Chapter 13

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Ada kalanya semua terasa begitu mudah bagi Jiyool. Kini Soojung selalu menemaninya di sekolah selama pelajaran tambahan belum dimulai. Minhyuk lebih sering berada di rumah dan memilih untuk membawa Soojung bermain ke kediaman mereka setiap akhir pekan ketimbang melakukan acara kencan wajib. Tuan Kang selalu pulang kerja lebih awal, ia mengurangi tawaran kerja lembur kendati tentu saja ia pula tak mendapatkan gaji tambahan. Sementara Sehun sudah mulai memaafkan kesalahannya. Mungkin hubungan mereka tak akan pernah sama lagi seperti dulu, mereka masih bersikap canggung satu sama lain, namun tampaknya Sehun bersedia mengumbar senyum kala mereka berpapasan di koridor sekolah atau kafetaria.

Kehidupannya sebagai seorang murid sekaligus calon ibu muda nyaris saja sempurna jika tak ada kehadiran Jongin dalam hidupnya. Kini lelaki itu kembali mengabaikan dirinya. Kendati mereka duduk berdampingan di dalam kelas, namun bahkan ia tak pernah mendapati Jongin melirik padanya. Lelaki tersebut hanya memfokuskan diri pada pelajaran, ia tak lagi menanyakan bagaimana kabar Jiyool.

Beberapa hari yang lalu, Jiyool melihat Jongin sudah kembali menggandeng gadis baru. Kali ini junior mereka—gadis imut dengan perawakan mungil dan sepasang mata sipit yang menggemaskan. Tak dapat dipungkiri bahwa rasa cemburu itu bersarang dalam hatinya. Tetapi dicobanya untuk mengabaikannya, mungkin dengan begini, semuanya akan menjadi lebih mudah.

Tanpa ia sadari, waktu terlampau begitu cepat. Pekan depan ujian kelulusan akan segera berlangsung. Murid-murid menjadi makin sinting. Mereka bahkan rela bermalam di sekolah dan menghabiskan waktu di perpustakaan. Sejatinya—jika Jiyool tak sedang mengandung—ia pun agaknya akan melakukan hal yang sama. Biar bagaimanapun, tujuannya selama ini menyia-nyiakan masa remajanya hanyalah untuk menjadi yang terunggul. Namun setelah kehadiran makhluk kecil yang kini tertanam di dalam perutnya, tentu Jiyool akan berpikir dua kali untuk tetap tinggal di sekolah selama berhari-hari.

Ketak-ketuk suara heels Park Sonsaengnim yang beranjak keluar dari kelas menyetak lamunannya. Ia menatap jam yang tergantung di permukaan dinding kelas, baru menyadari bahwa lengan pendeknya telah menunjuk di angka lima. Ia bahkan tak terusik oleh suara bising bel yang menandakan berakhirnya jam pelajaran tambahan.

Mata Jiyool meneliti kesekitarnya, mendapati tiga orang siswa telah berlari keluar dengan terburu-buru sementara yang lainnya masih membereskan alat-alat tulis mereka. Ia pun mengambil tasnya yang diletakkan di sisi tungkai meja, memasukan buku serta kotak pensil dengan malas.

Hari ini ia memang lelah, entah karena apa. Berkonsentrasi pun rasanya sulit. Kerap kali kelopak matanya tertutup beberapa jenak sebelum ia dikejutkan dengan bentakan melengking Park Sonsaengnim di depan kelas. Kini, Jiyool mulai membayangkan kamar dengan tempat tidur yang diselimuti seprai lembut miliknya beserta dua bantal violet dan wewangian lavender yang menenangkan.

Bunyi derit kursi seakan memekik tepat di samping telinganya. Untuk yang ke sekian kali, Jiyool terlempar begitu jauh dari fantasi tentang kamar di rumahnya. Ia menengok ke kanan, mendapati Jongin sudah berdiri di samping mejanya sembari menatapnya datar. Ia memperbaiki letak tas punggung dengan susah payah akibat dua buku tebal yang memenuhi tangannya.

Debaran kencang itu seakan menghantam dinding rongga dadanya. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengontrol ekspresi wajah senormal mungkin. Masih dengan tungkainya yang melemas, Jiyool memaksakan diri untuk bangkit dari bangku. Ia menghindari tatapan Jongin dengan memutar tumit, hendak meninggalkannya di sana sendirian—mengingat kelas sudah benar-benar sunyi.

Sekonyong-konyong tangan bebas Jongin terulur untuk menghentikan langkahnya. Jiyool kembali bersehadap dengan lelaki tersebut. Ia menutup rapat bibirnya menjadi satu garis tipis dengan rahang mungil yang tampak mengokoh. Kedua jemarinya terkepal kuat di sisi-sisi tubuh, tak mengindahkan tusukan kukunya di telapak tangan.

“Kita perlu bicara.” Ujar Jongin lirih—kontras dengan wajah datarnya.

“Kupikir kita sudah cukup berbicara saat itu.”

“Tidak, aku ingin membicarakan sesuatu yang lain.”

Jiyool menaikkan salah satu alisnya. Kini lengannya terlipat di depan dada, berusaha menyembunyikan kepalan tangan yang mulai bergetar. Ia tak ingin goyah, ia tak ingin tampak lemah, ia tak ingin memberikan peluang untuk lelaki brengsek seperti Jongin. Ia bisa melalui semua ini. Ia bisa. Ia bisa. Ia tidak bisa.

Embusan napas gusar meluncur dari celah bibir mungilnya. Matanya terpejam erat dengan kepala sedikit mendongak. Cairan bening itu berusaha menerobos dinding pertahanannya. Ia benci hormon yang selalu berhasil mengubah emosi dirinya dalam sekejap mata. Menangis tak pernah ada dalam kamus Kang Jiyool sejak ibunya meninggal. Ia selalu bisa melewati segala permasalahan yang menghujaninya tanpa melibatkan emosi sensitif tersebut.

“Bicaralah,” ujar Jiyool akhirnya. Ia membuka mata dan memijat kening yang berdenyut.

Jongin membersihkan tenggorokannya dengan berdeham pelan. Ia menjilat bibirnya beberapa kali sebelum akhirnya membuka suara, “pergilah berkencan denganku untuk malam ini saja.”

Tubuh Jiyool serasa kebas. Kerja otaknya melambat dengan mata yang membeliak lebar namun tak memiliki fokus pasti. Maniknya berpindah-pindah pada setiap bagian wajah Jongin, mencari kebenaran dari kalimatnya. Ia ingin menampar dirinya sendiri, mencubit lengannya atau meragut surainya hanya untuk membuatnya tersadar dari ilusi yang sudah kelewat batas. Ini tidak mungkin, ‘kan? Batinnya.

Jongin berjalan satu langkah lebih dekat kepada Jiyool, namun tak berniat untuk meraihnya. Ia menilik reaksi yang diekspos gadis itu, menunggu jawaban atas ajakannya. Lelaki tersebut dapat merasakan desiran darahnya mengalir di pembuluh nadi, ia tahu bahwa wajahnya kini telah memanas—bahkan mungkin sedang merona, jantungnya tak kalah cepat dari jantung Jiyool.

Sungguh, ia sudah memikirkan hal ini sejak sepekan terakhir. Memang bukan keputusan yang mudah, namun Jongin ingin mencobanya. Setidaknya rasa bersalah pada Jiyool nantinya tak terlalu menjadi setelah hari kelulusan tiba. Oh, mereka akan segera lulus dalam waktu kurang dari sebulan. Tentu Jongin nyaris mati dibuatnya hanya oleh karena Jiyool dan bayi mereka.

Dua menit lamanya saling membisu, hingga sebuah kekehan geli datang dari arah Jiyool. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tawa yang sebentar lagi akan bersalin menjadi tangisan frustasi. Tangannya yang lain terkibas-kibas di hadapan Jongin, tampak gemetar dan tak bertulang.

“Hentikan, Jongin! Jika kau hanya ingin menghancurkanku lagi, sebaiknya—”

“Aku serius, Kang Jiyool!” bentak Jongin tegas.

Tawanya lesap, rahangnya tak terkatup rapat, bahkan kini kedua matanya melebar dua kali lipat dari sebelumnya

“Aku serius, oke?” suara Jongin melembut, “dengar, aku sudah menghabiskan waktuku hanya untuk memikirkan ini. Kaubilang aku tak perlu ikut campur dengan masalahmu, dan bayi itu… dia… dia adalah milikmu. Tapi kumohon beri aku satu kesempatan untuk menebus kesalahanku. Mungkin di masa depan aku tak akan bisa melihatmu lagi, begitupun dengan bayimu. Jadi biarkan aku melakukannya sekarang. Biarkan aku menjadi ayahnya sekaligus pasangan ibunya untuk malam ini saja. Setidaknya—meskipun ia belum lahir dan mengerti apa-apa—dia bisa merasakan kehangatan saat ayah dan ibunya bersama. Aku tidak akan menyakitimu atau bayimu, aku janji.” Jelas Jongin, bernada frustasi.

Jiyool masih membisu, otaknya bekerja ekstra untuk mencerna satu persatu kata yang keluar dari mulut Jongin. Genangan bening itu tak dapat ditampungnya lagi. Mereka melinang deras bak aliran sungai. Sepatutnya Jongin mengatakannya sejak dulu. Sepatutnya ia menunjukkan atensinya kepada Jiyool dan bayi mereka sejak awal. Tetapi kini semuanya sudah terlambat. Jiyool terlampau takut untuk memercayai Jongin lagi. Ia tak ingin merasakan hempasan kuat dari rasa kecewa yang seakan meremukkan sekujur tubuhnya.

“Jiyool,” panggil Jongin. Tangannya terulur untuk meraih jemari Jiyool.

Tak ada penolakan dari gadis itu. Kendati ia ingin menarik kembali tangannya, namun jauh di dalam lubuk hatinya ia tak ingin. Kehangatan Jongin seakan memberikannya kekuatan baru. Rasa lelah itu menguap entah kemana, bahkan tak meninggalkan jejak.

“Maaf jika aku hanya bisa melakukannya malam ini saja. Aku belum siap, aku tidak yakin bisa menjadi yang terbaik untukmu dan untuk bayimu.”

“Tidak apa-apa, aku juga tidak berharap kau akan bertanggung jawab penuh.” Balas Jiyool dingin. Ia menatap lurus kedua manik cokelat Jongin. Napasnya memburu, kali ini bukan karena amarah, ia hanya tak paham emosi apa yang tengah berkecamuk di dalam dirinya.

“Jadi?”

“Baik, aku akan akan pergi denganmu. Untuk malam ini saja.”

Senyuman samar terpatri pada wajah lelah Jongin. Kendati tak begitu kentara, namun itu adalah senyuman pertama yang didapati Jiyool. Senyuman yang dialamatkan untuk dirinya. Senyuman yang tampak tulus namun juga tampak ragu untuk diperlihatkan. Barangkali Jongin tak yakin apakah ini waktu yang tepat untuk tersenyum.

“Terima kasih, Jing—Jiyool,”

Gadis itu tak begitu mendengar apa yang diucapkan Jongin, namun ia menganggukkan kepala. Keduanya berdiri canggung, Jongin bingung apakah ia harus langsung menarik tangan Jiyool dan membawanya ke lapangan parkir menuju mobilnya, atau menunggu instruksi dari gadis tersebut untuk pergi.

“Pergi sekarang?” tanya Jongin, sekadar memastikan.

Jiyool kembali mengangguk. Ia sudah tak bisa mengeluarkan suaranya lagi, seakan-akan hal itu memerlukan banyak tenaga. Dan tanpa ia duga sebelumnya, Jongin menautkan jemari mereka, menuntun jalan menuju lapangan parkir. Sementara mata Jiyool hanya mampu terfokus pada tautan jemari mereka. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, dan mungkin Jongin dapat merasakannya juga. Namun Jiyool tak acuh. Perasaan tak menentu kini didominasi oleh rasa bahagia yang seakan meluap di dalam hatinya. Kendati ia tak ingin terlalu berharap dan berusaha menekan rasa bahagianya, hal tersebut hanya menjadi lancut pada akhirnya. Ia senang bukan kepalang.

Dari jarak sepuluh meter jauhnya, Jiyool dapat melihat kilauan cat hitam dari BMW X6 milik Jongin. Jantungnya berdebar kian kencang, tungkainya melemas tatkala lelaki itu membuka pintu mobil di sisi kemudi untuk Jiyool. Ia terdiam sejenak, memperhatikan wajah Jongin lebih teliti.

Kedua alisnya terangkat saat mendapati Jiyool tak urung bergerak. Ia hendak membuka suara ketika sekonyong-konyong Jiyool melepas tautan jemari mereka dan masuk ke dalam mobil. Sesuatu seperti terenggut begitu saja. Keduanya merasakan hawa dingin di salah satu sudut ruang hati mereka. Namun hal tersebut tak berlangsung lama lantaran kemudian, Jongin menutup pintu dan bergegas masuk ke pintu di sisi lainnya.

Kendaraan melaju dengan kecepatan sedang. Jika umumnya ia selalu menyetir ugal-ugalan, kini tentu ia harus menjamin keselamatan dua orang yang menumpang di mobilnya. Tangan Jiyool meraih kumpulan CD album yang tertumpuk di balik dasbor. Sengaja menyibukkan diri untuk mencairkan suasana canggung. Bibirnya bergerak samar membaca setiap judul-judul lagu, berharap ia menemukan lagu yang disukainya.

“Evanescence?” gumam Jiyool dengan kening mengerut. Oh, semasa sekolah menengah pertama, ia begitu tergila-gila dengan musik mereka. Ia bahkan selalu mendengarkannya selama dalam perjalanan ke sekolah ataupun pulang sekolah.

Jongin menengok, menatap CD yang kini tergenggam dalam jemari lentik Jiyool. “Kau menyukainya?”

Gadis itu mengangguk cepat, “aku selalu mendengarkannya saat SMP.”

“Mau kuputar?”

“Boleh?”

“Tentu saja.”

Dengan pandangan fokus ke arah jalanan di depannya, sesekali Jongin menundukkan kepala saat akan memasukan CD. Beberapa saat kemudian, alunan musik dari lagu berjudul Like You memenuhi ruang mobil. Jiyool tersenyum, nostalgia seakan menghantam ingatannya bertubi-tubi. Kira-kira sudah empat tahun lamanya ia tak pernah mendengarkan musik-musik kesayangannya lagi semenjak ujian kelulusan SMP waktu itu.

“…and though I may have lost my way, all paths lead straight toward you…”

Suara merdu Jiyool seakan memanjakan telinga Jongin. Ia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada kemudi mobilnya. Suara itu masih terdengar familier, suara itu tak berubah, masih dapat menyejukkan hatinya. Lembut dan menenangkan, memberi kesan manis yang membekas lekat. Nyanyian Jiyool mengiringi perjalanan mereka. Dari Like You, Lacrymosa, hingga Lose Control, ia tak henti-hentinya bernyanyi. Bakat terpendam dalam dirinya yang tak diketahui banyak orang. Jongin merasa bangga bahwa ia termasuk dalam salah satu orang beruntung yang dapat menden

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali