CHAPTER 9

CANDY JELLY LOVE

CHAPTER 9

 

Sekolah. Inilah tempat dimana murid – murid berada hampir setiap hari. Aku menunggu kapankah weekend datang. Sekarang hari Rabu. Masih 3 hari lagi. Aku mengetuk – ngetuk pulpenku ke meja. Aku sedikit bosan dengan matematika. Aku tidak terlalu bisa matematika atau mungkin sama sekali tidak bisa ilmu pasti ini. Seperti musuh saja dan ingin aku hindari. Aku melirik ke Jinyoung yang ada di samping kiriku, dia terlihat bisa. Aku berharap dia tidak cuma “terlihat bisa”. Yein? Jangan tanyakan dia. Dia melahap pelajaran berhitung ini seperti snack keripik kentang. “Bel.. cepatlah bel..” aku terus bergumam di dalam hati. Semenit kemudian permintaanku terkabul. Bel berbunyi.

“Fiuh.. akhirnya. Ayo keluar bersama – sama.” Aku mengajak Jinyoung.

“Maaf, aku ada urusan. Nanti saja ya.” Jinyoung membereskan bukunya dan langsung buru – buru keluar.

Kemana dia meninggalkan aku lagi. Aku sedang tidak mood bergabung dengan Yein dan Sujeong. Mereka mengajakku tadi. Aku putuskan untuk duduk di lapangan basket dan menonton beberapa anak sedang bermain basket. Aku sempat merasa ada seseorang sedang duduk di sampingku; tapi aku tak peduli sampai ada suara menyapaku.

“Hey.”

Aku melihat pemilik suara itu.

“Hey Kei. Aku tak sadar kau di sini juga.”

“Iya. Tidak apa – apa jika aku bergabung denganmu.”

“Tidak masalah.”

Kei mendekat ke arahku. Aku sedikit grogi. Jujur.

“Kau suka basket?” aku bertanya.

“Tidak juga. Hanya sedikit.” Dia menjawab.

“Aku tidak bisa main basket lho. Aku bisanya sepakbola.”

Aduh. Siapa yang bertanya.

“Iya aku tahu. Kamu kan sering latihan.”

“Kau pernah melihatku latihan?” aku terkejut.

“Pernah. Waktu itu. Kamu keren.” Dia tersenyum.

Ouch.. senyumnya. “Terima kasih.”

Kami terdiam sejenak. Kami terlihat kaku. Karena tidak begitu kenal. Tidak seperti ketika aku bersama Yein.

“Kamu sendirian? Dimana temanmu itu?” aku kembali memulai pembicaraan.

“Dia sedang sakit. Makanya aku kesepian.”

“Ah.. semoga dia cepat sembuh. Bolehkah aku meminta ID Kakaotalk-mu? Atau SNS-mu atau nomor ponselmu.”

“Hehe.. banyak sekali yang kamu minta. Sini ponselmu.”

Aku menyodorkan ponselku ke Kei. Dia mengetik semuanya di sebuah note.

“Selasai. Nih.” Dia memberi ponselku kembali.

“Terima kasih ya.” Aku tersenyum.

Bel masuk berbunyi. Anak – anak yang bermain basket tadi berhenti. Aku dan Kei berpisah dan masuk ke kelas kami masing – masing. Ketika aku berjalan menuju ke kelas aku mendapati Jinyoung berbicara dengan seorang siswi. Aku tak kenal dia. Mungkin adik kelas kami. Aku tahu sekarang kenapa Jinyoung selalu menolak bersamaku ketika istirahat.

 

 

Aku duduk di depan mini market 24 jam. Aku menunggu seseorang. Aku telah menghabiskan mie instanku selama menunggu.

“Hello ma bro...” itulah sapaan yang dia lontarkan.

“Duduk.” Aku langsung menyuruhnya duduk.

“Ada apa ini? Tumben kau di sini.”

“Aku cuma mau mengobrol saja.”

“Sebentar, aku mau membeli minum dulu.”

Jinyoung kembali berdiri dan masuk ke mini market. Tak beberapa lama dia kembali dengan sekaleng cola.

“Ayo mengobrol.”

Cess..” bunyi dari kaleng cola yang iya buka.

“Siapa siswi yang bersamamu tadi?” aku langsung melontarkan tanya.

“Yang mana?” Jinyoung pura – pura bingung.

“Ey.. kau tertangkap basah tadi. Aku melihatmu ketika aku mau kembali ke kelas.”

“Ah. Itu tetanggaku.”

“Bohong. Ayolah, jangan ada yang ditutup – tutupi.”

Dia menghela nafas. “Baiklah. Dia gadis yang aku suka.” Akhirnya dia mengaku.

“Nama? Kelas mana? Sudahkah kalian resmi berhubungan?”

“Wow.. kau membredelku dengan pertanyaan. Kau sudah seperti penuntut umum. Btw, kau cocok masuk sekolah hukum.”

“Argghh.. jawablah. Tolong.”

Dia tersenyum . “Terpaksa aku beberkan. Namanya Lee Mijoo. Dia kelas 1. Dan dia bukan eh.. belum pacarku. Kau doakan saja supaya kami jadian.”

“Nah begitu kan enak kalau kau jujur.”

“Yeah..” Jinyoung hanya menyeringai.

Matahari sore dan angin dingin menemani kami sore itu. Entah kenapa kami betah berada di luar walau udaranya cukup menusuk.

“Bagaimana dengan kau dan Kei?” Jinyoung balik bertanya.

“Sama denganmu. Doakan saja. Aku sudah dapat nomor teleponnya.”

“Baguslah. Semoga kau juga berhasil. Kita harus berhasil. Kita kan sahabat. Aku bahagia, kau juga bahagia.”

Kami berdua tersenyum.

“Ma bro..” dia menunjuk jari telunjuknya ke arahku

“Ma bro..” aku membalas perkataan Jinyoung.

 

Malam hari aku pergi ke perpustakaan umum. Yein mengajakku belajar bersama. Yang pasti dia bisa mengajarkanku apa yang aku tidak bisa. Ketika aku tiba, Yein sudah duduk. Dia memakai sweater merah bergambar manusia salju di depannya. Dia sedang membaca sebuah buku. Aku menaruh ranselku di atas meja dan menarik kursi. Ketika akan duduk, Yein menegurku.

“Ambil buku sana. Kau mau belajar apa?”

Aku tak menjawab dan langsung pergi ke rak – rak buku yang berjejer tepat di belakang Yein. Aku melihat – lihat beberapa judul. Kebanyakan literatur asing yang diterjemahkan. Lalu aku berjalan ke rak yang lain. Aku menemukan buku matematika. Entah aku dirasuki setan apa sehingga aku mengambil buku itu. Aku juga mengambil buku sejarah tentang perang dunia.

“Ini dia.” Aku meletakkan buku – buku itu di atas meja.

Yein melirik ke arah buku itu. Dia membaca judul – judulnya.

“Matematika? Really?” dia mengolokku.

“Yeah, ajarkan aku. Setidaknya aku harus bisa walau Cuma sedikit.”

Kemudian Yein memberikan intruksi untuk duduk di sampingnya. Aku bergerak mendekat dan duduk di sebelahnya. Seperti sedang diajari seorang tutor. Dia membuka halaman pertama.

“Oh ya, apa yang mau aku ajarkan?”

“Hmm.. apa saja.” Aku menjawab.

Lalu ia membuka halaman 23. Dia mulai menjelaskan bla bla bla. Aku Cuma mengangguk. Dia menggoreskan rumus – rumus di sebuah kertas. Aku melihatnya. Mendengarkan. Dan mencoba memahami apa arti dari rumus dan angka – angka ini. Ada Sin, Cos, Tan. Apalah itu pokoknya. Tapi Yein dengan sabar menjelaskan dan mengajariku. Dia tekun.

“Kau mengerti?” dia bertanya.

“Ya... sedikit.” Aku menjawab singkat.

“Coba kau kerjakan ini.” Dia menunjuk sebuah soal.

Aku membaca soal itu dan tampak bingung. Yein rupanya menangkap air wajahku yang kebingungan.

“Soal ini, pakai rumus ini.” Dia menunjuk ke arah kertas coretan yang terdapat rumus yang tadi ia tulis.

“Oh..oke.”

Aku mulai menulis – nulis rumus. Merangkai angka – angka dan memasukkannya ke dalam rumus hingga aku menemukan kombinasi dari soal ini.

5 menit berlalu. Belum selesai juga. Aku melirik ke sekitar, tidak terlalu ramai malam ini. Yein masih asik dengan bukunya.

“Hey, kerjakan.” Tiba – tiba dia menegurku.

Aku tersentak. “Sedikit lagi akan selesai.”

Akhirnya dalam waktu 15 menit aku berhasil menghasilkan jawaban dari soal ini.

“Selesai.”

“Sini aku koreksi.”

Yein menarik kertas jawabanku. Dia mulai mengoreksi jawabanku. Dia terdengar berkomat – kamit. Dia seperti mencoret jawabanku.

“Ini, ada yang salah. Seharusnya 75 ini dibagi 4. Kau salah langkah.”

“Maafkan aku guru.”

“Tidak apa – apa. Yang penting kau sudah sedikit mengerti.” Dia mengelus – ngelus rambutku. Aku seperti Chico, anjing peliharaannya.

Dia melanjutkan pelajaran. Aku kembali mendengarkan.

Tak terasa sudah satu jam setengah kami belajar. Aku belajar banyak. Tak seperti biasanya. Setelah memberaskan barang – barang kami, kami berjalan pulang. Aku mengantarnya pulang ke apartemennya.

“Terima kasih sudah mengajarkanku.”

“Sama – sama. Aku tak mau kau nantinya tidak bisa mengerjakan pada saat ujian.”

“Ini. Hadiahnya kau mengajarkanku.” Aku mengeluarkan sepasang sarung tangan musim dingin. “Pakailah. Sekarang udaranya dingin.”

“Wow.. terima kasih.” Yein terlihat senang. Dia memakai sarung tangan itu segera. “Jadi hangat tanganku.”

Aku senang melihatnya senang menerima hadiahku.

 

Kami telah sampai di halaman depan apartemennya.

“Aku antarkan sampai di sini ya? Sudah malam.”

“Iya. Terima kasih sekali lagi untuk sarung tangannya.”

“Aku juga terima kasih karena mengajariku.”

Sebelum Yein masuk ke gedung, salju turun pada malam itu.

“Wah... salju pertama.” Dia berujar.

Dia menunda langkahnya untuk masuk. Pada akhirnya kami melihat salju bersama – sama selama semenit.

“Aku pulang dulu. Sudah malam. Besok harus ke sekolah.”

“Baiklah. Berhati – hatilah. Jangan sampai kau sakit. Good night.”

“Good night.” Aku membalas dan aku melangkah menuju pulang. Dia masih berdiri melihatku pulang.

“Masuklah.” Aku berbisik dari jauh menuyuruh Yein masuk. Dia pun masuk dan aku sudah melihatnya mendorong pintu masuk gedung apartemen.

Kemudian aku kembali melangkahkan kakiku menuju rumah. Sembari di perjalanan aku mengadah tanganku dan merasakan dinginnya salju yang jatuh di atas telapak tanganku. Malam ini salju pertama turun dan menandakan bahwa musim dingin yang “sebenarnya” telah tiba. Selamat datang musim dingin, selamat malam kota Seoul, dan selamat malam juga buat kamu yang ada di sana.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet