Part V (Happiness Won’t Last Forever)

My Love For You

Seperti biasa, aku berjalan kaki untuk menuju sekolah setiap paginya. Bukankah aku ini telah berjasa karena aku tidak mencemari lingkungan seperti kendaraan yang mengeluarkan gas karbon monoksida? Lagipula berjalan kaki itu sehat. Pantas saja kakiku yang meski kecil ini kuat sekali. Aku tergolong anak yang jago lari jika dibandingkan dengan teman-temanku yang ukuran kakinya lebih besar.

Tiin! Suara klakson terdengar di belakangku, membuatku terloncat kaget dan menoleh dengan heran. Di pinggir jalan, sebuah mobil hitam (entah merk apa aku tidak tau dan tidak peduli) terparkir dan seseorang keluar dari dalam sana.

Yifan.

“Selamat pagi, Yixing!” Ia menyapaku sambil tersenyum sendiri. Tumben banget.

“Mau berangkat bareng?” tawarnya. Huh, baru saja aku membangga-banggakan keuntungan dari berjalan kaki, tapi anak ini malah mengajakku untuk mengajak naik mobilnya.

“Tidak, terima kasih.” Tolakku sambil menggeleng. Ia menarik tanganku, “Heiz, kita kan teman. Tidak baik kalau menolak ajakan teman yang baik,” Aku menggeleng lagi.

“Aish, sombongnya.” Celetuk Yifan, membuat kedua mataku refleks membulat dan memelototinya dengan marah. Ia hanya menatapku datar. Huft. Sudahlah.

Akhirnya aku mengangguk. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Yifan. Mobil dilajukan dengan kecepatan standar, mungkin karena ini memang masih pagi. Kalau Yifan datang kesiangan..entahlah.

Ia menggerakkan jemari tangan kirinya ke arah music player sementara tangan kanannya terfokus pada setir. Sebuah lagu teralun dari music player tersebut. Lagu yang tak asing bagiku, Call You Mine dari Jeff Bernat, yang kuketahui adalah lagu kesukaan dari Yifan. (Aku tak sengaja mendengar Yifan menggumamkan lagu itu saat selesai pemanasan olahraga dan ketika kudengar lagu tersebut di radio, aku baru mengetahui judul lagu dan penyanyinya) Merasa sedikit terusik karena hanya membuat pipiku panas (ya, liriknya aku banget!), aku kemudian mengganti lagu tersebut ke lagu selanjutnya.

Lagu yang lebih tidak asing lagi sekaligus lagu yang paling kusukai seumur hidupku, Rainbow dari Jay Chou.

“Kamu suka Jay Chou?” Aku mengangguk, “Hm.”

Suasana tiba-tiba hening. Hanya terdengar alunan merdu suara Jay Chou.

Tiba-tiba saja aku teringat pada tugas aransemen yang baru saja kuselesaikan kemarin. Langkah selanjutnya hanyalah mencari seseorang untuk diajak untuk bernyanyi bersamaku saat pentas nanti, mengajaknya latihan, dan tampil dengan maksimal. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, banyak sekali yang suaranya bagus. Misalnya saja Luhan, yang suka bernyanyi sendiri kalau ia teringat pada pacarnya; Kyungsoo, yang suaranya mampu membuat semua terpana ketika ia bernyanyi saat pelajaran musik (sampai-sampai guru membujuknya untuk ikut klub musik tapi ia selalu menolak); Chen, meskipun penggosip tapi jago sekali mencapai nada-nada tinggi, dan masih banyak lainnya yang tak dapat kusebutkan satu persatu.

“Kamu kenapa? Kok diem? Galau ya?” 3 pertanyaan yang dilontarkan hampir tanpa spasi itu berhasil membuatku tersadar dari lamunan. Aku menggeleng, “Ih apa sih. Aku tiba-tiba inget sama tugasku yang belum selesai.”

“Hah? Tugas yang mana lagi sih? Bukannya kemarin sudah selesai?”

“Bukan tugas kelas, Yifan. Ini tugas klub musikku. Aku bingung harus berduet dengan siapa saat pentas seni nanti,” lirihku.

“Hmm, bagaimana kalau aku? Aku kan jago nyanyi!” Katanya dengan bangga lalu ia menyanyikan bagian rap dari lagu Rainbow dan melanjutkan nyanyiannya hingga akhir. Entah kenapa suaranya terdengar sedikit agak sumbang di tengah, dan itu membuatku tertawa terpingkal-pingkal sampai air mataku keluar. “Sudahlah, jangan tertawa lagi. Itu karena aku terlalu bersemangat,” kilahnya. Aku hanya mengangguk pelan, namun masih tertawa.

Sesampai di sekolah dan usai memarkirkan mobil, kami berjalan ke arah kelas. Aku masih belum bisa berhenti menertawakan suara sumbang tiba-tiba tadi karena suara tersebut terus saja terngiang-ngiang di kepalaku. Entah kenapa, image Yifan yang semua orang lihat sebagai image yang buruk justru terlihat sangat menarik di mataku. Setidaknya untuk saat ini.

Sampai akhirnya aku baru sadar kalau aku yang sedang berjalan dengan Yifan saat ini sangat mengundang banyak perhatian. Aku langsung mempercepat langkahku agar tidak berjalan secara bersamaan dengan Yifan.

Sial, aku lupa kalau langkahnya besar-besar sekali hingga ia mampu menyusulku. “Kenapa buru-buru, sih?” tanyanya.

“Hah? Apa? Nggak kok.” Aku mempercepat langkahku bahkan hampir berlari untuk masuk ke dalam kelas. Kudengar Yifan berteriak supaya aku menunggunya, tapi kuacuhkan saja.

Aku langsung duduk tanpa ba-bi-bu dengan banyak tatapan yang tertuju ke arahku. Yifan juga memasuki kelas, seperti biasa ia akan melewati bangkuku sebelum menuju ke bangkunya. Aku mengusap-usap keningku. Teman-teman sekelas pasti berpikir yang aneh-aneh.

“Ya iyalah! Mereka kan satu kelompok biologi, wajar aja kalau mereka cukup dekat!” teriak Luhan cukup keras dari bangku Kyungsoo. Oops, rupanya ada yang membicarakan kami, nih. Tepat seperti perkiraanku.

“Ya Tuhan, santai aja bisa kok!” Timpal Jongin sambil menoyor kepala Luhan yang langsung diusapnya. Luhan langsung berjalan ke bangkunya, dan menatapku dengan tatapan tolong-jelasin-semuanya.

“Ya, kan kita cuma satu kelompok. Nggak salah kan?” Jawabku singkat, padat, jelas.

“Tapi kan—” “Luhan! Kamu mau nyanyi buat pentas seni nanti?” sergahku cepat.

Wajahnya berseri-seri. “Tentu saja!”

“Wah, terima kasih! Nanti sepulang sekolah, kita latihan yuk!”

Ia mengangguk dengan antusias. “Aku akan mengundang pacarku nanti!” Aku balas mengangguk. Hitung-hitung aku belum pernah melihat pacarnya dengan mata kepalaku sendiri. Luhan hanya sering mengatakan bahwa pacarnya itu sangat lucu, terlihat seperti anak kecil, namun sikapnya dewasa. Tipe ideal Luhan.

Aku penasaran siapa gadis beruntung itu.

 

Meskipun itu pulang sekolah, sejujurnya aku masih agak risih dengan kedatanganku bersama Yifan yang mengundang perhatian tadi. Suara sumbang tadi masih terekam jelas, dan aku hampir keceplosan tertawa sendiri kalau bukan saja Luhan yang melihat gelagatku. Anak itu sepertinya sudah tau tanda-tanda kalau aku tiba-tiba akan tertawa sendiri tidak jelas.

“Hei, sombong!” teriakan tersebut membuatku kaget. Ia senyum-senyum ke arahku dengan senyumnya yang jelek itu. Siapa lagi kalau bukan si gigi kuda Yifan.

Aku tidak membalasnya, melainkan tetap berjalan seolah tidak mendengar apapun bersama Luhan. Tiba-tiba Luhan memegang tanganku dan menghentikan langkahnya.

“Kenapa gemeteran?”

“Ah itu,” aku menggaruk leherku. “Aku grogi karena harus berhadapan dengan pacarmu,” kilahku.

“Tenang saja, dia tidak akan memakanmu, kok! Meski ia sangat tampan, jangan sampai kau menyukainya ya, ayo!”

Sebentar, sangat tampan? Apa pacar Luhan ini laki-laki?—Tidak mungkin. Apa mungkin gadis tomboy dengan potongan rambut mirip laki-laki? Ya, mungkin saja.

Kami pun pulang naik taksi karena rumah Luhan bisa dibilang cukup jauh. Luhan menelepon pacarnya perihal undangan untuk melihat dirinya latihan vokal denganku. Ya Tuhan, dapat kutangkap ekspresi Luhan senang sekali. Belum pernah kulihat dirinya sesenang ini dengan gadis manapun sebelumnya.

Sesampai di rumah Luhan, kami langsung melesat ke kamarnya yang tergolong sangat rapi untuk ukuran laki-laki. Aku duduk di pinggiran kasur Luhan, menunggu empunya sedang berganti baju.

“Jadi, udah siap? Ini lagu yang rencananya kita bawakan,” aku memberikan lembaran hasil tugas aransemenku kepadanya setelah ia keluar dari kamar mandi. Ia mengangguk-angguk. “Hm, Cai hong?”

“Yup.” Kubiarkan selama beberapa menit Luhan mempelajari lagu tersebut.

“Ayo kita mulai latihannya!”

 

Aku tidak bisa berhenti tersenyum hambar karena pemandangan di depanku ini.

“Yixing, lihat dia. Bukankah dia seperti tipeku?” Aku mengangguk. Luhan mencolek-colek dagu pacarnya sambil tersenyum senang. Aku masih cukup kaget karena pacar Luhan ternyata adalah seorang laki-laki tetangga barunya, yang bernama Minseok. Ia memang lucu, terlihat seperti anak kecil, dan gaya bicaranya dewasa seperti yang Luhan katakan.

Sisa waktu dihabiskan oleh mereka untuk berpacaran, menganggapku seolah tak ada kecuali ketika ada perlu. Misalnya saja untuk mengambilkan ponsel Luhan yang berdering di sebelahku.

Sebaiknya aku pulang dan tidak mengganggu mereka.

-

Beberapa hari selanjutnya kujalani dengan dikerumuni banyak tugas. Berat badanku sudah mulai turun, dan lingkaran hitam di sekitar mataku sudah mulai terlihat. Bahkan bubur kesukaan yang ibu berikan padaku pun tidak tersentuh. Demi tugas-tugas sekolahku terselesaikan, aku rela tidak terlalu sering berlatih bersama, karena aku yakin Luhan juga butuh waktu untuk menyelesaikan tugasnya sendiri.

Aku mencuci wajahku dan menatapnya di wastafel sekolah. Tampangku semrawut sekali, seperti tampang buronan jika saja aku memiliki kumis ataupun jenggot. Ditambah lagi dengan keadaan rambutku yang sudah mulai panjang, aku terlihat semakin mengerikan.

“Permisi,” Suara itu. Suara yang sudah hampir seminggu tidak terdengar di telingaku setelah perkataannya yang bisa dibilang menyakitkan. “Ah, iya.” Sahutku sambil sedikit mundur, memberi ruang untuknya. Jujur saja rasanya senang dapat melihatnya sedekat ini setelah berhari-hari hanya melihatnya jika namanya disebutkan oleh guru.

“Kamu kenapa, Xing? Kenapa melihatku begitu?” tanya Yifan.

“Hah? Siapa yang melihatmu? Jangan terlalu percaya diri, tolong.”

“Benarkah?” tanyanya tak percaya, aku hanya mengangguk. “Mulutmu bisa saja berbohong, tapi cermin tidak,” katanya sambil menunjuk cermin dengan dagunya. Oh sial, apa aku tadi kelihatan sekali tengah memperhatikannya?

Lebih baik aku enyah saja dari hadapannya daripada harus menahan malu.

“Eit, mau kemana?” nadanya kesal, ia menahan tanganku. “Udah lama nggak ngobrol,” katanya pelan sambil tersenyum. Aku diam saja.

“Nggak kangen, nih?” Ia nyengir kuda.

Sedikit tidak cengirannya itu membuat ujung bibirku terangkat. “Kangen? Ya..nggak lah,” sahutku ragu. Aku gengsi sekali jika harus berurusan dengan hal-hal seperti ini.

“Serius? Tapi aku merindukanmu,” ia berjalan dan merentangkan tangannya seolah akan memelukku. Aku tidak bergerak dan tidak balas ingin memeluknya (aku takut sekali kalau ini hanyalah perasaan sesaat), mungkin itu penyebab mengapa ia langsung menurunkan tangannya setelah responku yang tak sesuai dengan harapannya. Ia tertawa renyah.

“Kudengar pentas seninya lusa, sudah siap?” Aku mengangguk mantap.

“Tentu saja! Aku dan Luhan sudah berlatih maksimal, kok.”

“Ah, benarkah? Aku bangga sekali sebagai temanmu,” katanya sambil mengacak rambutku pelan. Kami berdua tersenyum. “Terima kasih,” ujarku pelan.

Kami menghabiskan hari itu dengan sekedar mengobrol ringan. Hah..rasanya enak sekali. Yifan seolah-olah berhasil menghilangkan pikiranku dari beban-beban hidup yang jumlahnya bisa melebihi hitungan tak terhingga, meski hanya untuk sementara.

Karena semua kebahagiaan, menurutku tak ada yang abadi.

-

“Ya, Luhan! Apa yang terjadi padamu?” tanyaku setengah berteriak ke arah lawan bicaraku di telepon. “Hah. Itu akibatnya kalau kamu makan gorengan terlalu banyak..Apa? Radang? Lalu bagaimana—Halo?” Heiz!

Aku menaruh ponselku di atas meja dengan kasar dan menatapnya kesal, seolah-olah itu adalah wajah Luhan.

Bagaimana bisa orang itu terkena radang tenggorokan padahal sudah jelas esok ia akan mendampingiku untuk tampil?

“Sendirian?”

 

a/n: maaf ya baru sempet update, soalnya sebelumnya lagi dalam masa pemulihan diri gitu abisnya suka down sendiri; sama lagi berusaha fokus ke pelajaran juga gara-gara nilai tengah semester jelek banget. maaf yang udah dibikin nunggu lama (gak yakin juga sih haha), dan maaf komentarnya gak dibales satu persatu soalnya bingung mau bales apa.. hehe. tapi makasih ya udah mau komentarin. terus juga buat Ditha makasi lagi buat ide-idenya hehehe pengen rekrut jadi co-author aja gitu ;__; yang akan UAS bulan ini, semangat ya! (ceritanya ngomong ke diri sendiri)
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bekrayals
Guyssssa maaf ya ffnya belum bisa dilanjutin soalnya lagi sibuk2nya sm tugas yg numpukkk..kalo sempet baru dilanjut hehe

Comments

You must be logged in to comment
Clovexo
#1
Chapter 12: aku semakin bingung dgn keluarga ini
chamii704 #2
Chapter 11: Jujur c..sbnr'a aku g bgtu ngerti ma silsilah kluarga&knflik'a haha otak gw ky'a yg trlalu lemot..jd cuma bs koment ditunggu klnjutn'a hehee
pratiwi #3
Chapter 10: Selamat hari raya Galungan dan Kuningan. .
applelays #4
Chapter 11: ya ampun bikin penasaran aja :( sebenernya jiashuai itu siapa s huhu. eh si yifan itu semalem nyium yixing ya? hayoo ketauan wkwk
alhamdulillah sifatnya mas yifan gak berubah huhu gemes banget liat fanxing!
Clovexo
#5
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
Clovexo
#6
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
hilwani #7
Chapter 11: kok rada terburu2???
tapi yang yifan nyium yixing....aw aw aw....uyeeeee
eridanuspyxie #8
Chapter 11: rada bingung...sebenere kakaknya yixing dimana????? itu hubungannya makin ruweeett..tapi ditunggu lanjutannya...:)
Clovexo
#9
Chapter 10: ini sumpah membingungkan.. ada hubungan yg kyk mana sih antara org tua" itu dgn yifan yixing chanyeol dan sehun? terlalu membingungkan...