Chapter 20

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Rasanya begitu hangat, bak nyala api di tengah-tengah badai salju. Melingkupi seluruh ruangan dan membungkus tubuh Jiyool dengan erat. Membiarkan dadanya naik dan turun dengan teratur, membiarkan hidungnya menghirup aroma maskulin yang menjadi candu baginya, membiarkan otot-otot tubuhnya rileks oleh lingkaran lengan kekar pada pinggangnya yang melebar. Ia tersenyum kala cahaya terang dari tata surya membias melalui celah tirai jendela yang tak tertutup rapat; tak ingin bergerak barang itu hanya satu milisenti, tak ingin mengacaukan apa yang ia rasakan saat ini. Seakan-akan ia kembali pulang ke rumah dan mendapatkan kembali kehangatan yang selama ini dirindukannya.

Lingkaran lengan kekar tersebut semakin menariknya mendekat, kini Jiyool dapat merasakan embusan napas hangat Jongin di sisi telinganya. Lelaki itu mengecup rahangnya, lalu bergerak naik ke pelipis, hingga terakhir mendarat di pucuk kepala. Jiyool memberanikan diri menggeliat pelan, meregangkan sendi-sendi tulang, lantas membuka matanya dengan perlahan. Ia disambut oleh dua manik cokelat meneduhkan, menatapnya lekat seakan dapat membaca seluruh isi benaknya.

Jantung Jiyool berdebar kencang, layaknya deburan ombak di tengah-tengah angin topan. Layaknya gencatan senjata yang melontarkan peluru tanpa ampun—napasnya tercekat. Bukan karena takut ataupun panik, melainkan karena rasa bahagia yang meluap dalam dirinya. Ia ingat bagaimana Jongin menyentuhnya dengan hati-hati semalam. Ia pula ingat bagaimana ia berusaha agar tak menyakiti dirinya serta bayi mereka. Semua tampak begitu jernih dan hidup. Tersimpan rapi dalam sebuah ruangan di dalam kepalanya.

Jika empat bulan yang lalu ia terjaga dengan perasaan takut dan panik, kini tak ada satupun dari perasaan tersebut yang menyambangi hatinya. Ia lega bukan main kala masih merasakan kehangatan Jongin di sisinya. Jiyool tak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya, namun kini ia merasa dibutuhkan. Ia merasa berarti karena Jongin masih setia menemaninya. Masih memeluknya dan memberikannya beberapa kecupan.

Tangan Jiyool terangkat untuk menyentuh pipi lelaki tersebut. Ia menyibak rambut yang menutupi alisnya, mengelus rahang kokonya, lalu mengecup bibir penuhnya. Kendati hanya kecupan singkat, namun cukup membuatnya mencecap peristiwa semalam. Jika jantung dapat meletup, Jiyool rasa dalam hitungan detik tubuhnya akan melebur berkeping-keping oleh rasa bahagia.

“Tidurmu nyenyak?” tanya gadis itu, tak juga mengalihkan tatapannya dari Jongin.

Ia mengangguk sebagai jawaban sembari menarik dagu Jiyool lalu kembali memberikan kecupan berulang-ulang pada dua pasang bibir tipis tersebut. Senyumnya kian melebar, tak peduli jika gigi mereka saling beradu, Jiyool hanya ingin Jongin tahu bahwa ia begitu bahagia saat ini. Ia senang karena Jongin tak lagi bersikap brengsek seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Kendati ia pula tak tahu kapan sikap brengsek itu akan muncul kembali. Tak ada yang dapat memrediksinya.

“Terima kasih,” ucap Jiyool lirih.

Jongin menjauhkan wajahnya. Alisnya berjingkat dengan mata separuh terpejam.

“Terima kasih karena kau masih di sini. Terima kasih karena kau tak mengatakanku gadis murahan dan mengusirku keluar dari sini. Terima kasih untuk tetap menjadi Kkamjong yang kukenal selama ini.”

Ia kembali membungkam bibir Jiyool dengan sebuah cumbuan. Kali ini memberikan beberapa lumatan hingga desisan samar meluncur dari mulut gadis itu. Jongin mengusap lengan atas Jiyool, terus turun mengikuti lekuk siku, pergelangan tangan, hingga tiba pada jari-jemari lentiknya. Ia menggenggamnya erat, begitu erat namun penuh kelembutan. Getaran kecil menjalar dari ujung kaki keduanya.

“Kau tidak berpikir bahwa aku memang sengaja menjebakmu waktu itu, ‘kan?” ujar Jongin kemudian.

Kali ini Jiyool yang menaikan alis. Ia memberi kesenggangan di antara wajah mereka agar dapat memandang lurus ke dalam matanya.

“Malam itu kau memang menjebakku. Benar begitu, bukan?”

Jongin menggeleng cepat. “Aku sama sekali tak bermaksud untuk menidurimu, apalagi menghamilimu. Malam itu aku hanya ingin membuatmu kesal, aku ingin melihat kau menjadi kacau karena alkohol. Aku ingin merubah pandangan Sehun terhadapmu sehingga ia membencimu. Hanya itu, aku sama sekali tak menyangka kita akan berakhir di kamar ini.”

Kerutan pada kening Jiyool kian mendalam. Benar, ia tahu bahwa Jongin pernah membencinya. Ia ingin membuat Jiyool merasakan penderitaannya selama ini. Ia marah lantaran Jiyool melupakannya dan justru mengencani sahabatnya. Dan mengingat bagaimana Jongin membencinya dulu, tak perlu dipertanyakan lagi jika niat busuknya tersebut sudah menjadi bagian dari rencana.

Lelaki itu terkekeh pelan sembari menarik lembut hidung mungil Jiyool. “Aku tak sejahat itu. Meskipun aku sangat membencimu pada saat itu, tapi tentu aku tak ingin menghancurkan hidupmu sampai pada titik di mana kau harus terperangkap bersamaku seperti ini.”

Ia tampak menyesal saat mengucapkan kalimat tersebut. Cahaya dalam matanya meredup seketika dan atmosfer berubah menjadi begitu keruh. Jiyool menahan napas selama beberapa detik, menanti reaksi selanjutnya dari Jongin. Ia harap Jongin tetaplah Jongin yang tadi.

Tangan Jiyool terangkat untuk diletakan di permukaan dada lelaki itu, merasakan debaran jantungnya yang berpacu kencang dan embusan napasnya yang memburu. Mata bulat Jiyool membeliak, ia menggigit bibir bawahnya dengan tatapan memelas.

“Kkamjong, aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja dan aku tak pernah menyesali perbuatan kita malam itu. Aku tak menganggap hadirnya bayi ini adalah akhir dari masa depanku. Aku tak merasa terperangkap bersamamu, tapi ini adalah keinginanku sendiri. Aku mau dan kau tak memerangkapku. Kau dengar aku?” ujarnya dengan nada lembut. Ia mengusap telapak tangannya dengan pola melingkar di atas permukaan dada polos Jongin, tepat di mana jantungnya bersarang. Hingga sekian menit kemudian, lelaki itu tampak kembali normal. Ia tak melepaskan fokus matanya dari paras Jiyool. Ia sedang berusaha menenangkan dirinya, mengumpulkan seluruh kerasionalannya dan mengenyahkan setiap emosi serta rasa depresi yang berkecamuk. Ia mencoba untuk berpikir positif, berjuang untuk tak menyalahkan diri sendiri agar suasana hatinya tak berubah. Ia tak ingin menyakiti Jiyool, ia tak ingin membuatnya takut, ia tak ingin merusak momen ini.

Jongin menarik napas begitu dalam, membiarkan paru-parunya terisi penuh dengan oksigen, lantas mengembuskannya secara perlahan. Ia mengulangi ritual tersebut selama tiga sampai empat kali hingga akhirnya ia mendapati senyuman lapang Jiyool. Senyuman lega yang meneduhkan hatinya. Bak sepoi angin sejuk di tengah-tengah teriknya matahari musim panas.

“Bagaimana kakak dan ayahmu?” tanya Jongin kemudian, berusaha mengalihkan topik. Dengan begitu, ia tak lagi mengingat rasa bersalahnya.

“Ayah sangat mendukung keputusanku untuk menetap di sini selama beberapa pekan sampai kau membaik. Tapi Minhyuk Oppa menentangnya.”

Jongin menaikan kedua alis. Ia ingat betul ketika mengantarkan Jiyool pulang dari taman bermain malam itu, ia mendapatkan delikan tajam dari kakaknya. Dan beradasarkan dari cerita Sehun, Jongin rasa Minhyuk bukanlah orang yang mudah untuk diambil hatinya. Ia keras dan kepalang protektif terhadap Jiyool. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat perutnya mulas.

“Sehun pernah bilang kalau ayahmu seseorang yang luar biasa. Dia bisa melakoni peran sebagai ibu sekaligus ayah untukmu dan kakakmu. Aku… selama ini aku tak pernah merasakan seperti apa memiliki seorang ayah seperti ayahmu.”

Jiyool membenarkan letak kepalanya di atas bantal. Ia memperhatikan rahang Jongin yang mengeras dan kilasan kesedihan di matanya. Tubuh lelaki itu bergetar di balik selimut sehingga Jiyool harus meremas lengan atasnya untuk mengingatkan bahwa ia masih di sana. Berhasil, otot-otot tubuhnya mengendur. Tarikan napasnya kembali teratur dalam tempo normal.

“Kau… kau mau bertemu dengan ayahku?” tanya Jiyool kemudian setelah ia memanfaatkan waktu singkat yang ada untuk memikirkan matang-matang tawarannya tersebut.

Jongin mematung. Ia tampak gugup, matanya bergarak liar menatap setiap sudut ruangan untuk menghindari tatapan Jiyool. Sungguh, ia sangat ingin bertemu dengan pria itu lagi. Ia ingin melihat senyum hangatnya yang pada malam itu menyambutnya dengan anggukan terima kasih karena telah mengantarkan putri bungsunya pulang ke rumah dengan selamat. Ia ingin merasakan tepukan tangan lebarnya pada bahunya. Ia ingin merasakan kembali kehangatan demi kehangatan yang membekas lekat dalam ingatannya. Tetapi Jongin tak memiliki nyali sebesar itu. Ia sudah menghancurkan hidup Jiyool. Selama ini ia sudah membuatnya menderita. Ia menghamilinya dan tak ingin bertanggung jawab. Ia adalah pria brengsek. Tentu saja Jongin malu untuk menampakan batang hidungnya lagi di hadapan pria seperti Tuan Kang.

“Jangan hiraukan Minhyuk Oppa. Dia mungkin akan berbicara pedas denganmu, tapi tenang saja, aku takkan membiarkannya melukaimu.” Ujar Jiyool kemudian, menangkap ketidakyakinan dalam raut wajah Jongin.

Lelaki itu menggeleng cepat, “Bukan, bukan itu yang kucemaskan. Tapi… kupikir aku tak pantas menemui ayahmu. Kau tahu, setelah apa yang kuperbuat—”

Jiyool mengecup singkat bibir Jongin untuk menghentikan ucapannya. Ia menangkup pipi kanannya dengan sentuhan telapak tangan mungilnya.

“Ayah sangat ingin bertemu denganmu. Dia mengerti, Jongin. Dia sangat memahami situasimu saat ini, dan kurasa dia juga ingin membantu.”

“Tapi—”

“Kita akan pergi besok lusa. Aku akan mengabarinya dan memastikan bahwa mereka ada di rumah. Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja.”

 

(((*)))

 

Tepat pukul setengah sepuluh pagi, Sehun sudah berdiri di depan pintu rumah Jiyool sembari menenteng satu paket bingkisan berisi buah-buahan kesukaan gadis tersebut. Nyaris dua pekan sejak terakhir kali ia bertemu dengannya, mereka hanya sempat bertukar sapa melalui pesan singkat. Dikarenakan kesibukannya yang akan memasuki Universitas Seoul, Sehun sama sekali tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Namun paling tidak ia masih menyempatkan diri untuk menanyakan keadaan Jiyool yang selalu dibalas tak lama sesudahnya.

Dengan datangnya surat yang menyatakan bahwa kini ia telah resmi menjadi mahasiswa Universitas Seoul, kesibukannya mulai sedikit berkurang. Ia sudah membuat rencana sejak dua hari lalu untuk memberi tahukan kabar gembira ini kepada Jiyool secara langsung. Mereka memang bukan lagi sepasang kekasih—dan mengingat Sehun saat ini sedang dalam tahap penyembuhan atas pengkhianatan mantan sahabat serta kekasihnya sendiri—namun ia rasa tetap menjaga hubungan baik dengan Jiyool adalah yang terpenting. Ia sudah berjanji untuk tak meninggalkannya. Ia akan berusaha menjadi sahabat seperti Soojung dan mendukung di setiap jalan yang ia ambil. Ia rela membantunya jika gadis itu sedang menghadapi kesulitan. Karena dalam sepengetahuan Sehun, Jiyool adalah seorang calon ibu tunggal yang akan membesarkan putrinya di usia yang masih sangat belia. Tentu perannya sebagai sahabat sangat dibutuhkan.

Selama beberapa menit ia berdiri di depan pintu setelah sebelumnya mengetuk tiga sampai empat kali, benda berengsel itupun berayun terbuka. Minhyuk berdiri di hadapannya dengan rambut separuh kuyup. Ia tampak terburu-buru, sembari sesekali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya ia sudah terlambat ke kampus.

“Oh, Sehun?” tanya lelaki itu dengan raut terperanjat. Kepalanya menoleh ke dalam rumah, lalu kembali lagi ke arah Sehun. Kini kegugupan terpancar jelas. Ia tak yakin apakah itu kegugupan karena akan terlambat menghadiri kelas dan mendapat hukuman dari dosen atau kegugupan karena presensinya di sini.

“Hyung, Jiyool ada?” tanya Sehun langsung pada tujuan awalnya datang kemari.

Minhyuk mengusap tengkuk sembari menggumam pelan; tengah memikirkan merenungkan alibi yang tepat untuk menutupi kenyataan bahwa kini Jiyool telah menetap di rumah ayah si Bayi. Keningnya berkerut samar, berhasil memancing rasa curiga Sehun. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Minhyuk, ia pun cukup yakin bahwa gadis yang dicarinya sedang tak ada di rumah.

“Um… dia menginap di rumah Soojung sudah tiga hari ini. Ingin menenangkan diri katanya dan sedang tak ingin diganggu.” Ujarnya cepat. “Oh, aku harus segera pergi. Kalau Jiyool sudah kembali ke rumah aku akan memberi tahumu. Dan omong-omong, terima kasih buah-buahannya.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Minhyuk pun beranjak pergi meninggalkan Sehunn yang masih berdiri kebingungan di depan teras rumah. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha untuk mencerna segalanya. Mengapa Minhyuk tampak tak nyaman saat mengatakan bahwa Jiyool tak ada di rumah? Apa yang membuatnya harus berpikir lama untuk menjawab pertanyaan Sehun?

Lelaki itu mengedikkan bahu. Ia meletakan bingkisan buah-buahan tersebut di samping pintu rumah dan berjalan menuju kendaraannya. Sebelum ia menghidupkan mesin, Sehun mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mengirim pesan singkat untuk Jiyool.

 

To: Jing

Kata Minhyuk Hyung kau menginap di rumah Soojung untuk menangkan diri. Kau baik-baik saja?

 

Tak berapa lama kemudian, ponselnya berbunyi menandakan balasan dari Jiyool.

 

From: Jing

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali