Chapter 12

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Jiyool mengunyah Kimbap di dalam mulutnya lamat-lamat. Di hadapannya, Soojung sedang mengupaskan kulit buah apel untuknya sebagai makanan penutup. Sungguh, ia bukannya ingin terlihat kejam karena sahabatnya sudah mau bersusah payah membelikannya makanan di sebuah restoran di depan sekolah dan bersedia menemaninya hingga kelas tambahan dimulai. Namun kini perutnya benar-benar terasa mual. Ia pun tak tahu mengapa rasa mualnya kini kerap datang pada sore hari hingga malam—bukannya pagi seperti yang sudah-sudah.

“Soojung, aku sudah kenyang.” Ujar gadis itu bersusah payah menelan Kimbap di dalam mulutnya. Ia tercekat beberapa kali, makanannya seolah akan menerobos kerongkongannya kembali. Namun ia berusaha untuk tampak normal agar Soojung tak kuatir.

“Kau baru menyantap dua potong Kimbap, Jiyool.” Omel gadis itu sembari memutar kedua bola matanya.

“Tapi aku sudah kenyang,” rengeknya, merasakan matanya kini berair karena menahan rasa mual.

“Makanlah satu potong lagi, lalu makan apelmu.” Paksa Soojung, menyuapi sepotong Kimbap ke dalam mulut Jiyool.

Ia tampak ragu, ia tahu bahwa perutnya sudah tak dapat menolerir makanan apapun lagi. Gelengan pelan dari kepala Jiyool membuat Soojung semakin gemas. Ia mendorong sumpitnya dengan paksa ke mulut Jiyool hingga mau tidak mau gadis itu harus menerimanya.

“Setelah itu minum vitaminmu.”

Jemari lentik Soojung merogoh tas punggung Jiyool, mengeluarkan botol vitamin yang kini hanya tersisa beberapa biji di dalam sana. Ia mengerucutkan bibir sembari menelengkan kepala.

“Aku sudah membuat janji temu dengan Dokter Han untuk hari Kamis, kita akan memeriksakan kandunganmu dan meminta resep vitamin lagi.” Tambahnya sembari memberikan Jiyool potongan apel.

“Maksudmu Kamis pekan ini?”

Soojung menganggukkan kepala, “ya, aku sudah memberitahu Minhyuk Oppa dan ia setuju. Jadi mungkin kita harus bolos lagi pada hari Kamis. Uh, aku tidak tahu kenapa Dokter Han tidak menerima pasien pada malam hari.”

Jiyool menggigit potongan apel yang diberikan Soojung seadanya. Paling tidak ia melihat dirinya sudah memakan apel itu. Lalu kemudian Soojung menegak, menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lantas bangkit berdiri dari bangkunya.

“Aku harus pulang sekarang, Sooyeon Unnie akan berkunjung kerumah dengan keponakanku.” Ujarnya girang dengan senyuman lebar yang seakan-akan dapat merobek bibir tipisnya.

Jiyool memutar kedua bola matanya, “Sampaikan salamku untuk kakakmu, kuharap aku juga bisa bertemu dengannya.”

Mereka bertukar salam perpisahan hingga akhirnya sosok Soojung menghilang di balik gerbang tinggi sekolah. Tanpa berpikir panjang, kaki Jiyool sudah berlari menuju toilet—tak bisa menahan rasa mual yang sejak tadi menyerang lambungnya. Ia mendorong salah satu pintu bilik di dalam toilet dan memuntahkan seluruh makanan yang telah ditelannya. Sampai-sampai vitamin yang belum tercerna dengan baik pun ikut terbuang. Tenggorokan Jiyool tercekat beberapa kali, membuat lambungnya terasa begitu perih. Rasa asam memenuhi rongga mulutnya dan membuat butiran air mata mengalir mengintip dari ekor matanya.

Otot-otot Jiyool melemas, pegangannya pada sisian toilet kian mengerat untuk menahan beban tubuhnya. Ia tersentak kala dirasanya sebuah tangan hangat sedang memijat tengkuknya. Dipikirnya, itu adalah Soojung. Mungkin gadis tersebut melihatnya berlari ke toilet dan memutuskan untuk menyusul—membatalkan niat pulang.

Baru saja ia menyangka bahwa lambungnya sudah merasa lebih baik, namun cekatan pada tenggorokannya kembali membuat pergerakan aneh pada otot perutnya. Kali ini hanya air yang keluar lantaran seluruh makanan sudah ia keluarkan. Pijatan tangan orang-yang-Jiyool-pikir-Soojung itu semakin menguat, mengurangi rasa pening di kepalanya. Ia menyodorkan sebotol air untuk Jiyool yang diterima dengan gumaman terima kasih.

Ia mencuci mulutnya dengan air tersebut dan meminum beberapa teguk untuk mengurangi rasa perih di lambungnya. Napas Jiyool memburu, merasa begitu lelah seakan-akan telah mengerahkan seluruh tenaga miliknya hanya untuk mengeluarkan kembali makanan yang sudah membuatnya mual.

Perlahan, Jiyool berusaha untuk berdiri—dibantu oleh tangan hangat itu. Ia memegang lengan atas Jiyool, memberinya sokongan agar keseimbangan tubuhnya tak goyah. Hingga akhirnya mata mereka bertemu, napas Jiyool tertahan begitu saja selama sekian sekon. Ia terbeliak, jantungnya bertalu-talu di dalam dada.

Dua manik cokelat itu menatap matanya dalam satu garis lurus, tampak begitu menenangkan. Memberi perasaan sejuk di dalam hatinya yang penuh dengan ruang hampa. Kakinya bergetar samar ketika dilihatnya kedua sudut bibir Jongin tertarik ke atas. Tak begitu kentara, namun cukup bagi Jiyool untuk menyadarinya. Ekspresinya tenang, seakan-akan peristiwa beberapa hari yang lalu sama sekali tak pernah terjalin. Seolah-olah—sejak kejadian itu—Jongin tak pernah mengabaikannya.

Lalu kemudian, raut wajahnya bersalin cemas, seakan baru teringat oleh keadaan Jiyool. Ia memperhatikan kondisi tubuhnya dari atas hingga bawah, dan tertumbuk pada wajah kucamnya. Lidah Jiyool masih kelu untuk mengucapkan seuntai kalimat, kendati otaknya telah bekerja ekstra agar ia tak nampak tolol.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Jongin, memecah kesunyian canggung—bagi Jiyool. “Kau masih merasa mual?”

Jiyool tersentak, kakinya mundur selangkah untuk memberikan lebih banyak kesenjangan di antara mereka. Debaran jantungnya bertalu kian cepat, perasaan sejuk itu tergantikan oleh perasaan takut. Bagaimana jika Jongin berniat untuk menyakitinya? Bagaimana jika lelaki di hadapannya ini ingin mencelakai bayinya?

“K-kau… apa yang kaulakukan di sini? Ini toilet wanita!” ia berusaha memekik, namun hanya lirihan yang keluar. Kalimat itu seperti tusukan duri yang menerobos keluar dari mulutnya. Ia meringis kala Jongin berusaha menyentuh bahunya. Agaknya lelaki itu tengah berusaha menangkannya, menghapus rasa panik yang kini terpancar jelas pada wajahnya.

“Aku… aku melihatmu berlari kesini, dan kau tak nampak baik, jadi—”

Kalimat Jongin tidak selesai lantaran Jiyool mendorong bahunya dan berjalan mendahuluinya menuju wastafel. Ia menyalakan kran air, membasuh wajah pucatnya beberapa kali dan meyakinkan diri bahwa ini hanya halusinasi. Kumohon, jangan biarkan ini menjadi kenyataan. Batinnya.

Namun harapannya berakhir lancut kala tangan Jongin kembali menyentuh pundaknya. Ia memaksa Jiyool untuk memutar hingga tatapan mereka kembali bertemu. Kekuatiran makin nampak jelas pada raut Jongin.

“Jiyool, kau tidak apa-apa, ‘kan?”

“Tentu saja aku tidak baik-baik saja, apa kau bodoh? Di mana otakmu, huh? Kau sudah menghancurkan hidupku dan aku sama sekali tidak pernah menghancurkan hidupmu. Kau brengsek, bocah tengik!” semua keluar begitu saja dari bibirnya. Ia kesal dengan sikap Jongin yang tak dapat diterka. Sudah cukup baginya yang hanya bisa memendam segala amarah. Kini—entah mendapat keberanian dari mana—ia berhasil membuang semuanya tepat di hadapan wajah Jongin.

Tak ada yang membuka suara setelahnya. Mata mereka masih saling bertatapan, air muka Jongin berubah sedih. Ia tahu—dan sadar benar—bahwa dirinya memang brengsek. Tetapi apa yang bisa dilakukan oleh orang seperti Kim Jongin dengan tanggung jawab besar? Pikiran itu sama sekali tak pernah terbersit dalam benaknya. Memiliki bayi terlalu jauh dari ekspektasinya. Ia memiliki banyak hal yang harus dipertanggung jawabkan. Namun kini, saat Jongin sedang berusaha untuk membenahinya dengan memberikan sekelumit atensi kepada Jiyool, gadis itu justru menarik diri. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

“Kim Jongin,” panggil Jiyool lemah, “dengarkan aku baik-baik. Sejak kau mengabaikan tanggung jawabmu untuk bayi ini, kita sudah tak memiliki hubungan apapun. Bayi ini sekarang adalah milikku, dia tak memiliki ayah sepertimu. Aku bisa membesarkannya tanpa sokongan darimu, jadi kuharap kau tidak ikut campur lagi. Kau tak perlu mengetahui keadaanku ataupun keadaan bayiku, kau bebas dan aku tak akan menghancurkan hidupmu. Kau dengar? Bayi ini tak akan kugunakan sebagai alat untuk menghancurkan hidupmu.”

Kalimat tegas Jiyool seakan menampar wajahnya telak. Ia terpaku, membiarkan suara gadis itu berkumandang di dalam kepalanya dan menghantui dirinya selama berhari-hari. Ia yakin ucapannya kini akan selalu mengusiknya. Ia takkan bisa bertemu Jiyool lagi setelah mereka lulus. Ia takkan pernah melihat seperti apa paras bayinya. Apakah ia akan mengambil beberapa bagian dari lekuk wajahnya, atau apakah ia akan memiliki mata indah Jiyool. Ia tak dapat berdiri di sisi Jiyool kala gadis itu hendak melawan maut demi memberi kehidupan pada bayi mereka. Dan ia pula tak dapat merasakan kehangatan tubuh mungil tersebut.

Jongin takut, sangat takut hingga ia merasa dirinya hanya sendirian di dunia ini. Hawa dingin menusuk tulangnya, memberi rasa nyeri pada setiap inci tubuhnya. Matanya berair dan memerah, tangannya bergetar di sisian tubuh.

Jiyool tak ingin berada di sana lebih lama lagi. Ia berbalik dan meninggalkan Jongin yang masih mematung. Hingga akhirnya lututnya tertekuk, Jongin pun tersimpuh di permukaan lantai keras. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri, napasnya tersendat-sendat seolah tak ada cukup oksigen di sekitarnya. Persasaan takut itu seakan menelan dirinya bulat-bulat.

 

(((*)))

 

Ruangan itu gelap gelita, hanya penerangan samar dari luar jendela yang menjadi pelita. Detak jarum jam terdengar seperti detik bom waktu yang akan meledak dalam hitungan sekon. Napas lelaki itu memburu, tubuhnya meringkuk di pangkal tempat tidur sembari melekap lutut. Tangannya bergetar hebat dengan peluh yang membanjiri wajah serta pakaian yang dikenakannya. Ia memejamkan mata, berusaha mengabaikan suara-suara yang datang silih berganti di dalam kepalanya. Denyutan keras membuatnya begitu pening. Beberapa kali ia meragut surainya, seolah-olah dengan demikian rasa pening tersebut akan segera sirna.

Sudut matanya menatap ponsel yang ia letakkan di atas nakas di sisi tempat tidur. Batinnya berdebat sengit apakah ia harus menghubungi orang itu atau tidak. Apakah ia bisa mendapatkan ketenangan dengan mendengarkan suaranya? Apakah ia akan mengatakan sesuatu untuk menyingkirkan rasa panik ini?

Sebelum ia dapat menyadari segalanya, tangannya sudah terulur untuk meraih benda mungil tersebut, mencari nama perempuan itu, hingga akhirnya kini ia mendapati dirinya tengah menanti jawaban dari seberang. Pada deringan keempat, panggilannya terjawab oleh sapaan lembut.

“Ya, Jongin?”

Oh, betapa ia sangat merindukan suara itu. Kehangatan seakan membasuh hatinya, namun tatkala ia mendengar suara-suara samar dalam kepalanya yang saling besahut-sahutan tanpa henti, kehangatan itupun tak berlangsung lama. Air mata mengalir dari ekor matanya, melintasi bibir penuhnya dan memberikan rasa asin pada lidahnya.

“Aku takut… aku takut, bagaimana ini?” racau Jongin sembari mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Ia mendengar napas perempuan itu tercekat, Jongin tahu bahwa tubuhnya sedang menegang.

“Apa yang terjadi? Apa yang kautakutkan? Katakan padaku, Jongin.” Ujarnya berusaha terdengar tenang. Setidaknya ia tak ingin membuat Jongin semakin tak nyaman dengan segala kecemasannya.

“Bagaimana jika aku tak bisa melihatnya lagi? Bagaimana jika dia tak mengijinkanku melihat bayi itu?”

“Bayi? Apa maksudmu?”

“Dia bilang bayi itu hanya miliknya, dia bilang bayi itu tak terikat denganku. Seharusnya aku senang, bukan? Dia takkan menghancurkan hidupku lagi, seharusnya aku senang, bukan? Katakan padaku, apa yang harus kurasakan sekarang?”

Hening. Perempuan di seberang tak menjawab ucapannya lantaran ia sendiri tak paham dengan apa yang Jongin katakan. Ia dapat mendengar napas Jongin yang memburu, seakan-akan ia baru baru saja mengikuti lari maraton.

“Aku akan kembali ke sana,”

“Tidak!” bentak Jongin cepat. “Tidak, kau tidak boleh—”

“Aku akan baik-baik saja, Jongin. Tak ada yang perlu dikuatirkan, aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Jongin menggelengkan kepalanya cepat dan kasar. Ketakutan kian menjadi di hatinya, kini gelemeletuk giginya pun dapat terdengar. Ia berusaha agar tak membuat lidahnya tergigit, maka tangannya yang lain meraih bantal dan menggigitnya dengan kuat sembari memejamkan mata. Menghalau kelebatan bayang-bayang yang acap kali menghantui dirinya sejak setahun belakangan.

“Tidak, jangan datang, kumohon jangan datang. Kau tidak boleh datang,” ia menggumamkan kalimat itu tanpa jeda, tak memberikan kesempatan bagi orang di seberang untuk berbicara. Air mata mengalir deras, tenaganya terkuras habis oleh luapan emosi yang tak dapat dicegah.

“Aku akan mencari tanggal yang tepat dan aku akan kembali—”

Belum sempat ia menuntaskan kalimat, Jongin telah memutuskan sambungan. Ia mencampakkan ponselnya ke sembarang tempat lalu melanglang ke arah laci di atas meja belajarnya. Ia me

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali