Chapter 17
Touch of Love
Senandung merdu meluncur dari celah bibir mungil si Jiyool Kecil. Ia berjongkok di sisi jungkat-jungkit sembari menggesek tanah dengan ujung telunjuknya; tertawa kala nama Kkamjong terukir di atas permukannya—tepat di samping namanya—dengan beberapa gambar bunga dan hati yang dibuatnya. Sesekali kepalanya mencongak untuk mengecek jika saja bocah berkulit gelap itu tiba di taman. Namun nihil, ia mengerucutkan bibir, tampak kesal. Tak biasanya Jongin terlambat datang ke taman. Ia tak pernah membiarkan Jiyool menunggu dan selalu dirinyalah yang menanti kedatangan bocah perempuan tersebut.
Dengan helaan napas berat, Jiyool bagkit berdiri, menatap gumpalan kelabu pekat di atas langit sembari memicingkan mata. Ia tak menyadari suhu udara yang semakin rendah, menusuk kulit polosnya dengan sengatan hawa dingin.
Satu jam. Itu adalah durasi waktu Jiyool menunggu kedatangan Jongin. Ia menatap jam raksasa di ujung jalan raya yang telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun tanda-tanda kemunculan Jongin tak kunjung tiba. Hingga akhirnya gadis kecil itu memutuskan untuk pulang, tak ingin membuat keluarganya cemas lantaran hari mulai berakhir dengan cuaca yang tak bersahabat. Ia menatap kesekeliling, memastikan untuk yang terakhir kalinya kala sebuah suara memanggil namanya.
Di kejauhan, Jongin berlari secepat kilat dengan wajah basah oleh kucuran air mata. Ia sesenggukan, sesekali menyeka cairan bening yang menghalau pendangannya. Senyum Jiyool merekah; ia melambaikan tangan dengan semangat, ikut berlari menghampiri bocah tersebut.
“Kkamjong, kau ter—” kalimatnya terpotong ketika mendapati tangisan Jongin.
Wajahnya menunduk, berusaha mengatur deru napas yang memburu. Bahkan Jongin dapat mendengar degup jantungnya sendiri, seperti hendak pecah dan meleburkan setiap inci tubuhnya. Tangannya bergetar kala ia menyodorkan sebuah gelang hitam kepada Jiyool, yang mana bocah manis tersebut hanya dapat mengerutkan kening.
“Kau mau memberikan ini untukku?” tanya Jiyool polos.
Jongin mengangguk cepat, “U-untukmu.”
Ia meraih gelang pemberian Jongin dengan perasaan senang bukan main. Mengingat ini adalah pertama kalinya Jongin memberikan sesuatu untuknya, ia tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.
“Oh, kau juga mengenakan gelang yang sama! Terima kasih banyak, Kkamjong!”
Jongin tak membalas ucapannya, ia pula tak mengangkat kepalanya. Ia masih menangis, tenggorokannya tercekat, kakinya terasa begitu rengsa hingga ia tak dapat menopang beban tubuhnya. Bagaimana tidak, jika ia harus mengumpulkan keberanian untuk keluar dari rumah tanpa sepengetahuan sang Ayah dan berlari tanpa henti hingga tiba di taman. Jaraknya memang tak jauh—membutuhkan waktu lima belas menit hanya dengan berjalan kaki—tapi untuk bocah delapan tahun seperti Jongin, tenaganya tentu tak seberapa.
“Kau menangis lagi, ada apa?” tanya Jiyool kemudian, tak merasa heran. Ia sudah terbiasa mendapati Jongin menangis tatkala anak laki-laki tersebut datang kepadanya dan menceritakan bagaimana ayahnya membentaknya, bagaimana ia mengatai Jongin dengan umpatan yang tak sepatutnya diucapkan kepada bocah seperti dirinya, bagaimana ia memaksa sekolahnya untuk mendepak Jongin dari club menari. Jiyool sudah terbiasa dan ia selalu tahu cara ampuh seperti apa yang berhasil menenangkannya.
“Kkamjong, kulitmu menjadi semakin gelap, kau jelek.” Cibir Jiyool sembari mengerutkan hidung.
Jongin menggeleng pelan, “tidak apa-apa, Jing. Aku ingin menangis dan menjadi jelek sebelum aku pergi.”
“Pergi? Pergi kemana?”
Kali ini kepala Jongin terangkat. Ia menatap Jiyool dengan mata sembap dan merah, punggung tangannya mengusap lelehan ingus dan berhasil membuat Jiyool terkekeh geli. Gadis itu mengeluarkan sapu tangan Hello Kitty dari dalam saku celananya, berjalan selangkah, memperkecil kesenggangan di antara mereka. Tangannya terangkat untuk mengeringkan kedua pipi basah Jongin. Alih-alih menghentikan tangisan, Jongin justru makin terisak.
“Kkamjong, percayalah padaku, suatu hari nanti ayahmu akan mengijinkanmu menari, kau tak boleh menyerah dan jangan menjadi cengeng.” Ujarnya lembut, berhasil memberikan rasa sesak di dalam dada bocah tersebut. Ia tak mengerti, mengapa menangis bisa membuat dadanya sakit. Ia tak tahu apa yang membuat napasnya sesak. Yang Jongin tahu, ia merasa begitu sedih karena sebentar lagi ia akan meninggalkan Jiyool. Bocah perempuan yang telah menghiburnya, bocah perempuan yang telah memberikan harapan dalam hidupnya, bocah perempuan yang paling memahami dirinya selain Hyorin, Sehun, serta ibunya.
“Jing, aku akan pergi. Ayah dan Ibu tidak memberitahuku kapan kami akan kembali. Noona juga tidak tahu. Tapi Ayah bilang aku tidak boleh membawamu. Aku tidak mau pergi, Jing,” ucap Jongin di tengah-tengah isak tangisnya.
Jiyool menarik tangan Jongin dan meletakkan sapu tangannya di sana. Menyuruh bocah tersebut membersihkan hidungnya dari lelehan cairan menjijikan.
“Tapi itu tidak lama, ‘kan? Kita akan bertemu lagi, ‘kan?” intonasi suaranya merendah, Jiyool terdengar sedih namun ia tak ingin menunjukannya di hadapan Jongin.
“Tidak tahu, mereka tak ingin memberitahuku.” Jawabnya sembari menggeleng cepat, “Jing, simpan gelang itu. Kata Noona, gelang itu akan membuat kita saling mengenal saat bertemu lagi. Aku tidak tahu kenapa Noona bilang begitu, aku yakin aku akan tetap mengenalmu.”
Dan kesedihan mendalam melanda diri Jiyool. Ia tak bisa tampak kuat lagi, ia tak bisa menghentikan tangisan Jongin, jadi untuk apa ia menahan tangisnya sendiri? Tenggorokannya tercekat, Jiyool menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia terduduk di atas tanah sembari menangis sesenggukan. Melihat hal itu, Jongin pun ikut duduk di sisinya dan merangkul bahu mungilnya.
“Kalau kau pergi, siapa yang akan mengajariku menari? Siapa yang akan menemaniku bermain di taman? Siapa yang akan mendorong ayunanku? Kkamjong, cepatlah kembali.” isak Jiyool di balik telapak tangannya.
Dan mereka pun menangis di sana. Berdua. Di tengah-tengah taman tempat segalanya berawal. Ujung pangkal dari perkenalan mereka. Taman yang menimbun begitu banyak kenangan masa kecil keduanya.
Hari berganti malam, rintik hujan menghasilkan aroma menenangkan dari tanah basah. Jongin melepas jaketnya dan menutup kepala Jiyool dengan itu. Ia mengantarkan Jiyool sampai rumah, meminta maaf pada kedua orangtuanya karena telah mengajaknya bermain hingga larut malam dan mendapatkan delikan tajam dari Minhyuk serta senyuman lega dari Tuan dan Nyonya Kang. Mereka tidak marah, mereka cukup tersentuh dengan sikap bertanggung jawab Jongin.
Keesokan paginya, Jiyool terserang demam selama sepekan. Jongin mendapatkan tamparan dari ayahnya dan tanggal keberangkatan mereka dimajukan. Ia tak dapat melihat serta mengunjungi Jiyool. Tuan Kim mengungkungnya di dalam kamar, mengasingkannya dari dunia luar sampai hari keberangkatan tiba. Dan hubungan mereka pun terputus, ia tak pernah mendengar kabar dari Jiyool, begitu pun sebaliknya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Segalanya berubah secara alami. Jiyool lelah—fisik dan mentalnya lelah. Ketika umurnya menginjak usia sebelas tahun, ia mendapati kabar bahwa ibunya mengidap leukemia. Frekuensi mengunjungi taman tempat mereka biasa bertemu pun semakin jarang. Ia sibuk mengurus ibunya, bergantian dengan Minhyuk.
Hingga di tahun berikutnya, Jiyool dikejutkan oleh kepergian sang Ibu. Ia sedih bukan kepalang. Ia kesepian, ia tak tega melihat ayahnya yang harus membesarkan mereka seorang diri, dan ia teringat oleh mimpi ibunya. Jiyool berpikir bahwa dengan mengingat masa lalu, maka ia takkan bisa mewujudkan mimpi Nyonya Kang. Ia tak ingin larut dalam lara yang tak berkesudahan. Jiyool pun mulai bertekad untuk mengubur semua masa lalunya—fokus pada masa depan dan studinya. Lambat laun, serpihan demi serpihan kenangan lenyap termakan oleh waktu. Nama Jongin bak angin lalu di telinganya, wajah lelaki itu pula tampak buram.
Ia memiliki kehidupan baru, teman-teman baru, sekolah baru, dan mimpi yang masih tetap sama. Ia bertemu Soojung saat memasuki sekolah menengah pertama. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjadi sepasang sahabat. Menginjak masa sekolah menengah atas, Jiyool mendapatkan beasiswa di salah satu SMA swasta terbaik di Korea Selatan. Soojung pun mengikuti jejaknya lantaran tak ingin berpisah dengan Jiyool.
Pada tahun kedua di SMA, ia mengenal seorang lelaki manis bernama Oh Sehun. Tak pernah terbersit dalam benak Jiyool untuk mengencani lelaki tersebut. Awalnya ia sama sekali tak memiliki perasaan untuknya. Mereka menjadi semakin dekat sejak menjadi pasangan kelompok untuk tugas Biologi selama sebulan penuh. Dan tiga bulan berikutnya, Sehun menyatakan perasaan hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
Kehidupannya dijalani dengan mudah. Ia memiliki keluarga yang selalu mendukungnya, sahabat yang tak pernah lelah mendampinginya, hingga kekasih yang begitu perhatian. Hingga akhirnya Sehun mengenalkan dirinya kepada Jongin. Saat itu Jiyool tak tahu mengapa Jongin tampak sangat terkejut. Matanya memancarkan kekecewaan dan ia lantas menunjukkan sikap tak bersahabat padanya sejak mereka bertemu kembali. Setelahnya, Jiyool berusaha untuk menghindari Jongin semampunya.
Dua bulan sejak mereka resmi berkencan, Jongin tiba-tiba lenyap. Batang hidungnya sama sekali tak nampak selama berminggu-minggu. Jiyool sempat bertanya kepada Sehun dan kekasihnya tersebut mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan fatal dan kini sedang dirawat di rumah sakit, namun ia tak ingin bercerita lebih jauh. Tampaknya keluarga Kim sengaja menyembunyikan hal tersebut lantaran tak banyak orang yang tahu. Teman-teman di sekolah mereka mengira bahwa Jo
Comments