan menepis kedua tangannya.

"Tidak memerlukan alasan untuk membuat hati seseorang berubah," sahutku, perlahan tapi tegas, karena berasa menahan air mataku untuk mengalir. Berusaha agar suaraku tidak terdengar gemetar. Berusaha agar dia mempercayai bahwa semua ini adalah kejadian yang terjadi sebenar-benarnya dan bukan sesuatu yang kurekayasa.

Kang Joon menggelengkan kepalanya perlahan, "Aku tidak mengerti... Bukankah kamu bilang kalau aku adalah satu-satunya untuk dirimu? Kalau kamu tidak akan bisa lagi jatuh cinta pada orang lain selain diriku?"

"Semua orang bisa mengatakan hal itu dengan mudah bila ia sedang dimabuk cinta. Itu hanyalah sesuatu yang keluar dari mulutku secara spontan, kata-kata itu keluar begitu saja karena pada saat itu kupikir aku mencintaimu, tetapi sekarang kita sama-sama tahu kalau itu tidak benar,"

"Kita sudah menjadi teman sepermainan sejak kecil, kita bahkan merupakan sahabat dekat sebelum kita mulai berpacaran 4 tahun terakhir ini. Aku tidak percaya kalau kamu adalah orang yang tidak menganggap serius perkataan yang keluar dari mulut sendiri. Kamu pasti punya alasan lain,"

Aku merapatkan bibir, aku benar-benar tidak ingin mengatakan jurus terakhir yang tersisa ini, tetapi sekarang sepertinya aku sudah tidak punya pilihan lain lagi, "Aku tidak bisa terus menunggumu, sudah cukup aku menunggumu menyelesaikan wajib militer kemarin ini. Tapi kalau aku masih harus menunggumu menyelesaikan studimu di luar, apa jadinya aku nanti? Di saat aku sudah memulai karirku dan memiliki posisi penting di perusahaan, kamu baru saja akan memulai kariermu. Terlebih lagi kamu memilih jalan untuk menjadi seorang pianis, apa jadinya kalau kamu tidak bisa terkenal dan memiliki penghasilan setelah semua studimu? Apakah kau berharap aku yang harus menghidupimu seumur hidupku?"

Aku menunggunya membalas perkataanku, tetapi ia hanya terdiam. Wajah sedih dan memelasnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah penuh amarah. Marah dan kesal karena merasa diriku telah mengkhianati kepercayaan yang ia berikan. Diriku telah mengkhianati rasa sayang dan perhatian yang ia curahkan kepadaku selama beberapa tahun terakhir. Merasa sakit karena aku telah melukai hatinya yang ia titipkan kepada diriku.

Kini aku tahu ia mulai percaya pada perkataanku. Tetapi hal itu malah membuat hatiku sakit, air mataku mulai menetes dan aku menundukkan kepalaku lebih dalam agar ia tidak melihatnya.

"Anggap saja aku telah salah mencintai orang selama 4 tahun terakhir ini," geramnya sambil menggertakkan giginya, membalikkan badannya dan meninggalkanku yang kini terduduk seorang diri di kursi taman depan rumahku, menangis sepuas-puasnya.

Sudah hampir seumur hidupku aku mengenal Seo Kang Joon, teman laki-laki pertamaku, karena ia merupakan anak pindahan di sekolah baruku ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada yang ingin main dengan dirinya karena masing-masing sudah memiliki grup main sendiri. Aku yang kebetulan duduk di sebelahnya mulai merasa penasaran kepada dirinya yang selalu asyik mendengar lagu klasik dan sering mendengar alunannya bermain piano dari rumah sebelah.

Setelah saling bersapa beberapa kali, Kang Joon mulai mengajakku bermain bersama, bermain musik bersama, belajar bersama dan hampir melakukannya semuanya secara bersama-sama. Setelah tahun pertama ia duduk di bangku kuliah, ia memutuskan untuk menyelesaikan wajib militer sebelum kembali melanjutkan kuliahnya. Terpisah satu sama lain, membuat kami saling menyadari perasaan kami terhadap satu sama lain. Di saat aku menjenguknya di sela-sela waktu libur wajib militernya, ia menyatakan perasaannya kepadaku dan tanpa terasa kami telah berpacaran selama hampir 4 tahun lamanya.

Kukira aku bisa terus berada di sebelahnya. Kukira kami bisa selalu memiliki hubungan yang harmonis seperti selama ini. Kalau aku tahu pada akhirnya aku akan berpisah dengan dirinya, aku akan lebih memilih untuk menolak pernyataan cintanya dan tetap menjadi teman terbaiknya sampai seumur hidupku. Namun menangisinya sekarang pun sudah terlambat.

Aku menghapus air mataku, dan menunggu selama beberapa saat sebelum masuk ke dalam rumah agar orang tuaku tidak tahu aku menangis, atau mereka akan mengkhawatirkan diriku.

***

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet