ONE

REMINISCENCE

Nat melongokan kepala ke kamar full furnished dan fully equipped, lantai parquet kayu, desain interior serasi dengan ruangan lainnya yang bernuansa Jepang dominasi putih dan coklat. Di salah satu dinding lemari putih polos tinggi menyentuh langit-langit seperti lemarinya Nobita di serial kartun Doraemon. Seluruh detail kamar memberi kesan hangat dan nyaman. Nat yakin ukuran kamar ini hampir seluas lobby Treedao Clinic. Mrs. Leechaiyap♥rnkul mempersilahkannya masuk, menunjuk sosok laki-laki yang duduk di kursi roda elektrik di balkon kamar, hmmm, klien.

Nat mengangguk, tersenyum manis. Senyuman hambar terukir di wajah lelah Mrs. Lee sembari menutup pintu kamar. Sejuk air conditioner menerpa. Nat menyimpan tas di meja computer set dengan 21 inch lcd monitor. Jemari Nat menyentuh standing lamp dan hiasan tirai bintang-bintang. Saat melewati cermin, Nat merapikan rambut panjang wavy-nya. Perlahan Nat menggeser pintu kaca menuju balkon. Kehadiran Nat tidak mengusik klien, tatapannya kosong menatap ke depan, entah ke rimbun dedaunan pepohonan, cakrawala luas membentang, ataupun silau mentari sore.

Nat menyebarkan pandangan, pemandangan sekeliling indah menenangkan. Air kolam renang berkilau tampak menyegarkan. Udara segar memenuhi rongga dada, dari bawah terdengar gonggongan anjing-anjing yang bermain riang. Seorang pekerja membersihkan permukaan kolam renang dengan jaring dan sesekali mempermainkan para anjing dengan menciprati mereka. Tanpa terasa bibir Nat tersenyum.

“Wah, benar-benar view menarik dari balkon, kayaknya kamu dapat kamar favorit deh.” Ucap Nat, mendorong tubuhnya ke pinggiran pagar besi, angin sepoi-sepoi membelai rambut Nat.

Tak ada respon.

Kemudian Nat menarik salah satu kursi rotan yang ada di balkon tersebut dan menempatkan di dekat sang klien. Nat melirik selang infuse yang menancap ke pembuluh vena lengan kiri. Memperhatikan fitur wajah sang laki-laki. Meski agak kurus, pucat, layu, terdapat beberapa bekas luka di tubuh dan wajah namun tidak mampu menyembunyikan ketampanannya.

Nat menggelengkan kepala dan fokus pada tujuan. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah pendekatan holistik, melihat klien secara komprehensif, baik sebagai individu bio-psiko-sosial, maupun sebagai anggota masyarakat. Nat agak gugup karena ini pertama kalinya Nat mendatangi rumah klien, bukan klien yang mendatangi klinik. Tanpa dibimbing Ibunya.

‘Okay, I’m ready.’ Nat menarik nafas dalam, dihembuskan perlahan.

“Hai, aku Nattasha Nauljam, 22 tahun, panggil aku Nat.”

Klien diam saja, tidak menyambut jabatan Nat.

“.. Ten..”

“Hai, Ten. Maaf ya kalau aku ganggu waktumu…”

“.. Psikiater..?” potong Ten sambil melirik sekilas. Nat berdeham.

“Aku psikolog…”

“… Sama…” tukas Ten.

Nat tersenyum. Stigma yang kerap didapatnya setiap bertemu klien. Nat sudah hapal jawaban yang harus dilontarkan.

“Memang sih konsentrasi praktik kami sama. Tapi sebetulnya beda banget lho. Psikiater itu dokter spesialis, yang sudah menempuh pendidikan dokter umum kemudian melanjutkan pendidikan spesialis kedokteran jiwa, maka dari itu selain dapat memberikan terapi dan konsultasi, psikiater juga berhak memberikan farmakoterapi. Sedangkan psikolog, aku, lulusan sarjana psikologi, terus melanjutkan pendidikan profesi psikolog. Kalau psikolog fokus memberikan konseling intervensi atau psikoterapi, kami gak bisa memberikan farmakoterapi. Dan, untuk psikoterapi, aku mengaplikasikan hypnosis therapeutic, kamu tahu kan hypnotherapy…?” Nat menghentikan kalimatnya menyadari klien jenuh dan tidak tertarik sama sekali.

“Oh ya, kamu suka banget sama anjing kan, Ten?”

“What do you want from me?” suara Ten terdengar pelan namun tegas, Nat mengerutkan keningnya.

“My mom, I mean Mrs. Tridao Pongsuriyan, psikiater yang menanganimu, beliau memberikan referensi padaku untuk konsultasi dan intervensi lanjutan. Kami satu tim dari Treedao Clinic.”

“Mom?”

Nat mengangguk, nyengir.

“I-yup! To be honest, jam terbangku memang belum tinggi, tapi aku cukup berpengalaman kok menangani berbagai kasus psikis, psikosomatis termasuk self development. Hampir tiga tahun aku praktik di Treedao Clinic. Umm, for your information, aku kuliah psikologi di Chiang Mai University, setelah lulus langsung ambil program profesi, sekarang aku masih kuliah Master Degree jurusan counseling psychology di Rangsit University. Selain pendidikan formal tadi, aku juga sudah bersertifikat sebagai hypnotist, hypnotherapist, bersertifikat sebagai NLP Master Practitioner dari National Federation of NLP USA Florida. Intinya, aku cukup kompeten kok, Ten. Aku bisa kamu percaya, percaya dengan kemampuanku, soalnya yang terpenting dari psikoterapi ini kita harus kerjasama dan saling percaya.” Nat menyentuh lengan Ten.

“I really wanna help you, I wanna try to give you a helping hand…” tegas Nat.

Sepertinya ucapan Nat berlalu begitu saja bagai angin, Ten tampak bosan, tidak menunjukan ketertarikan sama sekali. Ten diam, jemari tangannya menyentuh bibirnya, seperti berpikir tapi tidak.

Nat menyayangkan sikap kliennya, Nat berempati dengan kejadian yang menimpa Ten. Ten mengalami depresi, trauma, beberapa problem psikomatis termasuk anhedonia, Ten sulit menikmati makanan, cenderung menolak berteman dan rasa positif terhadap hidup seakan hilang menguap, perasaan bersalah mendominasi dirinya. Meski begitu Nat yakin, jauh di dalam hati dan alam bawah sadar, Ten masih memiliki semangat ingin sembuh dan ingin kembali produktif. Nat kagum dengan segala beban emosi, Ten tetap bertahan. Cukup banyak kliennya yang frustasi dan nekad menyakiti diri sendiri.

Apa yang dialami Ten cukup luar biasa. Dalam beberapa minggu ini dia menjadi sorotan publik, beberapa media mengincarnya, banyak volunteer menunjukan empati, bahkan Ten berhasil merebut hati banyak remaja yang kini menjadi penggemarnya. Mereka kompak menyerukan dukungan, malah di Twitter mereka sengaja memakai hashtag yang berkaitan dengan Ten, hashtag tersebut kerap bertengger di trending topics local bahkan worldwide. Selain itu ada beberapa dokter, psikiater maupun psikolog yang tertarik menangani kasusnya. Sepertinya dia termasuk person of the week.

Dua minggu yang lalu, orangtua Ten menjemput Ten dari Northeastern Dale Island, mereka memutuskan memboyongnya langsung ke Thailand dan menunda pendidikan Ten di Seoul National University, South Korea. Setelah 11 hari perawatan intensif di Bumrungrad Hospital dan Psychological Service (PSI), Ten langsung ‘diasingkan’ ke villa mereka yang hanya berjarak sekitar 10 KM dari penthouse mereka yang terletak di Duplex-Central Business District, dekat BTS Chidlom. Mr. Lee memutuskan menetap di villa mereka yang berlokasi di Thonglor - distrik Sukhumvit, sampai Ten sembuh total.

Karena ibu Nat adalah sahabat Mrs. Lee, ibu Nat dipercaya menangani masalah psikis anak laki-laki mereka, daripada ditangani PSI. Keluarga Lee termasuk keluarga sosio-ekonomi tinggi, mereka tidak membutuhkan publikasi apalagi memanfaatkan Ten untuk mendulang pundi-pundi uang. Bisa saja mereka menggunakan keadaan Ten untuk meraih simpati publik, menerima sumbangan, melayani media, menikmati popularitas, dan sebagainya.

Saat Nat menjalankan sesi konsultasi keluarga, orangtua Ten menjelaskan bahwa Ten anak yang selalu ceria, jahil, naughty, dan senang bercanda, namun Ten baik hati dan lembut. Ten senang tertawa dan membuat orang sekitarnya tertawa, dia pintar bergaul, memiliki banyak hobi dan bakat, memiliki banyak teman dan teman-temannya menyayanginya. Yah, sosok yang bisa membuat orang lain iri. Remaja aktif, cerdas, baik hati, multitalented, friendly, always happy, berasal dari keluarga yang damai dan berbahagia, keluarga yang selalu mendukung dan tulus mencintainya.

Nat turut mempelajari kepribadian Ten dengan melihat postingan Ten di akun social media miliknya, sangat menggambarkan betapa cerah kepribadian lelaki muram yang kini ada di hadapan Nat. Menyedihkan.

Ibu Nat, Mrs. Pongsuriyan, meminta Nat untuk memberikan konseling, intervensi lanjutan dan terapi. Mrs. Pongsuriyan yakin melalui hypnotheraphy bisa membuat sistem keyakinan dan cara pandang baru yang mampu mengeluarkan Ten dari kondisinya saat ini. Hynotherapy jelas berbeda dengan stage hypnotism yang sering ditampilkan di televisi, stage hynotism tidak memberikan efek therapeutic. Hypnotherapy sendiri merupakan jenis terapi mental, pikiran dan emosi yang menggunakan keadaan trance yang diinduksikan. Dan untuk masuk ke dalam keadaan trance tersebut sangat diperlukan kerjasama dan saling kepercayaan antara klien dan terapis. Tanpa kedua hal tersebut percuma karena tujuan terapi tidak bisa tercapai. Lagipula Nat tidak dapat menghipnotis Ten, jika Ten tidak bersedia dan mengijinkannya. Harus atas inisiatif dan motivasi sendiri. Dan ini kendala utama saat ini, psikoterapi ini murni inisiatif orangtua Ten.

“Kamu ingin bantu saya?” Tanya Ten. Mata mereka bertemu. Nat mengerjap merasa lensa kontak nya mengering, tersenyum kikuk dan mengangguk pelan. Sinar mata Ten berpendar sayup, Nat dapat melihat binar cahaya semangat menyusup jauh terkubur di kedua mata Ten.

“I really need a time machine…” lanjut Ten.

Nat berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Bibirnya kaku menyunggingkan senyuman. Mereka beradu pandang lagi beberapa saat, hembusan angin mengusik. Ten mendengus.

“Tentu aja gak mungkin kan.” Ujarnya, kecewa.

Nat terdiam.

Ten melihat display 0.75" high digits LCD pada kursi roda, kemudian tangannya mengoperasikan switchable controller, memutar roda kursinya.

“Saya lelah…” ucap Ten.

Nat terkesiap, bangkit, menggeser kursi memberikan ruang untuk Ten. Kursi roda elektrik melaju perlahan. Nat menghampiri, hendak membantu.

“NO!” tolak Ten. Bibirnya terkatup rapat. Nat mendesiskan kata “I’m sorry”, seketika sorot mata Ten melembut, raut wajahnya melunak. Dia memejamkan mata, menghela nafas.

“Sorry, if I over-reacted. But thanks. I’m really sorry…” gumam Ten.

Hati Nat tersentuh, kalimat Ten tersirat ketulusan. Nat merasakannya. Ini bukan indikasi gangguan bipolar, Ten sungguh-sungguh menyesal sudah bertindak tidak ramah. Karakter, sikap dan sifat itu tetap ada dalam dirinya. Dia yang selalu berusaha membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Dan akan tetap seperti itu. Nat tersenyum simpul.

“Ten...” panggil Nat.

Ten menghentikan laju kursi roda.

“Aku pasti akan datang lagi menemuimu. Tapi sebagai teman, bukan psikolog. Aku gak akan membujuk, merayu apalagi memaksamu menjalani hypnotherapy. Aku cuma pengen kenal kamu. I just wanna be your friend. Kalau kamu berubah pikiran, aku siap membantumu, Ten.”

Nat hanya melihat Ten mengangguk, Nat mengikutinya dalam jarak satu meter, membantu menggeser pintu kaca. Ten bersusah payah mengangkat tubuhnya dan merebahkan diri di tempat tidur, mengabaikan Nat, dia tidur menyamping menghadap lemari, membelakangi.

“Aku pamit pulang ya. See you, Ten..”

Nat meraih tas lalu meninggalkan kamar Ten. Saat keluar dan menuruni tangga, orangtua Ten sedang duduk di sofa coklat beludru, mengobrol serius, mereka segera menghentikan percakapan, berdiri menyambut Nat. Rinai kekhawatiran kentara. Mereka menyerbu Nat dengan beberapa pertanyaan.

Nat menjelaskan bahwa hypnotherapy baru akan dijalankan jika Ten bersedia dan dinilai siap. Itu butuh beberapa sesi dan saat ini baru proses pre-talk, selanjutnya konsultasi dan konseling, jika kerjasama dan kepercayaan sudah terjalin, baru akan dimulai psikoterapi. Mrs. Lee menangis bahagia bercampur sedih, dia berterima kasih karena Nat sudah bersedia datang.

“Saya akan melanjutkan sesi selanjutnya Kamis depan, Khun’Pim. Ibu saya memberikan farmakoterapi untuk meringankan psikomatis Ten.”

Ibu Ten memanggil perawat yang khusus merawat Ten, Nat menjelaskan farmakoterapi padanya. Kemudian perawat dan Mrs. Lee pergi ke kamar Ten.

Mr. Lee bertanya mengenai hypnotherapy untuk berhenti merokok. Nat bersedia menangani kasusnya. Saat Mr. Lee menceritakan tentang nenek Ten yang sedang dirawat di Rumah Sakit karena terlalu sedih dengan kondisi cucu kesayangannya, handphone Nat bergetar. Nat berpamitan. Kekasih Nat, Doyoung, sudah datang menjemput.

*****

Senyum cerah Doyoung menyapa. Nat mengecupnya sekilas.

“Apriori… Kalau di klinik, aku pasti sudah menolak klien seperti ini.” gumam Nat sambil memakai seat belt. Doyoung bersiul.

“I see, spoil brat kid. Tipikal anak orang kaya. Manja, arogan!” ucap Doyoung, sambil menyalakan mesin mobil. Nat toyor kepala Doyoung.

“Sembarangan. Aku sudah stalk akun social media dia tahu! Lihat beberapa foto yang dia posting, channel Youtube. Duh, beneran rasanya sedih banget sosok secerah mentari tiba-tiba padam kehilangan cahayanya…”

Doyoung menirukan kata-kata Nat dengan suara menyebalkan.

“Tahu gak, bunny! Pretalk 20 menit, dan hasilnya nihil!! I’m !!”

“Memang seharusnya begitu kan? Optimal durasi konsultasi 30 sampai 60 menit, bahkan yang psikomatis tidak lebih dari setengah jam.”

“Iyaaa, untuk efisiensi waktu, tapi juga harus efektif. Tanpa Mama, aku masih kewalahan menuju tujuan wawancara, boro-boro wawancara therapeutic atau sampai menegakkan diagnosis dan bikin rencana tatalaksana. Parahnya lagi aku gak bisa bangun pembicaraan menjadi dua arah. EPIC FAIL!”

“Kan baru pre-talk, Nattcha dear.” Doyoung mencoba menenangkan Nat. Nat memang perfeksionis, Nat selalu ingin segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dan jelas yang dialaminya saat ini membuatnya merasa gagal. Ten adalah klien pertama Nat yang menolak psikoterapi, klien yang selama ini selalu Nat tolak jika datang ke klinik.

“Lagipula kamu dapat poin penting.”

Nat menoleh, bingung.

“... Mengenali kepribadian klien…” lanjut Doyoung.

Nat manggut-manggut. Doyoung menoleh.

“Terus gimana? Strategi langkah berikutnya?”

Nat menempelkan kepala ke sisi jendela, termenung sesaat.

“Masih pre-talk, pendekatan holistik, konsultasi. Masih panjang dan membutuhkan waktu. Mr. Lee ingin coba hypnosmoking, mungkin Ten’s granny akan menjalani hypnotherapy juga. And last but not least, a cherry on top of my whole list, aku masih bergelut dengan tesis-ku yang berkali-kali ditolak Professor Joseph. I’m doomed, bunny...”

“Aku percaya kamu mampu, dear. Kenapa mama Tridao menunjukmu bukan psikolog lain, P’Nok atau P’Ja? Itu karena dia percaya kemampuanmu.”

Nat mengerling, Doyoung mengedipkan mata. Nat memukulnya pelan.

“You’re right. Aku harus optimis. Selama melalui proses itu, kamu akan terus mendukungku kan Doyoungie?” Tanya Nat. Doyoung terkekeh.

“Kalau yang dimaksud dengan mendukung adalah jadi supir pribadi, okay Baby…” jawab Doyoung sambil memutar setir. Mereka sudah memasuki jalan utama Sukhumvit. Nat merengkuh tangan Doyoung.

Doyoung tersenyum. “Ke Emporium yuk, aku traktir di starbucks deh…”

Tawa Nat berderai, tangannya menjulur mengacak rambut Doyoung.

“Sombong sekali kau, bun. Ahh, akhirnya pacarku yang mahasiswa ini mau merogoh isi dompetnya dan mentraktirku! Berkah Tuhan yang mana lagi yang aku dustakan.” ejek Nat. Doyoung mengerucutkan bibirnya.

“Walaupun aku mahasiswa kere, tapi bisa bikin kamu jatuh cinta, kan…”

Nat tergelak.

Doyoung benar, Nat juga tidak habis pikir dengan proses hubungan yang terjalin. Berawal dari saat Nat menjadi salah satu trainer motivasi dan pengembangan diri yang mengisi acara seminar di kampus Doyoung, Chulalongkorn University. Saat itu Doyoung menjadi peserta stage hypnotism yang iseng menggoda Nat di depan mahasiswa lain. Lalu beberapa hari kemudian pemuda ekspatriat asal Korea Selatan itu datang ke Treedao Clinic dengan dalih ingin hypnotherapy untuk menemukan ‘sesuatu’ yang hilang.

Doyoung seumuran dengan Ten, 19 tahun, 4 tahun lebih muda dari Nat. Doyoung pintar merebut hati, ibu Nat sangat menyukai Doyoung. Doyoung senang membuat Nat tertawa meski lebih sering membuat Nat jengkel.

Nat memandang jalanan, dan tiba-tiba dia teringat Ten. Nat berusaha menyembunyikan wajahnya karena Doyoung selalu jeli. Nat tidak berminat curhat pada calon konselor tersebut. Lagipula Doyoung akan mencibirnya setiap kali membicarakan klien cowok. Nat beralih memandang langit sore.

“Aku gak mau ke starbucks, bunny. Aku pengen makan di L’Appart!”

L’Appart adalah Rooftop Bar and Restaurant yang berada di lantai 32 Sofitel Bangkok di Sukhumvit. Cuaca cerah, cocok untuk dinner romantis di rooftop sambil menikmati sunset dan pemandangan malam kota.

“Jeez, baby. Gak boleh nawar kalau ditraktir. But okay!” Ujar Doyoung.

*****

Perawat memindahkan botol cairan infus dari kursi roda ke tongkat infus samping tempat tidur, mengecek seluruh kinerja infus set. Ibu Ten menyisir lembut rambut Ten dengan jarinya. Bulir bulir airmata kembali membasahi pipinya. Sangat menyakitkan melihat putra kesayangannya seperti ini. Jauh menyakitkan daripada saat dia melepas Ten pergi kuliah ke Korea Selatan. Perawat memasukan obat ke dalam infusan lalu pamit. Ibu Ten mengecup pipi Ten, tanpa terasa airmatanya terjatuh mengenai pipi Ten.

“Ma…” Ten berbalik, mendapati ibunya sibuk mengusap airmata. Mrs. Lee kaget karena mengira Ten sudah tertidur lelap. Dia tersenyum, meraih tangan Ten, menggenggamnya. Rupanya Ten menunggu perawat pergi meninggalkan mereka berdua.

“Ma, please don’t cry for me…” Ten memelas. Mrs. Lee mengangguk.

Ten tidak ingin ibunya terus berlarut-larut terhanyut dalam kesedihan, apalagi kalau sampai jatuh sakit seperti granny. Meski Ten sendiri terpenjara dalam fase tersebut dan sulit melarikan diri.

“Mau makan buah atau biskuit?” tawar Mrs. Lee. Ten tak ingin menolak ibunya. “Anggur…” Ibu Ten mulai menyuapinya anggur. Meski Ten tidak menikmati, dan seluruh tubuhnya menolak, dia memantapkan diri untuk mengunyah dan menelannya agar ibu nya tidak semakin khawatir.

Tak ayal lagi, Mrs. Lee tak dapat membendung tangisannya. Hati Ten terasa disayat, dadanya sakit. Ten bangkit dan merubah posisi menjadi duduk.

“Ma, please, jangan nangis terus dong, Ma…”

“Mama nangis bahagia, sayang.”

Ten tahu ibunya berbohong. Ibu Ten menyodorkan air, Ten meneguknya.

“Nattasha, psikolog tadi, mama percaya N’Nat dan Mrs. Pongsuriyan bisa membantu Ten sembuh…” gumam Ibu Ten di sela isaknya. Ten terdiam.

“Nattasha akan datang lagi hari Kamis depan.”

Ten mengigit bibirnya. Ibu Ten hendak menyuapi lagi, Ten menggeleng lemah. Tanpa diminta, Ibu Ten mengambil sebatang cokelat, membuka bungkus untuk Ten. Hanya coklat, favorit Ten, yang dapat dinikmati Ten.

“Aunt Priya akan menengok dan membawa chocolate cake. Ten ingat gak, saat berkunjung ke rumahnya, Ten diam-diam menghabiskan chocolate cake dari kulkas, dan menyalahkan Lilo, anjing Aunt Priya.” Ten mengangguk.

“Ma, bisa gak jangan nunggu sampai hari Kamis. Tolong minta psikolog tadi agar datang lusa…” pinta Ten. Dia bingung kenapa berkata seperti itu, dorongan terbesar adalah dia tidak mau menambah kesedihan ibunya. Ten harus cepat sembuh. Dia bosan menjalani hari-hari tanpa aktivitas berarti.

“Mama coba buat appointment ya, mudah-mudahan bisa.”

Ten mengangguk lalu menggigit coklat.

*****

ps: (04/05/2015) Aku edit/pangkas seluruh chapter, biar gak terlalu traffic per chapternya :)

pps: untuk surname Ten (and his families), aku tulis Leechaiyap♥rnkul, karena kalau baca tanpa login, kata yang muncul jadi Leechaiyakul :p

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*