NINE (Part II)

REMINISCENCE

Sembilan hari telah berlalu. Mereka menjalani aktivitas dengan ritme sama. Yuta menggoreskan batu di karang menandai hari yang dilalui. Setiap pagi membawa ikan di jaring, sarapan. Kemudian Ten dan Johnny berpencar mencari Hansol dan Jaehyun seharian penuh, sambil berusaha mencari apapun yang berguna dan menunjang kehidupan mereka.

Setiap harinya area cakupan penjelajahan Johnny dan Ten semakin luas dan semakin jauh, namun mereka selalu kembali ke Alena, kembali pada Yuta. Senja menjelang malam Ten berenang ke belakang karang Alena, kadang menyelam mencari Taeyong atau hanya merenung dan bermonolog. Mungkin Johnny benar, Taeyong pergi dengan cahaya biru. Jika matahari sudah terbenam, Ten menanti ostracod phytoplankton, namun mereka pun menghilang. Sebelum tidur mereka menyusun strategi menyelamatkan diri atau minta pertolongan.

Setiap waktu mereka penasaran, apa Hansol dan Jaehyun berhasil ditemukan regu penyelamat.

Ten bertanya-tanya, kenapa Taeyong, Hansol dan Jaehyun tiba-tiba menghilang?

Kenapa mereka pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal?

Kenapa pertolongan tidak kunjung datang?

Kenapa tidak ada helikopter melintas?

Apakah orangtua mereka mencari mereka karena kehilangan kabar? Tapi tak satupun dari mereka yang memberitahu keluarga akan berlibur ke Northeastern Dale Island.

Optimisme mulai menipis.

Apatis.

Ten meneguk air laut. Berusaha menelannya, memaksakan diri, tapi tubuhnya menolak. Perutnya mual, Ten memuntahkan air yang diminumnya.

Mengapa tidak ada hujan?

Manusia bisa bertahan tidak makan selama satu minggu, tapi hanya bertahan tanpa air menahan haus maksimal 3-5 hari. Manusia dapat bertahan hidup sampai tiga bulan bila kelaparan atau persediaan makanan tidak mencukupi. Namun orang sakit infeksi seperti Yuta tidak mampu merubah cara kerja metabolisme tubuh, maka harapan bertahan hidup lebih kecil. Yuta memang mengabaikan kesakitannya meski luka di kakinya belum kunjung sembuh, malah semakin parah. Dan kondisi Johnny dan Ten semakin menurun, mereka khawatir akan kehilangan orientasi. Bergerak namun tak tentu arah, atau muncul halusinasi karena disorientasi.

Optimisme makin menipis.

Apatis.

“Jangan minum air laut Ten!” tegur Johnny.

“Air laut mengandung garam lebih asin dari darah kita. Tubuh kita gak dirancang bisa menyaring kadar garam yang banyak, Ten. Entar kamu malah jadi tambah haus, mempercepat dehidrasi!” jelas Johnny.

Ten menyeka mulutnya, lalu mengecek cangkang kerang hijau hasil tangkapan Ten kemarin saat dia menemukan pulau daratan berupa hutan bakau, mangrove. Kata Yuta kerang hijau mengandung air. Ten menyesal tidak mengambil lebih banyak. Semua kerang sudah habis isinya.

“Sabar…” tambah Johnny sambil berjalan menuju wadah penampungan.

Saat krisis air minum di hari ke empat, hanya ada dua botol soju yang belum mereka sentuh. Saat itulah, Yuta teringat ketika dia membuat teknologi sistem osmosa balik, teknologi pengolahan air payau yang melewati tiga tahap teknik penyaringan molekul destilasi atau penyulingan, filtrasi dan ionisasi. Maka atas instruksi Yuta, Johnny dan Ten membuat teknologi sederhana proses destilasi untuk mendapatkan air bersih atau menghilangkan kadar garam pada air laut dengan proses penguapan. Sederhana saja, beberapa botol bekas soju berisi air laut dijemur di bawah sinar matahari. Setiap bulir uap air yang tertahan, menetes dan mengalir melalui talang plastik botol soda di tengah botol soju, lalu ditampung di wadah penampungan bekas botol mineral. Dengan keterbatasan bahan, ternyata mereka berhasil membuatnya. Tapi proses destilasi ini membutuhkan waktu yang lama. Sangat lama...

Normalnya manusia butuh 1,5 liter air per hari. Sekarang mereka harus berbagi air sebanyak 300 ml. Maka dari itu mereka tidak bisa bergantung pada satu usaha. Setiap menemukan daratan kecil, Johnny dan Ten selalu mencoba menggali tanah berharap mendapatkan air tawar. Mereka membayangkan pada akhirnya akan meminum urine mereka sendiri. Namun Yuta bilang, Ojii-san, kakeknya di Jepang, setiap pagi terbiasa menampung urine sendiri dan setelah gosok gigi dia meminumnya. Eww, that’s gross. Tapi menurut Ojii-san tradisinya itu untuk menjaga kesehatan dan pengobatan. Karena urine mengandung zat antibody. Whatever, that’s still gross as hell...

However, they’re surviving the best way they can.

“Hari ini, biar aku aja yang pergi…” ujar Johnny saat melihat air di wadah penampungan. Johnny membekap kepalanya dengan kaos seperti turban, meraih mask dan snorkel, mengambil ransel. Ten tidak membantah.

Setelah Johnny pergi, Ten berkutat dengan kelapa yang Johnny temukan kemarin. Ten melempar dan membanting kelapa ke dinding karang Alena. Mencakar sabut kelapa dengan jari, pakai giginya. Prehistoric people saja bisa melakukannya, seharusnya dia juga bisa. Namun usahanya gagal.

Matahari semakin tinggi, keringat bercucuran. Ten berhenti, nafasnya tersenggal, jantungnya berpacu cepat. Ten mengecek wadah penampungan, minum sedikit, mengambil sekitar 100 ml, lalu mendekati Yuta, memberi Yuta minum dan mengecek luka Yuta.

“Kamu bilang luka infeksi akan sembuh dengan sendirinya, Ten…”

“Seharusnya… Tapi, masalahnya kita gak punya antiseptik, Yuta. Soju milik Hansol hyung yang berkadar alkohol 20% ABV itu gak bisa digunakan sebagai antiseptik. Kita butuh kadar alkohol lebih tinggi. Lagipula kita gak bisa pakai alkohol untuk luka terbuka…”

'Thanks to Sir Robert Baden-Powell, because everything I do in my life today stems from Scouting.' batin Ten.

“Aku gak bermasalah kalau alkohol bikin luka terasa terbakar…”

“Tapi yang kamu butuhkan bukan sekedar antiseptik, kita butuh antibiotik juga. Dan antibiotik alami yang kita punya cuma teh hijau kemasan ini.” Ten mengambil satu kantong kecil, merobeknya dan memasukkan ke mulut, mengunyahnya lalu dikeluarkan. Kemudian pasta teh itu ditempelkan ke sekeliling luka Yuta. Ten membersihkan lidahnya dari serbuk teh tersisa. Dia mengerenyitkan hidung. Teh hijau benar-benar pahit.

“Aku gak habis pikir kenapa Jaehyun suka menyeduh nok cha…” keluh Ten, sambil mengambil satu lembar kain bekas pakaian untuk dijadikan perban. Ten menarik nafas, menoleh, memandangi tumpukan kelapa.

“Granny bilang minyak kelapa mengandung antioksidan, antibiotik alami. Sayang sekali, kita belum bisa mengupas kelapa kelapa itu. Padahal air kelapa efektif mengganti ion tubuh plus alternatif terbaik air minum destilasi. Benar kata Hansol hyung, kita anak kota yang manja…” Ten duduk di samping Yuta, rasa pahit masih menempel di lidahnya.

“Dipikir-pikir kita cukup cerdas ya…” gumam Yuta.

“Yeah, kita kan mahasiswa jurusan chemical engineering di SNU, universitas terbaik di South Korea! We aren’t stupid, we’re just soo daamnn lazy!”

“Tapi, orang-orang mencap kita kumpulan d0uchebag, dummy…”

Ten menyentuh bibirnya, berpikir. Ten menoleh, alis Yuta mencuat.

“Sebetulnya kalian nice guy. Kamu, Hansol hyung, Taeyong, Jaehyun. Kalian gak pantas disebut d0uchebag. Kalian apes aja ikut tercoreng karena aku dan Johnny. But still, we are not d0uchebag either…” terang Ten.

“People judge others without knowing, without realizing it’s hurting!” Yuta menggaruk beanienya. “Why do people have to judge other people, seriously? Does it make them feel better when they hurt someone? I've never understood...” gerutu Yuta, wajahnya clueless. Ten mengangkat bahu.

“So, do you care, Yuta?”

“Care about what?”

“Care about what other people think. Geez. Why you’re always cracked-out, Yuta? Mong Yuta. Always clueless…”

“Mungkin karena aku sering overthinking…”

Ten manggut-manggut.

“Oh ya, kenapa sih kamu selalu sangkut-pautkan aku dengan Taeyong?”

“Why not? I’m TaeTen shipper, gemes aja. Lagian aku benar kan. Taeyong introvert tsundere ojou, cool, gengsian, malu-malu tapi mau. Terus kamu happy moron little byuntae. Kalian cocok. Apa itu mengganggumu?”

“Not much.”

“Taeyong, apa dia meninggal karena aku, Ten?”

Ten terdiam. Dia menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

“Waktu kita terbawa arus, kita terbanting menimpa karang. Taeyong lebih dulu, dan aku menabraknya. Waktu itu aku masih bisa dengar suaranya.”

“Taeyong tenggelam…” bantah Ten.

“Tapi dia gak akan tenggelam kalau gak pingsan. Mungkin aku yang bikin dia pingsan. I’m so useless, aku gak bisa tolong dia…”

“Kita gak bisa melawan amukan ombak, Yuta. Aku juga terhempas. Johnny menabrakku. Hansol hyung bilang dia juga ingin menolong Taeyong, tapi ada arus balik. Taeyong tenggelam, beban di ranselnya yang menahan dia di dasar. Kamu tahu apa isi ransel Taeyong?”

Yuta menggeleng, air muka nya begitu serius. Mata Ten sendu.

“Soju.”

Alis Yuta bertaut, mulutnya menganga.

“Minuman soda dan air mineral. Seluruh persediaan minum kita...”

Ten melihat botol kaca dan botol plastik yang berjejer dan sebagian menjadi teknologi destilasi.

“Beberapa botol pecah dan rusak, namun bebannya tetap saja berat.”

Yuta berpikir. “Tapi itu menyalahi hukum archimedes. Dengan massa air lautan berbanding tubuh Taeyong, dia seharusnya terapung, gak akan tenggelam!?” ujar Yuta, kemudian meragu, memutar bola matanya, mengingat.

“Lalu kenapa batu kecil tenggelam?” tanya Ten.

“Jadi kamu tahu Taeyong sudah meninggal?” Yuta mengalihkan pembicaraan.

Ten terhenyak.

“Kenapa kamu marah pada Johnny? Menuduh dia bunuh Taeyong?”

Ten menghela nafas, berat, terasa berat.

“Aku benci cara Johnny. Lakuin itu saat aku pergi… Aku kecewa… Taeyong belum mati! Dia masih hidup... My heart tells me!”

Yuta menunduk. Ten memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya.

“Sorry. Kamu udah tahu tentang adik Johnny?”

“No.” suara Ten terdengar serak.

“Di antara aku, Jaehyun, Taeyong, Hansol. Kamu lebih butuh Johnny.”

“Aku butuh kalian semua.” tukas Ten.

Ten melirik jam tangan Casio G-shock yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam tangan ini begitu tangguh, memang dirancang resisten terhadap cuaca ekstrim dan tahan sampai kedalaman air 200 meter. Waktu menunjukan pukul 17.18, dan matahari masih menunjukan keperkasaannya.

Ten mendongak, memanjangkan lehernya, mencoba mendeteksi keberadaan Johnny. Pasti Johnny masih berkeliling, beroperasi. Ten ingin menyambangi belakang Alena. Tiba-tiba Ten melihat tanda S.O.S terlepas di satu sisi. Ten berlari, berenang, menyelam untuk memungut batu kecil dan menyimpannya ke saku boxer, kemudian berenang lagi menuju gerbang Alena.

Ten memanjati karang sisi kiri, mencoba menggapai tambang yang bergerak liar diterpa angin laut. Akhirnya dapat. Ten menggigit salah satu tambang. Dia merogoh saku boxer mengambil batu, mengikat dengan tambang. Dia mencoba melempar tambang ke sisi karang yang lain. Malang batu pemberat justru terpelanting jatuh. Ten mencoba dari awal, dan kali ini berhasil. Dia bergegas turun. Berenang sebentar dan naik ke karang sisi lainnya. Meraih tambang dan mencari sisi karang yang runcing dan mengikatnya. Berkali kali hingga dirasa cukup kuat. Lalu dia turun sedikit dan mencondongkan tubuhnya untuk menangkap tambang bagian bawah yang melayang di udara. Ten memindahkan pegangan. Lalu tiba-tiba tubuhnya oleng. Ten terjatuh dari ketinggian 5 meter, menghempas ke laut. Dalam beberapa detik Ten kembali ke permukaan, mengambil nafas, dan langsung menaiki karang, melanjutkan aktivitasnya.

Ten melihat gerakan dari radius puluhan meter.

‘Johnny...’ batin Ten, lalu loncat turun seperti saat terjatuh tadi untuk efisiensi. Ten melambaikan tangan, tapi Johnny tak melihatnya.

Ten kembali ke pantai, mendekati wadah penampungan. Johnny sudah sampai di gerbang Alena. Ten menyiapkan air minum. Setelah Johnny sampai, Johnny langsung meneguk air minum, melepas ransel dan penutup kepala lalu merebahkan tubuhnya. Dada Johnny sesak, dia terbatuk-batuk, lidahnya kelu.

“Guys, kalian tahu gak berapa jumlah kepulauan Dale?” tanya Johnny setelah beberapa lama. Ten angkat bahu, menoleh pada Yuta. Yuta juga angkat bahu.

“Aku gak sempat googling. Kenapa?” tanya Ten.

“Kepulauan Dale terdiri dari 268 pulau, guys. Termasuk pulau berupa pasir dan terumbu karang yang bervegetasi dan yang gak. Tapi cuma 6 pulau yang berpenghuni, salah satunya Northeastern Dale Island yang dijadikan pusat pemerintahan. Pulau Alena dan ratusan pulau lainnya termasuk zona konservasi yang dijadikan taman nasional laut Dale. Hanya segelintir orang yang pernah mengunjungi Alena, agent tour yang punya izin juga terbatas. Intinya, kita bersaing dengan ratusan pulau untuk dijadikan prioritas pencarian tim SAR.”

“Kamu tahu darimana, John?”

“Hansol hyung, waktu dia merayuku agar kita liburan kesini. Disamping mengiming-iming akan dikenalkan cewek Busan. Dia memberitahuku. I know, Hansol gak perlu merayu kalian buat liburan kesini, jadi kalian gak diberi tahu...” jelas Johnny sambil duduk.

“Kalau kita terus beroperasi, memperluas area jelajah kita, Ten. Mungkin kita akan terus menerus menemukan pulau gak berpenghuni. Kalian ingat gak, berapa lama perjalanan dari Northeastern Dale Island ke Alena. Argh, sialan, aku gak ingat gara-gara mabuk laut!” Yuta angkat bahu lagi.

“Tiga jam!” sahut Ten.

“Okay. Tiga jam pakai speedboat...” ulang Johnny. "Kalau misalnya kecepatan speedboat 50 km per jam, maka jarak Northeastern Dale ke Alena...” Johnny menggores pasir dengan telunjuknya.

“150 kilometer?” sahut Yuta. Johnny terkesan. Oh please Johnny itu hanya perkalian sederhana.

“Kecepatan maksimal manusia berenang dua meter per detik. Dengan kondisi kita, anggap kita menempuh satu meter per detik. 150 kilometer, 150.000 meter, anggap 41 jam. 41 jam berenang? OMFG...”

“Tapi rekor perenang laut yang nyebrang Little Cayman ke Grand Cayman sejauh 108 km, habiskan waktu 41 jam tanpa henti.” Ujar Yuta.

“Sepanjang perjalanan ke Alena, apa kita melewati beberapa pulau?”

Ten mencoba mengingat. “Sorry, aku cuma tidur, ngemil, ngobrol...”

Johnny menarik nafas. “Aku terus kepikiran, hari ini aku nemu pulau baru. Mikir gimana kalau kita terus berenang, istirahat secara estafet di pulau-pulau kecil sampai Northeastern Dale Island. Jadi kita gak terus menerus terperangkap disini, nungguin bantuan datang.” Johnny menggosok hidungnya, melirik wadah penampungan. “Waktu kamu kehausan tadi pagi, Ten. Aku jadi kepikiran. Kita harus temukan cara. Aku pikir, berenang tanpa henti selama 60 jam lebih baik daripada membusuk disini?”

“Tapi Yuta, John?”

Hati Johnny mencelos, dia melihat luka kaki Yuta yang dibalut kaos.

“Kamu...” Johnny ingin bertanya apa Yuta mampu berenang, pertanyaan bodoh. Johnny mengurungkan niatnya. Yuta membuang muka.

“Aku cuma penghambat kalian.” Ten dan Johnny serentak membantah.

“Kalian pergi aja. Aku akan nunggu kalian disini, kalau kalian sudah sampai Dale, tolong secepatnya jemput aku...” gumam Yuta. Ten menghampiri Yuta, lalu merangkulnya. Johnny sangat menyesal, turut merangkul Yuta.

“Kita cari cara lain...” ucap Johnny. “Ah ya!” Johnny beranjak dan membongkar ranselnya. Mengeluarkan beberapa benda dari ransel.

“Telur penyu...” Johnny menaruh beberapa telur ke atas kaos bekas penutup kepalanya. “As far as I know, telur penyu sumber protein tinggi...”

“Kau lihat penyu?” tanya Ten, memperhatikan Johnny mencuci telur itu.

Johnny menggeleng. “Kebetulan aja, pas ngegali lubang cari sumber air.”

“Penyu bertelur dalam rentang waktu lama...” ujar Ten.

“Ada ratusan telur disana, aku ambil enam doang." Sahut Johnny.

“Ya, tapi dari ratusan butir telur paling belasan tukik yang berhasil ke laut dan tumbuh dewasa...”

Saat Ten berusia 7 tahun, Ten pernah ke stasiun penetasan telur penyu hijau, bahkan turut melepas tukik ke laut. Ten sempat terobsesi dengan penyu setelah menonton animasi Finding Nemo. Ten kagum dengan makhluk yang sudah ada sejak jaman purba dan bisa hidup sampai ratusan tahun itu. Populasi penyu semakin langka, beberapa spesies terancam punah dan itu berpengaruh terhadap ekosistem laut.

Johnny menyobek cangkang lunak telur, lalu menyedot isinya. Yuta melakukan hal yang sama. Johnny memberi satu butir pada Ten, dia menolak.

 “Oh, jadi kamu lebih pilih jadi duta penyu daripada bertahan hidup?”

“Kita masih bisa makan ikan atau kerang hijau...”

Johnny melempar telur yang sedang dia nikmati tepat ke kaki Ten. Isinya berhamburan mengotori kaki. Ten terkesiap mundur, diam, lalu membersihkan kakinya ke tepi pantai. Johnny mendesah sambil berjalan ke wadah penampungan, tiba-tiba dia menendang teknologi sederhana tersebut.

“JOHNNY!!” teriak Ten.

“WHAT?” sahut Johnny. Nafasnya cepat, dadanya naik turun. Ten memundurkan wajahnya, dia tidak percaya dengan tindakan Johnny.

“What are you ing doing? Are you ing kidding me!!”

Johnny mengerang, lalu memungut salah satu telur penyu, menghampiri Ten, menyodorkan telur tepat di depan wajah Ten.

“EAT THIS!” bentak Johnny. Ten membalas tatapan Johnny.

“Makan, Ten... Johnny sudah susah payah bawa telur itu untuk kita...” ucap Yuta. Ten melirik Yuta, melihat wajahnya. Ten meraih telur itu. Menyobek cangkang, menyedot isinya hingga habis, membuang cangkangnya.

“Happy?” tanya Ten sarkastik, menggeser tubuh Johnny, dan memperbaiki wadah penampungan. Bibir Ten terkatup rapat, rahangnya mengeras kuat, Ten menahan emosi, urat dahinya berdenyut. Johnny mengatur nafas, diam tak bergeming. Ten memijat pangkal hidungnya.

“Sorry Yuta...” gumam Ten.

Alena semakin gelap, karang berkilau ditimpa cahaya sinar bulan. Hari ini Ten absen pergi ke belakang karang. Ten dan Johnny saling membelakangi. Ten sibuk mengupas kelapa dengan batu runcing. Johnny merawat luka Yuta, mengganti ramuan teh hijau dan perbannya. Yuta turut membisu. Keadaan sekitar yang gelap menyembunyikan ekspresi mereka.

Sakit, pedih, perih, lelah fisik dan psikis, stres, frustasi, bersatu padu.

*****

Nat melihat pergelangan tangan Ten, masih kentara jelas bekas bentuk jam tangan yang lebih terang dibanding kulit lainnya yang terbakar matahari. Nat menatap wajah Ten yang memejamkan mata dan sedang menceritakan kisahnya.

Alis Nat bertaut, dia bingung. Ada yang salah dengan Ten. Entah apa, tapi Nat tahu ada kejanggalan. Ten meloncati fase. Padahal Nat tidak menerapkan metode after bridge. Apa alam bawah sadar Ten tidak mengijinkan Nat membongkar memorinya?

Jantung Nat berdebar kencang melihat bibir Ten bergerak, berbicara. Nat memejamkan mata, menghela nafas. Dia ingat perkataan ibunya.

'Ingat, posisikan dirimu di posisi oranglain, perlakukan mereka seperti kamu ingin diperlakukan oranglain.'

Doyoung.

Nat berjuang agar dia kembali berkonsentrasi. Menajamkan pendengarannya.

“Saat aku terbangun...” ucap Ten.

*****

Saat Ten terbangun, tepat di hadapan matanya terdapat dua butir kelapa, bagian atasnya sudah terbuka. Ten memincingkan mata, melawan silau matahari. Dia lihat jam tangan. Lalu terperanjat.

‘Jam 9 pagi!’

Yuta sedang mengangkat batok kelapa dan meneguk airnya. Yuta mengecap bibirnya, lalu menyadari Ten sudah terbangun. Yuta tersenyum.

“Kayaknya kita gak perlu minum urine kita sendiri...” ujarnya.

Ten melihat ke tepi pantai, Johnny sedang mencuci telapak tangannya. Johnny berbalik, dia tersenyum.

“Kenapa kalian gak bangunin aku?” tanya Ten. Johnny memungut sesuatu, mendekati Ten.

“Air kelapa nya lebih menyegarkan dibanding di Northeastern Dale Island.” Ucap Johnny, dia menjulurkan tangan memberikan cangkang kerang hijau. Ten menerimanya, bingung.

“Cungkil daging kelapa pakai cangkang kerang...”

Ten minum air kelapa langsung dari batoknya. Segala dahaga hilang, air itu mengalir dingin memenuhi kerongkongan dan menyeruak di dada. Segar.

Ten mencoba mencukil daging kelapa dari lubang kecil. Johnny tergelak, dia merebut kelapa tersebut lalu memberi contoh. Cangkang kerang hijau berhasil mengeruk daging kelapa, Johnny menyuapi Ten.

Enak...

“Ahh, sisakan daging kelapanya, aku mau buat minyak kelapa untuk Yuta.”

“Bikin minyak kelapa tanpa pemanasan?” Johnny heran.

“Yap, menumbuk dagingnya, diperas terus dimalamkan.”

“Gak perlu Ten!” tukas Yuta. “Teh hijau ini cukup mujarab, aku lebih suka memakan daging kelapa daripada dipakai melumasi luka...”

Ten menghabiskan seluruh air kelapa. Bergegas mengecek luka Yuta.

“Johnny sudah ganti ramuan dan perbannya tadi pagi...” ucap Yuta, dia menggerakkan jari kaki. Ten memandang takjub.

“Yuta... Aku janji winter tahun ini aku traktir kamu ice sleeding di Supia Snow Gwangjin.”

Mata Yuta berbinar. “Tapi aku suka summer...” sahut Yuta.

“Ajak aku juga gak?” tanya Johnny sibuk makan daging kelapa. Ten menoleh.

“Kapan kamu buka kelapa-kelapa itu, John? Semalaman ya?”

“Tadi pagi!”

“Aku mau ambil jaring di ‘parutan keju’!” seru Ten, sambil pakai life jacket. Namun matanya tertahan melihat jaring tergeletak di pasir.

“Johnny sudah mengambilnya. Gak ada satupun ikan yang terjerat.”

Ten bengong. Kenapa kuantitasnya makin sedikit dan sekarang tidak ada sama sekali. “Terus kenapa jaringnya kau bawa kemari?”

Johnny menggaruk kepalanya. “Aku ingin buktikan pada kalian...”

“Kalau gitu aku mau ke pulau hutan mangrove ambil kerang hijau...”

Johnny berhenti mengeruk kelapa, lalu memakai life jacket.

“Aku juga mau ambil kelapa lagi. Sambil kembaliin telur penyu.”

Ten terpana, berdecak. Johnny mengatur makanan dan kelapa yang sudah dikupas di dekat Yuta. Lalu memberikan mask dan snorkel pada Ten.

“Kita kembali sebelum matahari tergelincir, Yuta!” Ujar Johnny.

“Sebelum kita berangkat, ada yang kamu butuh, Yuta?” tanya Ten sambil memakai ransel.

“Aku butuh kalian, jadi kalian harus kembali...” jawab Yuta.

Ten dan Johnny berangkat lalu berpencar berlawanan arah.

*****

Setelah mengambil kerang hijau secukupnya dari akar tanaman api-api. Ten berenang lagi, dia ingin memperluas area jelajahnya.

‘Kita terus berenang, istirahat secara estafet di pulau-pulau kecil sampai Northeastern Dale Island.’ Bagaimana jika ide Johnny direalisasikan?

Ten berenang, sesekali menengok ke belakang. Beting karang Alena sudah menghilang dari pandangan. Ten terdiam, meneguhkan hatinya. Dia berenang lagi melewati daratan berupa pasir, sampai akhirnya menemukan daratan kecil berupa tumpukan kerang dan terumbu karang. Ten ingat perkataan Hansol kalau dia akan menunjukan daratan kecil bergaram yang dipenuhi cangkang kerang dan pecahan terumbu karang.

Apa tempat ini yang dimaksud? Tapi lokasinya terbilang jauh dari Alena. Johnny bilang kepulauan Dale terdiri dari 268 pulau termasuk daratan pasir dan terumbu karang. Mungkin banyak pulau seperti ini.

Ten berhati-hati berjalan berlabuh di pulau mini tersebut. Kadar garam di tempat itu membuat luka di tubuh Ten berdenyut. Ten melihat sekitar. Tak ada apapun disana hanya cangkang kerang dan terumbu karang mati. Ten termenung, dia ingat Jaehyun, Hansol dan Taeyong. Ten istirahat sejenak, mengambil dompet milik Taeyong dari ranselnya, lalu menatap foto Taeyong. Ten mengeluarkan kedua foto, membaca tulisan di belakangnya.

I'll always choose you over everyone

‘Where are you, Taeyong? I miss you so damn much. Apa maksud tulisan ini, Taeyong? People having more than me! I’m not worthy. Aishh, kenapa aku kesal baru mengetahuinya sekarang? Kenapa sih?’

Lalu tiba-tiba Ten mendengar samar bunyi benda menubruk sesuatu, secara berulang-ulang. Dia merapikan foto ke dalam dompet lalu dimasukan ke ransel. Ten berjalan menuju asal suara.

Ten terperosok, daratan yang dipijaknya rapuh, tidak sepadat bagian lainnya. Ten mencari pegangan tapi gagal. Tubuhnya tenggelam beberapa meter namun segera kembali terapung ke permukaan. Ten berada di bawah pulau kecil itu yang kini menjadi atap. Suara gedebuk itu terdengar makin jelas. Ten melongok, menajamkan mata. Ten terperangah, tidak percaya dengan penglihatannya. Ten mendekati, memandangi dengan seksama temuannya.

Harta karun.

Senyum Ten merekah lebar. Dia sendiri tidak menyangka masih dapat tersenyum. Diantara serbuan kesialan, masih ada hal baik menimpanya.

Dia menemukan harta karun berupa sebuah perahu kecil, tepatnya sebuah mini rotomolding plastik!!

‘Kenapa ada perahu plastik disini? Kenapa ada lubang di pulau ini?’

Banyak pertanyaan berputar di kepala Ten.

Ten menyeret perahu itu, mengerahkan tenaga mengangkat perahu plastik dinaikkan ke permukaan pulau. Perahu itu cukup berat, sekitar 50 kg. Alih-alih berhasil malah terjatuh dan menimpa Ten. Kepala Ten terantuk lambung perahu, Ten tenggelam lagi, beberapa liter air merangsek tertelan. Ten melongo.

Serta merta Ten menangis sentimentil.

Ini hadiah Tuhan.

Air di tempat itu rasanya tawar, tidak asin seperti air laut!!

Ten sering membayangkan salah satu dari mereka akan mengalami heat karena darurat air minum ditambah kondisi dan suhu panas di Alena. Ten merunduk, mencicipi lagi, meyakinkan indera perasanya.

BENAR! TAWAR!

Ten membuka ransel lalu mengisi beberapa botol minuman kosong. Ten melihat perahu, dia punya ide. Ten berhati-hati mengangkat perahu plastik dari lubang. Setelah berhasil, Ten memanjat ke permukaan pulau. Menumpahkan seluruh isi botol mineral ke dalam perahu, memastikan tak ada indikasi kebocoran pada perahu, kemudian turun mengambil air lagi, berkali kali hingga perahu digenangi air. Perlahan Ten mendorong perahu plastik tersebut, beberapa air tumpah meluap.

Perjalanannya cukup jauh.

*****

Sampai Alena, Yuta masih tertidur. Ten menarik lambung perahu, mendorongnya sampai ke pantai Alena. Aktivitas Ten tidak membangunkan Yuta. Ten mengambil beberapa botol minuman kosong dan memasukkan air di perahu ke dalam botol. Dia meneguknya sedikit lalu menghampiri Yuta.

“Yuta…”

Ten menepuk bahu Yuta. Namun dia tetap tertidur. Ten berkerenyit, lalu menyentuh pipi Yuta. Ten tersentak, dia menyentuh dahi Yuta, lehernya. Tubuh Yuta panas sekali. Ten membangunkan Yuta, menggerakan bahunya. Yuta diam saja.

Nafas Ten mulai berpacu, dia panik. Ten memungut kain, membersihkan dari pasir. Membasuh kain tersebut dengan air lalu ditempelkan ke dahi Yuta. Agar tidak jatuh, kain tersebut disusupkan ke dalam beanie yang dipakai Yuta.

Ten melihat kelapa yang disediakan untuk Yuta, sudah tandas airnya. Normalnya, tubuh akan beradaptasi dan menyesuaikan saat kekurangan makanan, tubuh secara otomatis akan memperlambat sistem pencernaan dan menghemat karbohidrat. Tapi itu tidak berlaku bagi Yuta yang sedang sakit dan infeksi. Ten mulai putus asa, dia menyesal. Seharusnya saat Yuta bilang ‘aku butuh kalian’, salah satu dari mereka menemaninya di Alena.

“Yuta…”

Ten menggoyang-goyangkan bahu Yuta. Akhirnya Yuta melenguh membuka matanya. Ten kaget karena mata Yuta agak merah.

“Minum...”

Ten membantu Yuta meminum air. Ten membuka ransel lalu membuka kerang hijau, mencungkil dagingnya dan menyuapi Yuta. Bau anyir tercium. Yuta menolak karena tidak tahan, mengeluarkan yang sudah ada di mulutnya.

Ten membuka kerang lagi memasukkan ke mulut Yuta dengan terpaksa. Yuta berusaha menelannya, tapi tetap tak bisa. Ten memeriksa kompresan di dahi Yuta. Bahkan kainnya terasa hangat. Ten mencungkil daging kelapa, Yuta mau mengunyahnya.  

“Yuta...” panggil Ten.

Yuta menutup matanya, dia melenguh. “Hmm?”

“Apa yang kamu rasain sekarang?”

“Nafasku sesak Ten...” bisik Yuta. Ten melepas life jacket yang selalu dipakai Yuta. Mengendurkan tali boxernya.

“Kepalaku sakit kayak ditusuk-tusuk. Dada kayak terbakar...”

Ten berlari ke wadah penampungan, mengambil semua air yang dihasilkan dari proses destilasi. Menyuruh Yuta menghabiskannya. Ten membuka perban, luka Yuta masih infeksi. Ten membasuh luka lalu membuka kantong teh hijau, mencampur dengan air dan dioleskan ke sekeliling luka Yuta. Mengganti kompresan di dahi Yuta lagi.

Ten mulai khawatir. Johnny belum pulang. Sudah pukul 3 sore. Ten memijat bahu Yuta. Mulut Yuta terbuka, nafasnya cepat dan berat. Tubuh Yuta panas tapi dia tidak berkeringat

‘Apa ini heat ? Hyperthermia?’

Yuta tertidur lagi, Ten membangunkannya untuk minum. Lalu membasahi tubuh Yuta. Tangan kanan Ten memijat bahu Yuta, tangan kirinya mengipasi Yuta.

“Aku nemu pulau terumbu karang dengan kolam air tawar di dalamnya. Mungkin sama kayak proses destilasi. Entahlah, kamu yang ngerti sistem osmosa balik...”

Ten berbalik cepat, dia merasakan kehadiran seseorang. Ah, Johnny. Kelegaan menyeruak. Ten berdiri. Johnny mendekati mereka, mata Johnny terpaku pada perahu plastik. Johnny menaruh 8 butir kelapa di pasir. Lalu menghampiri perahu plastik berwarna biru tersebut, mengusapnya senti demi senti. Johnny memandang kebingungan. Johnny membaca tulisan di body perahu. Jiangsu Linhui Plastic Products Co., Ltd.

“Air di perahu itu tawar, John.” Ucap Ten

Johnny menyendok air dengan telapak tangan. Kemudian dia tersenyum dan langsung membungkuk minum sepuasnya langsung dari perahu. Johnny mengeluarkan botol botol minuman kosong dari tasnya. Ten mendekat dan membantu Johnny mengisi botol botol tersebut.

“Kayak perahu di tempat pemancingan. Nemu dimana?” tanya Johnny.

“Itu gak penting! Perahu mini ini untuk kapasitas dua sampai tiga orang. Lambung perahu buat install motor listrik. tapi, jangankan motor listrik, dayung aja gak ada! Kita bisa mengangkut Yuta terus bergantian naik, mendorong perahu dengan berenang.” papar Ten. Alis Johnny mencuat, takjub.

“Yuta demam tinggi...” desis Ten.

Johnny terkesiap, jatuh terduduk. Melihat Yuta yang sedang tidur.

“Estimasi jarak tempuh kita 60 jam kan?”

“Tergantung kecepatan kita berenang. Kalau memang tenaga maksimal manusia berenang dua meter perdetik, kita bisa pangkas setengahnya.” Jawab Ten. “Yuta harus segera ditangani medis, John...” tegas Ten.

“Masalahnya adalah rute. Kita gak tahu arah. Kita bisa tersesat, terombang ambing di tengah lautan.” timpal Johnny.

“Tapi terserahlah, kalo memang nasib kita berakhir kayak gini. Aku lebih baik mati berjuang daripada terus bertahan di Alena menunggu mati. Yuta pasti bisa bertahan, dia pria bebal dari Osaka!” tambah Johnny sambil mendekati Yuta dan meraba dahinya.

“Kita berangkat sekarang. Jangan ulur waktu lagi. Selama ini kita butuh benda yang bisa mengangkut Yuta. Dan sekarang benda itu di depan mata.”

Ten setuju, lalu menyusuri pantai, mengambil barang yang sekiranya akan bermanfaat. Menjejalkan ke dalam ransel dan ditaruh di perahu.

“Bawa secukupnya, buang yang gak perlu.” Ujar Johnny.

Ten membongkar isi ransel dan hanya membawa perlengkapan penting. Johnny membuka kaos yang dipakainya. Ten melihat punggung Johnny. Tan-tattoo hasil karya Ten masih sedikit terlihat. Entah mengapa melihatnya membuat Ten sedih. Johnny menoleh sambil memakai kaos ganti. Perlengkapan mereka sudah selesai dipacking, tidak lupa turut memboyong jaring yang diselamatkan Jaehyun.

“Yuta… apa yang kau rasakan?”

“Hm?”

“Apa yang kamu rasakan? Masih sesak? Pusing? Bagaimana kakimu?”

“I’m fine..” suara Yuta lemah. Bocah Osaka berkelakuan ajaib itu seolah menghilang terseret tsunami, yang ada dihadapan mereka seperti orang lain yang terperangkap di jasad Nakamoto Yuta.

“Sekarang kita berangkat ke Northeastern Dale pakai perahu.”

“Hm?”

Ten mengulang perkataannya.

“Ok...” jawab Yuta. Ten menyentuh wajah Yuta.

“John…” Ten ketakutan. Demamnya semakin tinggi. Johnny memeriksa. Lalu menaruh jari di arteri leher, membandingkan dengan dirinya.

“Denyutnya cepat sekali..” gumam Johnny. Ten menarik kain kompres dan membasahinya lagi. Mencekoki Yuta minum.

Johnny memasukan air ke dalam perahu untuk merendam tubuh Yuta. Lalu menyeret perahu ke tepian pantai. Memakai life jacket dan menaruh mask di kepalanya. Ten turut melakukan hal yang sama, menjejalkan kamera ke ransel, memakaikan life jacket pada Yuta. Johnny sudah menaruh perahu di air setinggi perutnya. Lalu membantu Ten mengangkat tubuh Yuta. Johnny membopong Yuta, berhati hati membaringkan di perahu. Ten berlari ke pantai, mengedarkan pandangan, membuat pesan di atas pasir.

‘Hansol, we’re going to Dale’

Lalu menaruh dua botol soju disana.

'Angin, ombak, tolong bantu aku, mohon jangan hapus pesan ini...' pinta Ten.

Ten menyusul Johnny yang sudah mendorong perahu. Mereka mendongak sebentar melihat tanda S.O.S di gerbang Alena. Ten membalikkan badan.

“Bye Alena…”

Ten dan Johnny berenang sambil mendorong perahu ke arah mereka tiba. Mereka hanya mengandalkan intuisi, tanpa tahu rute pasti. Matahari sudah naik tinggi, Ten membenahi posisi ransel agar menutupi wajah Yuta, melindunginya dari silau sinar matahari.

Jaehyun...

Hansol...

Taeyong...

I'll always miss you, guys!

I'll never forget you, for the rest of my life...

NEVER!

*****

*****

Fyi, mini rotomolding plastik ^^

CLUELESS YUTA-kun :*

JohnTen, fighting!!!!

Tinggal satu dua chapter lagi...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kurodya34-7 #1
Chapter 12: Kak, entah kenapa baca ff ini aku berasa kena gangguan psikologis. Pikiranku kemana-mana, intinya baper parah.
Kenapa sih kak bikin ff harus sekeren dan seberasa real ini?
Keren banget.
blacklabel1127 #2
Chapter 12: Plot nya bener bener keren.ini pertama kalinya aku baca ff yg cast nya smrookies,thanks to you authornim,ada banyak ilmu psikologi yg aku dapat (meskipun belum tentu aku ingat semuanya XD)



Maafkan komen recehku ini /ugly sobbing/
clarajung #3
it's a freaking good story! I love it! like seriously, the way you describe the characters, and the plot, that's amazing! suka banget sama Ten disini <3 and love TaeTen:3
lavenderswan #4
Chapter 1: TEN! TEN! TEN!
Can't stop thinking of him
Liufanelf #5
Chapter 12: such wonderfull story ever TvT i love u so much author-nim, ff mu byk ilmu ilmu baru buat saya tentang dunia psikologi, dan lain sebagainya
ff ini keren,feelnya berasa dan cara kamu describe suasana juga pas



ah,sama sepertimu saya juga mencintai the rookies
esp hansol,ah honey walau eksistensinya gak byk dia sukses bikin terpesona :*