CHAPTER 12

CANDY JELLY LOVE

CHAPTER 12

-DELIGHT-

 

Kami setim telah berada di ruang ganti pemain. Pertandingan pertama kami akan dimulai. Kami akan melawan Eunha High School. Coach Lee sedang menerangkan strategi yang harus kami pakai.

“Ingat, pertahanan kita harus diperketat. Jinyoung, Hoya, kalian harus mensupplai bola ke Young Ri sebaik mungkin.” Jinyoung dan Hoya mengangguk. “Insoo, kau jaga pemain mereka yang bernomor 10.”

“Baik coach.” Insoo mengiyakan. Insoo kebetulan bermain sebagai gelandang bertahan dan itu tanggung jawabnya untuk menjaga playmaker lawan.

Coach masih terus mengoceh di depan kami. Aku mendengarkan sembari mengikat tali sepatuku.

“Kalian mengerti?”

“MENGERTI!!!” kami kompak menjawab.

Hoya sebagai kapten menambahkan.

“Kita fokus, ini pertandingan pertama kita. Bawalah kemenangan agar bisa melaju ke babak selanjutnya. Nikmati pertandinganmu seperti kalian menikmati makanan kalian. FIGHTING!!!”

“FIGHTING!!!” kami setim berteriak kompak.

Aku berjalan di lorong keluar dengan kepercayaan lebih. Aku mendengar sorak sorai penonton di luar. Ketika memasuki lapangan, penonton yang hadir lumayan ramai. Murid – murid sekolah kami berada di tribun utara. Aku memutar kepalaku. Aku mencari Kei. Dimanakah dia. Akhirnya aku menemukannya sedang duduk dengan temannya. Dia melambaikan tangannya. Aku membalasnya dengan agak malu – malu. “Baiklah, aku mendapatkan mood booster-ku.” Begitu gumamku dalam hati.

Kami bersalaman anta pemain. Kami memakai jersey berwarna merah putih. Itulah seragam kebanggaan SMU kami. Sedangkan lawan kami Eunha berseragam biru putih. Kedua tim sudah berada di dalam lapangan.

“PRRIIITTTTT!!!” peluit pertandingan dibunyikan.

Bola pertama berada di tim lawan. Bola telah bergulir di kaki para pemain mereka. Sementara tim kami mencari cara agar dapat merebut bola. Bola melambung ke daerah pertahanan kami. Bola berhasil dikontrol oleh pemain bernomor punggung 10. Insoo mencoba membayang – bayanginya. Namun dia berhasil juga melepaskan tembakan jarak jauh. Bola mengarah ke arah kiri gawang, untunglah Dongwoo sigap menepis bola itu hingga keluar.

40 menit pertandingan berlalu. Skor masih 0-0. Penonton tak henti – hentinya memberikan dukungan mereka. Keringatku sudah bercucuran. Jinyoung memberikan bola ke Hoya. Hoya menggiring bola dan melewati bek kiri. Dia berhasil menerobos sayap kanan dan melepaskan umpan silang untukku. Bola lambung itu mendekat ke arahku. Ketika aku akan menyundul bola itu, aku merasakan ada dorongan dari belakang. Dan seketika itu juga aku terjatuh ke tanah. Kejadian itu sangat cepat. Yang aku dengar hanya suara peluit yang ditiup oleh wasit. Jinyoung mendekatiku yang masih terbaring di tanah.

“Kau tidak apa – apa?”

“Tidak apa – apa.” Dia meraih tanganku dan membantuku berdiri.

“Kita dapat penalti.”

Pemain lawan yang mendorongku tadi meminta maaf  kepadaku. Hoya mendekatiku dengan membawa bola di tangannya.

“Kau saja yang menendang.” Pinta Hoya.

“Tapi...”

“Sudahlah. Kau saja.” Dia mengangguk dan memberikan bola kepadaku.

Aku meletakkan bola dititik putih. Aku mundur sekitar 4 langkah. Aku menoleh ke arah kanan dan kiri. Semua terlihat tegang dan bersiap menerima bola muntah apabila aku gagal mengeksekusi tendangan penalti ini. Peluit tanda aku boleh menendang telah berbunyi. Aku menendang bola. Aku meletakkannya ke arah pojok bawah kiri. Kiper lawan tertipu karena dia menebak ke arah yang berlawanan. Aku sadar bahwa aku berhasil mencetak gol. Supporter kami melonjak dari tempat duduk dan berteriak “GOOOOLLL!!!”. Aku berlari dan siap melakukan selebrasi. Aku berlari ke arah penonton kami seraya memberikan tanda “LOVE” dengan tanganku. Mirip dengan yang sering dilakukan oleh Angel Di Maria. Kei harusnya tahu bahwa kau memberikan tanda ini untuknya.

90 menit telah berjalan. Pertandingan selesai. Skor tetap tak berubah. 1-0 untuk kemenangan kami. Kami kembali ke ruang ganti. Aku menolak ketika diajak pulang bersama – sama menaiki bus tim. Aku berdiri di depan stadium menunggu Kei.

“Hey. Kau tadi keren.”

“Hanya mencetak gol dari penalti. Tidak keren.” Aku menolak untuk setuju.

“Apalagi selebrasinya. Hayo, itu tanda untuk siapa?”

“Menurutmu untuk siapa?” Aku memegang kedua pundak Kei dan menatap matanya.

“Aku?” dia menunjuk wajahnya dengan jari telunjuknya.

“Mungkin saja.” Aku melepas peganganku dan kembali berjalan.

Beberapa langkah ke depan aku melihat Jinyoung dengan Mijoo. Aku memanggilnya. “Hey Jinyoung!”

Dia menoleh dan aku mendekat.

“Oh, jadi ini yang namanya Mijoo.”

Mijoo mengangguk sedikit.

“Dan itu namanya Kei?” Jinyoung membalas kata – kataku tadi.

“Kenalkan Kei, ini Jinyoung. Sahabatku.”

Kei tersenyum ke arah Jinyoung.

“Ini Young Ri. Sahabatku. Dan ini Mijoo, temanku.” Jinyoung menunjuk  ke arah Mijoo.

“Hanya teman? Yakin?” aku menggoda Jinyoung.

“Hmm..”

“Kenapa kau ragu?” tidak aku hentikan godaanku.

“Ya, dia pacarku. Dan sekarang kau. Apakah Kei pacarmu?”

Aku langsung menoleh ke arah Kei. Dia memasang muka flat.  Beberapa jawaban berkecamuk di dalam pikiranku. Apa yang harus aku jawab? Aku terdiam.

“Yup, dia pacarku.” Mungkin perasaan tak mau kalah terhadap Jinyoung yang membuat aku menjawab seperti itu.

“Baguslah.” Jinyoung menepuk bahuku dan tersenyum.

Kemudian kami berpisah setelah mengobrol beberapa saat. Aku kembali berdua dengan Kei. Dia tampak diam sepanjang jalan pulang kami. Ketika sampai di halaman apartmennya, barulah dia berbicara.

“Apakah benar kita mempunyai hubungan resmi?”

“Aku tidak tahu.”

“Kalau tidak tahu kenpa kau menjawab begitu waktu ditanya Jinyoung?”

Aku terdiam. Tiba – tiba ada angin menyapu rambut Kei. Rambutnya sedikit berantakan lalu dia membenarkan kembali rambutnya. Aku sempat terpaku oleh itu.

“Sejujurnya, aku mau kalau kita mempunyai hubungan yang spesial.”

“Jadi?”

“Aku akan bertanya, maukah menjadi pacarku?”

Lalu, momen diam terjadi. Aku diam. Kei juga diam. Dia belum menjawab pertanyaanku. Mungkin dia masih ragu. Sekitar 2 menit kemudian dia memberikan jawabannya.

“Aku...” jeda sesaat. “Aku mau jika hubungan kita menjadi resmi.”

“Benarkah?” aku seperti tak percaya.

“Iya. Benar. Kita sudah cukup dekat untuk itu. Dan aku sudah nyaman berada di dekatmu.”

“Aku memang jago membuat orang nyaman.” Aku menyombongkan diri.

“Huh, tidak bisa dipuji sedikit pun.”

“Sini!” aku merentangkan kedua lenganku dan membuka diri untuk dipeluk.

Kei lalu mendekat dan memelukku perlahan. Aku merasakan kehangatan dari tubuhnya. Kami berpelukan cukup lama. Rasanya aku tak mau melepas pelukan ini. Tapi aku tak enak dengan orang – orang yang melintas.

“Untung kau sudah mandi. Coba kalau belum, aku takkan mau memelukmu.” Kilah Kei.

“Hehe.. tapi itu keharusan. Laki – laki berkeringat itu y loh.”

“Iya y. Tapi kalau bau siapa juga mau dekat – dekat.”

Lalu kami tertawa berbarengan.

“Karena hari ini kami menang, aku mau mentraktirmu.”

“Kau mau mentraktirku apa?”

“Dakbal. Kan itu favoritmu.”

“Darimana kau tahu?” dia menaikkan satu alisnya.

“Cuma menebak.”

“Aku suka Dakbal dan tebakanmu benar.”

 

Aku dan Kei menemukan sebuah warung yang menjual dakbal. Kami berdiri di depan warung itu sambil melahap dakbal.

“Pedas tidak?” aku bertanya.

“Sedikit.” Kei menjawab.

“Bibi, tolong berikan kami 2 kaleng cyder.”

Bibi penjual itu menyodorkan 2 kaleng minuman dan aku menyambutnya. Kemudian aku memberikan sekaleng kepada Kei.

“Ah!! Segarnya.” Dia merasakan kesegaran setelah menegak minuman bersoda itu.

“Kei, apakah kau bahagia menjalani hubungan ini denganku?”

“Aku bahagia, kenapa?” dia memandang kedua bola mataku.

“Tidak apa – apa. Aku Cuma ingin meyankinkan saja.”

“Tenang saja. Aku bahagia. Kau cinta pertamaku, kau baik, sedikit ganteng. Hehe..” dia tertawa kecil.

“Apa? Sedikit ganteng? Dan ganteng yang banyak itu yang seperti apa?”

“Seperti Kim Woobin.” Dia menjawab cepat.

Ya, memang Woobin ganteng. Aku saja mengakuinya.

“Kau juga cinta pertamaku.”

“Benarkah? Kau belum pernah pacaran sebelumnya?”

“Ya begitulah. Aku tidak terlalu populer dan aku cuma sedikit ganteng.” Aku memberikan tanda kutip pada kata ‘Cuma sedikit ganteng’.

“Tidak apa – apa. Walaupun gantengmu Cuma sedikit, tapi kamu nyata bagiku.”

Oh bahagianya aku mendengar kata – kata tadi.

Setelah melahap beberapa kaki ayam, kami pulang dengan bergandengan tangan. Ini bukan skinship pertama kami. Karena aku sudah pernah mencium keningnya. Kami terlihat sudah seperti pasangan – pasangan pada umumnya. Kei minta diantarkan sampai jalan raya karena dia akan dijemput.

“Terima kasih ya untuk hari ini. Aku bahagia.”

“Aku juga Young Ri.”

Aku meninggalkan dia di samping jalan. Sebenarnya aku hanya menjauh sedikit darinya. Dan masih mengintip dirinya dari kejauhan sampai mobil jemputannya datang. Setelah dia benar – benar dijemput, aku melangkah pulang dengan senyum di wajahku, dengan hari ini, dengan gol kemenangan yang aku cetak, dan dengan cinta pertamaku. Aku bahagia. I feel Delight.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet