Part XII (The Answer is Coming)

My Love For You

“Apa kau temukan sesuatu?” tanyaku selagi membantu Yifan berkemas (ia sedang berusaha membangunkan Chanyeol yang—duh, sepertinya sangat kelelahan).

“Lihat nanti saja.”

Aku membentuk simbol oke dengan tanganku dan tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Aku duduk di jok belakang—jaga-jaga supaya Chanyeol tidurnya tidak sembarangan apalagi sampai membuka pintu secara tidak sadar. Chanyeol akhirnya terbangun di tengah perjalanan kami dengan ekspresi yang menyiratkan bahwa ia kebingungan. “Kita pulang, Chanyeol,” kataku.

“Pulang? Kenapa cepat sekali, sih.” Ia menatapku kebingungan sementara aku menjawab pertanyaannya itu hanya dengan satu kedikan bahu. Tak lama kemudian, kami sampai di bandara. Dalam hati aku berharap supaya semua pertanyaan ini akan terjawab sejelas mungkin.

-

Seoul tak berubah sama sekali dibandingkan dengan kali terakhir kujejakkan kaki disana (sebelum berangkat ke Prague). Jelas saja, aku hanya pergi selama dua hari.

“Kita bisa antar Chanyeol pulang dulu kan?” tanyaku akhirnya pada Yifan, setelah sekian jam lamanya kita tak berbicara sama sekali. Dalam hati aku merasa bahwa sifat anehnya yang suka sendiri itu tak pernah berubah sedikitpun. Ia menyanggupi permintaanku, kemudian mengantarkanku ke sebuah lembaga permasyarakatan, tempat dimana ayah Yifan berada.

Petugas membukakan pintu dan mempersilahkan kami untuk bertemu dengannya. Beliau tersenyum—mungkin karena tumben dijenguk oleh anak semata wayangnya.

Dan ini kali pertama aku melihat Yifan tersenyum kepada ayahnya.

“Ia akan datang sebentar lagi, Zhang Yixing.” ujar beliau padaku. Aku mengangguk dengan sabar dan tidak sengaja melakukan kontak mata dengan Yifan—yang tak bisa kuhentikan begitu saja. Ia berbisik, “sebentar lagi aku akan melihat siapa teman kecilku.” Aku tersenyum.

Seseorang membuka pintu, membungkuk pada Tuan Wu dan tersenyum ke arah kami. Ia membawa beberapa berkas kemudian bertanya, “itu semua untuk apa, Paman?”

Tuan Wu tak menjawab pertanyaan orang itu, melainkan menyodorkan berkasnya padaku. Aku hanya menatap berkas tersebut ragu-ragu selama beberapa detik, tak berani menyentuhnya sama sekali hingga akhirnya Yifan yang membukanya untukku.

“Han..Geng?” kata Yifan pelan hingga nyaris tak bersuara. Ia sepertinya terkejut sekali jadi aku mengambil apa yang ia pegang—dua buah akte kelahiran dengan dua nama anak tertera yang berbeda.

Yifan bangun dari kursinya dan mendekati pemuda pembawa berkas itu. “Apa maksudnya semua ini?”

“Yifan!” teriakku ketakutan setelah Yifan mendorongnya ke tembok. “Katakan padaku. Jadi selama ini, kamu Jiashuai? Teman kecil yang kucari itu?”

.

.

.

Paru-paruku rasanya tersumbat oleh sesuatu hingga aku kesulitan bernapas. Kupegang bajuku dengan erat tak peduli seberapa leceknya nanti. Mendengar apa yang Yifan utarakan barusan sudah cukup membuatku terkejut setengah mati. Terlintas di pikiranku bayangan bahwa aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya, ketika pertama kali aku kemari bersama Chanyeol. Han Geng…iya, namanya Han Geng.

“Kukira kau sudah melupakan soal itu, Yifan,” lantur Han Geng datar. “Maaf.”

Aku berlari keluar dari tempat itu sambil menangis, karena aku terharu, akhirnya aku menemukan siapa yang selama ini orang tuaku cari—atau mungkin sedih karena Han Geng tak mengenaliku sebagai adiknya. Bukankah seharusnya setiap adik kakak memiliki suatu ikatan batin? Kurasa kami tak memilikinya.

Kuberhentikan diriku di depan sebuah kursi kosong di luar LP. Aku bahkan tak sadar kalau aku terus saja menangis. “Yixing!” Yifan datang sambil berlari ke arahku. “Apa kau baik-baik saja?”

“Ya. Aku senang akhirnya bisa menemukan kakakku.”

“Aku tak menyangka kalau orang yang kita cari selama ini adalah pengacara ayahku.”

Aku mengangguk. “Yang penting sekarang kita sudah tahu yang sebenarnya.”

“Apa perlu kuberitahu Chanyeol?” Yifan mengeluarkan ponselnya dan aku mengangguk sambil tersenyum tanda sangat setuju.

“Yixing,” aku menoleh ketika mendengar suara yang tidak familiar bagi telingaku tiba-tiba memanggil. “Ada waktu? Kita bisa bicarakan ini di luar. Em, Yifan juga.”

Yifan dan aku saling bertatapan, kemudian mengangguk.

 

“Baik, aku akan meninggalkan kalian berdua.” kata Yifan segera menjauh dari kami—bahkan ia melambai dan berbisik, “semangat!”

Aku dan Han Geng duduk berhadapan kemudian memesan makanan.

“Kau tahu aku dari mana?” tanya Han Geng tiba-tiba, membuatku sedikit terkesiap. “Apa ayah dan ibu cerita soal aku?” Aku menggeleng. “Lalu, apa kau mendengarnya dari Bibi Wu atau Paman Wu?” Aku menggeleng lagi. “Jadi?”

“Aku tak sengaja menguping ayah dan ibu, Ge.” kataku jujur. Ia terdiam dan menatapku aneh hingga membuatku kebingungan akan kesalahan apa yang telah kuperbuat. “Apa ada yang salah denganku?”

“Aku senang mendengarmu memanggilku Gege, Xingie.” Han Geng bahkan mengacak rambutku pelan. “Gegemu tak apa jika mengacak rambutmu begini kan?”

“Iya, Ge. Tidak apa-apa.” Ia tersenyum.

“Ge, apa kau tidak akan pulang?”

“Aku akan pulang apabila Paman Wu sudah pulang, Xingie.”

“Kenapa begitu?”

Han Geng tertawa pelan kemudian berhenti setelah pelayan memberikan pesanan kami. “Ia sudah menghidupiku dengan uangnya hingga aku bisa jadi pengacara begini. Intinya, aku berhutang banyak padanya. Meski ia menipu orang, tapi aku tahu, ini demi kebaikan hidup keluarganya.”

“Aku akan menelepon ayah dan ibu untuk kesini—”

“Jangan!” Ia menggenggam tanganku kuat-kuat. “Tolong jangan beritahu mereka, biar aku yang datang sendiri.” Aku masih membeku begitu saja hingga ia melepaskan tanganku dan memberikanku sebuah album foto kecil. Kubuka lembaran-lembaran di dalamnya. Foto Han Geng dari kecil sampai besar terpampang jelas disana.

“Bawa ini pada mereka dan katakan bahwa aku tidak apa-apa. Meskipun wajahku sedikit berubah akibat operasi plastik, aku yakin mereka tahu ini aku.”

Aku menatap buku itu dan terpana dengan kehidupan kakakku yang kini berubah nama menjadi Han Geng dapat begitu bahagia. Meski ia harus hidup dibawah asuhan orang yang selama ini dibenci oleh orang tuaku, ia hidup bahagia. Ia bahkan bisa menjadi pengacara hebat seperti sekarang.

“Ayo sekarang kita makan, kau bisa melihatnya nanti.” Ia menutup album tersebut dan aku memasang ekspresi merengut yang membuatnya tertawa.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bekrayals
Guyssssa maaf ya ffnya belum bisa dilanjutin soalnya lagi sibuk2nya sm tugas yg numpukkk..kalo sempet baru dilanjut hehe

Comments

You must be logged in to comment
Clovexo
#1
Chapter 12: aku semakin bingung dgn keluarga ini
chamii704 #2
Chapter 11: Jujur c..sbnr'a aku g bgtu ngerti ma silsilah kluarga&knflik'a haha otak gw ky'a yg trlalu lemot..jd cuma bs koment ditunggu klnjutn'a hehee
pratiwi #3
Chapter 10: Selamat hari raya Galungan dan Kuningan. .
applelays #4
Chapter 11: ya ampun bikin penasaran aja :( sebenernya jiashuai itu siapa s huhu. eh si yifan itu semalem nyium yixing ya? hayoo ketauan wkwk
alhamdulillah sifatnya mas yifan gak berubah huhu gemes banget liat fanxing!
Clovexo
#5
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
Clovexo
#6
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
hilwani #7
Chapter 11: kok rada terburu2???
tapi yang yifan nyium yixing....aw aw aw....uyeeeee
eridanuspyxie #8
Chapter 11: rada bingung...sebenere kakaknya yixing dimana????? itu hubungannya makin ruweeett..tapi ditunggu lanjutannya...:)
Clovexo
#9
Chapter 10: ini sumpah membingungkan.. ada hubungan yg kyk mana sih antara org tua" itu dgn yifan yixing chanyeol dan sehun? terlalu membingungkan...