Chapter 03

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Tempat tidur hangat di mana Jiyool membaringkan tubuhnya bergerak kasar, ia mendengar derap langkah kaki dan suara menguap dari seorang lelaki. Sesaat kemudian, tirai jendela ditarik dan membiarkan cahaya matahari membias, menempa wajah mulus Jiyool.

Ia menggeliat, masih ingin melanjutkan tidurnya dan masuk ke dalam mimpi yang terputus. Tidurnya semalam benar-benar nyenyak. Jika umumnya Jiyool selalu terbangun di tengah malam karena rasa haus atau ingin buang air kecil, namun kini tak ia rasakan gangguan-gangguan tersebut.

Gadis itu nyaris saja kembali terlelap dalam tidurnya ketika kilasan ingatan menghantam kepalanya secara beruntun. Mata bulatnya membuka dan napasnya tercekat. Ia memperhatikan sekitarnya, mengenali kamar yang tampak familier di ingatannya.

Benar, ia tidak sedang bermimpi. Kejadian semalam memang nyata. Ia tidur bersama Jongin. Ia melakukan sesuatu yang tak sepatutnya dilakukan, ia membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya, ia memberikan kehormatannya secara cuma-cuma.

Jiyool meremas ujung selimut yang membungkus tubuh polosnya. Ia menggigit bibir bawah yang seolah-olah mati rasa oleh keterkejutannya sendiri. Perasaan cemas menyayat setiap inci kulitnya, meremas jantungnya, dan menyumbat tenggorokannya.

Kepala gadis itu meneleng manakala telinganya menangkap suara kekehan ringan Jongin. Ia sedang berdiri di sisi tempat tidur sembari mengancingkan kemeja hitamnya dengan seringaian khas. Mata Jiyool semakin membeliak. Ia dapat merasakan debaran jantung yang menghantam rongga dadanya dengan keras. Telapak tangannya berkeringat oleh campuran emosi yang tak dapat didefinisikan lagi.

Apa yang telah merasukinya semalam? Kenapa ia bisa menyerahkan dirinya begitu saja kepada Jongin?

“Akhirnya kau bangun?” ujarnya santai.                      

Ia duduk di ujung tempat tidur setelah selesai memasang seluruh kancing kemejanya, menatap Jiyool dengan tatapan merendahkan.

“Ternyata kau tak sesulit yang kubayangkan. Hanya dengan segelas alkohol dan kau langsung menyerahkan tubuhmu begitu saja? Tch, terlalu mudah.” Ejeknya lagi, menyulut amarah yang kini sudah mencapai ubun-ubun kepala.

Entahlah ia harus marah kepada siapa. Tentu Jiyool tahu ini bukan salah Jongin sepenuhnya. Seandainya ia tak dibuat mabuk oleh tatapan dan sentuhannya, hal ini tak mungkin terjadi. Tak akan ada yang terjadi di antara mereka berdua.

Pikirannya melayang kepada Sehun. Tak tahu bagaimana cara menghadapi lelaki itu nantinya. Apa yang harus ia jelaskan? Bagaimana caranya untuk meminta maaf atas pengkhianatannya?

“Dengar,” Jongin kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih serius. “Anggap saja hal ini tak pernah terjadi. Kau harus melupakan semuanya karena aku tak mau berurusan denganmu lagi. Jika kau mau menganggapnya hanya sebuah kesalahan atau ketidaksengajaan, itu hakmu. Yang pasti aku ingin ini menjadi akhir dari segalanya. Aku tak akan mengganggumu lagi, jadi kuharap kau juga berusaha agar tak berada di dekatku. Semuanya berakhir.”

Jelas lelaki itu panjang dengan penekanan pada kalimat terakhir. Alis Jiyool berkedut mendengar ucapannya, ia tak dapat menahan amarahnya lagi. Gemertak giginya terdengar menyebabkan rasa ngilu di kepala.

“Jadi ini yang kaurencanakan selama ini? Meniduriku dan mengakhiri segalanya? Kau hanya ingin mendapatkan tubuhku?” tanyanya dengan suara bergetar.

Jongin terdiam, meneliti wajah merah Jiyool untuk beberapa saat. Gadis itu sama sekali tak mengeluarkan air mata setetes pun. Ia merasa tak pantas menangisi apa yang sudah terjadi. Ia benci mengasihani dirinya sendiri, dan ia rasa tak perlu menunjukan kelemahannya di depan Jongin. Namun itu justru membuat Jongin terperangah, ia pikir Jiyool akan bersikap sama seperti gadis-gadis yang pernah ditidurinya.

“Benar, aku hanya menginginkan tubuhmu.”

Sesaat setelah kalimat itu meluncur dari bibirnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Jongin. Ia merasakan sengatan panas serta perih yang seakan membakar kulit mulusnya. Jongin memejamkan mata, ia mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi yang baru saja menerima tamparan keras Jiyool. Seringaian kecil terpatri dan ketika ia membuka mata, kini giliran Jiyool yang dibuat membatu olehnya.

Ada sesuatu di pancaran mata Jongin yang membuat dadanya sesak. Ia melihat kumpulan emosi yang tak dapat terbaca, membuat rasa bersalah perlahan-lahan merambati hatinya. Namun secepat kilat disingkirkannya perasaan tersebut. Laki-laki seperti Jongin memang tak pantas dikasihani. Ia memang sudah kelewat brengsek.

“Baiklah, terima kasih untuk tamparannya.” Ucap lelaki tersebut—sarkastik. “Kau boleh keluar dari rumahku sebelum orangtuaku kembali. Jika kau lupa jalan keluar, tanyakan saja pada salah satu pelayan yang kautemui.”

Selesai mengucapkannya, Jongin pun bangkit dari duduknya dan meninggalkan Jiyool yang masih mematung. Merasa begitu rendah setiap kali ingatan tersebut membayang di dalam kepalanya. Dan ketika ia mendengar suara pintu ditutup—menandakan keberadaan Jongin sudah tak ada lagi di kamar ini—Jiyool pun melompat dari tempat tidur. Mengabaikan rasa perih di bagian kewanitaannya dan bergegas mengenekan pakaiannya. Ia tak mungkin berada di rumah ini lebih lama lagi—ia tak sanggup menahan rasa jijik dalam dirinya.

Setelah yakin, Jiyool mematut dirinya di depan cermin, membenarkan rambutnya dengan jemari dan menarik sudut bajunya agar tak nampak kusut. Ia memutar kenop pintu dengan lamat-lamat, melongokkan kepala ke kanan serta ke kiri jika saja Jongin masih berada di sana, kendati hal itu kecil probabilitasnya. Lelaki tersebut pasti sedang di kamar mandi atau sarapan di ruang makan.

Tanpa sadar ia mengembuskan napas lega, merasa bahunya sedikit rileks dan kakinya dapat melangkah dengan ringan. Ia mencoba mengingat setiap jalan yang dilewati malam sebelumnya tatkala Jongin menariknya ke kamar itu. Mengenali sebuah lukisan bunga dengan warna abstrak di ujung koridor, tepat di samping tangga memutar.

Senyuman lega terpatri pada wajah Jiyool. Dengan hati-hati ia menuruni tangganya hingga tiba di lantai dua. Namun kini keningnya mengerut ketika ia mendapati dua jalan yang harus dilewati. Ia kembali menggali ingatannya—dari arah mana mereka datang semalam, namun tak juga menemukan jawaban.

“Maaf, apa anda butuh bantuan?”

Jiyool berjengit manakala suara itu mengejutkannya dari arah belakang. Ia berbalik dan menemukan seorang wanita dengan seragam pelayan sedang tersenyum sopan. Gadis itu mengangguk cepat, mengabaikan rasa terkejutnya agar dapat lekas keluar dari rumah Jongin.

“Mari ikuti saya.” Ujarnya lagi. Tampaknya ia sudah sering melakukan hal ini. Mungkin gadis-gadis yang dibawa Jongin ke rumahnya seringkali bernasib sama sepertinya sampa-sampai si pelayan menganggap keadaan ini adalah hal yang lumrah.

Dan ketika mereka tiba di lantai satu, mata Jiyool terbeliak mendapati sekitar tujuh hingga delapan pelayan sedang membersihkan ruangan tempat pesta semalam. Semuanya sudah hampir sempurna, membuat Jiyool untuk yang ke sekian kalinya mengagumi kemewahan rumah Jongin.

“Pintunya ada di sebelah sana, saya harus melanjutkan pekerjaan dulu.”

Setelah membungkukkan tubuh kepada Jiyool, pelayan tersebut berbalik dan ikut bergabung dengan pelayan yang lainnya.

Ketika ia keluar dari gerbang rumah, Jiyool mematung, merasa bodoh karena tak tahu harus pergi ke mana. Ia tak mungkin pulang ke rumah tanpa alasan yang jelas karena Minhyuk pasti akan mencekiknya nanti, atau menelepon Sehun untuk menjemputnya di sini. Biar saja kejadian semalam hanya menjadi rahasianya dengan Jongin, Jiyool tak ingin memperpanjang perkara. Kendati perasaan menyesal seakan menggerogoti setiap ruang dalam hatinya, namun ia tak memiliki opsi lain.

Gadis itu menatap layar ponselnya, mendapati delapan belas panggilan tak terjawab dari Sehun, dua puluh tujuh dari Minhyuk, dan empat belas dari Soojung. Ia menepuk pipinya beberapa kali, yakin bahwa ia akan mendapatkan masalah lebih besar setelah ini.

Selama beberapa menit Jiyool masih berdiri di sana, mempertimbangkan siapa yang akan ia hubungi. Kendati Soojung bukan pilihan terbaik, namun agaknya hanya sahabatnya itu yang dapat membantunya. Jiyool tahu ia tak akan bisa menyimpan rahasia ini dari Soojung, jadi ia sudah membulatkan tekad dan mempersiapkan mentalnya untuk memberitahu peristiwa semalam kepada Soojung.

Gadis itu menempelkan ponselnya di telinga kanan, menunggu Soojung mengangkat panggilan. Ia pikir sahabatnya tersebut masih terlelap di atas tempat tidur nyamannya dengan balutan selimut tebal, mengingat ini masih pukul setengah sembilan pagi. Hingga akhirnya terdengar suara sengau gadis itu di seberang sana.

“Halo?” sapa Soojung sembari menguap lebar.

“Soojung?” balas Jiyool, merasa bingung harus menyapanya seperti apa.

“Astaga, Jiyool?! Kau di mana? Aku mencarimu selaman, kau tahu? Sehun kalang kabut memeriksa seluruh ruangan rumah Jongin dan Minhyuk Oppa tak henti-hentinya meneleponku untuk menanyakan keberadaanmu. Apa yang terjadi denganmu? Kau baik-baik saja, ‘kan?”

Hilang sudah suara mengantuk Soojung, tergantikan dengan pekikan nyaring yang hampir membuat telinga Jiyool tuli. Jika saja situasinya sedang tidak rumit, ia pasti sudah akan membalas pekikan Soojung tersebut. Namun mendengar ucapan si Sahabat, menyebabkan jantung Jiyool kembali berpacu kencang. Rasa sesak membuatnya sulit bernapas.

“Jiyool, kau masih di sana?” tanya Soojung lagi karena tak ada reaksi dari lawan bicara.

“Y-ya, aku di sini.” Jawabnya serak. “Soojung, kau bisa membantuku?”

Kali ini Soojung yang terdiam selama beberapa detik. “Apa maksudmu?”

“Jangan hubungi Sehun ataupun Minhyuk Oppa. Aku akan datang ke rumahmu dan menjelaskan semuanya. Oh, dan bayarkan taksi untukku, akan kuganti uangmu besok.”

Setelah mendengar persetujuan dari Soojung, Jiyool pun memutus sambungan. Ia berlari ke arah jalan besar dan menghentikan taksi pertama yang melintas. Ia harap Soojung mengerti dengan keadaannya saat ini.

 

(((*)))

 

Mata Soojung terbuka lebar, bibir tipisnya tak dapat mengatup, jemarinya meremas kuat sudut bantal miliknya, rahang gadis itu mengeras dengan gemertak giginya yang terdengar jelas. Sementara Jiyool hanya dapat menarik napas berat setelah menjelaskan peristiwa yang menimpa dirinya semalam. Ia menunggu reaksi Soojung selanjutnya selama beberapa menit, membiarkan sahabatnya tersebut mencerna seluruh susunan kalimat yang baru saja keluar dari bibir tipisnya.

Lalu sesuai dugaannya, amarah Soojung tiba-tiba meledak. Ia melempar bantalnya ke sembarang tempat dan memukul telapak tangannya pada permukaan selimut. Beberapa umpatan yang ditujukan kepada Jongin lolos begitu saja dari mulutnya. Seingat Jiyool, Soojung sudah tak pernah mengumpat lagi semenjak ia berpacaran dengan Minhyuk. Dan ia yakin, jika Minhyuk mendengarnya maka Soojung akan mendapatkan masalah.

“Brengsek! Dia menipuku rupanya.” Gumamnya rendah. Jika saja kamar Soojung tak sesunyi sekarang, mungkin Jiyool tak dapat medengar apa yang baru saja ia gumamkan.

Kening gadis itu mengernyit. Ia menatap Soojung dengan pandangan bertanya. Menyadari arti dari tatapan Jiyool, tiba-tiba saja gelagatnya berubah. Ia menggaruk tengkuknya sembari menundukkan kepala. Berdeham beberapa kali dengan bola mata bergerak liar agar pandangan mereka tak bersinggungan.

“Apa maksudmu, Soojung?” Jiyool menyuarakan pertanyaannya lantaran Soojung masih berusaha berkelit. Ia memegang kedua bahu sahabatnya erat sembari memaksa untuk menatapnya. Jiyool cukup terkejut manakala ia mendapati pancaran rasa bersalah di kedua manik gadis itu.

“Jiyool, maafkan aku,” ujarnya pelan dengan suara bergetar. Bibir Soojung melengkung ke bawah dengan mata berair.

“Apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?” ia mengguncang bahu Soojung, cengkramannya menguat dan membuat Soojung sedikit meringis. Namun ia tak menghindar, ia tahu ia pantas mendapatkan perlakuan kasar dari sahabatnya ini.

“Maafkan aku, Jiyool, kupikir dia sungguh-sungguh dengan niatnya, tapi ternyata itu hanya alibi untuk menjebakmu.”

“Aku tidak mengerti, katakan yang jelas!” bentak Jiyool tak sabaran.

Dan saat itu juga, air mata Soojung

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali