SEVEN

REMINISCENCE

“Keluarga Lee menghentikan psikoterapi!” ucap Ibu Nat sesampai di lobby Treedao Clinic. Ibu Nat baru kembali dari Thonglor, dari villa Ten.

Nat tercekat, dia sedang duduk di lobby karena baru saja selesai hypnosis salah satu kliennya yang alektorophobia, atau phobia terhadap unggas.

Nat terpukul, sangat kecewa.

“Ta-tapi?” Nat mengikuti ibunya menuju ruang kerja.

“Mr. Lee mendapat rekomendasi dari PSI, seorang psikolog terkemuka yang sudah ahli menangani pasien serupa, dengan metode terapi berbeda, mereka pakai terapi Tapas Acupressure Technique...”

“T.A.T?” gumam Nat, dia tahu T.A.T adalah salah satu bentuk terapi dalam kelompok ilmu Energy Psychology, berupa terapi akupunktur di kepala untuk menciptakan rasa damai, rileks, dan sehat dalam waktu yang singkat, serta mengarahkan perhatian pada masalah yang ingin diatasi. Sudah lama Mrs. Pongsuriyan mengharapkan tenaga kerjanya mampu menjalankan terapi fisik tradisional seperti akupunktur, akupresur, pijat pengobatan, refleksi kaki dan bisa meracik ramuan obat-obatan tradisional di Treedao Clinic.

“Tapi, Ma. Kita sudah psikoterapi sesi ke-sepuluh, Ma. Percuma walaupun diganti T.A.T, Ten harus melanjutkan terapi denganku! Nanti apa yang sudah dilakukan akan sia-sia dan kembali ke nol…” seloroh Nat, mengikuti ibunya yang sedang melepas blazer. Ibu Nat menarik nafas.

“YA! Sesi ke-10?! Jujur, Mama mulai meragukan kecakapan dan kompetensimu, Nattasha. Dan, satu hal terpenting, kalau klien menolak melanjutkan, kita hanya bisa mengikuti.”

Nat kehilangan kata-kata. Dia tidak percaya dan merasa dikhianati. Nat sedih, mengingat keramahan dan kebaikan keluarga Lee. Nat menyesal, seharusnya dia menyetujui Ten untuk bolos terapi dan ikut ke rumah granny.

Whatever happened, happened.

Beberapa hari lalu, Nat sampai jatuh sakit memikirkan keadaan Ten. Dan, informasi yang dibawa ibunya, hanya menambah penderitaan Nat.

“Apa keluarga Lee menganggapku gagal, Ma?” gumam Nat. “Aku mampu, aku bisa kok menyembuhkan klien yang stres, frustasi, depresi, trauma, phobia, psikosomatis, anxiety disolder, inner conflict, obsessive compulsive, bipolar, insomnia, yang gagap, yang...”

“STOP!” potong Ibu Nat, keras.

Nat terbata-bata, menelan ludah.

“Ma... Mama lihat sendiri kan video-nya. Itu fase yang Ten jalani. Itu memori Ten, memori yang dia lawan, dia tahan. Sumber permasalahan Ten. Mama sendiri yang memintaku dan meyakinkanku kalau hypnotheraphy mampu mengeluarkan Ten dari masalahnya. Itu hanya regresi masa lalu, Ma… Aku sudah jalani sesuai prosedur kok, secara komprehensif, membongkar memori Ten sesuai urutan kejadian dari awal. Bukan salahku, Ma...” Terang Nat, dengan suara tenang, dia berusaha meyakinkan ibunya. Ibu Nat mengangkat bahu lalu duduk di kursi ergonomis.

“Yang pasti, sekarang Ten kembali ke kondisi sebelumnya, bernapas aja harus dibantu. Mama sudah beri farmakoterapi. Malahan sekarang keluarga Lee gak hanya dibantu perawat tapi juga dokter pribadi. Mama masih diberi kepercayaan oleh N’Pim, sebatas menghargai pertemanan kami. Ada psikiater lain yang turut menangani Ten. Sekarang kamu berdo’a saja untuk kesembuhan Ten...”

“Ma… Kasian Ten kalau berhenti begitu aja…” hati Nat terpukul.

Nat terjatuh ke lantai, kakinya lemas. Nat mulai menangis. Dia tidak ingin dan tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Dia ingin membantu Ten, dia ingin mengembalikan kehidupan Ten dan keceriaan Ten. Nat peduli pada Ten. Nat terluka.

Ibu Nat menghampiri.

“Baru kali ini Mama lihat Nat terikat emosi dengan klien…”

Nat bangun, lalu menangis di pelukan ibunya.

“Tolong yakinkan Khun’Pim, Ma, tolong yakinkan keluarga Lee kalau Nat bisa bantu Ten. Tolong yakinkan mereka agar mengijinkan Nat psikoterapi. Gak perlu dikenai biaya... Tolong, Ma… Ten pasti akan sembuh…”

“Kita gak pernah menjanjikan klien sembuh, Nat. Terapi kita itu kontrak upaya bukan kontrak hasil! Keberhasilan kita tergantung pada klien…”

Semakin teringat Ten, hati Nat semakin nyeri. Nat menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil yang kehilangan balon helium favorit, rasa sedih dan kehilangan seolah melubangi hatinya.

Ibu Nat bingung dengan putri semata wayangnya. Sepulang dari psikoterapi terakhir, Nat puasa berbicara, puasa makan, dan memilih menyendiri di kamar. Menyiksa dirinya dengan perasaan bersalah. Nat jatuh sakit, namun menolak dirawat. Nat menolak menemui Doyoung, terus menanyakan  dan menangisi Ten. Kondisi Nat membaik setelah self hypnosis.

“Baiklah, mama usahakan ya. Tapi kamu harus janji. Setiap permasalahan yang menimpa adalah mencari solusi. Jadilah psikolog sejati!”

*****

Nat tersenyum saat dokter pribadi tersebut meninggalkan kamar, meninggalkannya berdua dengan Ten. Hati Nat seakan dirobek-robek melihat Ten terbaring ringkih di tempat tidurnya. Benar, ada tabung oksigen di sampingnya. Ten kembali diinfus. Menurut perawat, Ten kembali menunjukkan gejala anhedonia. Ten menolak makan termasuk cokelat, hanya minum susu. Ten selalu memuntahkan apa yang ditelannya.

Nat mengutuk dirinya, namun dia ingat perkataan ibunya, ‘Jadilah psikolog sejati!’

Nat mendekat. Mata Ten terbuka, hati Nat mencelos karena mata Ten hitam legam, kosong mengawang. Ten tersesat di gelombang otak delta!

Ten memejamkan matanya lagi.

‘Apa yang sudah kulakukan? Why I did what I did?’ batin Nat, dadanya sesak, merasa berdosa telah menyiksa Ten.

Bibir Ten pucat, kering.

Nat merengkuh tangannya, Ten menoleh, menatap Nat.

“Maafin aku, Ten.” Bisik Nat sambil mengusap pipi Ten.

“Sorry is not enough... But, I’m really sorry...”

Nat tahu dengan kondisi Ten, dia tidak akan bisa menjalani hypnotherapy dengan optimal, tapi harus! Ten sudah dalam keadaan sangat reseptif. Selain itu, Nat terlanjur berjanji pada Mrs Lee.

Nat mengeluarkan tripod dan kamera, memulai merekam psikoterapi hari ini, sesi ke-11. Nat mengeluarkan bandul dari tas dan mulai hypnosis dengan induksi pendulum.

Ten menanti kehadiran Nat selama berhari-hari.

Ten membutuhkan Nat.

Ten bersungguh-sungguh ingin keluar dari penderitaannya.

Ten masih percaya sepenuhnya pada Nat.

Dia mengijinkan Nat menghipnotisnya.

*****

“Ten… Ten”

Hansol menepuk pipi Ten, mencoba menenangkan. Akhirnya Ten tersadar dan langsung merangkul Hansol.

“Hansol hyung… Hyung, musnah hyung…” Ten meracau.

Hansol menggelengkan kepala lalu merangkul Ten lebih erat.

“Kita berhasil, Ten… Sekarang bantu kami membawa Taeyong dan Yuta. Kita kembali ke Alena.” Ucap Hansol sambil membantu Ten bangkit. Seluruh tubuh Ten terasa remuk redam laksana terserempet KTX.

Laut di sekeliling karang Alena kembali seperti semula. Hanya saja airnya tidak sejernih sebelumnya. Ten bangkit dan berhati-hati turun dari permukaan karang dan loncat ke dalam air.

Ten mengerjapkan mata, Johnny sudah siuman, namun darah di keningnya masih mengucur membuatnya tampak mengerikan. Johnny bergerak namun tatapannya kosong. Johnny memanggul tubuh Yuta.

Ten menyentuh ranselnya. Masih ada.

“Kaki Yuta cedera.” Ucap Hansol.

Ten mendongak melihat Hansol.

Hansol berhati hati mengoper tubuh Taeyong ke pangkuan Ten. Setelah berhasil. Hansol memakai dua ransel Yuta dan Taeyong, lalu membantu Ten membopong Taeyong. Ten menolaknya, karena dia masih mampu.

Sebagian pantai Alena kembali diciumi buih-buih putih ombak. Laut kembali tenang. Lalu Ten tiba-tiba melengking keras.

“Jaehyun… Jaehyun…” Ten melolong, dia ingat Jaehyun.

Bagaimana keadaan Jaehyun?

Dimana dia?

Apa dia berhasil bertahan?

Hansol terisak.

“Jaehyun… Jaehyun…” Hansol turut berteriak.

Lolongan mereka hanya dijawab angin laut dan deburan ombak.

Hampir semua barang barang mereka di Alena lenyap tak tersisa, termasuk tenda mereka. Pantai Alena terasa lebih lenggang karena daratannya agak meluas. Ada beberapa barang yang tersangkut di karang kecil.

Hansol menaruh ransel mereka, membuat bantal dan menggemburkan pasir yang kini tidak putih berkilau. Taeyong dan Yuta direbahkan disana.

Yuta mengaduh.

Ten agak lega.

Tapi kaki Yuta terluka parah. Hansol membuka kaosnya, lalu membalut luka Yuta dengan kaos tersebut.

Ten terduduk, tergugu, merenungkan apa yang baru menimpa mereka.

Apa ini mimpi?

Tolong bangunkan aku, Tuhan!

Johnny menelungkup dan terus menghantamkan tinjunya ke pasir. Hansol melepas life jacket dan pakaian Taeyong, hatinya hancur saat melihat banyak luka dalam.

Tubuh Taeyong lemas tak berdaya.

Hansol mencoba menyentuh nadinya, kemudian menempelkan kupingnya ke dada Taeyong. Lalu dahi Hansol berkerenyit.

Ten mengamati. “Hyung…” bisik Ten.

Hansol menoleh, matanya kembali berkaca-kaca.

“Ten…” bisik Hansol, lirih

Hansol meminta Ten mendekati, membantunya mengecek.

Jantung Taeyong berhenti berdetak.

Mereka bekerjasama, berhati hati menelungkupkan tubuh Taeyong. Mencoba agar kotoran dan air keluar dari mulutnya. Lalu membalikkannya lagi. Jantung Ten berdebar cepat melihat bibir Taeyong yang sudah membiru.

Ten meraih lengan Taeyong dan mencoba meraba nadi. Johnny kini terdiam, memperhatikan dengan air muka cemas.

Taeyong ditidurkan terlentang. Hansol mencoba membuka jalur nafas dengan menarik dahi Taeyong ke belakang dan menarik dagunya ke bawah. Ten mendekatkan telinga ke mulut Taeyong selama beberapa detik menantikan pertanda bahwa Taeyong masih bernafas.

Ten menggeleng.

“CPR…” gumam Johnny.

CPR atau Cardio Pulmonary Resuscitation, merupakan tindakan pertolongan pertama yang dilakukan pada seseorang yang terkena serangan jantung, sebuah teknik yang berguna mengaktifkan jantung kembali sehingga peredaran darah ke otak kembali lancar dan mencegah matinya organ otak. Mereka tahu betul, jika otak tidak mendapat asupan oksigen lebih dari 4 menit maka otak tidak dapat berfungsi kembali dan menyebabkan organ-tubuh lainnya ikut mati.

Hansol mengigit bibir.

Ten mengangkat dagu Taeyong, memencet hidungnya, lalu menghembuskan nafas ke mulut Taeyong. Hansol berpindah posisi ke sisi lain Taeyong. Ten terus memberikan pernafasan mulut ke mulut. Tangan Hansol bergetar, dia menelusuri tulang iga kanan dan kiri Taeyong, lalu menaruh pangkal telapak tangan di tengah tulang dada Taeyong dan mulai menekan.

Hansol mencoba memijat jantung Taeyong.

CPR…

“Come on Yongie…” desah Ten, resah.

Dia dan Hansol bekerja sama melakukan CPR. Nafas Hansol tersenggal karena memijat jantung Taeyong.

Breath-compression-breath-compression.

Ten dan Hansol menggenjot energi mereka. Menantikan dada Taeyong bergerak.

Yuta mulai merintih memilukan.

“Yongie… I’m sorry…” bisik Yuta.

Yuta tidak bisa menggerakkan tubuhnya meskipun hatinya berkecamuk ingin membantu. Johnny menggantikan Hansol yang kelelahan. Ten terus memberi nafas buatan, disambut Johnny menekan dalam posisi tangan lurus.

“LEE TAEYONG!!” Teriak Ten, frustasi.

Suaranya bergaung. Mereka tetap melakukan berulang ulang. Johnny membalikkan tubuh Taeyong, membuka mulut Taeyong dengan teknik cross finger, lalu memasukkan telunjuk ke mulut Taeyong agar Taeyong muntah.

Tak ada respon.

Tidak ada gerakan dada.

Tidak ada aliran udara pernafasan.

Johnny kembali menelentangkan tubuh Taeyong.

Ten gemetar.

Seluruh tubuhnya gemetar.

Entah berapa ratus set mereka melakukan tindakan survey primer CPR. Lengan Johnny kehilangan kekuatannya. Tenaganya terkuras.

“Di-Dia terbanting dan pingsan. Aku belum sempat menolongnya, tapi arus balik menghambatku. Aku gak sempat menolongnya. Aku pingsan. Entah berapa lama... Saat siuman, Taeyong gak ada di karang, dia tenggelam… Ranselnya menahan dia di dasar. Life jacket gak mampu membuat tubuhnya terapung…” ucap Hansol terbata-bata.

“Air sudah memenuhi paru-parunya. Air laut bercampur dengan zat dari palung terdalam dan retakan bumi.” Hansol menyusut airmata. “Sudah terlambat, Ten. Percuma…”

“Noo…” suara Ten serak, dia menolak.

Johnny menghempaskan tubuhnya ke pasir, menutup matanya dengan telapak tangan, dia mulai menangis. Yuta turut menangis pilu, memanggil Taeyong dan terus meminta maaf.

Hansol tahu, Johnny tahu, Ten dan Yuta tahu bahwa pada awal berhenti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah dan jantung masih mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya. CPR akan efektif membantu mencegah henti jantung jika waktunya tepat. Permasalahannya, entah berapa lama mereka pingsan pasca tsunami. Taeyong sudah terbujur kaku dan tidak ada respon sama sekali saat pertama kali Hansol menolongnya.

Ten menggoyangkan bahu Taeyong.

“Bangun Yongie!! Please, jangan menakutiku! BANGUUNN…!!!”

Kini hanya Ten yang memberi nafas buatan dan memijat dada Taeyong. Hansol mendekat dan menahan Ten. Ten menolak.

Hansol menatapnya tajam.

Hansol membuka mulut Taeyong, melihat lidah, farink dan larink. Hansol bermanuver mendorong rahang bawah Taeyong. Hansol meletakkan kepala Taeyong dan mulai memberikan ventilasi mulut ke mulut lalu kompresi. Ten memperhatikan dalam diam. Lalu Hansol menutup mulut Taeyong dan memberikan nafas dari mulut ke hidung.

“Jalan terakhir kita harus membuat stoma.” Kata Hansol sambil menyebarkan pandangan.

“Aku gak bisa... Bikin lubang di tenggorokan.” Hansol menggigit bibir,

“For God’s sake. Kita bukan dokter!” lengkingnya histeris.

Ten menarik nafas dalam, menutup hidung Taeyong lalu menghembuskan nafas. Hansol meraba arteri di leher Taeyong. Hansol mencegah Ten mengkompresi dada.

“Ini sudah berlebihan, Ten. Kita malah menyiksanya.” Larang Hansol. Ten ambruk memeluk Taeyong, mengangkat kepalanya, dan memeluknya.

Hansol menyeret tubuhnya mendekati Yuta dan berbaring, meluapkan segala emosi. Dia mengutuk dirinya, ide-nya, tindakannya.

Ten mengerang.

“Aku akan cari Jaehyun!” tukas Ten, perlahan menidurkan Taeyong.

Johnny menggeleng menahan Ten.

“Kita harus tetap bersama-sama sampai pertolongan datang.” Ucapnya. Bibir Ten terkatup rapat, dia mengabaikan teman-temannya. Hansol bangkit, mendorong tubuh Ten hingga terjatuh.

Ten terhenyak melihat ekspresi Hansol.

“Aku yang cari Jaehyun. Biarkan aku menebus kesalahanku. AKU AKAN CARI JAEHYUN!” ujar Hansol sambil membongkar salah satu ransel. Hansol terisak, dadanya sakit. Hansol pikir Taeyong tenggelam karena kelebihan beban di ransel. Dan, Hansol yang meminta mereka membawa perlengkapan. Hansol mengusap airmatanya.

“Jangan ada yang menghalangiku!” ancamnya.

Ada aura yang menghanyutkan, waktu seolah berhenti.

Johnny, Ten dan Yuta diam tak bergeming. Hansol langsung memakai kaos basah, pakai double life jacket, mask, dan snorkel. Lalu Hansol berlari menjauhi pantai Alena. Semua hanya memandanginya dalam hening. Sosok Hansol lenyap dari pandangan.

“Aku ingin cari Jaehyun…” tutur Ten.

“Kita harus mengubur Taeyong, Ten.” Gumam Johnny dengan suara parau. Ten terperanjat, membelalakan mata, kembali mendekap Taeyong.

“Taeyong gak mati, John!!” bentak Ten.

Johnny terdiam.

Ten menolak melepaskan Taeyong dari dekapannya.

Johnny berdiri, menengadahkan kepala, memandang sinar mentari yang menyapu wajahnya.

“Jadikan ini mimpi buruk, Tuhan. Bangunkan kami… Bangunkan kami…” gumam Johnny lalu memejamkan mata.

Johnny berharap semua kembali ke semula, saat dia menertawakan Yuta yang terpuruk karena dikentuti Taeyong, atau saat dia melihat Ten tertawa bersama Jaehyun yang membawa bintang laut di telapak tangannya. Atau saat dia mengambil jaring ikan di karang, saat melihat phytoplankton, saat mereka bermain tounge twister, saat dia sun-tanning.

Kembali jauh kembali, bahkan sebelum dia mengeluhkan koleksi lagu country Hansol.

Kembali jauh kembali saat mereka masih di apartemen di Seoul.

Silau matahari menampar Johnny kembali ke Alena.

Johnny tertawa, menertawakan kekonyolan mereka, menertawakan antusiasme mereka karena merasa beruntung jadi pengunjung terakhir Alena.

Lalu Johnny berbisik, “Hati hati ya, Jaehyunnie…?”

Tubuh Johnny merosot.

Melodi alam, deburan ombak yang pecah menghempas karang dan lembut hembusan angin laut mengalun pilu di Alena.

Terngiang-ngiang di telinga Johnny dan Ten, salah satu lagu country koleksi Hansol yang diputar saat mereka di Mini RV. 

If You’re Going Through Hell (Keep On Going) by Rodney Atkins...

If you're goin' through hell keep on going
Don't slow down if you're scared don't show it
You might get out before the devil even knows you're there
When you're goin' through hell keep on movin'
Face that fire walk right through it
You might get out before the devil even knows you're there

*****

Airmata Nat menetes. Dengan terbata Nat memberikan sugesti. Ten masih memejamkan mata, menggumamkan lirik lagu Rodney Atkins, If You're Going Through Hell. Airmata mengalir ke pelipis  dan membasahi telinganya. Nat menyeka airmata Ten, dia bersyukur Ten masih dalam keadaan rileks, fokus dan reseptif.

Nat hendak mengakhiri sesi. Dia membimbing Ten untuk terus menurunkan gelombang otaknya menjadi sangat reseptif. Kondisi reseptif memungkinkan Ten mengakses memori theta dan emosi delta yang menjadi sumber masalah Ten, tanpa gangguan dan intervensi dari pikiran sadar beta.

Nat terus memberikan sugesti dan pesan mental untuk perubahan. Memberikan resolusi trauma, merekonstruksi memori Ten.

Berharap Ten melepaskan segala emosi dan sembuh permanen.

“Baiklah, sekarang sudah selesai, Ten. Sekarang aku akan bangunkan kamu ya, seluruh perasaanmu akan normal kembali, gak ada perasaan mengganggu. Kamu akan merasa bahagia, lebih tenang, lebih sehat, lebih nyaman, lebih rileks, lebih segar, lebih baik dari sebelumnya. Pada hitungan ketiga buka matanya. Satu, dua, tiga.”

Mata Ten perlahan membuka, mengerjap dan bola matanya langsung terpanah menatap Nat.

Ten tersenyum.

Nat lega.

“P’Nat…” sapa Ten.

Biasanya Ten akan terbangun dan tidak berkata-kata selama 5-10 menit setelah dibangunkan. Nat tersenyum, Nat tahu Ten mencarinya dalam seminggu ini. Ten tersesat dan kini Nat sudah menjemputnya.

Nat lega, luar biasa lega.

Nat berharap hypnotherapy kali ini menuju kesembuhan Ten.  Tangan Ten menjulur, mengusap airmata Nat.

“What’s going on?”

Nat menggeleng. Membalikkan badan dan menghentikan video. Ten melihat jarum infus yang menancap. Dia tampak bingung.

“What really happened?” Ten bingung kenapa harus diinfus lagi. Dia melihat tabung oksigen, alisnya bertaut. Bingung kenapa dia ada di kamar, karena yang Ten ingat dia sedang psikoterapi di gazebo dekat kolam renang.

Nat menggeleng.

“Kamu pasti lapar, ya, Ten?”

Ten mengelus perutnya, nyengir.

“Aku pergi sebentar ya.” Pamit Nat. Ten mengangguk.

Nat keluar dan seperti biasa disambut keluarga Ten. Nat menjumpai adik Ten, Tern. Terny tersenyum lalu mengikuti orangtuanya menemui Ten. Beberapa saat kemudian Mr. Lee keluar dengan ekspresi wajah lega.

“Ten lapar…” ucap Nat.

Mr. Lee terpana.

“O-Oke. P’Rumm…” Mr.Lee memanggil asisten rumah tangga dan mendelegasikan tugas.

Kemudian Nat bersama Mr. Lee duduk di sofa coklat beludru.

“Anhedonia Ten gak akan terjadi lagi…” terang Nat, yakin.

Mr. Lee masih terpukau, dia hanya mengangguk-angguk.

“Mungkin tinggal 2 atau 3 sesi lagi, dan hypnotherapy selesai.”

“Te-terima kasih. Terima kasih sudah membantu, maaf kami sempat menghentikan terapi dan meragukan kemampuan anda…” Mr Lee menyesal.

Nat menggeleng.

“No, Mr. Lee, apa yang dicapai, ini berkat Ten, motivasi kuat dalam diri Ten, saya hanya membantu. Keberhasilan ini dicapai karena keyakinan Ten dan kerjasama yang baik darinya.” Timpal Nat.

Mr. Lee menggosok cuping hidungnya. Melirik rolex milgauss yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Bagaimana kalau Anda makan malam dulu disini, Ten pasti senang…” ajak Mr. Lee.

*****

“What the heck are you doing?” lengking Ibu Nat, luar biasa emosi.

Nat tahu akan seperti ini, dia menunduk memandangi pump shoes-nya.

“Kamu berusaha merubah masa lalu klien!!! Kamu membuat klien menghapus memorinya! You disappoint me! Saat Mama bilang jadilah psikolog sejati. Kamu malah jadi psikolog urakan. Amatir. Bakar saja semua ijazah dan sertifikat hypnotist, hypnotherapist, sertifikat NPL! Geez!” Ibu Nat speechless.

Nat melirik ketakutan melihat amarah di wajah ibunya.

“Mama kecewa!! Luar biasa! Seharusnya Mama gak mengijinkan kamu melanjutkan terapi. Membiarkan keluarga Lee berkonsultasi ke psikolog lain!”

“I’m sorry to disappoint you. Aku cuma pengen Ten sembuh total, Ma…”

“Dengan menghapus memorinya? Menghilangkan beberapa fase dalam hidupnya?” potong Mrs. Pongsuriyan. Nat tergugu, terpuruk.

“Kamu tahu, Nat. Kenapa dalam keadaan reseptif, dalam keadaan trance, alam bawah sadar Ten masih mampu menahan, melawan dan melindungi diri? Dia sudah terlatih. Ten, dia sudah melalui banyak metode mind mapping, brainstorming sejak dia  kecil. Otaknya memiliki filter. Dan, kamu memanfaatkan kondisi terlemah Ten saat ini, saat Ten kehilangan kendali terhadap alam bawah sadarnya, saat dia tersesat. Kamu dengan lancangnya memonopoli alam bawah sadar dia, mencekoki dengan sugesti asal-asalan! Gak ada ingatan yang bisa dihilangkan secara permanen. Kenangan itu akan selalu ada, mengendap dan tetap akan muncul. Entah dalam mimpi, lamunan. Gimana kalau dia mencari namanya di internet? Melihat namanya di media sebagai korban hidup tsunami Dale? Bagaimana reaksinya saat melihat penggemarnya melontarkan dukungan yang dia gak ingat dan gak tahu penyebab dia mendapat penggemar tersebut? Dia akan linglung, bingung. Kamu malah mengacaukan, dan memperparah keadaannya, Nattasha! Dan saat memorinya kembali seutuhnya, dia gak akan pernah percaya lagi pada siapapun!”

Nat terpuruk, membiarkan ibunya memuntahkan kemarahan. Mungkin Nat frustasi, Nat mengambil jalan pintas, mungkin Nat terlalu ambisius, atau mungkin Nat tak ingin keluarga Lee menjauhkannya dari Ten.

Bagaimanapun Nat harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

“Aku gak menghapus seluruh fase, Ma. Aku hanya menghapus Taeyong dan Jaehyun dari kehidupannya aja kok…” bela Nat, seperti menumpahkan bensin pada api, maka emosi Ibu Nat semakin berkobar.

Nat menyesal membuka mulutnya. Padahal sebaiknya diam saja.

“Aku akan memperbaikinya.” Potong Nat.

“Kamu mempermainkan klien, Nat. Bermain-main dengan hypnosis!”

Nat meraih tas dan meninggalkan ruangan ibunya yang masih mengoceh. Isi kepala Nat mumet, dia berjalan lunglai dan duduk di bangku ruang tunggu Treedao Clinic. Mendengar kenop pintu ruangan ibunya bergerak, Nat segera pergi, sambil terus mencoba menghubungi Doyoung.

*****

PS: 

 I just wanna all of you to know, I LOVE SMROOKIES ALL MEMBERS.... 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*