Chapter 2 : Dinner Gathering (1)

Second Confession

(Seo Kang Joon POV)

Aku sedang asyik memilih minuman untuk menghilangkan rasa dahagaku setelah konferensi pers dan sesi interview bersama beberapa majalah hari ini. Rasanya tenggorokanku kering terbakar karena terus menerus menjawab pertanyaan tanpa ada sedikit pun jeda untuk istirahat. Dan yang lebih menyebalkan adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh setiap pihak majalah sama dan super monoton, tanpa harus menghafal teks yang disiapkan oleh Min Ah untuk menjawab pertanyaan mereka sekalipun, aku bisa hafal mati isinya.

BRAK!!

Sebuah suara super kencang yang berasal dari belakang kepalaku, membuatku menolehkan wajahku ke arah tumpukkan bungkusan kacang yang tengah diobral namun kini tumpukkan tersebut jatuh berserakkan ke mana-mana. Sebuah trolley yang didorong oleh seorang perempuan yang jatuh terduduk membelakangiku berhenti di tengah-tengah tumpukkan kacang, sehingga bisa kutebak kalau si perempuan itu pasti dengan super tidak hati-hati telah menabrakkan trolleynya ke tumpukkan kacang tersebut. Aku tidak melepaskan pandangan mataku ketika perempuan tersebut berusaha bangkit berdiri sambil mengelus pantatnya perlahan.

Aku mengernyitkan alis mataku, membayangkan betapa sakit dirinya saat ini dan yang pasti betapa malu dirinya saat ini. Aku tidak menolehkan perhatianku dari sosok perempuan tersebut, karena perasaan wajah tolol seperti apa yang ia miliki sampai bisa melakukan tindakan super tolol di hadapan umum seperti ini. Jalanan antar lorong di supermarket ini tidak tergolong sempit, dan termasuk lebar, jadi tidak ada alasan di mana si trolley bisa tiba-tiba menabrak tumpukkan bungkusan kacang obral yang jelas-jelas engga ditaruh di tengah jalan.

Perempuan tersebut menepuk celana jeans yang ia kenakan selama beberapa kali, sebelum merapikan rambutnya perlahan dan menoleh ke arah diriku. Mata perempuan tersebut membesar karena terkejut sementara mataku membesar karena amarah yang terpendam di dalam hatiku selama beberapa tahun terakhir ini. Aku selalu berusaha melupakan perbuatan super kejam yang dilakukan oleh dirinya terhadapku, dan berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak peduli. Tetapi, aku ternyata masih peduli karena aku masih bisa merasakan amarah yang meluap-luap dari dalam diriku. Walaupun aku sangat yakin kalau perasaan yang tersisa untuk dirinya hanyalah amarah, benci dan dendam.

Soo Ae membuka mulutnya selama beberapa detik, terdiam tak bergeming sampai akhirnya muncul suara yang keluar dari mulutnya, "Kang... Kang Joon...," ujarnya terbata-bata. Aku menggertakkan gigiku menatap tajam ke arah dirinya. Tidak barang sedetik pun aku melepaskan pandangan wajahku dari dirinya. Banyak sekali emosi dan amarah yang ingin kuluapkan dan kutumpahkan ke arah dirinya, namun aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku asyik tenggelam dan berenang-renang di dalam pikiranku sendiri, sampai perempuan di sebelahku, Min Soo mencoel lenganku dan bertanya, "Orang yang kau kenal..?"

Pikiranku buyar secara seketika dan tanpa berpikir banyak aku segera menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak, dia bukan orang yang kukenal," kemudian pergi dari sebelah Soo Ae tanpa berkata apapun juga. Oh, dan ketika aku bilang Soo Ae bukan orang yang kukenal, aku sengaja mengatakannya dengan suara cukup keras agar dia bisa mendengar perkataanku. Aku tersenyum puas ketika lewat di sebelahnya karena kini aku yakin kalau setidaknya hati Soo Ae akan merasa tidak enak atau mungkin dia malah akan merasa bersalah dan sedih bila, hanya bila dia masih memiliki perasaan untuk diriku, yang sayangnya tidak ia miliki lagi.

Mungkin dia sudah menemukan pria tampan dengan penghasilan super lumayan untuk menjadi pacarnya seperti yang ia inginkan. Atau mungkin juga ia sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Atau mungkin saja...

"Joon, kau dengar apa yang kukatakan barusan?" lagi-lagi pertanyaan Min Soo membuyarkan lamunanku.

"Ya? Mungkin ada baiknya bila kau saja yang menyetir karena aku sepertinya tidak bisa berkonsentrasi karena lelah setelah acara interview dan konferensi pers barusan," saambil turun dari bangku pengemudi dan memilih untuk duduk di belakang.

Min Soo tertawa kecil mendengar pengakuanku, "Oh ya? Dan tadi sepertinya ada yang bilang kalau kamu tidak akan kecapean bila aku mengatur jadwalmu sepadat itu,"

"Well, anggap saja aku terlalu meng over estimasi diriku sendiri," sahutku, tanpa memberi kesempatan Min Soo untuk menlanjutkan celaannya. "Aku akan tidur, tolong antar diriku dengan selamat sampai ke depan rumahku, kau sudah punya alamatnya kan?"

Min Soo mengangguk ringan sambil memutar kunci mobil. "Ayo kita berangkat sekarang!"

***

(Soo Ae POV)

Karena tidak ingin ibuku merasa khawatir, aku memilih untuk mampir ke taman kecil yang terletak tidak jauh dari rumahku, berusaha menghentikan air mata yang terus mengalir di pipiku sedari tadi. Aku duduk di salah satu bangku kayu yang terletak di bawah lampu, sambil memperhatikan sepasang anak muda yang tengah asyik bermain ayunan, sambil berpegangan tangan dan tampak sesekali tertawa kecil. Tanpa kusadari, aku tersenyum kecil melihat mereka berdua.

Pikiranku melayang ke masa di mana aku dan Kang Joon senang menghabiskan waktu berdua di taman ini setelah kami pulang berkencan di akhir minggu.

"Menurutmu apakah kita akan bisa terus bersama-sama seperti ini?" tanyaku, mengayun kursi ayunan perlahan sambil menatap ke atas langit yang hari itu terlihat lebih cerah dan biasanya.

"Sampai kau membenci diriku karena aku yakin kalau aku tidak akan pernah membenci dirimu," sahutnya tersenyum kecil sambil menatap ke arahku.

Aku mengangguk perlahan.

"Hanya itu saja?"

"Apa jawaban yang kau harapkan?" tanyaku kebingungan.

"Well, 'aku tidak akan pernah membencimu jadi jangan khawatir' dan sejenisnya?" sahut Kang Joon sambil mengangkat kedua alisnya.

Aku menghela nafas, kali ini memperhatikan sekelompok anak-anak yang asyik bermain di perosotan sambil tertawa kencang. Seandainya saja aku bisa hidup seperti mereka yang sepertinya tidak memiliki sedikit pun pikiran tentang hari esok. Aku melirik ke arah layar telepon ketika telepon genggamku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Awalnya aku memutuskan untuk tidak menyahuti telepon dari ibuku, namun ketika aku melihat jam sudah menunjukkan waktu lebih dari tujuh malam, aku segera melompat dari bangku taman dan segera berlari kecil ke arah mobil.

"Ibuku pasti akan membunuhku," umpatku sambil menyalakan mesin mobil dan menyetir agak kencang ke arah rumahku.

***

Menit berikutnya aku sudah tiba di depan rumah, dan mataku tidak melepaskan pandanganku dari ferari merah yang diparkir di depan rumah sebelah. Ternyata biar perekonomian ini susah, masih saja banyak orang yang sanggup berfoya-foya dan membeli mobil semalah ini. Dalam waktu sehari saja aku sudah melihat mobil sport mahal seperti ini sebanyak dua kali. Seandainya saja semua orang berhenti berfoya-foya dan memfokuskan diri untuk membantu mereka yang berkekurangan, betapa bahagia dan damainya dunia ini. Setelah memastikan aku telah mengunci mobil, aku berlarian kecil ke dalam rumah.

"Mom, sorry, sesuatu yang tak terduga terjadi sehingga membuatku tidak bisa kembali ke rumah te...," aku mengerutkan alisku ketika melihat ibuku tengah asyik berbincang dengan seseorang.

Siapa yang datang ke rumah di jam makan malam seperti ini? batinku dalam hati sembari melepaskan sepatu dan mengintip masuk ke dalam.

***

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet