NINE (Part I)

REMINISCENCE

Yuta membuat coretan di karang dengan menggoreskan batu. Yuta memutuskan menghitung hari-hari yang mereka lalui selama di Alena. Johnny meniup tangannya yang melepuh, dia gagal membuat api dengan metode menggesekkan batu, justru malah menjadi upaya destruktif.

“Aku bohong, Jaehyun…” gumam Johnny, dia teringat perkataannya pada Jaehyun bahwa pegunungan adalah medan yang dia kuasai. Dia bisa panjat pohon puluhan meter dan buat api pakai batu.

Ten menghabiskan pagi dengan rebahan, ketika bangun tidur kepalanya terasa berputar-putar. Ten harus recover, memulihkan tubuh pasca hangover, dia juga harus menjernihkan pikirannya yang out of focus.

Ten tidak ingat apa yang terjadi kemarin setelah dia menenggak soju.

“This stupid headache is killing me... I promise I won’t drink ever again!” erang Ten. Johnny mendengus. “You’re a weak drinker, Ten!”

Ten mengerjapkan mata melihat beberapa botol soju tergeletak menyisakan dua botol lagi. Apa kemarin dia, Johnny dan Yuta berpesta soju? Johnny mendeklarasikan bahwa mereka tidak boleh mabuk lagi, alkohol membuat tubuh mereka dehidrasi.

Tadi pagi, Johnny memboyong beberapa ikan di dalam jaring yang dipasang Jaehyun. Mereka terpaksa harus menikmati ikan mentah. Yuta mengiris ikan dan membuat sashimi. Ten mencoba melupakan rasanya yang asing, beradaptasi. Dia harus mengisi perutnya yang kosong.

“Waktu kecil, yōchien, aku bercita-cita jadi koki spesialis fugu berlisensi resmi. You know blowfish? Ikan buntal? Ikan itu lezat, tapi beracun terutama bagian hatinya. Kalau kita gak sengaja memakan racunnya, langsung sesak nafas, terus tubuh kita lumpuh deh. Katanya racun ikan buntal lebih berbahaya dari sianida. Tapi aku kagum dengan kepiawaian koki, masak menu andalan, mengeyangkan perut-perut yang lapar, bikin orang lain senang.”

“Terus kenapa kau jauh-jauh kuliah chemical engineering di SNU, Yuta?”

“Kayak motto kampus kita aja, veritas lux mea, the truth is my light. Aku pengen nyiptain nanotechnology, biotechnology, earthquake engineering... Ngasih manfaat lebih besar dibanding jadi koki...”

“Gossip tentang kakekmu yang mafia Jepang, Yakuza, itu benar? Kamu sengaja menjauh dari Jepang, menghindari target musuh…” Tanya Johnny.

“Waktu kecil aku ingin jadi pemadam kebakaran. Taeyong juga, dia pernah bilang ingin jadi pemadam kebakaran...” Potong Ten. Johnny memperhatikan reaksi Yuta. Yuta spaced-out. Johnny melahap sashimi, membuang duri lalu mengunyah daging ikan alot dengan giginya. Johnny membekap mulutnya, dia ingin muntah karena tubuhnya menolak ikan mentah berbau amis tersebut. Johnny memukul dadanya, lalu meneguk air.

“Kenapa Hansol hyung belum kembali?” Ten menyipitkan mata, berharap mampu melihat sisi laut yang tak terjamah pandangan.

Ten menoleh.

“Hansol hyung pasti berhasil ketemu Jaehyun kan?”

Yuta mengangguk. “Ya, hyung selalu dapat diandalkan.” Jawab Yuta yakin menciptakan senyuman di bibir Ten. Yuta turut tersenyum. Johnny lega.

“Kira-kira bakal ada tim SAR menolong kita gak ya? Gimana keadaan Northeastern Dale? Mini RV sewaan kita? Agent to…” ucapan Ten terhenti, suaranya tercekat. Semua terdiam.

“Kalian dengar?” desis Ten.

Mereka menajamkan kuping. Ten dan Johnny bangkit. Karang Alena yang menjulang membatasi jarak pandang. Namun suaranya semakin kentara.

Helikopter…

Ten, Yuta dan Johnny melihatnya melalui lubang gerbang Alena, meski harus menantang sinar matahari.

Tanpa aba-aba Ten dan Johnny berlari, berenang sekuat mungkin. Lalu berhenti berenang, berteriak, memanggil. Mereka berharap orang yang ada di helikopter menyadari kehadiran mereka. Ten melambaikan tangan. Namun helikopter melewati mereka begitu saja. Ten berenang lagi, Johnny mengikuti.

“Ten… Ten…” Johnny memanggil Ten.

Helikopter itu sudah jauh dari lokasi mereka. Semakin mengecil dan mengecil. Ten masih terus berenang, menyusul. Johnny berenang lebih cepat lalu berhasil meraih kaki Ten. Seketika tubuh Ten tenggelam, lalu kembali ke permukaan. Ten sadar usahanya sia-sia. Ten berbalik, melihat Johnny kelelahan. Ten memiringkan kepala. Alena berada jauh di belakang mereka.

“Kita coba cari cara lain biar mereka bisa lihat kita, Ten.”

Ten mengangguk.

Mereka bersusah payah berenang kembali ke Alena.

“Kalian konyol!” sambut Yuta, terkekeh mengejek.

“Helikopter itu terbang minimal 1000 kaki dari atas laut, sekitar 200 meter lah. Suara baling-baling rotor helikopter berisik banget, level 100 desibel lebih, sejam aja bisa ngerusak pendengaran. Jadi si pilot pasti pakai headphone khusus peredam bising biar gak ngerusak pendengaran mereka sekaligus buat berkomunikasi.” Tambah Yuta sambil mengunyah ikan.

Ten dan Johnny merebahkan diri, kecapekan. Kepala Ten terasa berat.

“Kenapa mereka gak bergerak lambat aja sih? Bukannya mereka sengaja beroperasi mencari korban, harusnya menyusuri setiap titik?”

“Kita ada di Alena, guys, di tengah perairan, kan? Dimana kecepatan angin dan ombak tinggi. Kayaknya mereka cuma lewat doang, tujuan mereka pasti daerah pemukiman. Lagipula kalau mereka terbang sangat rendah bisa berbahaya, pilot terancam terserang vertigo, gak bisa bedain langit dan laut karena sama-sama biru... Ah, masa kalian lupa sih? Kita pelajari ini pas safety engineering!” Yuta dongkol. Johnny menggaruk kepala.

“Tapi kita harus segera dapat pertolongan,  Yuta. Kamu harus segera dirawat, mengobati lukamu. Persediaan air minum kita juga terbatas.” sahut Ten, sambil memandangi langit tanpa awan yang biasanya berarak.

Kemana awan? Mengapa langit begitu biru.

“Aku gak mau mati disini…” timpal Johnny, dia bangkit lalu sibuk mensortir barang-barang tersisa. Otaknya dipenuhi ide, dia serius dan fokus.

“Kita juga harus beritahu regu penyelamat untuk mencari Hansol dan Jaehyun.” Tambah Ten.

Johnny tenggelam dengan kesibukannya.

“Gimana kalau ternyata helikopter itu gak balik lagi?” Tanya Yuta, pelan. Melihat kakinya yang terluka, dia khawatir akan kehilangan salah satu kakinya.

Ten menyentuh bibirnya, berpikir. “Yeah, we ran out of luck.” Ten melihat Yuta. “Tapi, mereka pasti balik lagi. Lihat beanie favoritmu itu, dia selalu menempel di kepalamu. Mencegah optimisku menumpul… ”

Yuta bingung, menggaruk kepalanya.

“Kamu dan beanie-mu membuat keyakinanku pada Tuhan gak goyah sedikitpun. Tuhan gak memisahkan kalian. Dengan segala kemungkinan dan semua yang kita alami, kamu gak kehilangan beanie-mu, Yuta-kun. Dengan kuasa-Nya, gak ada yang gak mungkin bagi Tuhan. Mungkin helikopter tadi gak akan balik lagi, tapi pasti ada helikopter lainnya. Lukamu pasti sembuh, kamu pasti bisa fly boarding lagi.” Jelas Ten. Yuta tersenyum mendengar optimisme Ten. Saat Ten melakukan CPR untuk Taeyong, keyakinan Ten bahwa Hansol berhasil bertemu Jaehyun, dan optimisme Ten kalau Yuta tidak akan pernah kehilangan kakinya.

“Healing smile Yuta…” ucap Ten, dia ingat malam pertama di Alena, saat menyambangi kawanan phythoplankton. Saat Ten dan Yuta berkelahi di perahu.

“Ah, Yuta… Your smile is alluring…”

Yuta membelalakan mata. “Jangan coba-coba flirting padaku, Ten…”

Mereka termangu. Ten ingat Taeyong, harapan untuknya pupus karena Johnny. Mendera batin, hadapi kenyataan. Begitu pahit, begitu menyakitkan.

“Maafin aku, Taeyong… I’m a horrible person!” gumam Yuta.

“You’re not!” tukas Ten. “Kamu masih penasaran apa yang kita bicarakan di tenda saat Hansol hyung menyuruhku bangunin dia untuk melihat maytag?”

“Not anymore, aku udah tahu yang sebenarnya…”

“... Dia tanya hubunganku dengan Park Soo-young…”

Yuta terperangah.

“Terus ceritanya kalian bersaing ngerebutin cewek yang sama? Begitu?”

Ten menggeleng.

“Taeyong beneran naksir kamu, Ten.” Ujar Yuta.

“Pacar Soo-young ssi, dia teman Taeyong.” Jawab Ten.

Yuta manggut-manggut, menyentuh dagunya.

“Taeyong bilang, I deserve better. Dia selalu ngebahas sikap Soo-young yang gak tegas. Taeyong gak mau aku jadi cadangan doang.”

Yuta menghela nafas, berdecak.

 “Menurutmu kenapa Taeyong peduli, sedangkan yang lain gak bermasalah soal hubungan gak jelas antara kamu dan Soo-young ssi?”

Alis Ten bertaut. Yuta bergeser, mengambil dompet dari bawah tubuhnya. Ten memperhatikan long wallet merk MCM Visetos berwarna hitam.

“Dompet Taeyong, tadinya aku mau kasih lihat nanti.”

Yuta menyerahkan dompet itu ke pangkuan Ten. Ten melirik Yuta menimang dompet Taeyong.

“Waktu Johnny ngebongkar isi tas Taeyong sore itu, aku ambil ini.”

Ten membolak balik dompet, menilik logo MCM, menepuk-nepuk.

“Buka, Ten!” ujar Yuta. Ten menoleh, heran. Yuta mengangguk.

Ten patuh. Terdapat satu tempat uang, 11 slot credit card yang diisi beberapa kartu, 5 slip saku, Ten menyentuh setiap bagian. Ada uang disana.

“11,000 won...” gumam Ten, hatinya mencelos.

“Cukup kalau Taeyong cuma pengen traktir kamu tteokbokki...”

Seperti ada gumpalan kapas menyumpal tenggorokan Ten, hatinya ngilu.

Ten menatap foto Taeyong di ID window.

“Narcissistic...” komen Yuta.

Di foto tersebut Taeyong bergaya imut, menaruh telunjuk di pipinya, derp. Ten mencoba mengambil foto tersebut. Yuta tergugah. Ada sesuatu menempel di belakangnya. Ten menoleh. Yuta tersenyum penuh arti.

Ternyata di belakang foto selfie Taeyong, terdapat foto selfie Taeyong dengan Ten memakai couple shirt Tom and Jerry. Foto yang mereka ambil di pesawat dari Seoul ke Busan awal tahun ini, mereka main ke rumah Hansol sekaligus liburan ke Gyeongju. Ten ingat semua kekikukan mereka karena yang lain terus heboh mengomentari mereka berdua, malah Yuta sempet-sempetnya merekam aksi mereka pas berselfie-ria. He didn't know what all the fuss is about.

Hidung Ten terasa pilek, matanya terasa panas, Ten terus menelan ludah.

“Balik, Ten...” saran Yuta. Ten menggeleng, dia menyembunyikan wajah dengan lengannya, menggosok-gosok matanya. Yuta mengambil foto tersebut, menepuk pundak Ten.

Ten menolak melihatnya. He might not be able to handle his feeling. Tapi Ten gak mau menebak-nebak, Yuta sudah tahu apa yang ada di balik foto itu

“I'll always choose you over everyone...” Yuta membaca tulisan yang tertera di belakang foto tersebut.

Ten terhenyak, perasaannya terombang ambing. Ten mengintip, membaca langsung dengan mata kepalanya sendiri. Melirik Yuta, perlahan airmatanya mengalir, Ten menyeka dengan jarinya. Menghela nafas.

“I don’t get it. What does that even mean?” bisik Ten, suaranya pelan.

“That’s mean, you are a complete ing moron, Ten...” jawab Yuta, sambil memasukan foto-foto tersebut ke dalam ID window dompet Taeyong dan menyumpalkan dompet itu ke telapak tangan Ten.

Ten ingat kata-kata Taeyong.

‘Why did she choose him instead of you? Just choose you or lose you, You are not a back up plan and definitely not a second freaking choice...’

Ten masih ingat jawaban yang dia lontarkan pada Taeyong.

‘She chose him. Ok! So be it. Stop wondering why. I’m fine, Yongie…’

Kini Ten mengerti. Of course, Taeyong always wondered why, because he'll always choose Ten over everyone else. Ten has mixed feelings.

“Yuta, I realize a lot of things and it’s hurting my heart...” Gumam Ten. Ten menunduk, menekan dadanya, sesuatu seperti melubangi hatinya.

“Congratulations, you finally realize you’re de moron...” sahut Yuta.

“My heart hurts so much? Why? Aku udah sering patah hati, harusnya aku udah kebas...” Tutur Ten. 

Ten meringis, nafasnya sesak, hatinya sakit. You never know how much a person means to you until they're gone.

Yuta mengusap lutut Ten.

“It’s like all your emotions just smashed head on into a wall?”

Ten mengangguk kecil, mengurut dadanya, menangis tanpa suara.

“Four letters, one word...” sahut Yuta. Ten menenangkan dirinya, memandang buih-buih ombak menciumi pantai.

“Love?” gumam Ten.

“Life...” timpal Yuta.

Johnny menghampiri mereka, melepas kaos dan mengusap peluh di dahinya. Ten menyentuh pangkal hidungnya, menggosok mata dan hidungnya, berdeham.

“Ten,” panggil Johnny.

Ten mendongak.

“I need your help!” lanjutnya.

*****

Ten dan Johnny mendaki tebing karang gerbang Alena setinggi 8 meter. Ten di sisi karang sebelah kanan, Johnny sisi kiri gerbang. Jika ada Hansol pasti dia melarang mereka melakukan hal tersebut karena sangat berbahaya. Semakin menuju puncak, semakin curam, angin bertiup kencang. Berkali-kali kaki mereka tergores batu karang yang tajam. Di bawah mereka, ombak besar terus menggempur dan pecah menghantam karang. Beberapa binatang mencoba menginterupsi dan menggagalkan usaha mereka. Tetap bertahan.

Johnny berhenti, menggerakkan tangannya memberikan kode. Ten mengambil tambang yang dihiasi berbagai kain dari ranselnya. Ten mencoba melempar tambang yang polos seperti lasso, namun gagal. Dia menariknya, memintal tambang dan melempar lagi. Berhasil ditangkap Johnny. Kini tambang tersebut melintas gerbang Alena

“YASS!” Mereka berseru kompak. Johnny menggoyangkan tambang, memperbaiki posisi agar kain-kain yang sudah dirancang, bentuknya terlihat. Sekarang mereka harus mengikat ke batu karang yang runcing. Setelah berhasil, keduanya turun sedikit. Ten harus melempar tali tambang sisi bawah. Kali ini langsung berhasil ditangkap Johnny. Sehingga berwujud tulisan S.O.S dari kain pakaian. Mereka sengaja merobek beberapa pakaian dan membentuknya, menyambungnya dengan teknik simpul yang diajarkan Yuta. Meski tidak sempurna namun tetap jelas terbaca. Mereka mencari batu karang runcing untuk mengikat tambang. Setelah memastikan tambang terikat kuat. Johnny dan Ten berhati hati menuruni karang. Kini ada tulisan S.O.S di muka gerbang Alena. Ten menceburkan diri, berenang untuk melihat hasilnya dan mengangguk puas. Johnny mengikuti dan dia bangga dengan kreativitasnya.

Yuta bertepuk tangan saat mereka kembali. Dari pantai Alena tulisan itu kentara jelas. Ten membasuh kakinya yang berdarah tergores batu karang dengan air laut, meringis. Mengigit lidahnya menahan perih.

“Aku sempat heran pas Hansol hyung bawa tambang segala ke pantai. Ternyata berguna juga...”  ucap Johnny melihat tulisan S.O.S.

“Guys. Aku ada ide lain…” ucap Yuta. Dia mengacungkan kamera DSLR milik Ten dari pangkuannya. Sebelumnya kamera itu tergeletak di pasir.

“Kalau misal malam hari ada helikopter, kita bisa ngasih sinyal pakai lampu flash.” Yuta menyalakan kamera.

“Memangnya masih berfungsi?”

Yuta mengangguk. Ten dan Johnny mendekat, takjub dengan daya tahan kamera.

“Tapi batrenya tinggal sebagian lagi, kita harus hemat. Aku coba batre cadangan, tapi gak berfungsi. Entah kalau dijemur dulu?”

Ten meraih kameranya, mengecek foto-foto dan video yang dia ambil. Rasa sedih kembali menguasai. Johnny menarik kamera, lalu mereka bertiga mengecek dan melihat foto satu per satu. Mereka berhenti di foto Taeyong.

“He’s everything…” gumam Ten. Alam bersenandung syahdu, deburan ombak menghanyutkan. Perasaan aneh kembali menghinggapi, Ten menggelengkan kepala, membuyarkan setiap ‘puzzle pikiran’ yang tersusun.

“Dia separuh dewa…” tambah Yuta.

“Mungkin dia anak Poseidon? Aku benar-benar lihat dia berenang dengan cahaya biru…” timpal Johnny. Ten dan Yuta menoleh, menatapnya skeptis.

“I know, gak akan ada yang percaya ucapanku. Aku sendiri gak yakin apa aku ini masih waras atau memang sudah gila.”

Ten membuang muka. Ten yakin Johnny berkhayal, sengaja menciptakan imajinasi tentang Taeyong yang pergi bersama cahaya biru. Johnny menciptakannya tanpa sadar untuk menutupi perasaan bersalahnya. Kadang kita bertindak di luar nalar saat kita kehilangan kontrol dan koordinasi antara tubuh dan otak. Antara otak dan hati.

Ten memandangi Taeyong, tertegun. What does that mean, Yongie?

Lalu mereka melihat foto Jaehyun.

“Aku nyesel banget gak ngoyo menemani Jaehyun pergi.” Gumam Ten, dadanya sakit, seperti ditembaki peluru air softgun saat bermain paintball.

“Jaehyunnie. Apa dia masih memainkan bintang laut?” Ten menerawang.

Airmata Yuta menetes ke layar kamera. Dia menangis diam-diam.

“Aku punya hutang pada Jaehyun.” Ucap Yuta.

“Seluruh cemilan kita, anugerah darinya. Bahkan dia mengikatkan jaring begitu kuat, jadi kita gak repot cari ikan untuk makan. Aku gak yakin kemampuan kalian menangkap ikan.”

“Jaehyun adalah berkah…” Johnny menambahi.

“Aku kangen Jaehyunnie…” Ten bersandar. “Aku kangen Yongie dan Hansol hyung...”

“Aku juga. Aku janji bakal beliin apapun yang Jaehyun mau, pokeball, churros, apapun sekalipun penguin atau anjing laut.” Yuta mengepalkan tinju, jika berjanji pasti ditepati.

“Kenapa Hansol hyung belum juga kembali? Apa Jaehyun baik-baik aja?”

Johnny mematikan kamera.

“Kita harus hemat batere. Hansol pasti sudah menemukan Jaehyun. Aku yakin Jaehyun selamat dan dia baik-baik aja. Dia juga merindukan kita. He was an angel in a humans body. Kita saja masih diberi keselamatan, apalagi Jaehyun! Alam langsung luluh melihat Jaehyunnie tersenyum…”

*****

“Jangan pernah mencoba menghapus sosok luar biasa seperti Taeyong dan Jaehyun dari hidup Ten. Dia akan tersenyum saat mengingat mereka. Mereka bukan sumber rasa sakit, justru sumber bahagia, sumber inspirasi.”

Nat mengangguk, setuju dengan perkataan ibunya.

“Ten berhenti mengkonsumsi farmakoterapi. Dia akan segera sembuh.”

“Oh ya? Ibu bahkan gak lihat video proses psikoterapi!” ujar Nat.

Sebetulnya Nat khawatir dengan kondisi Ten, setelah sesi ke-10, setiap sesi terapi selesai, pasti Ten mengalami posthypnotic amnesia, dia hanya ingat berada di gazebo, akan sesi terapi, dan malam hari akan ke rumah granny. Setelah hipnosis, Ten seolah terjebak di satu waktu, saat dia terjebak di gelombang otak delta. Tapi Nat tidak berani bercerita pada Mrs. Pongsuriyan maupun Doyoung. Nat ingin konsultasi ke P’Nok dan P’Ja, tapi takut mereka melapor ke Ibunya.

“Kamu butuh konsultasi, Nattasha?” Tanya Mrs Pongsuriyan, lembut.

 “Ma, mungkin aku suka Ten.” Nat mengalihkan topik. “Sebagai klien…”

Ibu Nat tertawa. “Ibumu ini sudah 15 tahun lebih jadi psikiater. Jangan coba berbohong, ibu mengenalmu lebih baik daripada dirimu sendiri…”

Melihat Nat membisu, Ibu Nat menyilangkan tangan di dada.

“Gimana kabar Doyoung? Kemarin dia gak temui Mama.”

“Doyoung sibuk ujian semester, Ma.” Jawab Nat sekenanya. Nat ingin pergi dari ruang praktik tapi malas pergi, Nat bersandar ke kursi ergonomis.

“Gimana kalau aku menyukai Ten, Ma?”

“Kamu sudah menyukainya, sayang…”

“Tapi gimana Doyoung? Should a betrayal be forgiven?”

“Posisikan dirimu di pihak Doyoung, bagaimana menurutmu.”

Nat mengerang, lalu memukul jidatnya sendiri.

“Nat jahattt…” lenguhnya.

Doyoung sosok pacar yang sempurna. Sebelumnya Nat selalu cemburu karena banyak gadis yang berusaha menarik perhatian Doyoung. Kini Nat terkesan mencampakkannya, malas mendengarkan perkataannya. Biasanya Nat selalu tertawa jika Doyoung menghiburnya, tapi kini Nat merasa bosan dan ingin menyumpal mulut Doyoung kalau Doyoung mulai melucu.

“Umurmu masih 22 tahun. Doyoung dan Ten 19 tahun. Kalian gak akan menikah besok atau lusa. Perjalanan kalian masih panjang. Tapi ingat, posisikan dirimu di posisi oranglain, perlakukan mereka seperti kamu ingin diperlakukan oranglain...”

“Ahh, mama malah bikin Nat makin dilemma…” keluh Nat, tubuhnya menggelosor dari kursi. Ibu Nat tertawa melihat polemik putrinya yang manja.

“Udah udah jangan menggeluti cinta mulu ah! Kerjain segera revisi tesis, rancang strategi buat klien kita. Buat rencana tatalaksana. Kembangkan sugesti dan neuro-path. Cinta itu menyenangkan, bukan bikin pusing.”

Nat menaruh pipinya ke kursi, terduduk di lantai. Ibunya selalu benar.

‘Ten? Who owns your heart? Ahh, where my heart really is?’

*****

 

ps:   tbvh im such a YuTen trash, but i lowkey ship TaeTen XD~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*