Part IV (A Friend’s Confession)

My Love For You

Brak! Aku membuka pintu kelas dengan kasar dan segera berjalan menuju lapangan basket. Aku tak peduli seberapa menakutkannya wajahku sekarang. Aku sangaaaat kesal.

Seperti yang kuduga, dia disana. Sedang bermain-main dengan bola basket. Menyadari kehadiranku, ia menoleh dan menatapku terkejut. “A-ada apa?”

“Kamu gila ya!” Aku berjalan mendekatinya dan menarik tangannya untuk meminggirkan diri. “Ini bukan salahmu, kenapa sih. Aku tau kamu kaya, tinggal di apartemen mewah, tapi jangan gini juga! Ini berlebihan!”

Ia tertawa pelan, dan menunduk. “Aku hanya takut,” katanya pelan.

“Apa yang perlu ditakuti, ini kan bukan salahmu. Kamu tidak mengambilnya, tapi kamu yang memberi ganti rugi?” Aku tertawa mengejek. “Jangan egois, Wu Yifan.” Kemudian ia menoleh dan tersenyum ke arahku.

“Aku sudah dicap sebagai anak yang benar-benar punya reputasi buruk karena kasus pencurian di sekolah ini. Aku ingin mengakhirinya, Xing. Aku lelah. Seperti ibarat sebuah luka, aku lebih memilih untuk menyembuhkan luka itu sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuanku, dibandingkan dengan membiarkan luka yang kualami memburuk seiring berjalannya waktu. Aku tau Tuhan pasti memiliki rencana dibalik semua ini,” demikian katanya. Aku tak bisa berkomentar apa-apa. Pasti sulit baginya untuk membuat keputusan seperti ini. Aku tak bisa membayangkan diriku jika berada di posisinya sekarang, kurasa dengan egoisnya aku akan membela diriku sendiri, karena jelas itu semua bukan salahku.

Aku menghela nafas. “Tapi kan, ini bukan salahmu. Bukannya malah lebih baik, semua jadi tambah buruk. Uang yang kamu keluarin bukan cuma beberapa helai aja.” Kataku berusaha tenang, tidak bermaksud untuk memojokkan Yifan. Tapi ternyata aku salah besar, ia marah padaku.

“Biarin aku yang menghadapi masalah ini. Gak usah ikut campur!”

“Aku nggak ikut campur, ya. Aku cuma peduli sama kamu.” Balasku tenang. Aku tak mau Yifan semakin marah padaku hanya karena perkataanku tadi. Ia mempercayaiku..dan aku tak mau kehilangan fakta itu. Yifan tidak membalas perkataanku, ia menarik nafas dan membuangnya kasar, kurasa berusaha menelan semua kemarahannya yang awalnya ia akan berikan padaku.

“Buat apa kamu peduli sama aku?” Tanyanya datar.

“Karena kamu temanku!”

“Buat apa kamu temenan sama aku?” Tanyanya lagi. Aku benar-benar bingung sekarang. Sebenarnya dia kenapa, sih? Ingin sekali kukatakan kalau aku menyukainya. Tapi aku belum benar-benar yakin pada perasaanku sendiri, jadi kutunda saja sampai aku yakin.

“Sudah untung kuanggap teman,” jawabku akhirnya, tanpa embel-embel pernyataan bahwa aku menyukainya. Kulihat ia sudah tidak sedatar tadi, dengan cuek ia menjawab “Terserah deh.” Kemudian ia kembali bermain dan meninggalkanku. Aku menarik nafas dan membuangnya pelan, kurasa aku harus membiarkannya sendiri kali ini.

-

Siapa yang menyangka kalau ternyata pengakuan pura-pura Yifan malah berdampak baik? Maksudku, semua anak di kelasku setidaknya kini sudah mulai berinteraksi dengannya, sudah tidak menganggapnya hanya sebagai orang tak terlihat. Aku tak tahu apakah ini justru baik atau buruk untukku, karena faktanya sekarang ia memiliki banyak teman yang diajak berinteraksi.

Tunggu, untuk apa aku iri?—Sudahlah.

Ia bahkan sudah sibuk dengan ponsel barunya yang bagus itu. Lalu alasan apa yang mendukung kalau ia akan mendatangiku lagi? Kurasa tidak ada.

 

Kecuali satu, tugas biologi kelompok. Aku dan Yifan digabung dalam satu kelompok karena nomor absen kami yang berurutan (Ya, tahulah. Nama tengah kami sama-sama Yi). Dan sekarang aku berada di depan pintu kamar apartemen Yifan, menunggu pemiliknya untuk keluar.

Akhirnya pintu terbuka dan Yifan tengah mengucek-ngucek matanya, masih menggunakan piyama tidur (Dan ia terlihat sangat tampan).

“Em, Yifan? Kita..bukannya sudah janji mengerjakan tugas biologi?” aku bertanya pelan. Ia hanya mengangguk dan tersenyum kaku, “Masuk,” katanya.

“Ah, iya iya.” Kataku kaku dan gugup. Ya, aku pun masuk ke dalam apartemen itu untuk yang kedua kalinya. Yifan menawariku minum, aku menolak dengan salah tingkah (Siapa yang tidak, sudah lama kami tidak berbicara bahkan hanya untuk sekedar basa basi). “Nggak, terima kasih. Minum saja untukmu sendiri,”

“Kenapa rasanya belakangan ini kamu jaga jarak gitu sih, bukannya kita teman?”

Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya. Ya, sedikit. Tapi aku hanya memilih untuk menjawab “Jaga jarak? Nggak, kok.”

“Terus itu apa? Kenapa gak pernah ngomong sama aku lagi? Udah gak percaya sama aku lagi ya?” Tanya Yifan bertubi-tubi layaknya seorang pacar yang posesif—sangaaaat posesif. Tapi sayang sekali aku bukan pacarnya. Aku hanya seorang..teman. (Lagipula mana mungkin Yifan menyukai seorang laki-laki. Dasar bodoh.)

“Bukan begitu, aku hanya sedang sibuk,” jawabku tenang.

“Sibuk apa? Katakan saja kalau kamu ingin jaga jarak denganku! Sombong sekali mentang-mentang pintar.” Aku tercengang.

“Apa sih? Memangnya salah kalau aku lebih sering meluangkan waktuku dengan tugas ketimbang dengan—” “Jelas itu salah, Zhang Yixing!”

Hening. Aku menarik nafas dan membuangnya dengan perlahan, berusaha mengontrol emosi yang kurasa akan meluap. Aku tidak mau melampiaskan emosiku pada Yifan, apalagi disaat penting seperti ini—maksudku, di saat membuat tugas yang jelas-jelas akan dikumpul esok—aku benar-benar tidak ingin mengacaukan moodku maupun mood Yifan yang berujung pertengkaran dan pada akhirnya tugas kami tidak terselesaikan.

“Itu hanya perasaanmu saja, Wu Yifan. Aku masih tetap sama seperti dulu,” Hening lagi. “Aku bukan sombong, aku hanya benar-benar sibuk,” kataku lagi akhirnya.

“Hmm, terserah deh.” Balas Yifan cuek.

“Lebih baik kita buat tugas saja daripada marah-marah tidak jelas seperti ini,” aku mengeluarkan laptop dan beberapa buku yang baru kupinjam dari perpustakaan kota. “Kamu yang memulainya!” celetuk Yifan menanggapi perkataanku.

“Eh?” tanyaku heran. Aku menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah. Ayo kerjakan tugasnya.”

Akhirnya kami membagi tugas dalam 2 bagian. Kami mengerjakan semuanya dalam diam. Suasana benar-benar hening, hanya terdengar suara keyboard yang ditekan-tekan dan halaman buku yang dibolak-balik. Dari sudut mataku dapat kulihat kalau Yifan sekarang sedang terlihat serius, aura dingin dan misteriusnya terpancarkan.

Sampai akhirnya aku ketahuan karena memperhatikannya. “Ada apa, Xing?”

“Ah—tidak ada apa-apa,” jawabku grogi.

“Aku tau aku ini tampan dan menarik, tapi jangan segitunya dong,” balas Yifan bangga sambil senyum-senyum sendiri.

“Tampan dari Hongkong.” Balasku datar, kembali mengerjakan tugas yang seharusnya kukerjakan. Hazz, kenapa rasanya panas sekali, sih. Terlebih lagi ia malah menertawaiku. Kukira sekarang aku sudah terlihat seperti seonggok kepiting rebus. Kesal, akhirnya aku berkata “Sudahlah! Selesaikan pekerjaanmu, jangan tertawa, heiz.”

Kulanjutkan pekerjaanku. Aku sedang tidak ingin bermain-main sekarang, aku hanya ingin agar tugas ini agar cepat selesai sehingga aku bisa pulang dan kembali berkutat dengan aransemenku. Aku tidak ingin sekedar melirik—apalagi melihat Yifan, aku harus fokus pada tugasku. Tapi bayangan Yifan yang tertawa tadi masih tergambar jelas di benakku—Uh, tidak. Aku harus fokus.

 

Akhirnya tugas kami pun selesai, dan aku memutuskan untuk pulang.

“Yifan, aku pulang dulu ya.” pamitku.

“Langsung pulang nih? Nggak mau main-main dulu?”

Ya, sejujurnya sih aku ingin sekali lebih lama disini, tapi kan.. “Eng-enggak. Aku harus pulang.” tolakku malu-malu dan gugup. Aku berjalan ke arah pintu dan kemudian Yifan datang menghadang jalanku.

Eh..kenapa aku tiba-tiba berpikiran seperti sinetron picisan yang ditayangkan di televisi ya?

“Kalau kau perlu bantuan, jangan sungkan hubungi aku ya,” katanya lembut. Aku tak berusaha menatap matanya, yang kulakukan hanyalah menunduk. “I-iya,” jawabku gugup. Entah kenapa degup jantungku susah sekali untuk dikontrol. Dia menyingkir untuk memberikanku jalan untuk keluar.

Sebelum menutup pintu, dapat kudengar kekehannya di dalam sana. Aku tersenyum kikuk.

 

a/n: makasi buat Ditha yang udah bantuin buat ngasi ide di part ini. Gak tau lagi harus bilang apa, makasi banyak! You are the best sister ever<3
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
bekrayals
Guyssssa maaf ya ffnya belum bisa dilanjutin soalnya lagi sibuk2nya sm tugas yg numpukkk..kalo sempet baru dilanjut hehe

Comments

You must be logged in to comment
Clovexo
#1
Chapter 12: aku semakin bingung dgn keluarga ini
chamii704 #2
Chapter 11: Jujur c..sbnr'a aku g bgtu ngerti ma silsilah kluarga&knflik'a haha otak gw ky'a yg trlalu lemot..jd cuma bs koment ditunggu klnjutn'a hehee
pratiwi #3
Chapter 10: Selamat hari raya Galungan dan Kuningan. .
applelays #4
Chapter 11: ya ampun bikin penasaran aja :( sebenernya jiashuai itu siapa s huhu. eh si yifan itu semalem nyium yixing ya? hayoo ketauan wkwk
alhamdulillah sifatnya mas yifan gak berubah huhu gemes banget liat fanxing!
Clovexo
#5
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
Clovexo
#6
Chapter 11: waaah... balik ke seoul lagi? yixing jadi kayak pingpong.. tpi untungnya tuh kris gak berubah ya sikapnya ke dia.. syukur bgt dah
hilwani #7
Chapter 11: kok rada terburu2???
tapi yang yifan nyium yixing....aw aw aw....uyeeeee
eridanuspyxie #8
Chapter 11: rada bingung...sebenere kakaknya yixing dimana????? itu hubungannya makin ruweeett..tapi ditunggu lanjutannya...:)
Clovexo
#9
Chapter 10: ini sumpah membingungkan.. ada hubungan yg kyk mana sih antara org tua" itu dgn yifan yixing chanyeol dan sehun? terlalu membingungkan...