Chapter 18

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Jiyool masih ingat benar setiap seluk beluk ruangan yang pernah dikunjunginya empat bulan lalu, tampak begitu jernih dalam ingatannya. Di mana lukisan abstrak dengan kombinasi warna gelap seolah menyambut kedatangan setiap tamu yang bertandang kemari, tergantung pada salah satu sudut dinding. Sekat dari kayu jati dengan berbagai pugira antik meinggalkan kesan mewah. Empat guci langka berderet teratur di dekat tangga menuju lantai dua. Semua masih tampak sama. Bahkan ia ingat wajah salah satu pelayan ramah yang membantunya menemukan jalan keluar dari rumah ini saat ia tersesat. Ia membungkuk kepada Hyorin yang berjalan tepat di samping Jiyool, lalu memberikan senyuman samar padanya.

“Jongin ada di kamar di lantai tiga.” Ujar Hyorin, menyentak Jiyool.

Gadis itu menoleh dan menatap si Wanita yang lebih tua darinya dengan mata bulat kelompangnya. Seolah-olah ia tak begitu menangkap jelas apa yang baru saja diucapkan Hyorin—dan memang begitulah kenyataannya.

“Dua pekan belakangan ia menempati kamar itu. Dulu,jika Ibu bertengkar dengan Ayah, ia selalu tidur di kamar lantai tiga, dan Jongin akan menemaninya di sana.”

Otak Jiyool bekerja dua kali lebih keras dari umumnya, berusaha menyusun setiap kalimat yang meluncur dari bibir Hyorin hingga dapat dicerna dengan baik. Kamar di lantai tiga. Apakah itu adalah kamar tempat segala kekacauan dimulai? Tempat di mana mereka berbagi kehangatan satu sama lain?

Seperti ada benda tajam yang mengiris hatinya, Jiyool ingin menangis. Ia bingung bagaimana caranya mengategorikan kenangan tersebut. Apakah itu kenangan bahagia atukah itu kenangan yang sepatutnya dilupakan?

Hyorin menyentuh bahu Jiyool, memberinya sebuah cengkraman meyakinkan serta anggukan pelan, “kejiwaannya masih belum stabil, tapi pagi tadi kami berbicara dengan normal, jadi kupikir kau bisa mengunjunginya sekarang.”

Tanpa sadar sebuah ringisan meluncur dari kedua bibir Jiyool. Perih kian menjadi kala medengar kalimat tersebut. Benar, kenyataan bahwa kejiwaan Jongin sedang terguncang saat ini menohok hatinya telak. Bagai belati tajam yang mengoyak dan membiarkannya berdarah tanpa balutan perban, semua yang Jiyool rasakan hanyalah sakit dan penyesalan tak berujung. Ia sudah berusaha menahan tangisnya. Ia tak ingin tampak lemah di hadapan Jongin. Ia harus bisa menjadi penopang lelaki itu, yang mana hal tersebut menuntut dirinya untuk menjadi kuat.

Kakinya melangkah gontai menaiki satu demi satu anak tangga menuju lantai dua. Ia meninggalkan Hyorin yang hanya menatapnya dengan pandangan cemas. Jiyool tahu, wanita berkulit gelap tersebut mengcemaskan dirinya serta bayinya. Ia tahu bagaimana Jongin akan bertindak di kala ia lepas kekangan.

Jiyool tak acuh. Ia sama sekali tak acuh pada apa yang tengah menantinya di atas sana. Ia tak peduli jika Jongin sudah berubah menjadi monster ganas, karena ia tetaplah si Kkamjong—bocah berkulit gelap yang selalu menangis kepadanya. Ia tetaplah ayah dari bayi yang kini tengah bersarang di dalam kandungannya.

Tusukan duri seakan melukai telapak kakinya pada setiap langkah yang ia ambil. Menggores kulit mulusnya dan meninggalkan goresan luka yang tampak buruk. Mengingatkan dirinya bahwa ia tidaklah sesempurna perkiraannya. Bahwa dengan obsesinya untuk menjadi sempurna dan dapat mewujudkan mimpi terpendam sang Ibu, telah memusnahkan segalanya. Sempurna adalah ketika ia dapat menjadi penyokong hidup Jongin. Sempurna bukan berarti ia harus melupakan segalanya dan membiarkan kepingan yang lain tertimbun dalam.

Napasnya ketang, udara terasa begitu pekat ketika ia menaiki tangga melingkar yang akan membawanya ke lantai tiga. Jantung Jiyool seakan memalu dinding rongga dadanya. Tangan dan bibirnya bergetar hebat, kakinya terasa rengsa. Di ujung sana, Jiyool dapat melihat pintu putih yang begitu familier. Pintu yang menjadi saksi bisu pada peristiwa lalu.

Ia merasa jantungnya seakan diremas. Kakinya melangkah pelan dan terseok. Satu bulir air mata berhasil kabur dari kurungan pertahanan yang ia bangun, dan dengan cepat tangannya terangkat untuk menyeka bukti kelemahan tersebut. Ia menghirup napas dalam-dalam hingga dirasanya oksigen hendak memecahkan paru-parunya. Memberikan nyeri yang segera lenyap kala ia mengembuskannya secara perlahan.

Jemarinya menyentuh kenop pintu, berharap bahwa Jongin tak menguncinya dari dalam. Dan benar saja, ketika Jiyool memutarnya, celah pun tercipta. Ia mengintip pada celah sempit yang memberikan akses bagi matanya. Ruangan tersebut gelita, tampaknya tirai serta jendela masih tertutup rapat. Namun Jiyool ingat betul suasana menenangkan kamar itu dengan lemari kayu tua di sudut ruangan dan dekorasi serba putih yang melambangkan kesucian.

Ia menggigit bibir bawahnya ketika tangannya mendorong daun pintu lamat-lamat. Tanpa Jiyool ketahui, ia sudah benar-benar berada di dalam kamar. Pintu kembali terkatup rapat dan di sana—di atas tempat tidur—sosok Jongin terbalut oleh selimut tebal. Selimut yang membungkus tubuh polosnya kala itu. Tubuh mereka.

Napasnya tercekat, Jongin menggeliat. Ia dapat mendengar erangan samar dari suara beratnya. Jiyool membatu, tak dapat menggerakan tubuhnya sama sekali. Saraf-sarafnya tak bekerja dengan normal sebagaimana mestinya. Ini bukanlah sesuatu yang disangka oleh Jiyool. Namun apa daya, sampai ketika mata mereka bertemu, Jiyool masih tak dapat bergerak.

Tubuh Jongin menegak dengan mata membeliak. Namun sesaat kemudian ekspresinya kembali statis. Bibirnya berubah menjadi garis monoton. Jika tatapan dapat membunuh, barangkali kini Jiyool sudah tak bernyawa.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Suaranya seperti ledakan bom waktu yang menghancurkan setiap inci jantungnya, mematikan sel-sel dalam tubuhnya, dan menulikan pendengarannya. Jiyool masih mematung, otaknya bekerja begitu lambat hingga ia rasa ia ingin menembak kepalanya sendiri sekarang juga.

Jongin tak beranjak dari tempat tidur—bergeming memperhatikan sosok kacau Jiyool. Diam-diam meneliti keadaan fisiknya dari pangkal rambut hingga ujung kaki, mencari sesuatu yang dapat membuktikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Bahwa ia tak perlu mencemaskannya lagi dan meyakinkan diri bahwa Jiyool akan aman tanpa eksistensinya. Ia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini telah direnggutnya.

Alih-alih mendengar jawaban, Jiyool justru merapatkan jarak mereka. Membuat Jongin panik dan mulai bergerak gelisah. Ia ingin berteriak agar Jiyool menghentikan langkahnya. Ia takut dengan apa yang akan terjadi berikutnya. Barangkali ia akan melakukan sesuatu di luar kehendaknya, barangkali ia akan menyakiti gadis ini dan bayinya, barangkali ia akan menunjukkan setiap kelemahan dirinya. Namun tak ada yang keluar. Suaranya menguap bagai setitik air di tengah-tengah padang gurun. Tenggorokannya begitu tandus hingga bahkan untuk membuka mulut pun seakan-akan merobek bibirnya.

Ia mendapati air mata Jiyool. Gadis itu menangis bisu, kedua bibir mungilnya bergetar atas usaha menahan isakan. Sebuah tangan raksasa seakan meremas jantung Jongin tatkala ia melihat sisi lemah Jiyool. Suara kecil dalam hatinya seolah membisikkan sugesti agar ia merengkuh tubuh kurus tersebut. Agar ia mengusap punggungnya, mengecup keningnya, dan memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa ia tak memerlukan dirinya dan yang terpenting adalah; ia akan jauh lebih baik tanpa kehadirannya.

Namun tentu nyalinya tak sebesar itu. Bagaimana jika Jongin tak dapat melepaskannya lagi? Bagaimana jika Jiyool harus terperangkap dalam rengkuhannya untuk seumur hidupnya? Bagaimana jika ini hanya sekadar obsesi dan sama sekali bukan cinta yang selama ini Jongin rasakan? Bagaimana jika ia keliru dengan perasaannya sendiri? Bagaimana nantinya?

Bagaimana dan bagaimana mengelilingi setiap ruang dalam kepalanya, membuat keningnya berdenyut dan pening pun tak terhindarkan. Ia meragut surainya sembari menggeram rendah. Wajahnya benar-benar merah—darah berdesir cepat ke ubun-ubun kepala. Lalu ketika ia mengangkat wajah, matanya bergerak liar, mencari setiap objek yang dapat dijadikan pelampiasan emosi. Napasnya menderu kencang dan jantungnya memompa darah secara berlebihan.

Sementara di sana, Jiyool masih tetap bergeming. Menyaksikan Jongin yang lepas kekangan, tak ayal membuat dirinya merasa takut. Ia sama sekali tak takut jika Jongin menyakiti dirinya—karena menurut Jiyool ia berhak mendapatkan bayaran atas kenangan manis yang telah ia abaikan selama ini—namun apa yang ditakutkan Jiyool adalah keselamatan bayi mereka. Apakah makhluk mungil itu akan tetap hidup jika ia memaksakan diri untuk bertahan di dalam ruangan ini? Apakah Jongin bisa menahan dirinya untuk tak menyakiti buah hati mereka?

“Kkamjong… aku di sini, Jing ada di sini, jangan kuatir,” ujar Jiyool lirih dan bergetar. Ia mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa hanya untuk menyuarakan kalimat menenangkan tersebut.

Mata Jongin membeliak lebar. Pupilnya mengecil dengan genangan air mata yang memenuhi pelupuknya. Ia terkejut bukan main tentunya. Apakah ia sedang bermimpi? Apakah ini nyata?

Jongin menggelengkan kepala ia terkekeh kecut—merasa lucu lantaran telah dipermainkan oleh ilusinya sendiri. Kadang kala ia mendapati dirinya tertidur dalam pangkuan Jiyool dengan senyuman lembut dan senandung berirama absurd datang dari gadis itu. Atau terkadang pula ia mendapati Jiyool tengah tertidur di sisinya dengan lelap. Wajahnya begitu damai dan cantik, meninggalkan kesan hangat yang terasa begitu nyaman dalam hatinya. Namun ketika ia mengedipkan mata, semua itu lenyap tak berbekas. Kamarnya kelompang, bahkan tak ada satu pertanda pun yang membuktikan presensi Jiyool di sana. Jadi, bisa saja pendengarannya kini hanya sedang mempermainkannya. Atau bisa pula penglihatannya sedang berkhianat kepadanya lagi. Tak ada yang mustahil karena Jongin kerap mengalaminya. Membiarkan hatinya larut dalam kesedihan mendalam akibat realita yang mempermaikan dirinya.

Jarak mereka makin merapat, hanya tersisa dua langkah sebelum Jiyool tiba di tempat tidur Jongin. Ia menelan saliva dengan susah payah, memanjatkan doa dalam hati agar tak ada hal buruk yang terjadi setelah ini. Napas Jiyool tercekat kala Jongin meringis di tempatnya, semakin mengkaret pada kepala tempat tidur, namun matanya tak pernah meninggalkan sosok Jiyool.

Tangan gadis itu terulur, berusaha menggapai Jongin. Berusaha menyalurkan kehangatan melalui ujung jemarinya, yang mana niatnya tersebut ditolak mentah-mentah. Jongin menepis tangan Jiyool dan mendelik ke arahnya.

“Jangan coba-coba menyentuhku. Lebih baik kau keluar sebelum aku menyakitimu!” bentak Jongin, memberi peringatan.

Jiyool menggeleng cepat. “Tidak, kau takkan menyakitiku. Aku tahu kau takkan menyakiti bayi kita.”

Dan sesaat setelah kalimat itu meluncur dari bibir Jiyool, tangis Jongin pun pecah. Ia memeluk lututnya sembari mengguncang tubuh ke depan dan ke belakang. Tak menggubris pundaknya yang membentur kepala tempat tidur. Ia merasa tak berdaya. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Lalu sentuhan jemari Jiyool seakan menyengat kulitnya. Ia merasa hangat, ia merasa hidup, ia merasa nyaman. Jongin masih membendung diri untuk tak merangsek kedalam pelukan Jiyool. Ia mencoba untuk mengabaikan keegoisan dalam dirinya. Ini demi kebaikan gadis itu serta bayi kami. Ini demi keselamatan keduanya. Jongin mengulang mantra-mantra itu di dalam kepalanya, berharap dengan begitu ia tak akan jatuh oleh kelemahannya sendiri.

“Kau tidak sendiri, Kkamjong, aku tidak akan meninggalkanmu kali ini. Maaf karena sudah melupakan segalanya.” Tambah Jiyool. Ia menarik bahu Jongin, ia memaksa lelaki tersebut untuk mendekat kepadanya, namun Jongin masih bersikeras. Ia menahan diri dengan menempelkan pundaknya rapat-rapat pada kepala tempat tidur.

“Aku tidak membutuhkanmu lagi, dan aku bukan Kkamjong. Aku Kim Jongin.” Balasnya rendah.

Helaan napas berat meluncur dari celah kedua bibir mungil Jiyool. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya tersaring jernih dan membersihkan segala terkaan-terkaan konyol yang memenuhi ruang kepalanya. Ia kembali membuka mata setelah sekian sekon bergumul untuk mengukuhkan dirinya sendiri.

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli apakah kau Kkamjong atau Kim Jongin, kau tetaplah penting bagiku.”

Jongin mengangkat wajah yang penuh air mata, tersenyum dengan raut sarkastik. Ia menggeleng tak percaya. “Jangan mempermainkanku lagi, Kang Jiyool.”

“Aku tidak mempermainkanmu. Aku sedang berusaha membantumu—”

“Dan aku sama sekali tak butuh bantuanmu. Aku bisa membantu diriku sendiri.”

“Tidak, kau tidak bisa!”

“Siapa kau? Atas dasar apa kau menilaiku seperti itu?!”

Cangkir berisi teh dingin yang berada di atas nakas melayang dan menghantam permukaan dinding dekat lemari tua tersebut. Jiyool berjengit, menatap serpihan keramik dan percikan teh yang menodai siku kamar. Sementara Jongin sama sekali tak nampak berusaha meredakan amarahnya. Hidungnya kembang-kempis oleh karena napas yang memburu. Dan isakan pertama pun berhasil lolos dari bibir Jiyool. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari menundukkan kepala. Sekujur tubuhnya bergetar oleh rasa takut hingga rasanya ia ingin berlari keluar dan lekas angkat kaki dari rumah ini. Namun ia tak sanggup. Ia tak sanggup meninggalkan Jongin dan ia takkan pernah meninggalkan lelaki itu lagi. Jiyool telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menebus seluruh kekacauan yang tercipta oleh kesalahannya.

“Aku tidak mau menyakitimu, dan seperti yang kaukatakan, aku tak ingin menyakiti bayiku sendiri. Jadi kumohon, pergilah. Pergi sebelum aku melakukan sesuatu di luar kendaliku.” Ujar Jongin datar, menatap Jiyool lekat. Isakan gadis itu menyakitinya begitu dalam. Ia ingin mendampinginya menangis dan berbagi rasa sakit yang mereka rasakan.

Dengan demikian, Jiyool menyerah. Ia menarik diri dari tempat tidur Jongin. Membiarkan kedua manik mereka bersitatap untuk beberapa lama, sebelum akhirnya memutar tumit. Langkahnya terasa begitu berat, seakan-akan ia tengah memikul beban di atas pundaknya. Ia tak dapat membendung isakan, ia tak dapat menudungi kesedihan, dan ia tak dapat mengabui kekecewaan. Ia marah kepada dirinya sendiri lantaran tak berhasil meyakinkan Jongin. Ia benci lantaran ia merasa ciut oleh lelaki itu.

Di luar kamar, Jiyool disambut oleh tatapan cemas Hyorin. Wanita berkulit gelap tersebut menarik Jiyool ke dalam pelukannya dan membiarkannya meratap di sana. Oh, sungguh, ini baru pertama kalinya ia merasa begitu rapuh. Dan ini pula baru pertama kalinya ia merasa begitu payah. Ke mana perginya Jiyool yang dulu? Apakah segala kombinasi emosi yang kini ia rasakan adalah efek dari perubahan hormon?

 

(((*)))

 

Tepat empat hari setelah peristiwa tersebut, Jiyool kembali memberanikan diri untuk menyambangi kediaman Jongin. Hyorin tengah ber

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali