In The Forest (Part 4-End)

Namjoo X Sanghyuk Fanfic Collection
Please Subscribe to read the full chapter

Hening, hanya suara tapak kuda yang konstan terdengar menapak  permukaan tanah memenuhi telinga mereka, sesekali suara serangga malam di ladang yang tengah mereka lewati.

“Namjoo? Kau baik-baik saja? Katakan sesuatu…” ucap Sanghyuk setelah hanya sunyi mengisi di antara mereka.

“Aku… baik-baik saja Sanghyuk…”  jawab Namjoo pelan. Di dalam benaknya, ia masih khawatir atas dirinya keluar jauh dari rumah dan hutan, namun ia tidak ingin membuat Sanghyuk khawatir.

“Katakan padaku jika kau ingin beristirahat, hm?” ucap Sanghyuk.

Hari pertama perjalanan mereka cukup lancar, hanya melewati hamparan padang rerumputan dan perladangan. Mereka memutuskan beristirahat saat subuh di sebuah lumbung ladang.

Sanghyuk meminta izin pada pemiliknya begitu matahari terbit, menawarkan beberapa emas sebagai bayaran untuk menetap disana. Ia kembali ke lumbung setelah sebelumnya memberi makan kudanya, menangkap pandangan Namjoo yang sedang bersandar di tumpukan jerami, menoleh pada lelaki itu.

“Kau belum tidur?” tanya Sanghyuk otomatis.

Namjoo menggelengkan kepalanya, “Aku menunggumu…”

Bibir Sanghyuk otomatis tertarik tersenyum.

Perjalanan dilanjutkan kembali begitu matahari telah terbenam sempurna, perladangan mulai berganti menjadi hutan bambu yang terdapat beberapa kolam kecil di berbagai tempat. Dengan kondisi yang seperti itu dan gelapnya malam membuat kudanya tidak berlari dengan kecepatan maksimal. Jika  seandainya mereka mengambil perjalanan pada siang hari, mereka bisa mencapai gunung utara dengan hanya dalam kurun waktu 3 hari. Tapi dengan kondisi seperti  ini Sanghyuk memperkirakan paling cepat mereka akan tiba dalam 5 hari.

Mereka mampir lebih cepat dan menetap di penginapan desa kecil di tengah perjalanan, khawatir tidak akan menemukan tempat berlindung jika mereka memaksa terus melaju.

Begitu terus berulang selama tiga hari berikutnya, hanya pemandangan yang berganti, itu pun tidak terlalu signifikan mengingat mereka hanya mengandalkan cahaya lentera yang lemah dan bintang-bintang di langit.

Malam ke lima, seperti yang diperkirakan Sanghyuk, kini mereka sudah tiba di lereng gunung. Udara dingin pegunungan mulai mencubiti kulit mereka, yang walaupun telah dilapisi pakaian tebal beserta mantelnya.

“Sebentar lagi sampai, Namjoo…” bisik Sanghyuk di telinga Namjoo.

Walaupun faktanya mereka berdua hampir tiba, namun Sanghyuk merasakan perasaan tidak menyenangkan menjalari tubuhnya. Benaknya mulai berbicara yang tidak-tidak. Ia mengingat di desa terakhir mereka singgah, ketika dirinya mencari tahu keberadaan si penyihir, namun tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya lebih dari sepuluh tahun ini. Mereka bilang ‘Sia-sia saja mencarinya’, ‘Era penyihir sudah punah Anak Muda!’ dan ada pula yang terbahak ketika Sanghyuk menanyakannya.

Mengingat hal itu, membuat benaknya merasa ada yang ganjal… sepenuhnya ia baru sadar, bahwa dari awal bahkan ketika Ayah Namjoo menyuruhnya, pria itu tidak benar-benar memberitahunya dengan pasti. ‘Bagaimana jika si penyihir itu tidak ada? Menghilang? Ataupun telah lama mati?’ Jantungnya mulai berdegup lebih kencang memikirkannya, sebelum kemudian pandangannya dikejutkan oleh penerangan ekstra yang tiba-tiba. Kepalanya mendongak, malam ini malam purnama. Sang Bulan kini sepenuhnya menampakkan diri dari balik awan.

Bibirnya kemudian tersenyum, kini ia menyadari sedang melintas di padang bunga lavender, dan jauh berpuluh meter di depan mereka, hutan pinus menanti menyambut mereka.

“Namjoo, lihat! kita melintasi padang bunga lavender! Warnanya ungu, bukankah itu warna kesukaanmu?” pekik Sanghyuk kemudian.

Ada jeda sejenak, “Ya… ini indah sekali…” sahut Namjoo pelan.

“Kau lelah? Bertahanlah… sebentar lagi kita sampai..” Ujar Sanghyuk tak hanya meyakinkan gadis itu, namun juga meyakinkan batinnya sendiri.

Mereka mulai memasuki hutan pinus. Tak ada jalan setapak, membuat si kuda menginjak ranting-ranting patah di permukaan tanah. Pepohonan yang tinggi itu membuat penerangan bulan menjadi terhalang, membuat si kuda berjalan menaiki gunung dengan perlahan.

Menurut informasi yang didapat Sanghyuk, si penyihir menempati benteng di kaki gunung ini dan jika memang sebuah benteng, pastilah itu tidak akan terlalu sulit dicari. Namun mereka kini cukup kesulitan menemukannya.

Pemandangan berganti menjadi semak-semak berduri, sesekali pohon maple menjadi penghalang mereka. Beruntung cahaya bulan dan lentera mengingatkan mereka sebelum dahan dan ranting menghadang.

Sebelum ratusan pinus tinggi kembali menyambut mereka dan di kejauhan di bawah sinar sang rembulan ada sebuah benteng, benteng hitam yang sebenarnya ukurannya terlalu kecil untuk disebut sebuah benteng.

“Namjoo lihat! Kurasa kita sudah menemukan tempatn-“

Saat itu pula, lentera terjatuh dari pegangan Namjoo, tubuh gadis itu mendadak limbung hampir terjatuh dari kuda jika Sanghyuk tidak refleks menahan tubuhnya. Lelaki itu menyibakkan tudung jubah Namjoo, memegang wajahnya yang berkeringat hebat, suhu tubuhnya tinggi, terlalu tinggi untuk seukuran demam biasa, membuat Sanghyuk refleks bergidik panik dan ketakutan.

Kemudian kedua matanya melebar, ‘Bulan….’ batinnya sembari mendongak ke atas langit. ‘Cahaya bulan… pantulan cahaya matahari…’ ucapnya pada dirinya sendiri.

Ia kemudian kembali mengerudungkan tudung Namjoo rapat-rapat, memeluk tubuhnya. “Namjoo… kumohon bertahanlah… sebentar lagi kita sampai…” lirihnya ketakutan.

Begitu tiba di halaman benteng, ia segera turun dan menggendong tubuh Namjoo, mengikat kudanya dengan tergesa di pohon terdekat.  Ia kemudian membawa Namjoo berlari menuju ke pintu benteng, mengabaikan setiap inci di tubuhnya yang berteriak keletihan, mendorong papan kayu ek itu dengan tenaganya yang tersisa.

Gelap, lembab, bau apek dan bangkai binatang mulai memenuhi indera penciumannya; suara cicit tikus yang berlari terbirit-birit terdengar begitu Sanghyuk memasuki koridor utama; sarang laba-laba dimana-mana menyerang langkahnya. Mengamati kondisi benteng seperti itu, pikiran tak menyenangkan mulai menghentaknya lagi. ‘Benarkah si penyihir itu benar-benar tinggal disini?’ batinnya gelisah. Matanya mengarah pada Namjoo yang kini terkulai lemah di pegangannya.  Napas gadis itu memburu, keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Ia mengeratkan tangannya lagi, berusaha memberikan kehangatan ekstra pada gadis itu.

Ia membuka pintu demi pintu yang ia temukan, berharap menemukan penghuni di dalamnya. Dahinya mengernyit, bibirnya mengeluarkan desahan frustasi berturut-turut tiap kali membuka pintu-pintu yang mulai reyot termakan rayap itu. Kini pandangannya menatap pintu di ujung koridor, pintu terakhir, dan harapan terakhirnya pula.

Sanghyuk mendorong perlahan pintu tersebut, matanya yang sudah terbiasa dengan kegelapan, menangkap siluet seseorang terduduk di kursi menghadap ke perapian yang sama sekali tidak menunjukkan cahaya api.

“….kau... datang…”

Sanghyuk bergidik ngeri, suaranya sangat lirih dan terdengar seperti suara rintihan dari seorang nenek sangat tua. Dari kalimat si penyihir itu, nampaknya tahu bahwa dirinya dan Namjoo akan datang. Namun ia tetap berkata, “Apa anda sang penyihir putih yang tinggal di gunung Utara?” tanyanya.

Penyihir itu tidak menjawab.

Sanghyuk melihat ke arah Namjoo yang tampak bergidik kedinginan. Ia kemudian kembali berkata, “Apakah anda keberatan jika saya menyalakan perapian?”

Lagi, tak ada jawaban dan Sanghyuk menganggapnya sebagai jawaban –iya.

Ia mendudukkan Namjoo di sofa yang busanya sudah menyembul dimana-mana dan berdebu tebal, di depan perapian-sebelah kursi si penyihir. Menyalakan perapian menggunakan korek api yang berada di saku celananya.

Ia kemudian berbalik dan kembali dikejutkan dengan tatapan kedua mata berwarna kelabu, yang  balik menatapnya. Wajahnya berkeriput berlapis, pipinya cekung tak berdaging, pandangannya kosong, tak berkedip dan mengerikan, rambut putih-kotor-panjang-kusutnya menyembul di sisi tudungnya, kedua tangannya beristirahat di masing-masing lengan kursi.

Sanghyuk berusaha mengontrol diri, “Erm… Anda pasti tahu maksud kedatangan saya—“

“Bukan aku” sahut nenek penyihir itu.

“Eh- Apa--?” Sanghyuk bingung.

Penyihir itu melanjutkan, “Bukan aku yang mengutuk sihir pada gadis itu—Kakakku, penyihir hitam yang melakukannya—“

Sanghyuk mengernyitkan dahi, “T-tapi anda penyihir bukan? Anda pasti bisa memulihkannya!” sambar Sanghyuk.

“Aku tidak bisa…aku bukan yang mengutuknya— Ada sumpah dalam kutukan itu—Seumur hidupnya, gadis itu tidak akan bertahan di bawah sinar matahar—“  jawabnya masih dengan suara merintih mengerikan.

Sanghyuk terbelalak, ‘Logika macam apa itu?!’ teriaknya dalam batin. “Kau tidak bisa begitu!” teriaknya dengan nada tinggi, lalu sedetik kemudian sadar kalau ia tidak sopan maka ia merendahkan suaranya. “Aku yakin kau bisa, kau seorang penyihir… Kau harus menyembuhkannya…  AKu memohon padamu… Tolong sembuhkan Namjoo…” ucapnya memohon sembari bersimbah menundukkan kepalanya berkali-kali di hadapan kakinya, sebelum kepalanya mendongak begitu si penyihir berbicara.

“Seorang pemuda dan gadis terkutuk mendatangimu pada saat bulan penuh menjadi penghias sang malam, si gadis terkulai lemah akibat cahaya kegelapan yang tak terduga, sang pemuda memohon tiada henti meminta kesembuhannya, dan saat itulah dimana takdir mendatangimu, kematian yang abadi akan menjemputmu—“ Penyihir itu berbicara lancar tanpa suara rintih, seperti ia sedang membaca sebuah syair yang membuatnya terdengar semakin menyeramkan, pandangannya seperti menerawang jauh entah kemana. Sanghyuk terkejut, tak percaya dengan apa yang didengarnya membuat lidahnya kelu, membuatnya hanya bisa terdiam.

Kemudian pandangan nenek itu kini beralih pada manik Sanghyuk yang terbelalak membalas pandangannya. Suaranya kembali merintih dengan lirih, “Itu takdirku… Aku.. telah menunggu kalian ..bertahun-tahun lama---” Mata kelabunya kembali seperti kosong, namun kini benar-benar kosong dan mulutnya tak bergerak berbicara lagi.

Sanghyuk menggeleng, “TIDAK!!” pekiknya, kini ia mulai memegang bahu ringkih sang penyihir, mengguncangnya kasar. “Tidak! Kau tidak akan mati sekarang! Dan kau akan menyembuhkan Namjoo! Kumohon! Akan kuberikan segala yang kau inginkan! Emas! Aku punya banyak emas! Kau bisa mengambil semuanya!! Kau bisa mengambil semua milikku!” Kedua matanya kini berair, amarah dan keputusasaan bercampur dalam dirinya. “Kenapa kau diam saja?! Tolong Katakan sesuatu!!” akhirnya sembari menangis terisak.

Sebuah telapak tangan menyentuh bahu Sanghyuk, membuat lelaki itu menoleh padanya. “…Sanghyuk… kita harus mengistirahatkannya…” ucapnya lembut namun dalam suara lemah dan wajah pucat.

Sanghyuk menangis dalam diam, namun kemudian ia mematuhi saran gadis itu, mulai menggendong tubuh nenek tua berbalut jubah lusuh termakan usia. Membawanya ke salah suatu ruangan ber-ranjang yang ia temukan beberapa saat sebelum menemukan penyihir itu. Membaringkan tubuh kurus dan keriputnya dengan berhati-hati di atas ranjang reyot yang kasurnya berdebu tebal dan berjamur. Ia kemali terdiam menatap tubuh tak bernyawa di hadapannya.

Namjoo menghampiri di sebelahnya, menutup kedua mata penyihir itu yang masih terbuka, memposisikan kedua tangan keriputnya di depan dadanya. Gadis itu kemudian memejamkan mata, menangkupkan kedua tangannya, berdoa.

Perlahan kemudian, kedua mata gadis itu membuka, ia menoleh pada Sanghyuk dan berkata, “Sekarang, dia akan beristirahat dengan tenang kan?” tanyanya dengan suara lemahnya.

Wajah pucatnya, tubuhnya yang kini sangatlah lemah masih sempat mengasihi seseorang yang bahkan tak dikenalnya. Senyum simpul di bibirnya  membuat Sanghyuk meringis pilu, ia menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukan erat dan menangis. “Maafkan aku Namjoo! Maafkan aku… Aku tidak bisa menyembuhkanmu… Aku tidak bisa membuatmu melihat dunia… dan aku malah mencelakaimu—“ ucap Sanghyuk terisak.

Namjoo melepas pelukannya, memegang wajah lelaki  dihadapannya, mengusap pipi basahnya. “Kenapa kau menangis?” ujarnya lirih, kedua matanya pun kini berair dan ikut menitikkan air mata.

“Maafkan aku… Sudah seharusnya aku tidak membawamu kemari… Semuanya menjadi sia-sia… dan aku tidak menyadari cahaya bulan—Maafkan aku..”  lanjutnya dengan penuh penyesalan.

Namjoo menggeleng tak setuju. “Ini tidak sia-sia Sanghyuk… Kau bahkan telah memperlihatkanku sebagian besar dunia, dan kalau kita tidak pergi… siapa yang akan mengistirahatkan nenek ini?”

Sanghyuk tidak bisa berkata apapun lagi. Ucapan tulus Namjoo membuatnya terdiam dan terpana, semakin mengagumi sosok gadis itu. Ia menangkup wajah gadis itu, mengusapnya lembut. Rasa bersalah terhadapnya mulai mereda begitu senyuman menghiasi bibir gadis itu.

*

Demam Namjoo tidak menurun walaupun ramuan penurun demam yang dibawa di ransel perbekalannya telah diminum olehnya.

Namjoo tidak bisa tertidur, keringat bercucuran di tubuhnya, namun ia mengigil kedinginan. Sanghyuk tidak mengerti harus bertindak apa selain mengelap keringat yang tak henti bercucuran.

“Apa ada hal yang kau inginkan, katakanlah…” rajuk Sanghyuk.

Namjoo balas memandangnya, menggeleng kecil, “Aku hanya… ingin kau berada di sampingku, itu saja…” ucapnya lirih.

Sanghyuk tersenyum, dan di benaknya kali ini dipenuhi dengan perkataan ‘Aku harus mempertemukannya dengan ayahnya… dan barangkali meminta petunjuk lain mengenai kutukan Namjoo…’ ia kemudian terdiam, mengingat kata-kata ganjal Ayah Namjoo dan Si Penyihir.

‘Namjoo dikutuk’

‘Ada sumpah dalam kutukan itu—‘

Ada sesuatu, sesuatu yang dirinya, Namjoo, bahkan  ayah Namjoo tidak ketahui dan hal itu masih misteri…

“Sanghyuk…” suara itu menyadarkan Sanghyuk kembali ke tempat. Ia balas memandang pandangan gadis itu yang sedang berlapis selimut di depan perapian, mengamati wajahnya.

“Ada apa? Kau menginginkan sesuatu?”

Hening sejenak, “Kau… tidak akan meninggalkanku kan?” tanyanya, kedua matanya penuh kekhawatiran khasnya.

“Namjoo… kau masih meragukan janjiku?”

Namjoo terdiam dan Sanghyuk tahu, ia menjawab –iya. Sanghyuk kemudian berbaring di sebelah Namjoo, memposisikan kedua wajahnya agar berhadapan.

“Apakah… Kau tidak mau bersama denganku?” tanya Sanghyuk sembari mengelap dahi gadis itu dengan handuk di tangannya.

Namjoo terdiam, matanya tampak tak yakin.

Sanghyuk mendesah kecil, menarik napas dalam kemudian. “Erm.. mungkin lebih jelasnya… Apa kau mau hidup bersamaku, menjadi isteriku dan ibu dari anakku kelak?” ucap Sanghyuk, yang kemudian ia merasakan wajahnya memanas, yang pastilah bersemburat merah yang tak ada hubungannya dengan cuaca.

Bahkan Namjoo yang wajahnya tampak pucat karena demam, pipinya tampak lebih berwarna di bawah pantulan cahaya perapian. Matanya kini menghindari kontak dengan Sanghyuk.

“Kenapa? kau belum siap? Hm.. tidak apa… aku akan menunggumu….” ucap Sanghyuk kemudian, senyum menghiasi bibirnya.

Malam berikutnya mereka kembali melanjutkan perjalanan, Sanghyuk secepat mungkin harus membawa Namjoo ke seorang dokter dan mempertemukannya dengan ayahnya. Bulan masih muncul malam itu, Namjoo sudah memakai pakaian lebih tebal, syal melilit hingga menutupi sebagian wajahnya, dan tudung mantel dipastikan Sanghyuk menutup rapat seluruh tubuhnya, tidak membiarkan cahaya bulan masuk walaupun dalam celah kecil.

Namjoo masih terserang demam, ia masih mengeluhkan kedinginan, namun tak berkeringat hebat seperti malam kemarin.

Ia berusaha sekencang mungkin mengendarai kudanya, mengandalkan insting kudanya mengarungi perjalanan di bawah sinar rembulan, menuju Kerajaan Selatan…

*

3 hari kemudian…

Mereka berdua hampir sampai di Kerajaan Selatan menjelang tengah malam, Sanghyuk tidak berniat untuk berhenti, ia terus melaju menuju kastil walaupun Namjoo terkulai lemah di pegangannya.

Setelah menaiki jalan menanjak, melewati lapangan kastil dan kini ia di depan gerbang pintu kastil. Ia menurunkan dirinya dan Namjoo yang berada di pegangannya.

“Aku ingin menemui Baginda Raja sekarang juga.” ujar Sanghyuk terengah. Si prajurit penjaga tampak menaikan satu alisnya, sembari memandangi Sanghyuk penuh curiga.

“Kau ini bodoh atau gila, Nak? Tidak tahukah kau tata cara berkunjung?”

Sanghyuk mendesah, “Kumohon, gadis ini butuh pertolongan medis! dan aku butuh berbicara langsung padanya!” ucapnya mendesak.

“Sayang sekali, Nak… ini bukan rumah sakit, kau datang ke tempat yang salah…” ujarnya sembari terbahak.

“Kau tidak mengerti… tidak ada rumah sakit yang bisa menangani penyakitnya… dan perlu kau tahu, gadis

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chanyeolove
should write a new one

Comments

You must be logged in to comment
melltasha_ #1
Chapter 11: wuuu sweet bangettt AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
melltasha_ #2
Chapter 9: keren sekali ceritanya ... kapan updte lagi ? ayo la update biar jadi seru!!!!!
mashumer00 #3
Chapter 25: suka!!
semua chapter ditulis dengan indah..
♥️♥️♥️
rina0807 #4
Chapter 25: Baru suka sama vixx, jadinya baru nemu cerita ini.. sukaaaa... Ada kemungkinan lanjut kah? Kalo ada, bisa coba masukin anggota vixx lain jadi peran playful gitu, yang godain hyuk sama namjoo... Heheh
Semangat authornim...
blue54 #5
Chapter 25: Hhh q dah baca di wattpad tapi buka aff ada pemberitahuan ini q baca lagi dan tetep suka XD
asdfghjkyubutt
#6
Chapter 25: Jujur, ketika baca judul sama dua paragraf pertama(?) kukira bakal sesuai sama lagu Eyes tapi ternyata... /blushing ga karuan/ ahh mereka berdua sudah besar anyways xD thanks a lot for writing this, sukses bikin cengar-cengir tengah malem hahahah
Rifanabilaa #7
Chapter 24: Duh mereka kok gemesin sih. Dah lama gak baca ff mereka
DEERDEWI
#8
Chapter 20: Looh akhirnya kok :(
Aduh hyukieeee kenapa gak susul namjoo aja ke amerika
blue54 #9
Chapter 22: Whoa i lakie it
dsytw09 #10
Chapter 22: Terbaikkkkk /kasih 4 jempol /?
Menciumnya lagi dan lagi. Panen bener namjoo nya :'D
Namjoo sama hyuk udh gede ya. Cium cium nambah lagi /abaikan
'-')b