CHAPTER 11

CANDY JELLY LOVE

CHAPTER 11


Bulan Maret. Sebentar lagi kompetisi sepakbola kami akan dimulai. Sudah 2 bulan kemarin kami berlatih dicuaca dingin yang cukup ekstrim. Menurut coach Lee, sedikit lagi kami akan siap untuk mengikuti kompetisi. Aku berada di dalam gedung olahraga. Pelajaran kami sekarang adalah olahraga. Jadwal hari ini adalah bola voli. Aku sedang memainkan bola voli. Tapi bukan dengan tangan, tapi dengan kakiku. Aku men-junggling bola itu. Jinyoung menegurku.
“Heh, itu bola voli bukan bola sepak. Jadi pakailah tanganmu.”
Aku menghentikan bola. “Kompetisi sudah dekat. Skill-ku harus bertambah. Kalau tidak, aku akan ditendang coach Lee keluar dari tim utama.”
“Tapi ya tidak begitu juga. Kita sekarang sedang main voli. Jadi mainlah voli. Nanti sore kan kita latihan sepakbola lagi.”
Dengan terpaksa aku mengikuti saran Jinyoung. Kami sekelas telah dibagi dalam 2 tim. Aku tidak setim dengan Jinyoung kali ini. Aku setim dengan Yein. Jinyoung dengan Sujeong.
“Yein, supplai bola ke oppa, oppa akan membuat tim kita menang.”
Air wajahnya berubah menjadi jengkel.
“Oppa? Serius?”
Aku Cuma tertawa.
Pertandingan voli telah dimulai. Aku berada di depan. Aku sudah siap akan men-spike ke arah Jinyoung. Permainan mereka cukup solid. Beberapa kami kehilangan poin karena kesalahan – kesalahan tidak perlu. Bola servis dari Ahreum mengarah ke Insoo. Dia berhasil mengatasinya. Yein menyambutnya dan mensupplai ke arahku. Aku meloncat sangat tinggi dan siap melakukan spike. Aku melihat Jinyoung siap memblok, aku melihat sisi kosong lapangan yang ada di dekat Sujeong. *ingat, aksi – aksi di atas dilakukan dalam mode slow motion. Aku berhasil menaruh bola ke ruang kosong itu. Dan kami mendapatkan poin. “YES!” aku berteriak. Lalu aku mendekati Yein dan berbisik. “Percayalah pada oppa.” Kemudian dia mendorongku menjauh sambil menggelengkan kepalanya.
Pertandingan selesai. Tim kami kalah. Biarlah, yang penting aku berkeringat. Yein dan Sujeong melewati aku dan Jinyoung yang sedang duduk di lantai. Yein berhenti sejenak dan menatapku “Percaya pada oppa? Enggak deh.” Lalu dia cekikikan dan berlalu bersama Sujeong yang ikut tertawa.
“Eh? Kau menganggap dirimu oppa bagi Yein? Please..” Jinyoung sinis.
“Aku Cuma bercanda. Kau tahu kan aku ini oppa-nya siapa?”
“Iya. Iya. Tapi kalian juga tidak resmi mempunyai hubungan.”
“Buat apa resmi kalau kami berdua menikmatinya.” Aku tersenyum.
“Kasihan Yein.” Lalu Jinyoung berdiri dan bergegas ke ruang mandi.
Aku masih duduk dan menatap bangku penonton yang kosong. Tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu. Aku menatap ke arah sana selama satu menit lalu aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

Yang harus kalian tahu, aku sudah sering berhubungan dengan Kei setelah kami kencan yang lalu. Sekarang dia berada di bangku penonton untuk menontonku latihan. Jinyoung tidak mau kalah, dia juga ditonton oleh Mijoo. Begitu juga Hoya yang ternyata berhubungan dengan Sujeong. Ini terlihat seperti para pemain bola dan para WAG’s (Wifes And Girlfriends) mereka. Aku sempat bertanya apakah tidak apa – apa kalau Kei menunggu sampai selesai latihan. Dia mengatakan kalau aku harus mengantarnya pulang. Aku mengiyakan sehingga dia bisa menontonku. Kami berkeliling lapangan sebagai pemanasan. Setelah itu beberapa pemanasan kecil. Coach Lee menekankan kami untuk selalu fokus. Dimulailah latihan pertandingan. Aku mengejar bola ke sana kemari namun tak dapat juga. Tim lawan kami dipimpin Hoya. Baru kali ini Hoya menjadi lawanku. Possesion dipegang oleh tim lawan. Mereka mendapatkan tendangan pojok, aku diperintahkan Jinyoung untuk menunggu di depan agar bisa melakukan counter attack. Bola telah ditendang oleh Insoo dan mendekat ke kepala Jinyoung, dia membuangnya menjauh dari gawang kami. Bola liar berada di luar kotak penalti kami. Namun berhasil dibuang jauh ke depan oleh Shin Young. Bola melewati kepalaku, aku berlari secepatnya mengejar bola. Dibelakangku Hoya mengejarku. Aku berhasil mendapatkan bola dan mendribble ke depan. Ketika akan mendekati gawang lawan, seketika aku terjatuh karena jegalan dari belakang. Aku tersungkur ke tanah. Aku merasakan ada yang aneh pada kakiku. Aku memeganginnya. Rasa sakit itu nyata. Setelah aku mampu duduk, engkelku cidera. Aku dikelilingi oleh para pemain.
“Kau baik – baik saja?” Hoya bertanya.
“Engkelku sakit.” Jawabku sambil meringis.
“Maafkan aku. Aku melepaskan tackle tidak sempurna.”
“Iya.” Aku juga tidak bisa menyalahkannya. Ini permainan dan Hoya kapten kami.
Aku melihat sosok coach Lee mendekat ke arahku.
“Kenapa? Engkelmu?”
“Iya coach.” Aku masih memegangi engkel kananku.
“Ayo dikompres.” Aku diangkat coach Lee dan dia membopongku ke samping lapangan. Aku menoleh ke bangku penonton. Kei seperti bertanya bagaimana keadaanku dari jauh. Aku menjawabnya dengan tanda “OK” dengan jariku. Pertandingan dilanjutkan. Tapi aku tak mampu lagi mengikuti pertandingan.
Setelah dikompres dengan es, aku merasa sedikit baikan. Aku sedang berjalan pulang dengan Kei. Dia tampak khawatir.
“Kalau kau sakit lebih baik kau pulang dengan taksi saja.”
“Tidak apa – apa. Sudah sedikit baikan.” Aku sudah berjanji dengan Kei untuk mengantarnya pulang. Walaupun sakit, aku masih bisa menahannya.
“Musim semi telah tiba. Musim favoritku.” Kata Kei.
“Aku juga. Tidak panas dan tidak dingin.”
Pohon – pohon di sekitar kami telah bersemi setelah menjadi botak karena diserang oleh musim dingin. Warna – warni pepohonan menambah indah musim semi. Ditambah lagi ada bunga yang indah di sampingku. Aku tersenyum seketika.
“Kau kenapa tersenyum?”
Aku menggaruk kepalaku. “Anu.. pemandangannya indah.”
“Oh...”
Aku tidak berani mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa aku tersenyum. Ada rasanya ingin jujur, namun sisi lain dari hatiku berkata nanti saja, tunggu waktu yang tepat.
“Kei..” aku memanggilnya.
“Ya?” lalu ia menghentikan langkahnya. Aku pun ikut berhenti.
“Musim semi ini sangat indah, lebih indah lagi kalau kita bisa pergi ke taman hiburan.”
“Kau mengajakku?”
“Tentu saja. Masa aku mengajak paman itu.” Aku menunjuk ke supir taksi yang kebetulan sedang menurunkun tas penumpangnya.
“Kapan kau mau mengajakku?”
“Akhir bulan ini. Bagaimana?”
“Baiklah kalau begitu.” Dia mulai berjalan lagi.
“Oke, aku yang teraktir.” Aku mengkutinya agar kami berjalan berdampingan.
“Wow.. kau sedang banyak uang? Kompetisinya bagaimana?”
“Kami bertanding minggu depan.”
Kami terus melangkahkan kaki kami di atas jalanan. Sampai kami berhenti di depan sebuah gedung apartmen yang tinggi.
“Dimana rumahmu?” aku bertanya.
“Di sana.” Kei menunjuk ke arah atas. Dan aku menebak kalau Kei tinggal di lantai 6.
“Tinggi juga ya. Yang mana sih rumahmu. Coba tunjukkan kepadaku.”
Kepala kami berdua mendongak ke atas. Kei menunjuk – nunjuk ke arah sebuah jendela. Aku menatap ke wajah Kei. Kemudian secara tiba – tiba aku memegangi kepalanya dan mencium keningnya. Dia kaget, namun tak berontak. Aku hanya mencium keningnya sesaat, lalu aku berlari menjauh karena takut dimarahi.
“Apa arti ciumanmu tadi?” dia kesal.
“Entahlah. Aku pulang dulu. Ingat janji kita akhir bulan.” Aku melihat ke Kei dan dia terlihat kesal dengan apa yang aku lakukan tadi. Tapi tak beberapa kemudian dia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ketika aku berlari, aku merasakan sakit di engkelku.
Kei berteriak. “Kau tak usah berlari. Aku takkan mengerjarmu. Cepatlah sembuh agar kau bisa bertanding.”
“OK!!!” aku membalas dengan teriakan juga.
Aku berjalan mundur karena tak mau melepas pandanganku ke Kei. Dia masih berdiri dengan senyuman manisnya. Hingga aku berbelok dan tak bisa melihatnya lagi.
Aku sampai ke rumah dengan senyuman. Aku berhasil mencium gadis yang aku suka.
“Kau kenapa?” ayahku bertanya.
“Tidak ada apa – apa yah.”
Aku terus tersenyum.
“Mungkin dia sedang jatuh cinta.” Ibuku menyahut.
“Kau ini kecil – kecil sudah bermain dengan cinta.”
“Yah, aku sudah puber tau.” Aku protes.
Ibuku Cuma tertawa. Aku menaiki tangga menuju kamarku. Sesampai di sana aku langsung menelpon Kei.
“Hai. Aku sudah sampai di rumah.”
“Baguslah. Mandi sana. Aku tak suka cowok yang bau. Hehe..”
“Jangan lupa makan malammu ya.” Aku memberikan sebuah perhatian kecil.
“Kamu juga. Jangan lupa makan.” Dia membalas.
“Apa ada PR?”
“Ada. Matematika. Mau mengajarku?”
“Well, jangan tanya aku tentang berhitung. Aku Cuma jago bahasa Inggris.”
“Hehe” dia tertawa.
“Aku mau mandi dulu. Ingat, jangan lupa makan ya?!”
“Oke.”
Kemudian aku menutup teleponku. Aku membuka baju dan menuju kamar mandi dengan kepercayaan diri lebih. Terima kasih musim semi. Terima kasih atas keindahanmu. Dan terima kasih juga untuk ciuman yang ku lakukan tadi.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet