Chapter 08

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Suasana terasa semakin intens manakala Minhyuk meremas kuat lembar kertas dalam genggaman tangannya. Matanya tak lepas dari sosok Jiyool yang mengaret di sudut sofa sembari menunduk dalam. Seukujur tubuhnya bergetar hebat, tak berani membalas tatapan Minhyuk yang seolah-olah sedang mengulitinya.

Napas Minhyuk terdengar memburu, siap membunuhnya kapan saja. Dan Jiyool belum ingin mati. Sungguh, meskipun saat ini ia ingin lenyap dan menghilang tanpa jejak, Jiyool masih ingin hidup. Konyol sekali jika berita tentang kematiannya tersebar luas di seluruh media karena kemarahan sang Kakak.

“Jadi kau berencana untuk menggugurkannya?” Meskipun Minhyuk mengatakannya dengan nada rendah, namun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Jiyool seolah mati rasa. Ia sudah tak dapat mengenali orang yang kini berdiri di hadapannya.

“Kau akan menggugurkannya dan tidak memberitahu kami?” Mata Minhyuk memicing, ia melempar surat persetujuan yang kini sudah menjadi gumpalan kertas ke sembarang tempat.

Wajahnya meringis ketika ia mendengar Minhyuk menendang tungkai meja dan menyebabkan beberapa alat tulis miliknya jatuh menghantam lantai. Ia berjalan ke kanan dan ke kiri, matanya bergerak liar dengan raut tertekuk dalam. Sementara Jiyool hanya dapat menerima dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tak dapat memerediksi tindakan Minhyuk selanjutnya. Bahkan kemarahannya kini lebih besar dari kemarahannya ketika ia tak pulang semalaman.

Masalah memang tak henti-hentinya datang setelah Jongin masuk ke dalam hidupnya. Atau lebih tepatnya, kala mereka melakukan perbuatan hina itu satu bulan yang lalu. Masalah lain menghantam Jiyool ketika ia belum dapat menyelesaikan masalah-masalah terdahulu dan kini harus ditambah lagi dengan penemuan Minhyuk perihal kandungannya.

Langkah lebar lelaki tersebut tiba-tiba berhenti. Kepalanya terangkat cepat dan seketika itu juga matanya melebar. Jiyool hanya dapat mengintipnya dari balik helaian rambut panjangnya. Ia beranjak menuju laci meja televisi dan mengambil kunci mobil yang tersimpan di sana.

“Akan kuberi pelajaran padanya!” Gumamnya, tertangkap oleh indera pendengaran Jiyool.

Mata gadis itu membeliak. Ia bangkit dari duduknya dan berusaha menghentikan Minhyuk yang kini akan membuka daun pintu rumah mereka. ia menarik ujung kausnya dengan erat, mengerti ke mana Minhyuk akan pergi setelah ini. Tentu Jiyool tak ingin kakaknya bertindak gegabah. Hal itu hanya akan memperunyam keadaan.

“Jangan!” Pekik Jiyool bergetar.

“Apa?! Jangan kau bilang?! Setelah apa yang dia lakukan padamu dan sekarang kau melarangku untuk memberi pelajaran padanya?” Intonasi Minhyuk semakin meninggi. Ia menyentak tangan Jiyool dari kaus bajunya dan langsung menarik daun pintu hingga terbuka lebar.

Gadis itu masih berusaha menahan kepergian Minhyuk. Ia menangis dan memohon dengan nada memelas. Jantungnya seakan dihimpit oleh beban berat hingga napasnya tersengal-sengal. Ia tak mendapatkan udara cukup, membuat kesadarannya seakan direnggut secara perlahan.

Namun usaha Jiyool tak membuahkan hasil. Minhyuk berhasil masuk ke dalam kendaraan dan menginjak pedal gas dengan bunyi decitan ban. Sementara energi Jiyool telah terkuras amblas oleh segala campuran emosi yang melanda dirinya. Kakinya lemas tak dapat menopang beban tubuhnya sendiri. Ia terjatuh, memegang dadanya yang terasa nyeri. Bukan, ia tak memiliki masalah jantung, hanya saja membayangkan apa yang akan Minhyuk lakukan dan apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Sehun nanti membuat rasa panik menyerangnya bertubi-tubi. Semua terjadi dalam satu malam, semuanya hancur oleh karena kelalaiannya, dan ia tak memiliki kelebihan untuk memutar ulang waktu. Dunia Jiyool kacau balau.

 

(((*)))

 

Pintu kamar lelaki tersebut mengeluarkan bunyi ketukan beruntun, membuatnya berguling di atas tempat tidur sembari menggeram kesal. Ia berjalan untuk membuka pintu kamarnya dan langsung disuguhi oleh pemandangan dari wajah panik sang Pelayan. Ia meremas-remas kesepuluh jemarinya, bibirnya bergetar sembari sesekali menoleh ke belakang seakan-akan ia sedang dikejar sesuatu.

“Ada apa?” Tanya Sehun dengan kening mengerut.

“I-itu, K-Kang Minhyuk—” belum sempat ia menyelesaikan kalimat, tubuhnya sudah didorong oleh Minhyuk yang kini sedang berdiri di hadapan Taemin dengan rahang mengokoh.

“Hyung?” panggil Sehun terkejut dengan mata melebar.

Tak ada jawaban dari Minhyuk. Ia melirik seorang pelayan yang kini hanya dapat menatap keduanya dengan pandangan kuatir seakan menyuruh Sehun untuk segera mengusirnya pergi. Untungnya, ia cepat tanggap. Kepalanya bergerak untuk memberi isyarat agar pelayan tersebut meninggalkan mereka. Awalnya ia tak yakin, masih mematung di tempatnya, takut jika sang Tuan Muda disakiti oleh Minhyuk. Namun ketika melihat ketegasan di wajah Sehun, akhirnya ia menyerah.

Minhyuk membanting pintu kamar lelaki tersebut dengan sekali tendangan. Ia meraih kerah baju Sehun lalu membenturkan punggungnya pada permukaan dinding.

Telinga Sehun berdengung. Ia merasakan nyeri pada tengkorak belakang serta tulang sumsumnya. Minhyuk semakin menekan tubuhnya, membuat wajah Sehun meringis menahan nyeri. Lehernya tercekik oleh tekanan pada tangan Minhyuk yang masih menggenggam kerah bajunya. Ia terbatuk beberapa kali, berusaha mencari udara yang tak seberapa untuk menyuplai paru-parunya yang kelompong.

“Kau brengsek!” bentakannya menggema di penjuru kamar. “Kau apakan adikku? Setelah memanfaatkannya kini kau tak mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu sendiri? Kau malah memintanya melakukan hal keji itu?!”

Sehun tak tahu reaksi apa yang harus ia tunjukkan pada ucapan Minhyuk. Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang dibicarakan olehnya, dan lagi, stok oksigen yang menipis membuat kepalanya tak dapat berpikir jernih. Kerasionalan dirinya lenyap manakala ia sudah tak sanggup lagi menahan sesak di dadanya. Sekuat tenaga tangannya mendorong Minhyuk hingga cengkramannya terlepas. Sehun terjatuh pada lututnya, masih terbatuk-batuk sembari memegang leher yang terasa begitu nyeri.

Belum sempat itu mengumpulkan kesadarannya, sebuah pukulan keras bersarang di pipi kirinya. Sehun terempas, bahunya menghantam tungkai meja dan ia yakin itu akan meninggalkan jejak kebiruan di sana. Bau anyir serta rasa asin menyengat indera pengecap dan penciumannya. Ia menyeka cairan merah pekat yang kini mengalir dari sudut bibirnya.

“Sejak awal aku memang tak pernah memercayaimu. Kau itu bajingan, kau tahu?! Niatmu busuk dan aku menyesal telah memercayakan Jiyool kepadamu!”

Kali ini tendangan keras yang mendarat di ulu hatinya. Sehun memeluk perutnya dengan tubuh mengerut di samping meja. Sementara Minhyuk tak henti-hentinya mengumpat. Semua kata-kata yang keluar dari bibirnya hanya umpatan, merendahkan Sehun yang sama sekali tak tahu apa salahnya.

Lalu setelah beberapa menit berlalu, keadaan kini sudah tampak sedikit tenang. Sehun terduduk di lantai, bersandar pada kaki meja sembari menerawang kosong ke depan, masih terkejut oleh apa yang baru saja terjadi. Ia tak dapat menemukan suaranya sama sekali. Dan Minhyuk hanya berdiri sembari berkacak pinggang, menatap lantai di bawahnya dengan pikiran kalut. Ia baru menyadari tindakan gegabahnya. Namun setelah dipikir ulang, ia tak menyesal telah memukul Sehun. Setidaknya itu adalah ganjaran yang harus diterimanya karena telah menghancurkan hidup Jiyool. Ini hanyalah permulaan, Minhyuk bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari apa yang ia lakukan sekarang. Tak peduli siapa ayah Sehun, tak peduli apa statusnya, karena yang ada dalam benaknya kini adalah membuat hidup lelaki itu sekacau mungkin. Tak ada alasan baginya untuk tak melakukan itu.

“Dengar kata-kataku dengan baik, karena ini terakhir kalinya aku akan berbicara denganmu. Setelahnya, jangan muncul lagi di hadapanku ataupun Jiyool.” Suara Minhyuk terdengar menakutkan, membuat kepala Sehun tanpa sadar terangkat dan mengangguk takut.

“Kau, tak perlu bertanggung jawab. Aku juga tak sudi memiliki adik ipar sepertimu. Apa kau tahu dampak dari semua ini? Kau sadar, ‘kan, Jiyool sudah menunggu saat-saat ia akan berangkat ke London dan mengejar mimpinya di sana? Aku tak menyangka kau benar-benar brengsek, Oh Sehun.”

Untuk sesaat, Sehun pikir ia memang salah. Ia mengira bahwa Jiyool menceritakan kepada Minhyuk mengenai sikapnya yang seakan menentang kepergian Jiyool ke negara bagian eropa tersebut. Sehun baru saja akan membuka mulut untuk menjelaskan semuanya, namun sengatan rasa perih seakan menusuk sudut bibirnya, dan ia memilih untuk mengatupkannya kembali.

“Aku akan menemukan jalan keluarnya, Jiyool tak membutuhkanmu. Jadi kuminta mulai sekarang jauhi dia. Surat persetujuan aborsi yang kauajukan akan kupikir ulang. Jika memang hal itu perlu, mungkin menggugurkannya adalah jalan satu-satunya. Sekarang, yang harus kaulakukan hanya lenyap. Jangan temui Jiyool. Meskipun itu di sekolah, berpura-puralah seperti tidak saling kenal. Aku akan membicarakan hal ini dengannya juga.”

Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut, Minhyuk melengos keluar dari kamar Sehun. Meninggalkan lelaki itu dalam keterkejutannya. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya kini seakan kebas, bahkan belati tajam tak kasat mata yang menohok jantungnya lebih menyakitkan dari luka-luka yang ia terima.

Surat persetujuan aborsi? Jiyool? Kekasihnya? Ini bukan sebuah lelucon, ‘kan? Sehun masih kesulitan untuk mencerna segalanya. Dan ia tak mengerti perasaan apa yang kini berkecamuk dalam benaknya. Ia yakin selama hampir satu tahun umur hubungan mereka, ia tak pernah menyentuh Jiyool lebih dari mencium bibir atau memeluknya. Mereka menjalani hubungan yang sehat. Ia menghargai Jiyool hingga merasa tak tega melakukan hal itu pada kekasihnya sendiri. Lalu sekarang, tiba-tiba ia mendapat kabar bahwa Jiyool sedang merencanakan pengguguran janin? Dan siapa ayah janin itu?

 

(((*)))

 

Ia terduduk di atas sofa tanpa tahu harus melakukan apa. Ayahnya hanya berdiri di sana, menatap Jiyool dengan tatapan kecewa. Gadis itu tak berani mengangkat wajah dan menatap tatapan sang Ayah, namun ia tahu jika dua mata lelah itu kini tengah digenangi oleh cairan bening. Sementara Minhyuk duduk di sofa lainnya, berusaha menahan emosi agar tidak membentak Jiyool. Kali ini ia menyerahkan segalanya kepada ayah mereka. Ia ingin melihat bagaimana cara pria paruh baya tersebut menangani perkara ini.

Alih-alih mendengar bentakan dengan suara beratnya, Jiyool justru dikejutkan oleh tarikan napas pendek Tuan Kang. Ia sedang menangis sembari berkacak pinggang. Kepalanya menunduk dalam untuk menyembunyikan kelemahan tersebut di depan kedua anaknya. Bahkan Minhyuk pun sampai tercengang dibuatnya.

Jiyool berharap ia menerima makian dan bentakan dari Tuan Kang, bukan pemandangan miris yang kini harus ia saksikan. Perasaannya semakin terluka. Dan rasa sesak yang ia rasakan semakin menjadi, menyebabkan genangan air mata mengalir menuruni kedua pipi merahnya.

Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun terakhir ia melihat sisi lemah sang Ayah. Terakhir kali adalah ketika Jiyool mendapati ayahnya menangis di teras rumah saat ibunya meninggal. Lalu setelah pemakaman berakhir—sama halnya seperti Jiyool—ia berusaha menjadi kuat untuk kedua anaknya. Ia bekerja lebih keras dan menerima semua pekerjaan lembur untuk mengalihkan kesedihannya. Namun kini, Tuan Kang kembali lagi menjadi Tuan Kang yang dulu. Ia rapuh, ia merasa tak pantas disebut ayah, ia menyesal.

Pria paruh baya tersebut berjalan menghampiri Jiyool lalu merangkul bahunya. Mengecup kening Jiyool di tengah-tengah tangis bisunya. Dan hal itu semakin menyaikiti hati Jiyool. Ia semakin membenci dirinya sendiri yang telah mengecewakan ayahnya—satu-satunya orangtua yang ia miliki saat ini. Sementara di lain sisi, Minhyuk tampak tak terima dengan sikap lembek sang Ay

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali