TEN

REMINISCENCE

Teman Ten semasa bersekolah di Shrewsbury High School berbondong-bondong datang menengok, mereka membawa banyak makanan termasuk coklat. Nat harus menunggu sampai teman-teman Ten pulang untuk memulai terapi.

Nat sempat berbincang dengan terapis lain yang juga menangani Ten, terapis itu bernama Punpun Suttata Udomsilp, dia mengaku berusia 18 tahun, mahasiswi Chulalongkorn University. Nat ingin bertanya apa Punpun mengenal Doyoung, namun Nat mengurungkan niatnya saat Punpun mulai membicarakan bahwa dia menerapkan metode Tapas Acupressure Technique. Punpun bilang Ten agak unik karena setiap selesai T.A.T, Ten sudah berdamai dengan berbagai problem alam bawah sadar, psikomatisnya sudah pulih. Tapi saat terapi selanjutnya, Ten selalu mengalami degradasi. Punpun mempertanyakan hypnosis yang Nat terapkan. Nat feels humiliated!

Nat semakin geram saat Punpun mengatakan dengan metode T.A.T, tidak mengharuskan klien untuk mengulang peristiwa traumanya, tidak terlalu banyak menggunakan percakapan, sehingga klien dapat memfokuskan perhatiannya pada masalah sesuai dengan persepsi mereka sendiri, tanpa harus mengungkapkannya dengan kata-kata. Berbeda dengan hypnosis. Punpun bilang manfaat T.A.T untuk melepaskan dan menyembuhkan, berbeda dengan hypnosis yang hanya membantu proses penyembuhan. Masih menurut Punpun kalau T.A.T intervensi psikologis terampuh untuk membantu korban bencana. Selain itu T.A.T jauh lebih sederhana, efektif, dan optimal karena dilakukan beberapa menit saja. In short, Nat feels so bitter and defeated.

Nat meminta maaf karena meskipun sesi terapi Punpun jauh lebih singkat, Punpun tetap harus menunggu giliran. Ini hypnotherapy terakhir, Nat akan memberikan sugesti final, penerapan pemahaman baru, pembingkaian ulang masalah, mental rehearsal, final systematic desensitization dan merubah neuropath terakhir. Punpun masih harus menjalankan dua sesi lagi, tapi dia tampak senang saat Nat bilang ini hypnotherapy terakhir.

Why do girls always compete with each other?

Villa cukup ramai oleh tamu yang berdatangan. Ada nenek dan kakek Ten yang tampak sehat berbahagia. Mrs. Lee sedang mengobrol dengan saudaranya yang sengaja datang dari Jepang. Ekspresi mereka begitu cerah karena Ten yang mereka cintai sudah dapat tertawa, tersenyum lebar, dan saat Ten tersenyum bola matanya berseri-seri seperti bintang di langit malam.

Mungkin hanya Nat yang tidak bersukacita.

Nat menghela nafas.

“Hai..”

Nat menoleh. Tern menyapa Nat dan Punpun.

“P’Nat, P’Punpun. Thanks banget ya sudah membantu H’Ten…”

Nat tersenyum, mengangguk. Punpun mengajak Tern ngobrol.

“Oh iya, ini hypnotherapy terakhir kan, P’Nat?”

“Yup!”

Tern manggut-manggut. Tangan kirinya memegang kertas pamflet. Tern memberi masing-masing satu lembar pada Nat dan Punpun. Nat membaca sekilas. Rupanya ‘charity events’ untuk membantu korban tsunami Dale. Tern berpartisipasi dalam penggalangan dana. Punpun antusias, katanya kalau lokasi Dale tidak jauh, dia ingin sekali membantu merehabilitasi para korban dengan T.A.T.

Nat rolling her eyes.

“Ini aksi solidaritas sosial. Sayang banget memang kita gak bisa turun langsung. Mmm, kalau P’Punpun dan P’Nat mau ikut partisipasi ngasih donasi, bisa transfer langsung ke rekening official Bangkok Charitable and Humanitarian Foundation yang tertera di pamflet. Untuk penyaluran dananya langsung dikelola oleh Tim Perencanaan, Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Dale. Cash flow dana yang masuk dan realisasinya akan direkap dan dipublikasikan di situs BCH Foundation. Nanti bakal diposting dokumentasinya kalau bantuan sudah diterima korban.” Terang Tern penuh kesungguhan.

“You have a heart of gold, N’Tern...” puji Nat.

Tern langsung membantah. “No. I’m not a pokemon! Apa yang menimpa masyarakat Dale dirasakan oleh H’Ten, mungkin H’Ten lebih beruntung dibanding mereka. Eh, maaf P’Nat, P’Pun, aku tinggal dulu ya. Sekali lagi makasih ya!!” ucap Tern saat melihat teman-teman dari SHB pamit pulang. Nat melempar senyum padanya.

“Um, N’Tern…” panggil Nat.

Tern berbalik.

“Ya?”

Nat ragu apakah harus menanyakan hal ini pada Tern. Terlanjur...

“Nanti keluarga Lee kembali ke Chidlom lagi, ya? Kalau Ten mau lanjutin kuliahnya di Korea?”

Tern berpikir, dia menggigit lidah, nyengir.

“Aku gak tahu sih, gimana Mama Papa aja. Buat aku yang terpenting H’Ten sembuh.” 

Nat menyunggingkan senyum. Tern melambaikan tangan.

Teman-teman Ten berpamitan. Keluarga Lee termasuk Ten mengantar mereka sampai beranda. Nat bersiap untuk sesi terakhir psikoterapi.

*****

Ten mengatur nafasnya, tangan kirinya memegang perahu, tubuhnya mengapung karena life jacket. Ten mengamati arus yang bergerak di permukaan laut. Ten mengangkat tangan dan merasakan angin, lalu membenamkan tubuhnya sebatas dagu untuk melihat riak air. Ten lumayan tahu tentang surfing, dia sering surfing di Flow House Bangkok, instruktur pernah memberitahu tentang wave anatomy, tentang karakteristik ombak, calculate when the biggest waves will hit the beach. Tapi lautan sesungguhnya sangat berbeda, gelombang besar justru membuatnya gentar. Apalagi mereka tidak berada di life craft atau sekoci penyelamat hanya bergantung pada perahu plastik berwarna biru sepanjang 2,7 meter x 1,25 meter.

Semakin lama berada di air, pikirannya mulai kacau. Ten bingung. Mentari musim panas menyengat seakan membakar ubun-ubun.

‘Apa neraka sedang bocor?’

Tiba-tiba Yuta mengusap rambut Ten.

“Aku bisa bikin telur dadar di kepalamu, Ten…” ucapnya. Ten menaikkan tubuhnya ke perahu plastik.

Yuta menarik beanie lalu dipakaikan ke kepala Ten.

“Pakai ya, tapi jangan sampai dicuri gurita puber.  Ah, aku pengen makan sannakji!”

Sekitar 25 meter dari arah kiri posisi mereka, Johnny muncul ke permukaan laut. Dia berteriak membuat echo sounder. Ten loncat, langsung berenang mendorong perahu plastik menghampiri Johnny. Ini salah satu langkah dari sekian banyak usaha untuk menemukan pulau berpenghuni.

Alena sudah lenyap dari pandangan, mereka sudah jauh untuk kembali, entah sudah berapa lama mereka terombang-ambing di lautan karena Casio G-shock Ten tiba-tiba rusak. Yang pasti mereka sudah melewati hutan mangrove, beberapa pulau daratan pasir, beberapa pulau berupa karang dan terumbu karang. Tujuan mereka tidak terpaku pada Northeastern Dale Island, pokoknya salah satu dari 6 pulau berpenghuni di kepulauan Dale.

Johnny menyelam lagi, mengamati morfologi dan relief dasar laut untuk memprediksi kedalaman. Dengan asumsi semakin dangkal maka semakin mendekati pantai. Johnny membidik rute perahu untuk terus berada di continental shelf atau landas kontinen. Ten kebagian tugas memperhatikan gelombang, kalau gelombang semakin rapat tapi semakin tinggi berarti mereka mendekati pantai. Laut Dale adalah laut pedalaman karena dikelilingi daratan. Seharusnya mereka terus berada di zona kedalaman neritic atau wilayah laut dangkal dimana masih dapat ditembus oleh sinar matahari. Mereka enggan mendekati tengah laut karena gelombang yang tinggi dan angin yang kencang.

Kalau Ten sudah mendekati, Johnny menarik nafas lalu menyelam lagi. Ten akan berhenti dan menunggu aba-aba Johnny selanjutnya. Mungkin jika ada Hansol semua akan lebih mudah. He is a real man dan alam adalah sahabatnya.

'Dimana Hansol sekarang? Apa dia akan melihat pesan dan soju di Alena?'

Ten menyentuh kain yang menutupi tubuh Yuta. Sudah kering. Ten mencelupkannya ke air lalu menyelimuti Yuta dengan kain basah agar dia tidak terlalu kepanasan.

Matahari masih menampakkan keperkasaannya.

Ten mengedarkan pandangan. Kali ini terlalu lama, Johnny belum muncul dimanapun. Ten mengambil life jacket milik Johnny di perahu, memasang mask. Ten kaget karena Yuta tiba-tiba memukul kepalanya. Ten membuka mask. Yuta mengacungkan telunjuk, Johnny sedang melambaikan tangan. Ten tersenyum lega. Lalu kembali mendorong perahu secepat mungkin. Sebelum Johnny menyelam lagi, Ten memanggilnya.

“John…”

Johnny berbalik, melepas mask dan snorkel yang dipakainya. Jarak mereka semakin menyempit.

“Kamu istirahat, jangan terlalu memforsir diri. Jangan banyak bergerak, biarkan arus yang membawa tubuh...”

Johnny menggeleng, lidahnya kelu, bibirnya bengkak.

“Kamu bahkan gak bisa ngomong..”

Johnny meregangkan lehernya.

“I’m good …” jawabnya.

Ten memberi botol air, Johnny segera meneguknya sampai tandas.

“Semakin lelah semakin kehilangan fokus. Naik ke perahu dulu aja, istirahat sebentar.”

Lagipula Yuta sudah bisa berkomunikasi dan agak membaik. Johnny benar, Yuta pria bebal dari Osaka dia pasti bertahan. Dan Johnny memang sudah kelelahan, dia terus memaksakan dirinya untuk melewati batas. Ten memegang perahu agar posisi stabil, Johnny naik. Johnny kaget karena dasar perahu membakar pantatnya.

“Aishh, panas!” Keluhnya.

Ten menyiram perahu dengan air laut.

Johnny menyibak kain yang menutupi Yuta, mengecek luka Yuta. Johnny mengusap telapak kaki Yuta, memijat pelan.

Ten membuka gesper life jacket.

“Kenapa dibuka, Ten?” Tanya Johnny. Ten mengabaikan pertanyaan, menaruh life jacket di perahu, pakai mask lalu menarik nafas dan menyelam. Ten memincingkan mata melihat ke depan, ke sisi kanan, kiri, berputar. Menengadah dan melihat perahu mengambang di atasnya. Ten mencoba menyelam lebih dalam, dadanya terasa terhimpit. Sesak...

Ten naik ke permukaan, mencambuk kedua belah kaki. Terus naik lalu,

BRUAHH…

'Luar biasa!'

Ten melihat Johnny menengok padanya, Ten muncul di belakang Johnny. Ten salut dengan daya tahan Johnny. Apa yang Johnny lakukan seharian luar biasa sulit. Ten berenang mencapai perahu lalu mendorongnya, bebannya bertambah dengan keberadaan Johnny.

“Aku mau turun deh, Ten...” Johnny meraih snorkeling set.

“Kamu istirahat dulu John, sampai benar-benar pulih.” Jawab Ten, sambil pakai life jacket lagi. Johnny menurut, dia merebahkan tubuh, seluruh sendinya berorasi protes menuntut istirahat. Tulang belulang kelu. Johnny kehabisan tenaga. Ten menghentikan laju perahu, mengamati alam sekitarnya, lalu mendorong lagi.

“John... Johnny...” seru Ten.

Johnny bangkit. Ten gemetar karena saking bahagia, dadanya bergemuruh. Ten menunjuk sebuah surga, mungkin, seperti puncak pepohonan. Sebagian puncak hotel tertinggi dan terbesar di Northeastern Dale Island, Hotel Eileen. Beberapa kontruksi bangunan begitu kecil, lalu jembatan cable stayed yang menghubungkan Dale ke Northeastern Dale Island membentang memanjang.

Johnny memincingkan mata lalu melirik Ten.

“Kamu lihat gak, bro?”

 Johnny menegakkan punggungnya, mencoba melihat apa yang Ten lihat. Tapi Johnny tidak melihat apapun.

“Ten?” Johnny kebingungan.

Ten masih tersenyum lebar lalu mendorong perahu.

“Ten!!” teriak Johnny. Ten berhenti.

“Kita hampir sampai di Northeastern Dale, John…”

Johnny menggeleng. “Gak ada apapun disana, cuma laut tanpa batas…”

Alis Ten bertaut.

“Lihat John, itu hotel Eileen, itu jembatan Dale!!” jelas Ten.

Johnny tetap menggeleng.

“Nothing, Ten. There’s nothing in there!” tegas Johnny.

Ten memejamkan mata, lalu menajamkan pandangannya. Namun tidak berubah, apa yang dilihat Ten sangat nyata. Johnny mengumpulkan kekuatan yang tersisa, memakai life jacket dan turun dari perahu. Johnny menyentuh Ten yang sedang kebingungan, meraba dahi Ten.

“Entah penglihatanmu yang benar atau aku. Kita harus terjaga, kita harus tetap fokus.”

Ten memejamkan matanya. Lalu menatap kedua mata Johnny.

“Johnny benar.” ucap Yuta. Mereka menoleh.

“Gak ada apapun disana, di segala arah, semua sama! Laut, laut, dan laut.”

Ten tertunduk lesu. Lalu mencoba kembali melihat ke arah yang sama, dan seluruh ‘surga’ itu menghilang lenyap seketika.

“Luka ini menjagaku tetap sadar…” tambah Yuta.

Ten kecewa, dia frustasi lalu membiarkan tubuhnya mengambang di laut. Menutupi matanya dengan lengan. Johnny meraih perahu plastik.

“Aku merasa gak berguna, ngelihat kalian berjuang mati-matian. Aku hanya memperlambat kalian…” keluh Yuta sambil menyandarkan kepalanya ke ransel. Johnny naik ke perahu, menarik tubuh Yuta dan membiarkan Yuta tidur di pangkuannya. Keduanya memperhatikan Ten dengan perasaan iba.

“Matahari mulai tenggelam, apa yang kita lakukan kalau malam tiba?” tanya Yuta. Johnny tercenung beberapa saat, menatap panorama sunset.

“Yang kita lakukan? Berdo’a mengharap pertolongan Tuhan datang…” Johnny memandang langit lembayung jingga keemasan. “Entah itu gemerlap bintang, cahaya bulan, atau cahaya biru phytoplankton. I prayed prayed prayed for a sign sign sign...”

Lalu Johnny menyanyikan lagu Neon Light by Blake Shelton. Suaranya melantun mengiringi matahari terbenam di garis cakrawala.

*****

Kecipak ikan-ikan yang terperangkap di jaring membangunkan Ten.

Ten celinguk kanan kiri dan lega melihat Johnny tertidur disampingnya. Yuta tidur di pangkuan mereka. Ten meraba dahi Yuta, demam Yuta mereda. Ten melihat Johnny, meraba dahi Johnny. Ten menelusupkan telapak tangan ke balik beanie yang menutupi dahinya. Baiklah, normal. No more heat !

Kaki Ten terasa kaku. Semalaman kakinya melayang di tepi perahu. Perahu mereka berayun-ayun mengikuti gelombang. Hangatnya pancaran sinar matahari terbit mendamaikan.

Ten ingat Taeyong, Jaehyun, dan Hansol.

You're all around me, maybe I can't see you but I can feel you’re here!

Kemudian telinga Ten mendengar suara gemuruh. Ten mengorek kupingnya, mengamati langit, berharap helikopter melintas. Gemuruh semakin terdengar jelas. Ten membetulkan posisi duduknya, menaruh kepala Yuta di ransel. Ten berdiri di lambung perahu. Mata Ten terbelalak, karena dia melihat speedboat di kejauhan.

Ten menggoyang tubuh Johnny. Tak ada respon. Membangunkan Yuta. Membangunkan keduanya. Namun kedua sahabatnya tetap tertidur.

Ten perlahan turun dan berenang.

Sebisa mungkin, sekuat mungkin.

Berenang, berhenti memastikan arah suara, setelah melihat speedboat, dia berenang lagi.

Speedboat itu berhenti, suaranya berangsur menghilang. Mereka tidak sekedar lewat, tapi mencari sesuatu.

Apa mereka sedang melakukan penyisiran dan evakuasi korban?

Tunggu...

Apa ini fatamorgana? Apa aku berhalusinasi?

Terserah, Ten ingin membuktikannya sendiri. Ten terus berenang. Memacu seluruh gerak motoriknya, mencambukkan kaki lebih kuat, mengayunkan lengan lebih cepat.

Ten mengedarkan pandangan. Speedboat masih berhenti. Jaraknya tidak terlalu jauh. Lalu Ten keram, otot betisnya mengejang.

Ahh, God!!

Ten tetap berenang mengandalkan kedua lengannya.

I’m tired. I feel like I'm dying, I feel my world is ending...

“Tolong…” hanya ada cicitan pelan yang keluar. Suara Ten habis. Ten melambaikan tangan.

“Tolong…” lagi-lagi suara yang terhimpit. Ten mulai putus asa frustasi, dia berharap orang-orang di speedboat itu tidak segera pergi.

Tuhan Maha baik.

Ten masih percaya dan yakin. Seperti beanie Yuta yang kini dipakainya.

Akhirnya salah satu dari mereka melihat sosok Ten.

Dengan pandangan yang semakin kabur, Ten bisa melihat seseorang menunjuk ke arah Ten. Regu penyelam militer yang bersiap-siap mencari korban tsunami Dale segera dikerahkan. Mereka mulai menyalakan mesin speedboat. Kedua lengan Ten turut kaku, Ten menarik nafas, dadanya semakin terhimpit, makin mencekik, dadanya seperti akan meledak.

There's a lack of oxygen in my brain. I can’t breath...

Ten memejamkan mata.

Seseorang meraih pinggangnya. Lalu mencekoki mulut Ten dengan regulator. Oksigen masuk melalui lubang hidungnya, melewati nasofaring, melewati oralfarink, melewati glottis, masuk ke trakea, masuk ke bronchus, kemudian masuk bronchioles, berakhir di alveolus.

Oksigen menyeruak memenuhi dinding paru-paru.

Ten menarik nafas dan membuka mata. Kristal sinar matahari menyilaukan.

Mereka mengangkat tubuh Ten, seseorang memeriksa nadi, mata, dan seluruh tubuh Ten, sibuk mengurusnya memberikan pertolongan pertama. Ten tak mampu berkata apapun, dia masih memakai regulator oksigen. Ten mencopot selang, berusaha berbicara.

‘Tolong selamatkan dua orang lagi…’ batin Ten berseru.

Mereka menekan dahi dan dagu Ten, lalu memasukkan telunjuk dilapis kain ke mulut Ten. Ten mengeluarkan air dari mulutnya, terbatuk batuk.

‘Dua…’

Mereka terus mengajukan pertanyaan. Ten mengerahkan tenaga untuk mengangkat tangannya dan membuat angka ‘dua’, namun gagal.

God, please give me more strength...

“Dua..” bisik Ten, sangat pelan. Suaranya dikalahkan debur ombak.

God, please be my strength...

Help me...

I beg You...

Salah satu dari tim penyelamat tiba-tiba berseru nyaring. Penyelam naik ke atas speedboat, lalu mereka menyalakan mesin speedboat.

Dada Ten sakit luar biasa. Pandangan Ten semakin kabur dan gelap.

Please God, give me more time!

“Dua...”

Semua hitam pekat, kelam, hening, sunyi...

Please...

*****

Ten dibawa dengan helikopter ke sebuah rumah sakit. Ten tahu, karena saat terbangun Ten sudah berada di bangsal rumah sakit.

Dari televisi rumah sakit terdengar bahwa gempa bumi berkekuatan 7,8 skala richter disusul gempa susulan memicu tsunami setinggi 12 meter berkecepatan 400 km per jam dengan tempo 6 menit dari pusat tsunami. Puluhan karang terseret diterjang gelombang dan menghantam pemukiman. Tsunami menenggelamkan beberapa pulau di kepulauan Dale. 21 pulau dinyatakan hilang. Tsunami tersebut turut meluluh-lantakan daratan Northeastern Dale Island, pusat pemerintahan Kepulauan Dale. Serta mengakibatkan kerusakan substansial di pemukiman pesisir Dale. Korban meninggal diperkirakan mencapai 318 orang, 4762 luka-luka, 128 orang dinyatakan hilang, 7420 orang mengungsi.

Ten melamun di bangsalnya, bergulat dengan pikirannya.

Apa mini RV sewaan turut hilang?

Kalau Northeastern Dale Island rata dengan tanah berarti Yuta gak bisa flyboarding lagi disana?

Apa Yuta masih bisa bermain flyboarding?

Dimana Yuta?

Mana beanie Yuta?

Mana Johnny?

Dimana Hansol?

Jaehyun?

Taeyong...

Banyak negara lain dan relawan memberikan bantuan pasca tsunami. Distribusi logistik telah disebar ke titik-titik terparah. Pasukan khusus maritim Angkatan Laut Dale secara reaktif diturunkan untuk proses pencarian, penyelamatan dan evakuasi korban sebagai salah satu upaya dari fase tanggap darurat dan rehabilitasi. Pemerintah Dale mulai mengambil langkah preventif diantaranya dengan memasang 20 alat early warning system (EWS) untuk identifikasi bahaya serta emergency response.

Kenapa selalu terlambat?

Ten tidak pernah bertemu Johnny maupun Yuta lagi.

Apakah tim penyelamat berhasil menyelamatkan mereka?

Apa perahu plastik berwarna biru itu kentara di tengah perairan?  

Kenapa Johny dan Yuta tidak terbangun?

Semua kelumit di pikirannya membuat Ten sedih, pedih, sakit hati, kecewa, menyesal, merana, marah.

Ten ingin memastikan keadaan Yuta dan Johnny.

Rasa bersalah merajam hati Ten.

Mengapa Johnny gak bereaksi saat dibangunkan?

Yuta juga...

Ahh, Taeyong, aku ingat Taeyong.

Ten merasakan panas bergelora, dia ingin menumpahkan rasa marah karena Johnny memutuskan menenggelamkan jasad Taeyong. 

Tapi Taeyong masih hidup!

Apa Taeyong benar-benar pergi?

Kemana? Mengikuti cahaya biru? Kemana?

Mengapa perlu waktu lama untuk menemukan perahu itu?

Mengapa tidak lebih awal menemukannya?

Kenapa selalu terlambat?

Rasa sesal menghantam Ten, terus menghantam seperti karang raksasa menimpa badan.

Kenapa selalu terlambat? Kenapa?

Kenapa aku membiarkan Jaehyun pergi seorang diri untuk mengembalikan jaring?

Kenapa aku gak mencegah Hansol saat dia pergi mencari Jaehyun?

Kenapa selalu terlambat?

It's always too late!

It's too late now. It's always too late...

Why do I always learn about things when it's too late?

Bagaimana jika waktu berputar?

I need time machine, I really need...

Ingin kurubah rencana summertime kita, menikmati musim panas di lembah Jungwon di Gyeonggi.

Atau mengajak mereka ke Thailand. Atau membujuk mereka ke Disneyland Tokyo.

Kita akan tetap bersama.

Ten mengutuk tindakan Mr dan Mrs Lee yang membawanya ke Thailand.

Mengapa?

Mengapa?

Bagaimana dengan Johnny dan Yuta?

Hansol?

Jaehyun?

Taeyong?

Seluruh bayangan, memori, kebahagiaan, kesedihan, penderitaan, tawa, tangis, segalanya menghimpit, berdesak-desakan di pikiran Ten.

Mengapa bukan aku saja yang tenggelam dan mati di Alena?

Kenapa Mama dan papa menjauhkanku dari dunia?

Mereka ingin menjagaku tapi justru menyekapku?

Mengapa aku memakai kursi roda elektrik? Apa Yuta pakai kursi roda juga?

Langit.

Langit biru tanpa awan seperti di Alena.

Johnny apa kau lihat langit yang sama?

Biru…

Biru. Apa itu kau, Yongie? Sedang apa kau Yongie? Aku merindukanmu...

Jaehyun, Hansol, aku merindukan kalian…

Teman-teman…

Ada yang masuk ke kamarku.

Siapa kali ini? 

“Wah, benar-benar view menarik dari balkon, kayaknya kau dapat kamar favorit deh.” Ucap Nat, mendorong tubuhnya ke pinggiran pagar besi, angin sepoi-sepoi membelai rambut Nat.

Cewek?

View menarik apanya?

Di hadapanku semua gelap, semua putih, semua biru.

Ten bisa merasakan kehadiran Nat. Merasakan hangat tubuh Nat. Ten bisa mencium wangi parfum Nat.

Vanilla.

 

“Hai, aku Nattasha Nauljam, 22 tahun, panggil aku Nat.”

Nat?

*****

Selesai hypnosis, perlahan Ten membuka mata. Tiba-tiba Nat memeluknya. Ten terperangah bingung.

“P’Nat? What’s going on?” tanya Ten.

Nat geleng-geleng kepala dan semakin erat memeluk Ten.

“Don’t go. Please stay...” pinta Nat.

Ten mengerenyitkan alis.

“I feel like I'm going to lose you, Ten…” gumam Nat.

“Maksudnya? What really happened?”

“Please stay... I don’t wanna lose you...” gumam Nat.

Ten terdiam, membiarkan Nat memeluknya. Ten mengalami posthypnotic amnesia lagi. Di pikiran Ten hanya berkelebat pemikiran simple seperti,

‘Mama dan Papa pasti mau nungguin lebih lama buat pergi ngejenguk granny.’

Ten melirik kamera video yang masih menyala. Ten melihat seantero, dia bingung kenapa dia ada di kamarnya.

‘Lho, tadi kan psikoterapi di gazebo? Kenapa jadi ada di kamar?’

Ten ingin melihat Nat, memastikan keadaan psikolognya. Nat menolak, dia menarik tubuh Ten, memeluknya. Ten bingung dengan sikap Nat. Kepala Ten terasa berat agak pening. Ten membenamkan hidungnya ke rambut Nat.

“Vanilla…” gumam Ten.

“Vanilla?”

“Kamu.”

*****

PS:

Nat vs Punpun

SUNSET!!!

TENTAJOHN

Only one more chapter and then finished :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*