Chapter 16

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Jiyool panik, ia tak bisa tidur, tak bisa makan, dan perasaannya tidak tenang. Ia benar-benar merasa bersalah kepada Sehun setelah tiga hari yang lalu ikut melimpahkan kesalahan kepada lelaki tersebut. Penyesalan berhasil menggerogoti hatinya, membuatnya terasadar bahwa apa yang dilakukannya kemarin adalah kesalahan. Emosi tak memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Ia memiliki banyak hal yang berkecamuk di dalam kepalanya saat itu, dan ucapan Sehun hanya membuat dirinya semakin tersudut. Ia depresi, ia hanyalah seorang gadis labil yang kini sedang mengandung empat belas minggu.

Tubuhnya berjalan ke kanan lalu ke kiri, menatap ponsel yang kini terbujur di atas tempat tidur dengan baterai yang sudah nyaris habis. Baru lima menit yang lalu ia melepaskan benda mungil tersebut dari tangannya, dan kini kelima jemari lentik itu terasa gatal untuk segera meraihnya lagi.

Getaran di sekujur tubuhnya urung mereda tatkala ia membuka kunci layar ponsel. Tak ada balasan, tak ada panggilan, bahkan tak ada tanda-tanda bahwa ia hendak membalas puluhan panggilan serta pesan singkatnya. Ia kembali melempar ponsel itu ke atas tempat tidur, lantas terduduk di lantai dengan kaki menekuk. Kepalanya ia sembunyikan di balik lutut sembari menyenandungkan nada absurd dengan suara parau. Jiyool tengah mencoba untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Ia tak ingin depresi, ia harus memikirkan bayinya yang bisa saja akan terkena dampaknya. Namun setiap menit berlalu, maka rasa bersalahnya kian menjadi. Kian menyakitkan hingga membuat paru-parunya menjadi ketang.

Bagaimana Sehun sekarang? Bagaimana perasaannya setelah ia mengatakan kalimat menusuk itu? Bagaimana pandangannya akan diri Jiyool? Bagaimana dan bagaimana tak pernah berhenti mendekorasi ruang di kepalanya. Pikirannya rancu, ia hilang kendali atas dirinya sendiri. Ia ingin menangis namun air matanya seakan tandus. Ia ingin tertawa namun rasa nyeri di dalam hatinya seolah melarang keras. Ia bingung.

Jiyool menengokkan kepala ketika pintu kamarnya kembali diketuk. Ketukan cepat namun lembut, yang mana hal itu terdengar sangat kontras di telinga Jiyool. Ketukan tersebut bagai gencatan senjata yang menulikan indera pendengarnya. Ia ingin berteriak dan mengusir siapa saja orang yang telah mengganggunya.

“Jing, keluarlah, kau belum sarapan sejak tadi.” Ujar Minhyuk dengan nada cemas. Intonasinya memang terdengar tenang, namun Jiyool tahu bahwa kakaknya tersebut sedang sangat kuatir.

“Jing, Ayah akan pulang kerja lebih awal hari ini. Kau tak mau membuatnya sedih jika saat pulang nanti masih melihatmu seperti ini, ‘kan?” tambahnya.

Sontak Jiyool berdiri dari duduknya. Selama ini ia tak pernah memikirkan hal lain. Ia tak pernah berpikir bagaimana ayahnya saat beberapa hari yang lalu sikap Jiyool berubah drastis. Ia tak pernah berpikir apa yang akan Minhyuk lakukan kepada Sehun jika lelaki itu mengira bahwa mantan kekasihnya tersebut telah menyakitinya lagi. Ia tak pernah berpikir betapa kerasnya usaha Soojung untuk mengembalikan keceriaannya.

Perlahan namun pasti tungkainya melangkah menuju pintu. Ia memutar kuncinya lalu menarik daun pintu hingga terbuka—memunculkan sosok Minhyuk yang kini hanya dapat mengembuskan napas lega. Matanya mengamati Jiyool dari pangkal rambut hingga ujung kaki—memastikan bahwa ia baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh selama hampir seharian mengurung diri di dalam kamar.

Belum sempat Jiyool bereaksi apa-apa, Minhyuk telah menarik dan memeluknya hingga gadis itu kehabisan stok oksigen. Ia berusaha mendorong dengan kedua tangannya. Alih-alih melepaskan, Minhyuk justru makin mengeratkan pelukannya.

“Oppa, kau menyakitiku!” rintih Jiyool.

Lingkaran tangan Minhyuk terlucut, senyum lebar terpatri sempurna pada wajah tampannya. Namun Jiyool hanya dapat terpekur. Ia sudah terlalu lama bersembunyi. Ia sudah terlalu lama membiarkan dirinya hidup di balik bayang-bayang masa lalu dan rasa bersalah. Jiyool baru saja tersadar bahwa selama ini ia sama sekali tak berjuang. Ia hanya membuat dirinya semakin menderita sementara di sekitarnya ada begitu banyak orang yang peduli padanya.

“Jing? Kau baik-baik saja?” tangan Minhyuk terkibas-kibas di depan wajah Jiyool.

“Oppa?”

“Mm?”

“Sudah berapa lama sejak hari kelulusanku?”

Minhyuk mengernyitkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan absurd Jiyool. Oh, baiklah, itu sama sekali tak terkesan absurd. Namun Minhyuk tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Jiyool setelah nyaris seharian ia mengurung diri di kamar dan melewatkan sarapan serta makan siangnya.

“Entahlah, sepekan atau dua pekan, mungkin.” Jawabnya sekenanya.

Jiyool menggigit bibir bawahnya. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia seharusnya tak membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan Jongin. Terlebih, jika memang rasa bersalah terhadap Sehun yang ia rasakan beberapa hari terakhir begitu besar, bukankah sepatutnya ia berjuang untuk menebusnya? Hanya dengan menelepon serta mengirim puluhan pesan singkat takkan membenahi segalanya. Itu hanya akan membuat hubungan mereka menjadi lebih buruk.

“Oppa, aku harus pergi.”

Kedua alis Minhyuk terangkat. “Ke mana?”

“Sehun. Aku harus menemui Sehun.” Jawab Jiyool cepat, kemudian lantas berlari mengambil handuknya.

 

(((*)))

 

Jika diingat kembali, ini adalah kali keempat Jiyool berkunjung ke rumah Sehun selama hampir satu tahun umur hubungan mereka. Memang jarang, namun Sehun sengaja tak begitu sering mengajak Jiyool bertandang ke rumahnya guna menghindari kejadian-kejadian yang tak mengenakkan. Kendati ia telah berusia meninginjak delapan belas tahun, tak urung membuat Nyonya Oh memperlakukannya sesuai dengan umurnya. Ia kerap menganggap Sehun sebagai putra kecilnya. Ia terlalu memanjakan lelaki tersebut hingga terkadang ia merasa malu kala Jiyool menyaksikan perlakuan ibunya. Sehun tak memusingkan emosi ayahnya yang sering meledak-ledak. Menurutnya hal itu terdengar lebih wajar ketimbang anggapan Nyonya Oh mengenai umur Sehun. Tak jarang ia mengatakannya langsung di hadapan Jiyool bahwa Sehun adalah pangeran kecilnya. Gadis tersebut tak merasa geli. Sebaliknya, itu terkesan manis.

Tangan Jiyool terangkat untuk menekan bel di sisi pintu rumah. Bangunan megah yang kini tampak lengang. Lantaran umumnya, Jiyool akan mendapati beberapa tukang kebun yang tengah merawat koleksi bunga-bunga Nyonya Oh ketika ia berkunjung, atau beberapa pelayan yang berjalan ke sana dan kemari di pekarangan rumah. Entah itu membersihkan taman ataupun mengerjakan pekerjaan lainnya.

Selama lebih dari lima menit lamanya ia berdiri di sana, namun Jiyool tak juga menyerah. Ia senantiasa menanti kemunculan Sehun yang rasanya mustahil ingin membukakannya pintu. Barangkali lelaki tersebut sedang tak berada di rumah dan menyuruh seluruh pekerja untuk mengambil cuti. Mengingat Tuan dan Nyonya Oh lebih sering menghabiskan waktu di luar negeri untuk urusan bisnis.

Penantiannya berbuah manis. Ia mendengar suara putaran kunci dari dalam sana, senyum kecil mengembang di wajahnya. Dan ketika daun pintu terayun terbuka—menampilkan sosok Sehun yang mengenaskan—senyum itu lenyap seketika.

Ekspresinya tampak kecut, surainya tak terarah rapi, ia masih mengenakan pakaian tiga hari yang lalu, matanya pun sembap. Jiyool merasa ketang, ia membuka bibirnya dan berusaha menghirup udara dalam-dalam untuk menyuplai paru-paru.

“Ada yang membawamu datang kemari?” tanya Sehun datar.

Jiyool menelan saliva dengan susah payah, lantas memberanikan diri menatap kedua manik Sehun. “Aku ingin minta maaf—”

“Tidak perlu.”

Sehun hendak menutup pintu rumahnya, namun Jiyool bergegas mencegahnya dengan kakinya. Ia meringis dan wajah Sehun berubah panik.

“Kau tidak apa-apa?”

Jiyool menggeleng cepat, “ijinkan aku menjelaskan semuanya.”

Sehun membisu. Ia tak ingin mendengarkan penjelasan Jiyool untuk yang kedua kalinya. Ia tak ingin membuat hatinya semakin semakin terluka. Namun pada akhirnya, lelaki itu hanya menggeser tubuh dan mempersilakan Jiyool masuk. Tak dapat dipungkiri bahwa Kang Jiyool adalah kelemahannya. Seberapa besar kesalahan yang ia perbuat, hatinya selalu memiliki titik lemah di mana ia tak dapat mengabaikannya.

Jiyool duduk di salah satu sofa di ruang tamu, menilik setiap sudut ruangan dan tidak mendapati siapapun di sana. Dua atau tiga piring kotor terbujur berarakan di atas meja makan. Tumpahan minuman soda yang dikerubungi semut juga tertangkap oleh penglihatan Jiyool.

“Sebelum kau bertanya lebih jauh, kuberitahu kau bahwa aku menyuruh mereka mengambil cuti sepekan sampai aku dapat menenangkan pikiran.” Ujar Sehun cepat sembari meletakkan segelas air dingin di atas meja pendek di hadapan Jiyool.

Matanya menatap lurus kearah Sehun dengan pandangan sedih. Ia sama sekali tak menyangka bahwa dampak dari kesalahannya akan sangat berpengaruh bagi Sehun. Ia tak tahu jika Sehun begitu mencintainya.

“Bicaralah.” Sehun menyasap wajah, menunggu Jiyool mengucapkan sesuatu.

Gadis itu menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri agar pikirannya menjadi jernih. Ia tak ingin lepas kekangan seperti kejadian tiga hari lalu. Ia ingin membenahi hubungan mereka kendati mungkin takkan terasa senyaman dulu. Ia tak ingin merusak persahabatan Sehun serta Jongin hanya karena mantan kekasihnya tersebut telah mengetahui identitas ayah dari bayinya.

“Well, Sehun,” ujarnya, membuka suara. “Sebelumnya aku mau meminta maaf atas kata-kata kasarku waktu itu. Aku tak bermaksud menyalahkanmu. Aku hanya… uh, pikiranku sedang kac

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali