TWO
REMINISCENCE“Hi!” Nat menyapa Ten yang seperti kemarin sedang duduk di kursi roda elektrik di balkon kamar. Di meja kecil disampingnya terdapat kue coklat menggiurkan. Seorang pekerja membawakan minuman dan jamuan untuk Nat.
Setelah berterima kasih. Nat menarik kursi rotan lalu duduk di samping Ten.
Matahari menyilaukan, Nat memincingkan mata.
“Mau?”
“Hm?” Nat melirik.
“Chocolate cake..?”
“Ahh, thanks. Tapi maaf banget, aku masih kenyang.” Tolak Nat sopan.
Ten memutar kursi roda, membelakangi pagar besi, tubuhnya menghalau silau mentari, menghadap Nat. Nat salah tingkah dan hanya bisa tersenyum. Otak Nat dipenuhi strategi wawancara efektif dan efisien. Baiklah.
“Katanya kamu yang minta aku untuk datang hari ini, ya?”
Ten berkedip lambat. Anggap itu jawaban: ya.
“Kenapa? I mean, apa ada yang memaksamu atau merubah pikiranmu?”
Ten mengusap daun telinganya, Nat dapat melihat bekas tindikan di beberapa titik. Ten berpikir.
“Kamu bilang pengen jadi teman kan…”
“YUP!” sahut Nat ceria.
“Aku butuh teman…” ucap Ten datar. Nat tahu Ten tidak mengatakan hal sebenarnya, Ten mengatakan itu untuk pertimbangan lain yang mungkin menguntungkan dan mempermudah dia. Nat menunjukan ekspresi gembira.
“Kamu tahu gak, Ten. Banyak remaja terutama para gadis yang ngefans sama kamu. Banyak puluhan fan account yang merepost foto dan video kamu, bahkan mereka kompak pakai hashtag terus sering jadi TT pula…”
Ten terhenyak, sepertinya baru Nat yang memberitahukan hal tersebut.
“Udah lama gak nonton televisi, internetan, browsing, atau cek SNS…”
“Pasti bosan banget ya. Mau baca komentar fans kamu?”
Nat mengambil handphone dari tasnya. Ten menggelengkan kepala.
“Sorry, nama kamu, aku lupa.”
“Nattasha, panggil aku Nat…”
“22 tahun, ya? Khun’Nat.” lanjut Ten.
Nat mengangguk lalu menggeleng tidak setuju. “Cukup Nat, please.”
“22 tahun? Sudah selesai bachelor degree, profesi dan sedang master degree? Terapis?”
Nat berpikir, strategi untuk membimbing arah pembicaraan kandas sudah, malah Ten yang memimpin.
“Aku mulai sekolah dari umur 4 tahun. Lulus high school usia 16, selesai sarjana dalam kurun 3 tahun, profesi 2 tahun, dan langsung melanjutkan master degree, sekarang masih menyusun tesis. Selama itu pula aku pelajari hypnosis dan hypnotherapy. Tapi, September ini aku 23 tahun kok.” Jelas Nat.
Ten mendengarkan dengan seksama. Perlu banyak kekuatan agar Nat tangguh membalas tatapan Ten. Nat cerdas secara akademik, namun dia tetap gadis biasa yang cenderung pemalu, dan salah tingkah jika diperhatikan. Itulah mengapa Nat tidak pernah menggunakan induksi braid saat proses hypnotherapy, teknik induksi mengajak klien beradu pandang. Mata mencerminkan kekuatan mental, rasanya memalukan jika terapis kalah dalam tatapan mata dengan klien, itu menunjukan dia kalah mental dengan klien.
Ten melahap chocolate cake. Nat lega. Okay, diagnosis anhedonia dapat dikesampingkan. Mrs. Lee memberitahu bahwa Ten chocolate addict.
“Kamu seriusan penggemar coklat sejati!” komentar Nat.
Ten tak merespon, mengunyah santai, lalu berdeham.
“Aku gak sakit, P'Nat. Tapi diperlakukan seperti orang sakit. Aku bisa jalan, tapi pakai kursi roda dan mereka menempatkanku di kamar lantai 2. Aku gak gila. Tapi orangtuaku mendatangkan psikiater dan psikolog untukku…”
Nat terperanjat. NO NO NO. Stigma itu.
“NO. Aku sudah sering dengar hal seperti ini, kenapa masyarakat enggan mendatangi psikiater dan psikolog itu karena pendapat awam kalau orang yang mendatangi kami pasti orang yang menderita gangguan jiwa berat…”
Nat menjelaskan dengan detail dan mencoba meluruskan persepsi Ten. Memberitahu kalau beberapa kliennya adalah pengusaha, termasuk selebriti.
“Kamu tahu, orang yang kemampuan verbalnya kurang, orang yang kecerdasan gak cukup kayak imbecile atau idiot itu gak bisa ditangani karena mereka gak bisa masuk ke dalam kondisi hipnotis. Hipnosis kan sebetulnya hanya bekerja pada orang dengan intelejesia tinggi.”
Ten menunduk, menggaruk pipinya. Gigi Ten bergemertak.
“Apa yang kamu alami, aku mungkin gak akan bisa setangguh kamu.”
“Aku ingin time machine.” gumam Ten.
Nat menghela nafas. “Aku gak bisa ngasih time machine, Ten.”
Ten masih tertunduk. “I know...” Nat menerawang.
“Tapi aku bisa bawa kamu mundur ke masa lalu atau regresi kehidupan masa lalu.”
Ten mengangkat wajahnya, memandang Nat. Tentu saja Nat yakin dengan perkataannya, ini bagian dari hypnotherapy. Meski Nat tidak merencanakan untuk melakukannya di pertemuan kedua. Tapi tidak ada salahnya, mengaplikasikan hypnotherapy dengan tujuan therapeutic, mengobati trauma dan berkesempatan mengubah fokus perhatian atau reframing. Kasus Ten terbilang kompleks. Dan ini sebuah progress, Ten belum pernah membuka diri membicarakan pengalaman pahitnya pada siapapun, semua orang hanya berspekulasi. Dan, jika ini keinginan Ten, inisiatif Ten, motivasi Ten, maka Nat tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Setelah memboyong seluruh makanan ke dalam kamar dan membaringkan Ten di tempat tidur. Nat menggeser pintu kaca dan mengunci pintu kamar. Ten memperhatikan aktivitas Nat dengan raut penasaran. Nat tersenyum sembari menyalakan AC dan menata kamera untuk merekam seluruh proses yang nantinya akan ditunjukan pada ibunya, menyetel musik.
“Okay… Aku hanya akan membuatmu rileks, Ten. Ingat, kita harus bekerjasama dan saling percaya, kita berusaha bersama-sama ya…” Ucap Nat, sembari duduk di tepi tempat tidur. Ten mengerjapkan mata. Nat meraih kedua tangan Ten, berhati-hati tidak menyentuh infusannya. Tes subjektivitas. Hand clasp test. Nat meminta Ten menangkupkan kedua tangan, lalu Nat memberi sugesti bahwa Ten tidak akan bisa melepaskan dua tangan tersebut. Lantunan musik instrumental mengalun pelan dari handphone Nat.
Nat meminta Ten untuk duduk lebih rileks, mengatur nafas dengan teratur. Nat terus memberikan sugesti agar Ten memasuki relaksasi. Kedua mata Ten tertutup. Setiap tahapan sugesti membawa Ten lebih rileks dan nyaman. Kemudian kepala Ten miring dan dia kehilangan keseimbangan posisi duduknya, Nat segera menahan dan mengatur bantal agar posisi Ten mantap. Sesuai prediksi Nat, proses relaksasi berlangsung cukup cepat, Ten termasuk tipe yang mudah menerima sugesti dan memiliki kemampuan berkonsentrasi. Nat memastikan Ten memasuki alam relaksasi lebih dalam, terus mengulang-ulang sugesti. Setiap tahapan seperti ideomotor dan ideosencory berlangsung mengalir lancar. Nat menyentuh pipi Ten untuk memperkuat sugesti psikologis. Memang prinsip kerja hipnosis adalah membawa klien dari gelombang otak sadar menuju kondisi rileks, mendekati tidur. Nat terus membimbing hingga fase visualisasi dan trance level test yang gunanya untuk mengetahui kepekaan klien dan kemampuan menerima sugesti.
“Ten…” bisik Nat.
*****
“Ten… Ten… WOI!!”
“WHAT?” sahut Ten, mendelik sebal. Johnny tertawa.
“HAHAHA. Leher lo sampe muter gitu ngelihat cewek. Gue gak akan ngelakuin hal itu kalau jadi lo, bro!” Ucapnya sambil terus menatap ke depan.
Ten duduk di kursi samping pengemudi. Mini RV tua yang dikendarai Johnny melaju santai di jalanan menuju perbatasan Northeastern Dale Island. Sepi, beberapa mobil melaju, menyalip. Mereka tidak terburu-buru.
Tiba-tiba sedan berwarna merah metalik menyalip, Johnny menoleh.
“Wow, cewek!” Johnny mempercepat laju kendaraan menyusul sedan. Ten turut antusias.
“Mana, John? Susul, John! Payah! Level nyetir lo kalah sama kakek-kakek…”
“Sabar bro… Lagian jaga sikap kenapa sih? Peka dikit gitu…” Celoteh Johnny. Ten tertawa tanpa arti. Dia gak ngerti maksud perkataan Johnny.
Tapi sedan merah itu ngebut, sulit dikejar oleh mini RV mereka. Selain itu Johnny belum terbiasa mengendarainya. Pasrah, melepaskan buruan.
“Ah, damnit!”
Johnny kembali memperlambat laju mobil. Menekan klakson untuk menghibur hatinya. Ten tertawa karena bunyi klakson terdengar aneh.
“Persis suara lo kalau karaokean lagu Hey Jude, gak sampai nada tinggi… Better, better, better, better better better OhhHHHh...”
“Ten, pstt… Psstt..” Desis Johnny.
Ten mulai sebal dengan kelakuan sahabatnya. Johnny menggedikkan kepala ke belakang. Ten menengok ke bangku penumpang. Hansol tertidur manis bersama Jaehyun, kepala mereka saling menopang. Di belakang Jaehyun, Yuta tidur, yah sepertinya dia tidur karena maskernya sengaja dipasang menutupi matanya, dan mulutnya menganga terbuka. Taeyong masih terjaga, memandang ke jendela, memakai headphone. Ten kembali ke posisi semula. Dia gagal faham dengan arah tujuan omongan Johnny, membuat Johnny frustasi dan menarik-narik rambut gondrongnya sendiri.
“Aiiishhhhh… Ten, okay, gue bisa gila. Entah mata lo bermasalah, atau nurani lo yang bermasalah. Gue cuma mau bilang hal penting, tolong digaris bawahi. Okay. Ten. Please. Jangan buat Taeyong cemburu!” ujar Johnny.
Ten melongo, otaknya memproses informasi yang baru diterimanya. Dan hasilnya: MONG. Johnny berlagak tewas seketika lalu menyetir lagi.
“You know, kalau mood dia jelek, dia suka bawa aura negatif ke sekitarnya. Lihat si Yuta, sudah berapa jam dia diam aja, belum ngelawak juga?! Mini RV jadul ini sudah karatan, tanpa AC, di luar terik membakar, that’s enough, I need to keep my sanity. Gak usah nambah penderitaan kita-kita…”
“It’s summer time, bro!!” sahut Ten, Johnny tertegun melihat tawa Ten.
“Yee, hooh summer time. Ergh, lagu sialan koleksi Hansol hyung ini…”
Johnny menggebrak dashboard.
“Oh please just shut the hell up. Kenapa juga gak setel musik dari handphone lo aja, malah terus berbuih ngeluhin lagu country Hansol hyung. Not surprising, your mouth is bigger than your brain!” Ten menarik nafas. “Dan kedua, Yuta diam terus karena dia tidur sepanjang perjalanan! Lagipula ngapain Taeyong cemburu…? Beuh, musim panas benar-benar menguji kewarasan lo, bro.” seloroh Ten, terkekeh bangga.
“Geez, Ten! Si Taeyong kan naksir lo, duh, lo beneran seonggok pria dungu gak peka!! It's such a pity! Pretty boy with an ugly heart!” omel Johnny.
Ten segera membekap mulut Johnny, yang dengan senang hati Johnny menggigitnya. Ten menyusutkan telapak tangannya ke pakaian Johnny.
“Jeez, jaga omongan lo. Entar dia denger…” desis Ten, sambil membuka jendela mobil lebih lebar. Angin liar mengacak rambutnya. Ten menguncir poni dengan karet yang ada di lengannya. Johnny melirik rear-view mirror.
“Dia pakai headphone kok…” jawab Johnny sambil menyedot air mineral.
“Bukan berarti gak dengar kan…” Ten santai menaruh lengan di pintu mobil. Lalu, terperanjat karena panas. Melenguh. Ten mengusap lengannya yang malang. Johnny tertawa. “Moron…”
“… Kalau lo duduk di samping Yuta lagi tidur, lo pasti pakai headphone terus setel lagu dengan volume maksimal…”
Ten dapat mendengar dengkuran Yuta. Ten melirik Taeyong yang memejamkan matanya.
“Heck no. It’s non sense. He’s ing handsome as hell.”
“Yeah, like me, handsome as , bedanya si Taeyong ga pernah kelihatan punya pacar!! Lo tahu kalimat ini, cowok tampan itu terbagi dua, kalau gak gay, pasti playboy. Dan gue proklamasikan diri dengan bangga bahwa gue termasuk kategori dua. Bukan salah gue punya tampang ganteng.”
Ten tertawa terpingkal-pingkal, sarkastik. Johnny bete.
“Yea yea, tertawalah depan gue karena lo bakal nangis saat sendiri…”
“Aish… Dia pilih single karena dia bukan d-bag kayak lo, bro.”
“Ah c’mon Ten, anak-anak juga tahu hal ini.” Ten takjub Johnny mengabaikan perkataan Ten. “You’re a d-bag…” ulang Ten lebih keras lagi.
“Apa motivasi utama dia ikut summer time kita?” ujar Johnny.
‘OMG, Johnny is damn serious’, batin Ten.
“Gue dan Hansol kan real man, lelaki sejati pasti senang adventure. Lo, Yuta, dan Jaehyun anak konglomerat yang gak punya tujuan hidup, ikut serta sekedar menghabiskan uang orangtua kalian. Lha, Taeyong? Emang dia dari keluarga mampu, tapi bukan selevel kalian, kayak gue lha. Perlu nabung setahun lebih biar bisa ke Northeastern Dale Island. Patungan rental RV, bayar semua water sport, terus camping ke mini Playa Del Amor…”
“Aish, Taeyong kan sahabat kita, bagian dari grup, tepatnya terjebak di grup kita. Tahun lalu dia nyesel gak bisa ikut ke Hawaii karena gak ada dana, mau dikasih bantuan dia nolak karena orangnya gak enakan. Naif bener pemikiran kalian, dangkal. Lagian gue juga real man!” protes Ten, disambut tawa histeris Johnny.
“Lihat muka, ngaca, lo masih cocok duduk di junior high school. Masih bisa pura-pura nyamar jadi bocah 16 tahun dan semua orang pasti percaya. NAH. Terus ingat gak siapa di antara kita yang nentang lo sama Park Soo-young? Lee Taeyong, ofcourse. Sampai kita curiga dia naksir juga, tapi gue gak bisa lupa pas lo sama Taeyong tiba-tiba akrab berdua. Sampai lo bisa lupain Park Soo-young… Yah, walau akhirnya lo selalu balik ke cewek itu lagi.”
“Shut up, John!” Ten mengusap kedua ketiaknya lalu membekap hidung Johnny. Otomatis Johnny bergelinjang dan mobil melaju ugal-ugalan.
Ten tertawa girang. Johnny mohon ampun.
“Hhey!!” Terdengar seruan protes dari bangku penumpang, Ten menoleh. Sepertinya aksi mereka mengganggu yang lain.
“Kamu sudah bangun, Yuta?”
Masker hitam masih menutup matanya.
“Back, back.” Seloroh Yuta.
Ten dan Johnny kebingungan.
“Jangan skip lagu favoritku…!” Serunya lagi.
Ten melongo, Johnny terkekeh geli.
“Hey, babo!! Kau pakai earphone, setel musik dari iPodmu sendiri!!” Seru Johnny, Yuta tidak bereaksi. Ten tidak percaya dengan tingkah ajaib Yuta. Lalu mata Ten bertemu Taeyong, melihat headphone bertengger di lehernya.
“Kau bangun, Yongie? Dari kapan?” sapa Ten. Johnny terkikik geli.
“Tadi. Ada panggilan alam. Find toilet, John…” jawab Taeyong seperti biasa dengan gaya bicaranya yang cool dan tenang.
“Do you hear that, John. Find toilet…”
Johnny mengangkat bahu dan menyeringai lebar.
*****
Kebersamaan mereka diawali secara tak terduga. Pada mulanya hanya Ten, Johnny dan Yuta, mereka adalah teman satu jurusan, satu kelas. Karena mereka foreigner di Korea Selatan, mereka lebih cepat dekat satu sama lain dan saling mendukung, membantu, menyokong dan sepakat untuk tinggal di apartemen bersama. Tidak tinggal di gwanaksa kampus. Ten jauh lebih dekat dengan Johnny karena sama-sama fluent berbahasa Inggris, jadi tidak ada language barrier.
Awal kuliah masih asing dengan kehidupan Korea mereka lebih sering menghabiskan waktu untuk eksplor Korea. Nilai mata kuliah statistik mereka sama-sama jeblok. Ten dan Johnny benci statistik, sedangkan Yuta yang notabene mahasiswa cerdas namun slengean diblacklist sang dosen sensitif karena dia berani bicara banmal. Tahun berikutnya, mereka mengulang mata kuliah statistik bersama mahasiswa satu tingkat di bawah mereka. Ten memilih kelas B, selain menghindari dosen sebelumnya, sekaligus sedang mengincar mahasiswi baru bernama Park Soo-young yang kerap dipanggil Joy. Johnny dan Yuta mengikuti Ten, karena bagi mereka yang penting bersama.
Suatu malam, mereka mendapat pesan singkat di waktu bersamaan.
Hello, sunbae. Perkenalkan nama saya Jung Jaehyun, dari kelas B.
Mohon maaf telah lancang mengirim sms, saya mendapat nomor handphone sunbae dari dosen statistik. Tadi siang ada jadwal mata kuliah statistik pengganti, dan ada pembagian kelompok tugas. Mohon maaf kami tidak sempat memberitahu. Fyi, hyung sunbae satu kelompok dengan saya. Mohon kehadirannya di perpustakaan besok pukul 12 siang jika tidak berhalangan.
Terima kasih.
Comments