EIGHT

REMINISCENCE

Kimi ga oshiete kuretanda mou kowakunai (You taught me so much, I'm not scared anymore)

Nigitte ite kureta kono te wo hanasanakya dame da (I have to let go of your hands that are holding me)

Hitori demo yuku yo tatoe tsurakutemo (Even if I'm alone I'll go on, even if it hurts)

Minna de mita yume wa kanarazu motteku yo (I'll never forget the dream I shared with all of you)

Minna to ga ii na minna to ga yokatta (I'm glad to be with everyone, I'm glad to have been with everyone)

Demo mezameta asa... (But in the morning when I wake up...)

Dare mo inainda ne... (None of you are there...)

 

Yuta berhenti menyenandungkan lagu Ichiban no Takaramono (My Most Precious Treasure), dia termenung, pikiran melanglang buana.

Langit senja di Alena mulai jingga keemasan.

Ten masih memandangi wajah Taeyong yang putih pucat seperti salju. Ten menyentuh pipi Taeyong, dingin. Ten merapikan tumpukan pakaian yang menutupi tubuh Taeyong. Angin laut sejuk lembut membelai setiap helai rambut Taeyong.

“Yong...? Please wake up. I miss you...” gumam Ten, sendu.

Johnny berusaha membuat senter menyala.

Hansol belum kunjung kembali.

Ten menoleh ke gerbang Alena, menajamkan mata. Perlahan Ten menidurkan kepala Taeyong di ransel. Merengkuh tangan Taeyong.

“Wait for me, Yongie. I’ll be back, okay...” bisik Ten pada Taeyong.

Ten menyiapkan diri, mengambil mask dan snorkel. Dia memutuskan menyusul Hansol, turut mencari Jaehyun. Johnny tidak bisa melarangnya, Ten tetap bersikeras. Pendarahan di kaki Yuta sudah berhenti. Mereka tidak sempat menyelamatkan first aid kit medical box. Luka Yuta hanya diolesi pasta dari serbuk teh hijau kemasan sebagai substitusi antibiotik. Yuta duduk terdiam, namun bola matanya bergerak mengikuti sosok Ten.

*****

Ten berenang menuju tempat tujuan Jaehyun, karang parutan keju tempat bank ikan mereka ditenggerkan.

Tubuh Ten luar biasa lelah, berenang membuat nafasnya sesak, dadanya terasa terhimpit. Ten berhenti berenang, diam dan membiarkan tubuhnya mengapung. Menarik nafas lalu berenang lagi.

Beting karang tujuannya terasa lebih jauh, terasa berbeda saat dia mengunjungi tadi pagi bersama sahabatnya di perahu karet. Masih teringat jelas bagaimana Yuta terus menerus mengeluhkan rasa penasarannya. Bagaimana Johnny menggoda Ten dan Taeyong agar buka mulut membocorkan obrolan mereka di dalam tenda. Bagaimana Taeyong berlagak cool, lalu tiba-tiba dia menyeringai tertawa pada Ten, membuat mode berserk yang lainnya langsung ON.

That was fun this morning.

Then, there were thunder and lightning flashes...

Ten yakin sudah sampai, karang itu tampak tidak lagi sama. Terdapat abrasi di beberapa titik. Ten naik ke atas karang, beristirahat sejenak. Lalu beranjak, deburan ombak menerjang karang.

Alangkah sakitnya hati Ten, saat melihat sebuah jaring tersangkut di salah satu karang. Ten kehilangan seluruh kekuatan dan terjatuh.

Tubuhnya menggigil.

Jaehyun...

‘Jaehyun sudah sampai disini, dia sudah mengaitkan jaring…’ 

Ten terisak, menumpahkan segala kesedihannya, tak kuasa menahan tangisnya. Kini perisai itu roboh. Ten meninju karang hingga melukai tangannya. Ten membuka mask dan menggosok matanya. Menenangkan diri.

‘Maytag? Apa Jaehyun terperangkap di maytag?’

Ten memandang tepi karang. Dia ingat perkataan Hansol. Whirlpool. Ten mengedarkan pandangan, langit luas membentang, lautan tanpa batas.

‘Mana Hansol hyung?’

Tanpa pikir panjang dan mempertimbangkan resiko. Ten menarik nafas, memakai mask, dan loncat ke tepi karang. Tubuhnya terbawa arus berputar. Ten membuka matanya dan memperhatikan apa yang ada di dalam sana, namun buih buih arus maytag membutakan pandangannya.  

Tak ada apapun disana.

Tak ada Jaehyun.

Sekarang Ten harus mencari solusi bagaimana terlepas dari jebakan maytag sebelum dia kehabisan nafas dan terus terombang ambing seperti boneka dalam mesin cuci. Ten pasrah membiarkan arus memutar tubuhnya, dan benar saja perlahan tubuh Ten keluar dari arus. Ten segera berenang keluar dari sedotan maytag. Ten menarik nafas, tersenggal senggal.

Ten menggigit silicon pelindung mulut pada snorkel, lalu menyelam dangkal menjauhi arus maytag. Kehadiran Ten menakuti beberapa ikan yang berhasil bertahan dari tsunami.  

“JI HANSOL!! JUNG JAEHYUN!!!” Teriak Ten sekuat tenaga, sambil terus berenang menuju laut lebih dalam. Air laut terasa semakin dingin menusuk kulit. Ten ragu dengan kemampuan berenangnya.

Kepalanya dipenuhi kilatan pemikiran, dipenuhi kilatan kenangan.

‘Gimana kalau aku nyerah aja? Percuma. Siapa yang akan menolong? Apa ada warga Northeastern Dale yang akan menjemput? Apa penduduk disana bertahan? Agent tour? Mana Hansol? Mana Jaehyun?’

“JAEHYUNIIE… HANSOL HYUUUNGG!!!”

Ten mengayunkan lengannya, kekuatannya semakin mengendur. Dia ubah gaya renang kupu-kupu menjadi gaya bebas untuk menghemat tenaga.

‘Oh God, I’m so tired.’

Ten berhenti berenang. Membiarkan tubuhnya terapung. Matanya menatap mentari senja. Awan berarak begitu indah. Mata Ten dapat menangkap beberapa bintang yang mulai mengintip. Ten ingat keluarganya di Thailand, Kakeknya, Nenek, Papa, Mama, Terny, anjing-anjingnya. Teman-temannya, guru sekolahnya, dosen, Joy, orang-orang yang dikenalnya, para sahabatnya. Hansol, Jaehyun, Yuta, Johnny, dan…

“Taeyong…” gumam Ten.

Ten teringat Taeyong. Dia tidak boleh menyerah. Ten memakai mask dan berenang menuju Alena, mengayunkan lengan dan mencambukkan kedua kaki lebih cepat.

Dari jauh, karang Alena berdiri kokoh nan gagah. Alena adalah cahaya. Batu karang tampak bercahaya dari kejauhan. Entah apa yang membuatnya menawan di tengah lautan. Selain ostracod phytoplankton yang mengelilinginya. Apakah malam ini ostracod itu masih ada disana?

Langit mulai gelap, perlahan gemintang menunjukkan pesonanya. Ten baru menyadari keindahan karang Alena. Alena benar-benar seperti cahaya.

Tak ada api unggun seperti kemarin malam.

Ten berlari saat mencapai laut dangkal, melepas mask dan snorkelnya.

“Ten... Ten...” suara Yuta mendesau, memanggil Ten.

“Yuta…?”

Yuta masih duduk di tempat semula. Ten menghampirinya.

“Sorry, aku mengabaikanmu…”

“Kamu gak boleh pakai baju basah kayak gini. Kita harus keringkan dulu.” Ujar Ten. Sepertinya Johnny sudah membongkar dan menjemur seluruh isi ransel. Ten mengecek beberapa pakaian, tapi semuanya basah dan kotor. Susah payah Yuta melepas kausnya.

“Kamu pakai life jacket dulu aja ya.”

Yuta menurut. Ten membersihkan kaus Yuta, lalu memeras dan menaruhnya di karang kecil. Ten melihat-lihat barang-barang yang tersisa, dia melihat botol mineral di antara botol-botol soju dan minuman soda, memungutnya, menghampiri Yuta. Ten membantu Yuta meneguk air minum.

“Mana Johnny? MANA TAEYONG?!!”

Ten sadar situasi, pakaian yang menutupi tubuh Taeyong tergeletak di pasir. Ten melihat sekeliling. Mengelilingi Alena. Berlari. Dia mulai frustasi.

Yuta menyeka mulutnya.

“Johnny bawa taeyong…” bisik Yuta. Ten terperangah.

“A-APA? Kemana, Yuta-kun?”

“Johnny bawa Taeyong, Ten…” Yuta melemah. Dia meringis dan memijat pahanya. “Gak tahu kemana. Dia gak bilang apa-apa…”

“Dibawa kemana?” Ten bingung. Mondar-mandir. Kepalanya berdenyut.

“Kalau cari pertolongan? Kemana? Selain karang dan daratan pasir, aku gak nemu siapapun.”

Ten mendekati Yuta, menyentuh wajah Yuta, meminta Yuta membalas tatapannya. “Johnny bilang apa sebelum pergi? Dia pergi ke arah mana?”

Yuta menggeleng. Ten menebak, pasti Johnny pergi ke balik karang Alena, tempat mereka melihat phytoplankton, tempat mereka menyelamatkan diri. Dia gak melihat Johnny sepanjang perjalanan tadi. Pasti terhalang karang tinggi. Ten yakin.

“Aku gak berhasil menemukan Jaehyun, Yuta-kun. Tapi aku yakin Jaehyun ada di suatu tempat, dia pasti berhasil menyelamatkan diri! JAEHYUN SUDAH MENGAITKAN JARING, YUTA! Besok aku mau cari lagi. Hansol hyung, mungkin Hansol hyung sudah bertemu Jaehyun, mungkin mereka menetap sementara di suatu tempat, baru akan kembali kesini besok saat terang…”

Yuta mengangguk, luka di kakinya benar-benar menggerogoti jiwanya.

“Aku mau susul Johnny, okay. Ini sudah malam. Gelap. Kamu bisa ditinggal sendiri, kan? Gak akan lama kok.”

Lagi-lagi Yuta hanya mengangguk lemah. Ten mengedarkan pandangan, dia melihat tas kamera. Dia memungutnya, membuang kamera lalu menyilangkan tali selempang ke tubuhnya. Ten menilik barang-barang yang bertebaran di pasir. Dia memungut biskuit, membuka kemasan, lalu menyimpannya di samping Yuta.

“Makan ya…”

Ten hendak pergi, menoleh, Yuta sedang memperhatikannya.

“Ka-kamu ingin rubah posisi dulu? Berbaring?”

“Pergi, Ten…” sahut Yuta.

Ten melangkah maju mundur karena tidak yakin, namun akhirnya dia berenang pergi. Belum sampai gerbang Alena, Johnny datang. Ten menjemputnya. Berenang mendekati Johnny.

“John!!” Ten meraih Johnny yang kelelahan. Mata Johnny merah iritasi. Ten melihat sekitar. Tak ada Taeyong.

“Johnny? Mana Taeyong? John? Yuta bilang lo bawa Taeyong…”

Ten menyeret Johnny menuju pantai Alena. Johnny meringkuk,  memejamkan matanya.

“Johnny…” panggil Ten.

“Hm?”

“Mana Taeyong, John?”

“Plankton-plankton itu lenyap Ten. Menghilang. Mungkin tsunami menyeret mereka.” Jawab Johnny lemah. Ten bingung.

Yuta mengigit biskuit tanpa selera, dia sudah memahami keadaan, terus memperhatikan Ten dan Johnny. Ten berlari, mengambil air mineral, meneguknya, lalu membantu Johnny minum. Johnny berbaring terlentang. Dadanya naik turun. Ten memungut snack isi coklat dan membukanya, lalu menyodorkan pada Johnny.

“John… Mana Taeyong, John?”

Johnny masih mengunyah, dia menghindari pandangan Ten. Ten menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban. Tiba-tiba airmata Johnny menggenang, Ten memundurkan wajah, mulutnya terbuka.

“No… No… No way!!” Ten tidak percaya, mundur, dia menjauhi Johnny.

“Dia sudah tenang sekarang, Ten…” gumam Johnny.

Ten menutup mulutnya, meremas rambutnya sendiri, memukuli pasir.

“KE-kenapa lo lakukan itu, John!!! Sama aja lo bunuh Taeyong!!” pekik Ten, suaranya hampir serak.

Johnny melempar snack yang dimakannya.

“Jangan bohongi diri sendiri, Ten. Kita tahu, Yongie…”

Dalam gerakan cepat Ten mengarah Johnny dan menabraknya, mendorong bahu Johnny ke hamparan pasir.

“Kenapa lo lakuin pas gue pergi, John!!! DIMANA TAEYONG!!!!”

Ten mulai tidak terkendali, emosinya membuncah. Dia ingin memporak-porandakan seluruh isi bumi. Dia ingin meluapkan amarahnya, dia ingin merobek Johnny.

“MANA TAEYONG? Mana Taeyong? Kembalikan Taeyong! you!!”

Ten menahan diri, nafasnya memburu. Ten berdiri ingin menjemput Taeyong, namun seluruh engsel tulangnya protes, kakinya gontai tak mampu berkoordinasi. Secara fisik dan mental sangat teramat lelah.

Ten ambruk, terkapar. Bergedebuk ke perairan dangkal.

Dengan wajah sedih, Johnny menyeret, membaringkan Ten di dekat Yuta. Yuta mengawasi. Johnny duduk disamping Yuta.

“Luka ini, Johnny, berdenyut terus. Gak kunjung hilang sakitnya, John. Waktu aku kecelakaan motor, aku terluka lebih parah, tapi dalam hitungan jam aku udah bisa kabur dari rumah sakit.”  Tutur Yuta.

Johnny perlahan membuka balutan kaos, membasuh luka Yuta dengan air mineral, khawatir pasta teh hijau akan memperparah luka Yuta. Pakaian yang membalut luka Yuta digulung, lalu dipakai untuk penopang agar posisi kakinya lebih tinggi. Kaus milik Hansol.

“Luka di dahimu, Johnny…” ucap Yuta. Johnny mengusapnya. Berdarah.

“Mungkin keren kalau dijahit dibentuk petir kayak Harry Potter.”

“Luka ini, John. Menyiksa kita, tapi menjaga kita tetap sadar. Mungkin kalau kakiku gak terluka, aku akan seperti Ten.” Yuta memandangi Ten. Yuta tahu Ten tidak pingsan, Ten dapat mendengar kalimatnya, namun Ten tidak mampu bergerak termasuk berbicara, overly exhausted.

“Kalau aku berhenti ngerasain sakit, aku bakal khawatir. The pain I feel lets me know that I’m still alive.” tambah Yuta.

Johnny memandang angkasa malam.

“Ten…” ucap Johnny.

Ten tidak bereaksi. Sekuat apapun pikirannya mengamuk namun tubuhnya tidak dapat berkompromi. Johnny menoleh pada Ten.

“Taeyong… Dia sudah meninggal, Ten! Tubuh Taeyong sudah kaku, sudah berjam-jam dia gak menunjukan tanda bernafas. You know it, I know, we both know it, we know it. Face the truth! Sometimes, opening your eyes may be the most painful thing you ever have to do... Sekarang dia bebas, kita gak berhak menahannya disini…” gumam Johnny. Frekuensi nafas Ten meningkat, seluruh organnya seolah lumpuh untuk merespon.

Johnny menunduk.

“Aku lihat Taeyong, Ten…” bisik Johnny.

Johnny berkata ‘aku’ pada Ten? Yuta menoleh, memandangi Johnny. Yuta berusaha mengabaikan sakit di kakinya, Yuta ingin tetap terjaga karena takut tidur akan menjadi akhir hidupnya.

Sebisa mungkin Yuta menyimak perkataan Johnny.

“Saat aku melepas Taeyong. Aku lihat dia senyum. Sumpah, aku kaget banget, aku berusaha kejar dia, menyelam jauh ke laut dalam, aku ingin bawa dia ke permukaan lagi, melepas ransel yang berisi batu pemberat, tapi Taeyong pergi. Menghilang. Dia berhasil meloloskan diri, lalu pergi…”

Johnny menarik nafas.

“Aku tahu Yuta, aku gak waras.”

Johnny beradu pandang dengan Yuta.

“Taeyong pergi mengikuti cahaya biru ostracod, bioluminescent…”

Johnny melihat telapak tangannya yang gemetar. Lalu menutupi wajahnya, menekuk lututnya, membenamkan wajahnya di kedua lengannya. Yuta melihat respon Ten. Airmata Ten perlahan mengalir.

“Ten, please, for us, for me. Don't torture yourself…” ucap Yuta.

Yuta bergeser, berusaha meraih tangan Ten, lalu meremasnya. Ten benar-benar lemas, tubuhnya lunglai seolah tak bertulang.

“I need you, Ten...”

*****

“Aku gagal lagi, Doyoung. Professor Joseph memintaku revisi lagi.” Ucap Nat kuyu, sambil duduk di bangku penumpang dan memakai seat belt. Doyoung memperhatikannya, melihat wajah Nat yang muram durja.

“Kita tetap ke Thonglor, Nattcha?” Tanya Dooyoung.

“Ya, kegagalanku di kampus gak akan ngerubah schedule.” jawab Nat. Doyoung mengerucutkan bibirnya, mencoba bersabar dengan sikap dingin Nat.

“Kamu berubah, baby…”

Nat melamun bersandar ke pintu mobil.

“Aku kangen kamu yang bawel, heboh, manja, centil, yang cemburuan.”

Nat berdecak. Doyoung menyalakan mesin mobil, menyetir.

“Biasanya masalah seberat apapun bisa kamu hadapi.”

Nat memilih bungkam, dia sendiri tidak memiliki jawaban tepat untuk menanggapi obrolan Doyoung. Mungkin benar dia berubah.

Lalu Nat teringat Ten.

“Doyoung, aku baru sadar sesuatu…”

“Apa?”

Nat melihat Doyoung yang berkonsentrasi mengemudi.

“Kalau aku gak punya sahabat…”

Alis Doyoung bertaut, dia mengembungkan pipinya.

“Justru banyak kan, followers di instagram aja 800 lebih.”

Nat mendengus, tertawa kosong.

“Bahkan ¾ nya aja, aku gak kenal mereka, gak pernah komunikasi. Sekalipun ada yang aku kenal, kalau ketemu kadang kita gak saling sapa. Aku gak punya sahabat. Buktinya, kemarin pas aku sakit, kamu dan keluarga aja yang peduli. Padahal mereka tahu aku sakit, tapi cuma komen GWS aja.”

Doyoung manggut-manggut.

“Pas aku sakit tifoid tahun lalu. Aku bisa hitung berapa teman yang datang berkunjung menengok ke rumah sakit. Setelah berkunjung, hanya dua orang yang terus rutin menanyakan kabar…”

“Apa aku termasuk yang dua orang itu?” Tanya Doyoung.

Nat diam saja, memang saat itu status mereka masih berteman. Perlakuan Doyoung yang perhatian itulah yang membuat Nat tersanjung dan jatuh cinta. Nat bersyukur memiliki Doyoung yang tulus padanya.

Tapi, Nat iri pada Ten, dia memiliki banyak teman dan teman-temannya peduli padanya. Villa Ten di Thonglor agak jauh dari pusat kota, tapi Nat sering bertemu beberapa teman lama Ten yang datang menengok, meski mereka belum bisa menemui Ten, tapi mereka tetap melakukannya lagi di lain waktu. Termasuk teman dan sahabatnya Tern, meluangkan diri menengok, atau menginap dan menemani Tern di penthouse. Akun social media Ten masih dibanjiri dukungan dan kalimat-kalimat menggugah dari teman dan fans-nya.

Andai Ten mau mengakses dan membaca seluruh pesan-pesan tersebut. Melihat ketulusan teman-teman dan penggemarnya.

Pasti Ten akan tersanjung saat kembali ke penthouse-nya di Duplex-Central Business District, Chidlom. Lihat karangan bunga untuknya, sebagai bentuk simpati dan motivasi. Banyak hadiah memenuhi pintu masuk apartemen. Adik Ten, Tern, pernah mengupload seluruh hadiah dari penggemar dan teman-teman Ten di instagramnya dan mengatakan kamar Ten sudah tidak dapat menampung benda benda tersebut. Tern meminta mereka untuk berhenti berkorban dan membelikan Ten boneka ataupun barang-barang lainnya. Tern meminta teman-teman dan pendukung Ten untuk senantiasa mendo’kan kesembuhan Ten. Jika mereka memiliki uang, lebih baik disumbangkan pada korban tsunami atau pada yang membutuhkan. Setelah postingannya, akhirnya muncul aksi charity mengatas-namakan Ten.

Bagaimana rasanya diperlakukan istimewa seperti itu? Nat tidak bisa membayangkan.

Andai Ten tahu, andai Ten sadar betapa istimewa dan berharga dirinya bagi orang lain.

Nat mendesah. ‘Yuta’s right. Don’t torture yourself, Ten...’

“Baby? Nattasha?” Doyoung berkali-kali memanggil Nat namun tidak ada sahutan.

Nat terbangun dari lamunannya. Doyoung tampak khawatir.

“Kita sudah sampai, Nat.” ucap Doyoung.

Nat mengangguk, melepas seat belt.

“Aku tunggu di mobil, ya. Tapi kamu santai aja. Ok?” lanjut Doyoung.

*****

Ten meninju rahang Johnny yang sedang tertidur. Seketika Johnny tersentak bangun dan langsung siaga menangkis serangan susulan Ten. Johnny mencengkeram lengan Ten. Lalu Ten meninju dengan tangan lainnya. Johnny mendorong tubuh Ten, menaiki dan membalas meninju wajah Ten.

Yuta memincingkan mata, ingin menyaksikan suara ribut di sekitarnya. Matanya terkatup rapat. Dia melihat Johnny dan Ten bergumul saling melepas pukulan. Dia masih hidup, sejenak dia lega.

“Stop…” suara Yuta parau. Dia berdeham. ”Stop, guys…”

Johnny dan Ten mengabaikan, sibuk dengan perkelahian mereka.

Yuta meraih botol minuman, lalu dilempar dan berhasil terdampar di dahi Johnny, tepat mengenai luka-nya.

“DAMNIT!” Johnny marah dan mengacungkan tinju pada Yuta. Tinju Johnny melayang kosong. Ten merintih menahan sakit di wajahnya. Johnny turun dari tubuh Ten, menunduk malu. Ten berguling, menyusut darah yang mengalir dari mulutnya. Sepertinya gusinya terluka dan berdarah.

Yuta memandangi mereka dengan raut kesal. Lalu melihat luka kakinya.

“Kakiku terasa kaku, guys. Gak bisa digerakin sama sekali.” Ujar Yuta. Johnny mengangkat muka, memungut botol mineral yang dilempar tadi, mendekati Yuta. Menuangkan air ke lukanya.

“Ini infeksi Yuta.” Ucap Johnny.

“Lo bakal membuang Yuta seperti membuang Taeyong, John?” Tanya Ten. Johnny membanting botol mineral lalu memburu Ten.

“Stop guys, please.” Pinta Yuta, memelas.

Ten dan Johnny saling beradu pandang mata, saling menantang.

“Gue gak buang Taeyong!!” seru Johnny, menunjuk dahi Ten.

Ten menepis, mendelik dan meninggalkan Johnny. Ten berjalan menuju karang kecil tempat mereka menjemur pakaian. Dia ingat Taeyong.

Mentari musim panas menyeruak dari balik kungkungan Alena.

Johnny bangkit, menghampiri Ten, Yuta mencoba mencegah tapi Johnny tetap mendekati Ten yang berdiri membelakangi mereka. Johnny dapat melihat bahu Ten naik turun bergetar. Lalu Johnny memeluk Ten dari belakang, menaruh dagu di kepala Ten.

“Sorry, Ten…” gumam Johnny. Ten tidak menjawab.

“Aku gak mau siksa Taeyong…” tambah Johnny.

“Kenapa harus saat aku gak ada, John?” Ten bercicit, lalu berdeham. “Kenapa, John? Aku ingin pamitan dengannya, melihatnya untuk terakhir kali!”

“Kamu terus membohongi diri sendiri, bilang Taeyong masih hidup.”

“Gimana kamu yakin kalau Taeyong sudah meninggalkan kita?”

Johnny menghela nafas. Dengan berat dia bercerita…

“Kalian mungkin hanya tahu aku keturunan Korea yang tinggal di Chicago. Saat aku berumur 7 tahun, aku sempat tinggal di Korea dengan Ibu dan adikku, Nina. Ayahku bekerja di US. Suatu hari, Nina sakit, tapi ibu masih berangkat bekerja. Ternyata Ibu harus lembur dan pulang malam. Aku bilang padanya kalau Nina gak mau bangun. Saat Ibu pulang, dia menjerit seperti orang gila. Ibu menolak bawa Nina ke rumah sakit. Ibu bilang Nina hanya tidur dan besok akan sembuh. Keesokan harinya Nina tetap gak mau bangun. Ibu bolos kerja, menolak ninggalin Nina. Tiga hari berlalu, akhirnya aku melapor ke guruku. Guruku datang dan bertindak. Nina sudah meninggal bahkan sudah menimbulkan bau. Aku ngerti, kenapa ibu menolak bawa Nina ke rumah sakit. Karena jauh di dalam hatinya, ibu tahu Nina sudah meninggal, dia menolak seseorang meyakinkannya. Ibu menyesal dan rasa bersalah menghantuinya. Aku masih ingat Ten, tubuh Nina yang terbujur kaku, bau tubuhnya, bagaimana tiap malam aku mimpi. Banyak yang aku lupakan, tapi aku selalu mengingat jelas apa yang terjadi saat itu. Bahkan saat ayahku membawaku ke US. 13 tahun lalu. Taeyong. Apa yang terjadi pada Taeyong. Dan, sikap kamu, Ten. Itu persis seperti saat itu… Kalau kita menahan Taeyong, kita hanya menyiksa dia, Ten. Menyiksa diri kita sendiri…”

Ten mengusap airmatanya, berbalik menghadap Johnny.

Yuta memperhatikan dari jauh, dia tidak bisa dengar obrolan mereka. Tapi, Yuta percaya sahabatnya akan segera berbaikan, meski Johnny dan Ten selalu saling menghina dan mengganggu satu sama lain, mereka selalu saling menopang, saling mendukung. Mereka seperti sebilah sayap, yang tak mampu terbang jika tidak bersama. Mungkin Ten akan gila, jika Johnny yang pergi. Mereka saling membutuhkan.

Yuta mengambil biskuit yang sudah tak renyah lagi.

“Dimana Taeyong, John? Please tell me...” pinta Ten. Johnny membisu.

“Please, John...” Ten memelas.

“Belakang Alena? Tempat kita lihat ostracod? Benar?” tanya Ten.

Johnny mengangguk.

Ten langsung melengos pergi meninggalkan Johnny dan pantai Alena. Johnny tergagap, pakai life jacket dan mengambil life jacket untuk Ten. Saat akan berangkat, Johnny menoleh melihat Yuta mengangkat satu botol soju. Tradisi di Korea, minum soju bersama untuk mencairkan suasana, membuat semakin akrab, dan menghilangkan stress. Biasanya orang akan mengatakan hal yang ada di pikiran mereka saat mabuk.

Yuta mengocok botol itu, mengacungkannya. Agak ragu Johnny meraihnya lalu bergegas menyusul Ten.

Ten kelelahan di pertengahan jalan. Dia menepi ke pinggiran karang. Johnny mendekatinya.

“Jangan cegah aku, please Johnny...”

“Kamu gak tahu lokasi tepatnya Ten, aku mau tunjukin...” jawab Johnny sambil memakaikan life jacket pada Ten, Johnny mengempit soju di ketiaknya. Mereka berenang lagi hingga sampai di belakang karang Alena.

“Disana...” tunjuk Johnny ke salah satu karang kecil. Johnny naik ke atas karang belakang Alena, menyimpan botol soju.

Bayangan itu mencuat lagi. Saat tsunami menghadang. Ketika Ten melihat Yuta mengaduh kesakitan dan Taeyong terkulai lemas. Hansol melewati Ten dan ingin menolong mereka.

Ten melepas life jacketnya, dia ingin menyelam. Tak sempat Johnny mencegah, Ten sudah menyelam.

Semakin dalam, semakin dingin, semakin gelap, semakin sesak.

Dada terasa terhimpit, hanya ada terumbu karang disana, beberapa biota laut yang bergerak terusik. Ekologi Alena yang indah menawan.

Ten menggelinjang, kehabisan nafas. Dia mengayuh kakinya ke permukaan. Ten muncul di sisi lain karang tadi. Johnny berenang ke arahnya. Sebelum Johnny sampai, Ten kembali menyelam. Ten mengedarkan pandangan ke setiap seluk beluk. Terus berdo’a mengharapkan keajaiban.

Johnny memeluk tubuh Ten. Ten berontak. Karena tubuh Johnny jauh lebih besar, Ten kalah dalam perlawanan. Mereka hampir kehabisan oksigen. Ten terbatuk-batuk, mulutnya kelu, dia belum bisa bernafas normal. Johnny membawanya ke beting karang Alena.

Ten tergugu, menunduk dalam, mengatur nafasnya agar kembali stabil.

Johnny mengocok, lalu membuka tutup botol soju, lalu menyodorkan pada Ten.

Ten menoleh, bingung, melirik soju merk chum-churum. Chum-churum berarti "like the first time", ton of sugar, low alcohol.

“Ini milik Hansol hyung. Soju ini, beberapa botol soju, minuman soda dan air mineral yang Taeyong bawa di ranselnya."

Ten terperangah.

“Jangan kau sia-siakan...” lanjut Johnny.

Ten tidak mengerti.

Johnny menenggak soju langsung dari mulut botolnya. Lalu bersandar ke karang, Johnny tiba-tiba menangis. Ten meraih soju itu, agak ragu meminumnya. Rasanya manis, kemudian rasa panas seakan membakar kerongkongan. Ini pertama kali Ten minum minuman beralkohol.

Ten turut bersandar, kemudian berbagi soju dengan Johnny. Ten meneguk lagi dan lagi, rasanya menyengat, lalu tersedak. Ten terbatuk-batuk. Kadar alkohol pada chum-churum sangat kecil ABV-nya, namun karena ini pengalaman pertama Ten, dia belum mahir. Ten sudah pusing, kepalanya terasa berat dan perutnya mual.

Ten memandangi langit cerah, membayangkan wajah Taeyong, wajah Jaehyun, wajah Hansol. Wajah mendamaikan. Dada Ten bergelora, tubuhnya terasa ringan. Ten memejamkan mata, dengan tololnya menyanyikan lagu A Glass Of Soju by Lim Chang Jung. Johnny memperhatikan Ten, lalu mengangkat tubuh dan menggendongnya. Membawa Ten kembali ke Alena.

*****

Nat diam saja, Ten enggan melepas pelukannya, begitu erat memeluk Nat. Ten membenamkan kepalanya ke rambut Nat.

Terasa nyaman, menenangkan.

Nat tidak ingin membangunkan Ten. Nat melirik kamera yang merekam mereka. Ini therapeutic, tegas Nat.

*****

I will keep my memories now

I will keep my feelings towards you as well

Why does time end when I am regretting it?

Am I the only one like this?

Why does time always end when I am happy?

Is this only happening to me?

*****

PS:  <= Oh God, I'm so tired.

I wanna eat pizza with Ten, then cuddle up and fall asleep watching a movie~ #teehee

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*