Part VIII (Pair of Shoes)

My Love For You

Semester kedua berlalu dengan cepat juga, ternyata. Setelah berusaha merangkak-rangkak untuk belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai yang bagus—yang parahnya tidak terlalu bagus, akhirnya beberapa hari lagi aku akan menerima raporku juga.

Aku menoleh untuk kesekian kalinya di pagi itu ke arah bangku tak bertuan di pojok ruangan. Aku menghela nafas. Kembali kupikirkan keputusan yang akan kuajukan pada Yifan soal pertimbangan mengenai kepergiannya, tak semudah yang kukira pada awalnya.

Memang bisa saja kukatakan kalau aku memilih satu pilihan tanpa alasan, tapi apakah aku akan bisa menanggung resiko dari apa yang akan kuhadapi? Eh, bukan. Memangnya Yifan akan bisa menanggung resiko dari apa yang akan ia hadapi nantinya jika ia benar-benar mengikuti keputusanku? Ah..dasar penyiksaan pikiran.

 

Hari ini sepulang sekolah Luhan mengajakku untuk makan siang bersamanya. Bukannya karena ingin merayakan berakhirnya masa-masa belajar di semester ini, tapi alasannya adalah “Karena kemarin Minseok marah padaku.” Tsk.

Dengan ogah-ogahan, aku kembali menjadi obat nyamuk di antara mereka. Mumpung ditraktir Luhan, he he. Aku memilih meja yang tidak terlalu jauh dari mereka. “Gak mau jadi sasaran ngambek salah satu diantara kalian,” kataku mengungkapkan alasan mengapa tak mau bergabung dengan mereka. Tapi aneh, kok rasanya sepi sekali. Aku jadi merasa jomblo yang sangat ngenes. (Tapi elegan, dong!)

Hampir saja aku tersedak karena saat aku meminum jus buahku, seseorang menepuk pundak kananku cukup keras. Saat aku menoleh, orang itu hanya nyengir tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Chanyeol!” gertakku kesal. Dengan polosnya ia duduk di kursi di hadapanku.

Stalker.” cibirku pelan.

“Maaf ya, Zhang Yixing. Aku tidak pernah bermaksud untuk menguntitmu. Ini hanya kebetulan semata.” balasnya dengan nada yang dramatis. “Aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu disini.”

“Langsung saja ke pokok permasalahannya, ada apa?”

“Aku mau membuang sepatu coupleku dengan Baekhyun.” kata Chanyeol datar. Aku tak memberikan respon apa-apa karena mengira ia akan menceritakan alasannya, tapi ternyata tidak. Aku masih diam, akhirnya dia menyerah.

Dia memukul kepalaku. Aku meringis.

“Baekhyun sudah berpacaran dengan Taeyeon sunbae, dasar pelupa!”

Oke. Jadi, intinya, sebenarnya Baekhyun dan Chanyeol dulunya adalah sepasang teman-tapi-mesra. Mereka bahkan membeli barang-barang yang sama seperti pasangan yang berkencan pada umumnya, meski status mereka hanya sebatas teman (tapi mesra). Saat merayakan hari pertemanan mereka—yang biasanya orang pacaran katakan sebagai anniversarry, Chanyeol sempat mengajakku untuk membantunya untuk memilih sepatu couple. Tapi sayang, ternyata uang Chanyeol tidak cukup. Jadi ia hanya membeli sepasang, bagian kirinya milik Chanyeol dan kanannya milik Baekhyun.

Kemudian tiba-tiba saja di sela-sela kesibukan Chanyeol yang ditunjuk sebagai ketua klub, Baekhyun ternyata sudah berpacaran dengan seorang senior yang bernama Taeyeon. Setelah hal itu terjadi, Chanyeol yang dulunya terkenal sangaaaat periang perlahan-lahan mulai mengurangi keriangannya itu menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja. Aku ingat sekali saat latihan, ia berteriak-teriak sendiri menyanyikan lagu sedih. Hatiku mau tak mau merasa sedikit merasa simpati, karena ia terlihat seperti bukan Park Chanyeol yang kukenal. Tapi di sisi lain aku akhirnya sadar, kalau orang yang selama ini kulihat selalu bahagia bukanlah orang yang benar-benar selalu bahagia, tapi bisa saja berusaha menyembunyikan kesedihannya supaya orang lain tak perlu tertular kesedihannya. Buktinya, aku langsung bersimpati.

Setidaknya begitu asumsiku.

Aku terdiam, memikirkan jawaban yang tepat untuk Chanyeol. Sepatu itu pasti memiliki arti yang penting untuknya. Tapi di sisi lain, dia pasti tidak mau mengingat-ingat kenangannya dengan Baekhyun.

“Kalian sadar ingin bersama, tapi kalian hanyalah sepasang sepatu, selalu bersama tapi tak bisa bersatu.” Ujarku teringat lagu yang berjudul Sepatu, yang tiba-tiba numpang lewat di otakku. “Cinta memang banyak bentuknya, tapi tak semua bisa bersatu. Pikirkan lagi dampak positif dan negatif kamu membuangnya. Apalagi sepatu itu dibeli dari tabunganmu. Coba ingat alasanmu membeli sepatu itu.”

“Karena..aku ingin selalu dekat dengan Baekhyun meski dikendalikan oleh siapapun, atau apapun itu. Tapi dia jahat, Yixing.” Ia kemudian membuang nafasnya kasar.

“Pasti ada alasannya kenapa dia begitu. Tapi entahlah, aku kan bukan pembaca pikiran manusia. Lagipula, kalian kan masih bisa berteman. Jangan siksa dirimu sendiri hanya karena masalah begini. Life must go on, bruh.” Ujarku sok sambil menepuk-nepuk pundaknya. Ia mengangguk-angguk mengiyakan. Tiba-tiba ponselku bergetar, ada pesan dari Luhan.

Asik banget konseling cintanya. Aku mau pulang nih, ikut gak?

Aku melirik ke arah Luhan yang ternyata sudah memerhatikanku dari tadi, Duluan sana. Jangan bertengkar lagi sama Minseok. Merepotkan. balasku.

Yang penting bukan aku yang repot, yee! Luhan menepuk pundakku saat aku membaca pesannya dan berkata kalau ia akan pulang duluan, meninggalkanku dan Chanyeol disana.

“Oh ya Chanyeol, apa hubunganmu dengan Yifan?” ujarku mengalihkan pembicaraan setelah keheningan menyelimuti atmosfer diantara kami dalam beberapa menit. Chanyeol terlihat kaget dengan pertanyaanku, tapi ia menjawab dengan wajah dan suara yang setenang mungkin, “Teman satu kontingen basket daerah dulu.” Aku mengangguk-angguk.

“Em, dia orangnya gimana sih?”

Chanyeol terlihat kaget, lagi. “Maksudku waktu kamu kenal sama dia!” sambarku cepat.

“Oh. Dia baik, cukup periang, rajin. Pokoknya dia keren deh.”

“Tapi tiba-tiba dia berubah semenjak akhir-akhir kelas 3. Dia tidak pernah lagi latihan dengan kami, padahal lomba sudah dekat. Semenjak saat itu, kami mulai benci padanya karena dia yang paling diandalkan tim kami. Tim kami kalah. Desas desusnya sih, ibunya dia punya pria kedua jadi dia berakhir seperti itu. Maksudku, selama latihan, ia selalu memuji-muji ibunya seolah ibunya adalah perwujudan Tuhan baginya. Wajar sih kalau dia sampai seberubah itu. Apalagi ditambah fakta kalau dia memilih tinggal di apartemen dibanding keluarganya yang memperkuat desas desus itu.” Lanjut Chanyeol panjang lebar. Aku terdiam. Mungkin saja ‘desas desus’ itu adalah sesuatu yang benar-benar membuat Yifan berubah seperti kata Chanyeol. Mungkin.

 

Kami membicarakan Yifan sampai hari sudah mulai malam. Untung saja besok Minggu, jadi sesampai di rumah aku bisa tidur dengan leluasa. Saat aku memejamkan mata, sesuatu masih mengganjal di otakku. Lusa, Yifan akan berangkat. Dan selama 2 hari ini aku belum memutuskan sesuatu. Aku bimbang. Yifan juga tidak bisa dihubungi. Apa dia marah?

Ya Tuhan, kenapa hidupku tiba-tiba seruwet ini padahal aku hanya ingin tidur sekarang?!

Aaaaarrggghhhh. Aku membalikkan badan dan membenamkan wajahku ke dalam bantal. Tapi aku malah susah bernafas, ish. Sesusah ini ya ternyata memilihkan keputusan untuk orang lain yang sama sekali tidak ada kaitannya denganmu selain sebatas teman.

Oh ayolah, Yixing. Jawab seadanya saja. Jangan pergi, karena aku menyukaimu. Eh, tidak mungkin aku menjawab secheesy itu. Pergilah, hiduplah dengan tenang dimanapun kau itu dan tetaplah menghubungiku! Ya ampun. Aku bisa-bisa dibunuh anak buah Sehun di restorannya jika aku makan disana (meski tak mungkin karena finansialku tak terlalu memadai).

 

Sekitar 2 jam aku merenungkan pertimbanganku. Oke, jadi lebih baik kubiarkan dia memutuskan sendiri dan aku yang memberikannya pertimbangan. Kuputuskan untuk mendatanginya sendiri ke apartemen besok. Semoga saja jumlah wartawan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak ada lagi, karena..ya ampun, masih saja mencari orang yang tidak akan pernah mau menemuimu selama berhari-hari?

Kenapa malam-malam begini aku jadi sedikit berlebihan, ya.

Untung saja, setelah keputusan singkat itu kubuat, mataku tak melawan lagi untuk ditutup.

 

-

 

Hari Minggu sepertinya benar-benar bukan hariku. Ruang tunggu apartemen sudah seramai ruang tunggu rumah sakit. Oh iya, ini kan hari libur. Aku jadi ragu. Bisa-bisa aku dibilang sebagai komplotannya Yifan. Kan tidak lucu. Mengerikan kalau aku masuk televisi hanya karena aku mengunjungi temanku sendiri dan dikira komplotan jahat.

Kalau aku meneleponnya dan berkata kalau aku ada di ruang tunggu, itu bahkan lebih bahaya lagi. Ya ampun. Tapi kalau aku tidak berbuat seperti ini sekarang, aku pasti tidak akan bisa tidur lagi karena dihantui. Me-nge-ri-kan.

Aku benar-benar terlonjak kaget karena ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah telepon masuk dari Yifan. Eh, Yifan?!

“Halo?”

“Halo, Yixing? Jadi, gimana pertimbanganmu?” Glek. Dia menagihiku rupanya.

“Em..iya, jadi—” “Kamu dimana? Kenapa ramai?”

“Di dep—maksudku di rumah.” Ada sedikit jeda di antara kami sebelum akhirnya dia berkata pelan, “Bohong. Rumahmu sepi, Yixing. Kamu dimana?”

Oke. Oke. Aku menyerah. Dia jeli sekali rupanya. “Di depan. Di ruang tunggu apartemenmu.” kataku pasrah. Ya sudahlah. Aku sudah tak peduli lagi dengan apa yang akan wartawan tulis tentangku nantinya di media. Semoga saja Yifan tidak senekat yang kupikirkan untuk sekedar menjemputku keluar hingga ia berani keluar dari sarangnya yang terisolasi.

Tapi ia benar-benar berlari keluar dan menjemputku! Ia langsung menarik tanganku dan aku yang kaget tak bisa menyeimbangkan langkah dengannya. Ya iyalah, langkah kakiku kan juga jauh lebih pendek. Seperti yang kuduga, wartawan mulai menjadikanku sebagai objek baru, dan ada juga diantara mereka yang berusaha menghalangi jalan Yifan ke kamarnya. Ini sudah melanggar privasi sekali. Kunaikkan baju untuk menutupi wajahku supaya tidak terlalu kentara. Sementara Yifan sibuk mengomel, aku memegang tangannya erat. Seperti anak kecil yang tak mau kehilangan ibunya di pusat perbelanjaan.

Aku merasa beberapa orang mulai menarik-narik bajuku dengan paksa supaya wajahku terekspos. Kurasakan ada dorongan baik dari samping maupun belakangku. Kesal dan sedih berkecamuk di dalam diriku. Aku tak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini hanya untuk menemui teman yang berada dalam masalah. Mau tak mau, aku tak bisa menahan tangis yang sedari tadi kutahan.

Yifan sedikit demi sedikit menarikku untuk menerobos wartawan. Dapat kudengar ia marah-marah. Mungkin ia merasakan tanganku yang gemetar, atau mungkin karena dirinya juga kesal dengan wartawan itu. Tapi untung saja ia berhasil membawaku dengan fisik yang utuh ke dalam apartemennya, meski sebenarnya mentalku sudah hancur berkeping-keping.

Setelah mengunci pintu apartemennya, ia langsung memelukku. Aku menangis semakin keras. Sudah lama aku tidak menangis, jadi tidak apa-apa kan kalau aku menangis lagi untuk kali ini? Meski aku ini laki-laki, aku juga berperasaan.

“Maaf Yixing, kamu luka?” Aku menggeleng. Aku masih takut, jadi aku semakin membenamkan kepalaku ke pelukannya. Aku memang tidak terluka secara fisik, tapi aku setidaknya terluka secara mental. Ia melepas pelukannya, “Tenangin diri, Xing. Aku ke dapur ambil minum,”

Sambil duduk di atas sofa menunggu Yifan, aku menghidupkan televisi dan berharap kalau aku tidak akan menjadi berita menarik hari ini.

“Kutebak tidak ada yang berhasil mengambil gambarmu. Untung kamu sempat menutup wajah,” ia menyodorkan segelas susu. Aku menggumamkan terima kasih dan meminumnya. Ia mengambil remote kemudian mengganti siaran menjadi..drama. Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku mematung. Kaget. Banget.

“Disini sepi, Yixing. Tapi kalau diluar terlalu ramai. Apalagi mereka sampai membuatmu menangis. Aku benci mereka.” Ia berkomentar seperti anak kecil. Aku hanya menjawab dengan “Em,” tanpa berani menoleh sedikit pun ke arah wajahnya, karena entahlah, hormon adrenalinku sepertinya bekerja keras sampai-sampai aku tak bisa mengontrol debaran jantungku sendiri. Yang kutakutkan adalah, Yifan diam-diam bisa mendengar debaran jantungku hanya dengan menyandarkan kepalanya.

“Emm, jadi, aku kesini..mau ngasi jawaban.” ucapku akhirnya.

“Hmm.”

“Jadi, keputusannya ada di tanganmu. Aku hanya memberi pertimbangan. Menurutku, kamu perlu berangkat karena taulah, orang-orang diluar sana benar-benar kasar. Tapi di sisi lain, kamu tidak perlu berangkat karena..” kugantungkan kalimatku. “Karena?”

Aku diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Ada aku disini.”

 

 

a/n: maaf updatenya lama banget, nasib jadi kelas 11 ya gini apalagi sebagai angkatan kelinci kurikulum baru :3 kebetulan juga hari ini lagi free menjelang UTS minggu depan wks.. jarang-jarang nih dapet hari free, jadi lumayan juga lah kerasa enaknya tidur dan guling-guling gak jelas. ha to the ha to the ha.
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bekrayals
Guyssssa maaf ya ffnya belum bisa dilanjutin soalnya lagi sibuk2nya sm tugas yg numpukkk..kalo sempet baru dilanjut hehe

Comments

You must be logged in to comment
Clovexo
#1
Chapter 12: aku semakin bingung dgn keluarga ini
chamii704 #2
Chapter 11: Jujur c..sbnr'a aku g bgtu ngerti ma silsilah kluarga&knflik'a haha otak gw ky'a yg trlalu lemot..jd cuma bs koment ditunggu klnjutn'a hehee
pratiwi #3
Chapter 10: Selamat hari raya Galungan dan Kuningan. .
applelays #4
Chapter 11: ya ampun bikin penasaran aja :( sebenernya jiashuai itu siapa s huhu. eh si yifan itu semalem nyium yixing ya? hayoo ketauan wkwk
alhamdulillah sifatnya mas yifan gak berubah huhu gemes banget liat fanxing!
Clovexo
#5
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
Clovexo
#6
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
hilwani #7
Chapter 11: kok rada terburu2???
tapi yang yifan nyium yixing....aw aw aw....uyeeeee
eridanuspyxie #8
Chapter 11: rada bingung...sebenere kakaknya yixing dimana????? itu hubungannya makin ruweeett..tapi ditunggu lanjutannya...:)
Clovexo
#9
Chapter 10: ini sumpah membingungkan.. ada hubungan yg kyk mana sih antara org tua" itu dgn yifan yixing chanyeol dan sehun? terlalu membingungkan...