VIII-I. Memoir; Teardrops

The Merciless Truths

(a/n): saya yakin pembaca saya pintar semua, jadi saya tidak memberikan tanda berarti mana adegan flashback dan mana yang terjadi di present time. enjoy!


 

ARC :: The Shattered Rose

 

 

VIII-I. Memoir; Teardrops

“Speak of the devil;

and he shall appear”

 

 

Ia baru saja menginjak umur 11 tahun saat ia mulai menumbuhkan rasa bencinya kepada kaum laki-laki di luar sana.

Chorong kecil membenci setiap laki-laki yang kadang mampir mengunjungi apartemen sempit mereka untuk mengantarkan ‘wanita itu’. Semua karena ibunya yang Chorong benci untuk panggil sebagai ‘ibu’. Ibunya tidak pernah ada untuknya maupun Chanyeol yang bahkan baru berumur 8 tahun. Ibunya lebih memilih bermain-main dengan para lelaki bejat di luar sana, menghamburkan dan menguras uang setiap teman lelakinya itu. Yang jelas wanita itu murni melakukannya demi kesenangan, dan bukannya untuk kebaikan keluarga mereka.

Lebih-lebih Chorong tidak mengerti mengapa Ayahnya tetap membiarkan itu semua terjadi di depan matanya sendiri.

Lelaki lemah yang Chorong kecil nilai keberadaannya hampir terlupakan. Ayahnya itu hampir selalu mengurung diri di kamar kerjanya, berkutat dengan sesuatu yang Chorong tidak tertarik untuk ketahui. Yang pasti Chorong tahu bahwa pekerjaan ayahnya sama sekali tidak menghasilkan uang yang banyak.

Jadi di umur 11 tahun Chorong kecil sudah mulai belajar untuk mengurus dirinya sendiri serta bagaimana membesarkan adik lelakinya, tanpa harus bergantung penuh kepada orangtua yang bahkan hampir tidak pernah bertatap muka dengan mereka. Seandainya bukan karena Chanyeol pun, Chorong yang saat itu berumur 11 tahun akan lebih memilh kabur dan menggelandang di jalan.

Sampai pada suatu malam dari arah ruang tamu mereka terdengar teriakan keras yang saling menyahut dari kedua orang tuanya. Di dalam kamar mereka yang gelap dan sempit, Chorong terus menangkupkan kedua telapak tangannya di telinga Chanyeol kecil. Adiknya selalu menatap sang kakak kebingungan dan meringkuk di tempat tidur mereka seolah benar-benar ketakutan. Tetapi Chorong selalu siap untuk melindungi adiknya itu kapanpun juga, bahkan dari rasa takut. Jadi sang kakak pun tanpa henti berusaha membisikkan kata-kata manis ke telinga Chanyeol. Meskipun teriakan-teriakan di luar kamar mereka itu semakin terdengar meninggi dan meninggi.

Esoknya, Chorong tidak mengeluarkan komentar apapun saat ia sadar ada banyak barang yang hilang dari apartemen mereka. Barang-barang milik ibu mereka, secara spesifik. Chorong kecil sama sekali tidak bertanya kenapa setelah hari itu ibunya tidak pernah kembali pulang.

 

:::

 

“Noona, kenapa aku tidak pernah melihat Ibu lagi? Kenapa Ayah tidak bilang apapun kepada kita?”

“Mungkin karena Ibu menemukan teman bermainnya yang lain. Ibu lebih suka bermain dengan mereka, jadi aku rasa Ibu akan pergi dalam waktu yang sangat lama Chanyeol-ah.”

 

:::

 

Suho sedari tadi hanya mengacak ulang kartu pokernya di tangan. Ia menatap hambar ke arah Ruang Oval markas besar organisasinya yang saat ini atmosfernya dipenuhi dengan perasaan canggung yang tebal. Padahal sudah lama rasanya tidak pernah seperti ini. Markasnya tidak pernah sehening ini sebelumnya, hanya terdengar suara komputer dinyalakan dan suara keyboard yang diketik, itu pun hanya berasal dari Kyungsoo dan Eunji. Selebihnya? Mereka benar-benar diam.

“Ini sudah hari keempat.” gumam Woohyun yang duduk di depannya.

“Aku tahu.” balas Suho sama pahitnya.

“Apa tidak ada yang benar-benar tahu ke mana wanita jahanam itu pergi dan tidak pernah menunjukkan mukanya di sini lagi?”

Hening. Bahkan kini suara ketikan keyboard Kyungsoo dan Eunji sudah berhenti.

“Kita tidak ada yang pernah mengetahui di mana Chorong unnie selama ini tinggal…” bisik Eunji pelan dari kursi putar tempatnya bekerja.

“Bukankah organisasi ini seharusnya bisa melakukan sesuatu untuk mencari tahu?” tanya Woohyun skeptis kepada dua orang operatornya.

“Justru karena Chorong noona adalah anggota organisasi inilah yang membuatnya susah untuk dilacak.” timpal Kyungsoo, “Database komputer kita otomatis menghapus segala informasi-informasi paling pribadi yang dia punya demi prosedur keamanan. Artinya, ketika dia ingin menghilang, maka dia benar-benar akan menghilang.”

Baekhyun mengernyitkan dahi dari tempatnya duduk di sofa, “Kita bisa melakukan itu?”

“Kalau kamu sih, aku meragukannya.”

Sunggyu yang sedari tadi mengamati mulai mengacak-acak rambutnya, “Suho-ya. Apa kau tidak bertemu dengannya di kampusmu?”

“Aku sudah bertanya kepada teman-teman sekelasnya, tapi mereka semua bilang Chorong tidak pernah datang masuk ke kelasnya lagi.”

Dan mereka tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan kembali.

Tidak ada yang pernah mengira hilangnya Chorong akan membuat mereka menjadi seperti ini.

“Bagaimana dengan kliennya, Tuan Lee Minhyuk, kalau tidak salah?” sahut Eunji, “Apa dia tidak bilang apa-apa soal permintaannya lagi?”

Sunggyu menghela nafas begitu ia teringat akan sumber masalahnya itu, “Dia bilang dia akan menunggu, sampai Chorong kembali. Dia bersikeras kalau Chorong harus ikut dalam misinya.”

“Kalau segampang itu bicaranya kenapa bukan dia yang membawa Chorong ke sini? Bukannya mereka saling kenal?” gerutu Woohyun dari tempatnya.

“Apa kau tidak ingat terakhir kali mereka bertemu yang satunya hampir mati dicekik oleh yang satu lagi?” Suho memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dari kartu poker di tangannya yang makin lama makin tampak membosankan.

Hoya yang sedari tadi diam, akhirnya tidak sanggup lagi menahan kata-kata yang selama ini ia coba telan. “Kalau kalian begitu seputus asanya mencoba mencari Chorong, bukankah ada satu orang yang bisa kita coba untuk minta tolong?”

“Tapi Nona Naeun menolak untuk mengatakan sesuatu selama ini.”

“Yang kumaksud bukan Nona Naeun.” sambar Hoya tegas. “Jangan bilang kalian melupakan keberadaannya.”

Begitu Suho mengerti apa yang dimaksud oleh Hoya, pemuda itu mengeluarkan tawanya yang terdengar pahit. “Ah, aku rasa kita sudah tidak punya pilihan lain selain mengambil jalan neraka ini, bukan?”

Di tempatnya duduk, Baekhyun dengan bingung mengamati raut wajah rekan-rekannya yang tiba-tiba berubah. Terutama ketika itu bukanlah reaksi terbaik yang bisa mereka berikan. Demi Tuhan, ia bahkan tidak tahu siapa yang sesungguhnya orang-orang ini bicarakan.

“Ada yang mau berbaik hati memberitahuku siapa sebenarnya orang yang sedang kita bicarakan ini?”

Suara Baekhyun adalah satu-satunya yang menggema di ruangan yang lebih sepi dari taman makam itu.

 

:::

 

Chorong baru akan mengambil ujian kelulusannya dari Sekolah Dasar ketika ia mengetahui apa yang selama ini dikerjakan oleh Ayahnya. Ia tidak bermaksud untuk menyusup masuk ke dalam ruang kerja Ayahnya pada sore itu. Tidak pernah dalam bayangannya, ia akan melihat benda-benda berkilauan dengan warna-warna yang lebih indah dari yang pernah ia lihat di buku bergambar.

Benda-benda itu ditempatkan dengan sangat hati-hati di dalam peti-peti kecil. Beberapa di antaranya, dipajang di meja Ayahnya dengan alat yang tampak seperti kaca pembesar tergantung di dekatnya. Chorong tahu nama benda-benda ini.

Berlian.

Apa yang Ayahnya lakukan dengan berlian-berlian ini?

“Chorong.” suara Ayahnya membuatnya terlonjak dan ia langsung berbalik. Ayahnya memandangnya dengan dua mata yang terlihat sangat lelah. Keriput di wajahnya bahkan nampak terlihat lebih jelas dari biasanya.

“A-aku tidak bermaksud untuk melakukan apa-apa. Pintunya tidak terkunci lalu aku--“

“Tidak apa-apa. Ayah tidak marah kepadamu.” Ayahnya maju dan mengulurkan tangannya untuk mengusap-usap ujung kepala Chorong yang berbadan mungil.

Untuk pertama kalinya, Chorong bisa merasakan perasaan hangat merayapi hatinya.

“Apa yang Ayah lakukan… dengan semua berlian itu…?” tanya Chorong pelan. Ia bukan berada di umur yang bisa menahan semua rasa penasaran ini.

“Hmm… Bagaimana memberitahukannya kepadamu ya… Ah, bisa dibilang, Ayah menolong orang-orang untuk memberitahu mereka mana yang palsu dan mana yang asli.”

Chorong kecil mengerutkan alisnya, “Jadi itu sebabnya kenapa kadang-kadang orang-orang asing itu sering datang kemari? Ayah menolong mereka?”

“Bisa dibilang begitu. Sini, biar kutunjukkan caranya padamu.”

Ayahnya membawa Chorong masuk ke dalam ruang kerjanya, dan untuk satu jam berikutnya, Ayah dan Anak itu terlibat dalam satu pembicaraan yang hangat.

Itu adalah untuk pertama kalinya Chorong menghabiskan waktu yang lama dengan Ayahnya sendiri.

Perlahan-lahan, Chorong tidak pernah menganggap Ayahnya sebagai orang yang lemah lagi.

Ia mulai berpikir, mungkin Ayahnya bukanlah lelaki yang seburuk ia sangka.

 

:::

 

Ia menghitung dalam hati sudah berapa hari majikannya ini terlihat muram. Lebih dari tiga hari pastinya, dan Myungsoo mulai bisa mengira-ngira kenapa. Tidak sulit menebaknya karena suasana yang sama bisa dirasakan di seluruh sudut markas besar yang hari ini dia datangi. Ini pertama kalinya dalam lima hari terakhir Nona Muda yang selalu ia jaga ini mau menunjukkan dirinya di dalam markas besar Arcana. Meskipun begitu, tetap saja, Sang Pandora itu lebih memilih menjauh dari siapapun dan tidak benar-benar mengeluarkan suara.

“Aku tidak tahu efeknya akan sebegini besarnya.” gumam Myungsoo dari tempatnya duduk. Bergantian mengamati rekan-rekannya jauh di dekat layar besar dan meja hologram, lalu pada Naeun yang terduduk tanpa suara di pojokan Ruang Oval.

Naeun hanya meliriknya sebentar sebelum kembali mengarahkan tatapannya ke buku yang ia pegang.

“Myungsoo-ssi, kau tidak perlu repot-repot untuk terus ‘menempel’ denganku, aku tahu kau masih punya banyak hal lain untuk dilakukan.”

Myungsoo mengangkat bahunya dengan enteng, “Tidak juga. Aku sudah keluar dari Bandku.”

Ia tidak menyangka, gadis di depannya itu akan menutup bukunya dengan tiba-tiba dan nyaris membanting benda itu ke meja.

“Kenapa kau melakukan itu?” tanya Naeun tajam, sepertinya tidak pernah benar-benar terbiasa tidak mengetahui segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Gadis itu berusaha selalu mengingatkan dirinya bahwa Kim Myungsoo adalah sesuatu yang tidak bisa ia tebak.

Well, aku tidak akan bisa terus berada di dalam Band kalau aku harus mengikutimu ke mana-mana, kan?”

“Bukankah aku sudah bilang aku tidak memintamu untuk melakukan itu?!”

“Bukan kamu, tapi Sunggyu-ssi dan Ayahmu yang memintanya.”

Naeun hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar, “Ayahku?! Dia memintamu langsung?”

“Bagaimanapun, sekarang aku punya pekerjaan resmi dan tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengikutimu ke mana-mana.”

“Kamu rela membuang bandmu dan meninggalkan teman-temanmu… demi aku? Itu terdengar konyol.” desis Naeun kepada pemuda yang bahkan masih memasang raut wajah pasifnya.

“Bayarannya lebih tinggi daripada kalau aku tetap berada dalam band, jadi…”

“Omong kosong, bukan uang yang kau cari.”

“Hooo… Anda sepertinya terlalu banyak ingin tahu untuk ukuran seorang majikan bukan?”

“Aku bukan majikan--“

“Tapi aku menerima uang darimu, secara tidak langsung, dan aku bertanggung jawab kepadamu. Itu berarti membuatmu sebagai majikanku, suka atau tidak suka.” potong Myungsoo enteng.

Dan Naeun menyerah, ia memberikan satu tatapan tajam kepada pemuda yang (secara sepihak) ditunjuk menjadi pengawal pribadinya itu. Ia tidak tahu berurusan dengan orang yang sama sekali tidak bisa ia baca bisa serumit ini.

Tidak berapa lama sampai Myungsoo menyadari tatapan kosong itu muncul di kedua bola mata Naeun untuk sepersekian detik. Ia seharusnya sudah mulai familiar dengan gerak-gerik Nona Mudanya itu. Jadi ketika Naeun tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dengan raut wajah yang tertekuk, Myungsoo refleks meningkatkan kewaspadaannya.

“Dia sudah datang.” Ucap Naeun cukup keras sampai bisa didengar oleh satu ruangan. Mendadak semua orang menghentikan pekerjaan mereka dan memandang Naeun secara bersamaan.

Myungsoo hanya menatap Sang Pandora dengan kedua alis yang makin lama makin saling bertaut. “Siapa?”

“The Devil.”

Tiba-tiba saja pintu satu-satunya yang menghubungkan markas besar Arcana dan  ‘dunia atas’ terbuka, menunjukkan seorang lelaki kurus dan jangkung dengan rambut cokelat terang menyala. Pakaiannya yang serba hitam seperti anak punk, serta telinganya yang ditindik dengan jumlah piercing yang tidak sedikit, membuatnya terlihat sangat intimidatif. Ia berjalan masuk dengan sebuah senyum yang ditarik dengan penuh arti. Myungsoo yang belum pernah melihat wajah orang ini sebelumnya pun langsung menyipitkan matanya dengan awas.

Ia tidak punya piihan lain, segala yang ada dalam diri pria asing itu berteriak “berbahaya”.

Good eveniiing~!” seru lelaki itu dengan lantang, “Tidak perlu memasang wajah semuram itu teman-temanku, karena aku membawa apa yang kalian minta.” Suaranya berseru dengan enteng dan tidak ada beban, tapi di saat bersamaan juga menebalkan atmosfer tidak nyaman yang sudah meliputi ruangan ini sejak tadi.

“Tinggalkan semua informasi yang kami minta kepadamu dan cepatlah pergi, Sungyeol.” Woohyun menyemburkan kata-katanya dengan nada-nada tajam.

“Kasar sekali sambutanmu Woohyun-ah, jujur aku mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari ini. Kapan terakhir kalinya aku datang mengunjungi kalian hmm?”

Suho pun maju dari tempatnya, “Kau bilang kamu membawa apa yang kami minta? Jadi kau tahu di mana Chorong berada sekarang?”

“Tentu, tentu, dia ada di-- AH! Di situ kau rupanya!!” Lelaki yang bernama Sungyeol itu mengabaikan Suho dan tersenyum lebar ke arah Naeun yang berdiri mematung di tempatnya. “Empat tahun tidak bertemu dan kau rupanya tumbuh menjadi wanita yang cantik, Pandoraku!

“Aku bukan milikmu, Sungyeol.” sambar Naeun datar. Ini adalah untuk pertama kalinya Myungsoo melihat Naeun bisa mengeluarkan tatapan sedingin itu sejak ia mengenal gadis ini.

Entah sejak kapan, tapi Sungyeol sudah berdiri di hadapan Naeun dengan senyumannya yang terasa licik. “ ‘Oppa’, Naeun-ah, tidak sopan memanggil seseorang yang lebih tua darimu hanya dengan namanya saja ya kan? Aku kira sekolah di Jepang seharusnya memberimu sedikit tata krama?” Dan saat ini, jarak Sungyeol sudah terlalu dekat dari yang bisa Naeun toleransi. Gadis itu merasa mengkerut dengan seluruh aura mengintimidasi yang keluar dari Sungyeol.

Ketika Naeun tidak menjawab apa-apa, seringai yang terukir di wajah Sungyeol pun semakin melebar. “Tch tch, aku tidak sadar betapa aku merindukanmu Nona Mudaku. Jadi, bagaimana kalau kita berbagi cerita sedikit selama kita tidak bertemu di empat tahun terakhir ini hmm?” Sungyeol menarik satu telapak tangan Naeun dan menggenggamnya erat-erat, hampir meremasnya bahkan. “Bagaimana Tuan Puteri? Menikmati apa yang kau lihat? Bukankah memoriku sungguh indah?”

Tetapi dia tidak mengucapkannya dengan perasaan yang sungguh-sungguh.

Malahan, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat berbisa. Kilat di mata lelaki bernama Sungyeol itulah yang sesungguhnya berbicara. Tatapan matanya yang selalu menganggap manusia-manusia lain sebagai permainan belaka, yang hanya menghiburnya untuk menjauhkannya dari kata bosan.

Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikannya.

Di tempatnya berdiri, Naeun dengan tatapannya yang mendadak kosong, berusaha melawan penglihatannya yang makin lama makin menunjukkan hal-hal buruk kepadanya. Ia melihat Sungyeol di puncak gedung sedang tertawa keras melihat gadis yang bunuh diri dengan melompat dari lantai tertinggi. Kilasan yang lain memperlihatkannya sepasang suami istri yang mengacungkan ujung pistolnya ke satu sama lain. Atau pemuda kurus nyaris tanpa daging yang dengan putus asa mencoba meraih satu botol penuh berisi pil yang berada di tangan Sungyeol.

Naeun mencoba memejamkan matanya tetapi penglihatan-penglihatan itu tidak mau berhenti. Orang-orang yang menjadi boneka Sungyeol, orang-orang yang ia manipulasi hanya demi kesenangannya, memberikannya hiburan. Gadis itu mencoba menarik tangannya menjauh, tetapi genggaman Sungyeol lebih kuat.

“Hentikan, Sungyeol.” desis Naeun dengan suaranya yang bergetar. “Berhentilah membunuh mereka.”

Tapi Sungyeol hanya tertawa keras, “Aku tidak membunuh mereka Tuan Puteri, mereka membunuh diri mereka sendiri!”

Dengan putus asa dan tubuh yang gemetar, Naeun mencoba menarik tangannya kembali. “Lepaskan. Aku mohon lepaskan.”

“Kenapa? Bukankah aku memberikanmu tontonan yang menarik? Inilah dunia nyata, Tuan Puteri, Anda sedang melihatnya.” kali ini Sungyeol mengeluarkan tawa meremehkannya.

Sunggyu pun berdiri dari tempatnya duduk, “Sungyeol sudah cukup!”

Tapi belum sempat Sunggyu melangkah, sudah ada tangan lain yang mencengkeram tangan Sungyeol dan melepaskan dengan paksa genggaman lelaki itu dari Naeun. Myungsoo, tanpa melepaskan cengkeramannya dari tangan Sungyeol, melangkah di ruang antara Naeun dan Sang Iblis itu.

“Dia bilang lepaskan.” Dua bola mata berwarna biji kopi Myungsoo menatap mata Sungyeol tajam-tajam.

Sungyeol kemudian mengenduskan nafasnya keras-keras, “Aaaah! Jadi ini, anjing penjaga baru bagi Sang Pandora yang aku dengar akhir-akhir ini!” Sebuah hentakan melepaskan tangan Sungyeol dari cengkeraman Myungsoo, dan pada akhirnya Sang Iblis pun melangkah mundur meskipun seringai di wajahnya tak pernah hilang. “Kau benar-benar bertingkah seperti anjing penjaga yang patuh, ya kan?”

Dahi Myungsoo berkerut mendengar sebutan ‘anjing penjaga’ yang ditujukan kepadanya. Ia terutama tidak menyukai dipanggil begitu oleh lelaki seperti si Sungyeol ini. Insting Myungsoo mengatakan bahwa lelaki ini adalah orang yang harus ia jauhi sebisa mungkin.

“Sungyeol, kau harus ingat tujuanmu datang ke sini.” tegas Sunggyu dengan suara otoriternya lagi. Pemuda yang dipanggil akhirnya menolehkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya dari Myungsoo dan Naeun.

“Apa? Memangnya aku tidak boleh datang ke sini sesukaku? Jadi untuk apa dulu-dulu kalian memberiku ini?” Dengan satu gerakan cepat, Sungyeol mengeluarkan sebuah kartu dari dalam jaket kulitnya. Myungsoo yang masih belum jauh dari tempat Sungyeol berdiri bisa melihat gambar kartu itu dengan jelas.

The Devil. Lucifer.

Sudah ia duga. Orang ini entah bagaimana terhubung dengan Arcana.

“Kartu itu menandakan keanggotaan spesialmu sebagai informan kami, kami tidak memberikan keanggotaan sepenuhnya kepadamu. Mengingat kau sendiri tidak terlalu suka diikat oleh aturan. Tapi ingat, kau punya keterbatasan di sini.” jawab Sunggyu datar dengan aura otoritasnya yang mulai menekan.

Sungyeol hanya menyeringai dan mengangkat kedua bahunya ringan. Pria itu lalu berjalan mendekati Suho, dan melemparkan sebuah benda kecil berwarna hitam ke arahnya. Sebuah flashdisk. “Semua data yang kalian mau ada di sana. Kalian bisa melacak Chorong dengan mudah setelah itu. Well, seharusnya sih. Aku sampai sekarang juga tidak tahu dia menghabiskan waktunya selama ini di mana.”

“Bukannya kau bilang tahu di mana dia berada??” tanya Woohyun tajam.

“Aku tidak tahu pastinya, idiot, memangnya aku harus mengikuti ke mana dia selalu pergi?”

“Tidak apa-apa. Ini sudah cukup. Terima kasih Sungyeol. Kau boleh pergi.” Suho sudah sempat memotong sebelum Woohyun bisa membuka mulutnya lagi.

Untuk terakhir kalinya, Sungyeol mengenduskan nafasnya keras-keras dengan senyum meremehkan. Ia sudah berbalik menuju pintu ketika ia tiba-tiba berhenti dan menengok ke arah Woohyun dan Suho lagi.

“Ah ngomong-ngomong, karena aku terlalu menghayati pencarian informasinya… Aku sempat melakukan background check kepadanya. Sungguh, pacar kalian itu memiliki cerita masa lalu yang benar-benar menarik.”

Setelah Sungyeol selesai mengucapkan kata-kata itu, Myungsoo bisa merasakan tubuh Naeun yang sempat bergidik sedikit. Pemuda itu menoleh ke arah Nona Mudanya dan mendapati gadis itu bahkan sampai sekarang masih gemetar.

Entah datang dari mana perasaan itu, tapi mendadak Myungsoo ingin sekali menonjok wajah picik Sungyeol.

 

:::

 

Itu adalah hari pertamanya masuk sekolah menjadi siswi kelas 7, dan Chorong bertugas untuk menjemput adiknya dari tempat penitipan setelah kelas berakhir. Chanyeol seharusnya cukup tua untuk berada di tempat penitipan anak, tetapi ia tidak punya pilihan lagi. Ayahnya, meskipun sudah mengalami perkembangan yang lebih baik, tidak bisa diharapkan untuk menjaga adiknya dengan teliti. Chorong tidak ingin mengambil resiko.

Tapi hari itu saat ia menggandeng Chanyeol dengan tangan kirinya dan tangan kanan membawa belanjaan untuk makan malam hari ini, Chorong pikir hari ini seharusnya menjadi hari yang baik.

Seharusnya.

Ia tahu semuanya akan berubah saat ia melihat dari kejauhan orang-orang mengerumuni apartemen tempat ia tinggal, dengan mobil-mobil polisi terparkir beberapa meter jauhnya. Tanpa sadar, Chorong menguatkan genggamannya di tangan Chanyeol.

Salah satu ahjumma yang tinggal beberapa kamar dari tempatnya, mulai menangis begitu ia melihat Chorong dan Chanyeol mendekat. Dan gadis cilik itu langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bergegas mendekat dan bertanya kepada salah satu petugas polisi apa yang sebenarnya terjadi, mengapa mereka mengerubungi ruangan apartemen tempat ia tinggal. Dan Chanyeol kecil cuma meperhatikan kakaknya yang dengan histeris menanyakan kabar ayah mereka.

Salah satu petugas polisi itu berjongkok sampai berada satu level dengan Chorong dan Chanyeol. Dia tersenyum sedih, dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengelus kepala dua bersaudara itu. Selebihnya, petugas itu tidak berkata apa-apa. Dan Chorong maupun Chanyeol dibawa menjauh oleh ahjumma yang tinggal satu lantai di bawah mereka.

Malam itu, Chorong dan Chanyeol mengetahui bahwa ada seseorang yang mendobrak masuk ke dalam apartemen mereka, dan mencuri semua berlian yang sedang diperiksa oleh Ayahnya. Sayangnya, Ayahnya tidak pernah selamat ketika ia mencoba melindungi satu-satunya berlian yang tidak berhasil dibawa oleh sang perampok.

Hanya satu, berlian kecil yang tidak lebih besar dari bola kelereng. Tetapi Chorong baru diberitahu oleh seorang pengacara negeri bahwa berlian itu adalah satu-satunya berlian yang benar-benar dimiliki oleh Ayahnya. Satu-satunya berlian kecil yang akhirnya merenggut nyawa Ayahnya.

Chorong ingin mengumpat kepada Ayahnya yang ternyata memang lemah.

Pria itu terlalu lemah, karena lebih memilih berlian itu dibandingkan dengan nyawanya. Dan berani meninggalkan Chorong dengan adiknya sendiri.

Chorong hampir enggan melihat ke arah berlian dalam kotak yang disodorkan oleh sang pengacara negeri. Berlian itu disepuh dengan halus, berwarna putih bening dan berkilau dengan indah. Yang lebih memukau adalah bentuknya yang menyerupai tetesan air mata. Chorong diberitahu oleh pengacara itu bahwa berlian ini sangat langka dan dinamakan “Mermaid Teardrops”. Rupanya berlian itu telah lama dimiliki oleh Ayahnya selagi ia meneliti berbagai macam berlian ketika ia muda. Tetapi meskipun pada akhirnya dia jatuh bangkrut dan hampir tidak memiliki uang, pria itu terus menolak untuk menjual berlian itu meski berarti harus berpisah dengan istrinya. Istrinya yang hanya memikirkan tentang uang.

Dan kini berlian itu berada di tangan Chorong sebagai pemilik harta sahnya.

Chorong tidak tahu apakah ia harus senang ketika berlian terkutuk itu sekarang jadi miliknya.

Hari-hari terus berlalu dan Chorong semakin yakin berlian itu memang terkutuk. Orang-orang terus berdatangan kepada mereka, kerabat-kerabat, tetangga-tetangga, bahkan orang-orang asing yang Chorong tidak pernah lihat wajahnya dan mengaku sebagai saudara jauh Ayahnya. Semuanya mengatakan bahwa mereka menginginkan untuk mengasuh Chorong dan Chanyeol dan mengangkat dua bersaudara itu menjadi bagian keluarga mereka. Tapi Chorong yang sudah berumur 13 tahun tahu lebih baik dari itu.

Mereka semua pembohong. Orang-orang dewasa ini tidak pernah benar-benar menginginkan mereka.

Yang mereka incar hanyalah berlian peninggalan Ayahnya.

Jadi pada satu malam, Chorong mengepak semua pakaian serta barang-barang miliknya dan Chanyeol. Ia dengan tegas telah memutuskan untuk pindah ke Kota, dan hidup sendirian tanpa harus bergantung pada orang dewasa. Chorong tahu ia harus melakukan ini, maka dengan bahu tegak ia mengurus segala surat kepindahan yang diperlukan baginya dan Chanyeol.

Ia tidak akan merindukan kampung halamannya. Ia tidak akan merindukan teman-teman sekolahnya. Ia tidak akan merindukan tempat tidurnya yang lama.

Chorong telah meninggalkan waktunya sebagai seorang anak-anak di belakang. Ia memang baru berumur 13 tahun, tapi dia telah memutuskan untuk menjadi penyokong bagi dirinya sendiri dan terutama, bagi adiknya. Toh bukannya selama ini memang itu yang ia lakukan sejak dulu?

Sesungguhnya ia ingin marah. Marah kepada Ibunya yang tak pernah memperlakukannya dengan layak. Marah kepada Ayahnya yang ia kira bisa ia lebih sayangi lagi jika diberi kesempatan lebih lama. Tapi tidak ada gunanya. Apa gunanya marah? Apa gunanya merasakan sesuatu kalau pada akhirnya perasaan itu akan terbuang begitu saja?

Di sebuah kereta yang menuju Seoul, dan di sebelah Chanyeol yang mulai terlelap, Chorong mengubur dalam-dalam semua perasaan yang mencoba menyeruak dari dalam hatinya.

 

:::

 

“Kenapa noona tidak pernah menangis lagi?”

“Karena noona memang tidak bisa menangis lagi, Chanyeol-ah. Karena air mataku sudah membeku, seperti berlian yang ditinggalkan oleh Ayah.”

 

:::

 

“Hei, kau yakin?”

“Sangat yakin. Ini alamat yang tertera di data yang diberikan oleh Sungyeol.”

“Apa kau tahu apa yang harus kita ucapkan nanti?”

“……..Tidak juga.”

“Dan aku kira kamu adalah yang terpintar di antara kita bertiga.”

“Bukan salahku kalau kau terlalu bodoh, Woohyun.”

“OI!!!”

“Oh lihat, ini nomor apartemennya.”

Suho dan Woohyun berdiri kaku di tengah angin musim gugur dengan syal dan mantel tertutup rapat, memandangi pintu apartemen bercat merah tua yang warnanya sudah luntur. Nomornya menunjukkan bahwa ini adalah ruangan apartemen yang harusnya menjadi tempat tinggal Chorong. Apartemennya sama sekali tidak mewah, hanya sebuah apartemen biasa yang tidak menonjol di salah satu sudut kota. Suho dan Woohyun dengan sedikit ragu-ragu memencet tombol apartemen Chorong, mereka bahkan menghitung mundur bersama-sama hanya untuk memencet tombol itu berbarengan.

Tapi ketika pintunya dibuka, yang muncul bukanlah gadis berambut merah gelap dengan muka jutek seperti yang mereka harapkan. Seorang pemuda jangkung dengan rambut berwarna terang dan acak-acakan menyambut mereka. Suho dan Woohyun otomatis memundurkan langkah mereka begitu sadar betapa jangkungnya pemuda ini, membuat keduanya mendongakkan kepala mereka sedikit.

“Ya?” Kontras dengan wajahnya yang tampak seperti anak anjing hilang, suara si jangkung ini terdengar sangat berat.

“A-apa benar ini tempat tinggal Chorong?” Suho tidak bermaksud terdengar gugup, tapi ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya setelah menemukan seorang lelaki di apartemen (yang seharusnya) milik Chorong. Keadaan Woohyun tidak lebih baik darinya ketika agen lapangan Arcana itu justru mematung di tempatnya berdiri.

Mendadak, tatapan yang ada di pria jangkung ini menggelap. Ia menaikkan suaranya dengan nada protektif, “Ada urusan apa kalian dengan kakakku?”

 

:::

 

Kota besar seperti Seoul bukanlah teman yang ramah bagi dua orang bersaudara yang datang tanpa bimbingan orangtuanya. Chorong dan Chanyeol selalu ditolak ketika mereka ingin menyewa sebuah apartemen, bahkan yang terjelek sekalipun. Semuanya menolak untuk menampung dua orang anak kecil yang asalnya entah dari mana dengan orangtua yang tidak jelas keberadaannya.

Jadi untuk beberapa minggu, Chorong dan Chanyeol hidup menggelandang.

Di sanalah Chorong belajar kemampuannya untuk mencuri beberapa barang dari orang-orang yang lewat. Meskipun pada prosesnya ia pernah beberapa kali ketahuan dan pada akhirnya pulang dengan wajah babak belur. Chanyeol kecil lama kelamaan khawatir dan merengek untuk pulang kembali ke kampung halaman mereka. Tapi dengan keras, Chorong membentak adiknya untuk tidak cengeng dan bertindak seperti lelaki kuat agar dia tidak berakhir sama seperti Ayah mereka.

Meskipun mereka harus berkali-kali melewati hari dengan perut kosong, atau tidur di lorong-lorong kereta bawah tanah, berlian peninggalan Ayahnya selalu tersimpan dalam-dalam di pojok terdalam tas mereka.

Secara ironis, Chorong sadar ia sesungguhnya melakukan hal yang sama seperti yang Ayahnya lakukan dulu.

Ia bahkan membenci dirinya sendiri karena merasa harus melindungi berlian terkutuk itu.

Pada suatu sore dengan hujan yang sangat deras mengguyur kota Seoul, Chanyeol yang berteduh di salah satu gang kota sedang menunggu kepulangan kakaknya. Tapi begitu ia melihat langkah gontai kakaknya yang menghampiri dari jauh, Chanyeol yang berumur 10 tahun tahu kakaknya itu sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Tubuhnya ambruk di tengah-tengah hujan, dengan sekujur tubuh yang lebam-lebam serta bibir dan pipi yang bengkak juga berdarah. Sepertinya lagi-lagi ia ketangkap basah sedang mencuri sesuatu.

Chanyeol buru-buru lari menghampiri kakaknya sambil terisak-isak dan berusaha membangkitkan kakaknya untuk berdiri, tapi sia-sia. Kakaknya hanya tersenyum lemah, dan dengan susah payah mengulurkan satu tangannya ke pangkuan Chanyeol. Tangan yang masih menggenggam roti. Atau lebih tepatnya sisa-sisa sobekan roti yang sudah tidak karuan karena basah terkena guyuran hujan, dan mungkin juga karena tarik ulur dengan orang-orang yang memergokinya mencuri sepotong roti ini.

Setelah itu kakaknya tidak bergeming lagi. Dan Chanyeol terus meraung di samping tubuh kakaknya.

Sampai sesosok wanita dengan payung hitamnya menghampiri mereka berdua, dan menanyakan keadaan kakaknya kepada Chanyeol. Tidak lama kemudian, dua kakak beradik itu dibawa ke Rumah Sakit terdekat secepat mungkin. Chanyeol yang masih sadar, kali ini dengan tubuh bersih dan pakaian Rumah Sakit yang wangi, menghampiri wanita yang sudah berbaik hati menolong mereka itu.

“Terima kasih karena telah menolong kakakku, ahjumma.”

“Omo omo, tidak sopan memanggilku dengan panggilan itu, aku masih berumur 35 tahun, bocah. Kita beruntung karena kakakmu masih bisa ditolong oleh dokter.” jawabnya sambil menahan senyum.

Chanyeol hanya mengangguk pelan, “Kenapa…. kenapa Anda menolong kami… eh… Nona… eh…”

“Panggil aku Gina! Atau Madame Gina, seperti orang-orang lebih senang menyebutku.” potong wanita itu riang, “Dan apa kau pikir aku bakalan tega membiarkan dua anak kecil seperti kalian seperti itu?”

Bocah kecil di hadapannya pun menundukkan kepalanya, “Terima kasih. Hanya saja… Orang-orang tidak pernah sebaik ini kepada kami.”

Wanita bernama Gina itu akhirnya menatap Chanyeol dengan kedua tatapan yang melembut. “Boleh aku tanya kenapa kalian berdua berakhir di tempat itu dengan keadaan mengkhawatirkan seperti ini?”

Meskipun pada awalnya ragu-ragu, Chanyeol pun menceritakan keadaan dia dan kakaknya yang selama ini merantau dari kampung halaman meskipun pada akhirnya berakhir menjadi anak jalanan. Dan selama itu pula Madame Gina terdiam dan tak pernah sekalipun menyela apa yang keluar dari mulut Chanyeol. Ketika bocah itu telah selesai menceritakan semuanya, Madame Gina kemudian berjongkok  sampai wajah mereka berada pada satu level. Ia tersenyum lembut dan tulus kepada bocah lelaki itu.

“Kalian berdua anak yang kuat. Nah, bocah, bagaimana kalau kau dan kakakmu ikut denganku?”

Kedua bola mata Chanyeol terbelalak lebar-lebar. Dia ingat kakaknya selalu mengatakan kepadanya untuk tidak mudah percaya pada orang asing yang tidak mereka kenal. Tapi seluruh isi kepalanya berteriak bahwa ia bisa mempercayai wanita ini. “Apa kau sungguh-sungguh?”

Wanita itu mengangguk dan tersenyum sedih, “Aku... baru saja berpisah dengan mantan suamiku.” Tatapannya sempat kosong sedikit sebelum ia tertawa tertahan kepada bocah yang ada di depannya. “Kenapa aku menceritakannya kepada bocah sepertimu ya? Hahahaha. Yang pasti, sekarang ada banyak ruang kosong yang bisa kalian tempati. Bagaimana, bocah?”

“T-tapi aku tidak tahu apakah Chorong noona setuju tentang hal ini…”

“Aku akan berusaha berbicara dengan kakakmu. Tenang saja.”

Apa yang dikatakan oleh Madame Gina akan selalu ia tepati. Maka ia melakukannya. Wanita itu menghampiri Chorong ketika gadis kecil itu telah tersadar. Dia bukan wanita yang suka membuang waktunya untuk basa-basi, maka yang keluar dari mulutnya adalah apa yang ia benar-benar ingin katakan. Untuk seorang gadis kecil keras kepala seperti Chorong, anehnya gadis itu hanya bertanya “Kenapa?” pada wanita asing yang telah menolong mereka.

Madame Gina mengulum senyum, “Aku mendengar cerita kalian dari adikmu. Tepat saat itu juga aku merasa seperti sedang melihat diriku yang dulu di dalam diri kalian. Dan oh, mungkin karena aku akan sangat senang kalau ada tenaga lain untuk membantu pekerjaanku di rumah.”

Jawabannya yang jujur itu berhasil memenangkan hati Chorong.

 

:::

“Madame Gina, aku dengar dari Chanyeol, Anda baru saja berpisah dengan suami Anda yang lama. Kalau aku boleh tanya… Kenapa bisa begitu?”

“Yah aku tidak pernah menceritakannya pada Chanyeol karena aku rasa dia masih terlalu kecil. Tapi kurasa kau sudah cukup umur ya ‘kan? ….Kalau begitu ada satu nasehat yang harus kau ingat-ingat sampai kau tumbuh besar, Chorong-ah.”

“Apa itu?”

“Jangan mudah terbuai oleh para lelaki di luar sana. Kaum mereka hanya ingin supaya hasrat mereka terpuaskan. Dan ketika kau tidak lagi dibutuhkan oleh mereka, mereka akan membiarkanmu tersungkur di jalanan untuk dikasihani oleh orang-orang lain.”

 

:::

 

Suho dan Woohyun duduk di sofa yang berderit sekali-kali ketika mereka terlalu banyak bergerak. Di dalam ruangan apartemen hanya terdengar suara air yang dituang dan sendok yang berbenturan dengan pinggiran cangkir. Woohyun meneguk ludahnya sendiri dengan canggung. Sementara Suho membentur-benturkan lututnya ke lutut Woohyun, yang dibalas dengan lelaki satunya lagi sama kerasnya. Pada intinya, kedua agen Arcana itu untuk pertama kali merasa lebih gugup jika dibandingkan harus melaksanakan misi.

Bagaimana tidak, jika mereka baru saja tahu bahwa Chorong ternyata punya seorang adik.

“Jadi kalian bilang tadi, kalian adalah teman kerja kakakku?” suara berat itu makin lama mendekat menghampiri Suho dan Woohyun yang terduduk kaku. Pria berambut terang itu kemudian meletakkan nampan yang berisi dua cangkir kopi ke atas meja, dan kemudian mengambil duduk tepat menghadap dua orang asing yang muncul di depan pintunya hari ini. Matanya yang besar pun menatap Suho dan Woohyun lekat-lekat. “Aku tidak pernah ingat kakakku menyebut-nyebut tentang kalian.”

Baik Suho maupun Woohyun menarik nafas mereka tajam-tajam. Tentu saja, dia memang adik dari Park Chorong.

Tetapi ini bukan saatnya mengkerut di hadapan seorang bocah remaja dengan rambut acak-acakan seperti tersetrum listrik. Suho diam-diam mengamati Park Chanyeol mulai dari detail sekecil apapun yang ia dapat. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk tempurung lututnya sendiri sementara ia menganalisis pemandangan yang ia dapat dari seorang Park Chanyeol.

Bocah ini duduk dengan tubuh dicondongkan ke depan, jelas merasa terprovokasi sesuatu: rasa penasaran atau justru merasa terancam. Tetapi dia mempersilahkan mereka berdua untuk masuk dan bahkan membuatkan kopi untuk mereka, yang berarti membiarkan perhatiannya teralihkan untuk lengah sedikit. Jadi berarti dia hanya merasa penasaran. Kenapa dia harus penasaran? Dia bilang dia sama sekali tidak pernah mendengar Chorong menyebut tentang dirinya atau Woohyun sama sekali. Sampai seberapa jauh Chorong menutup mulutnya kepada adiknya sendiri? Jika dilihat dari reaksinya yang terlihat seperti disambar petir ketika mereka mengatakan bahwa mereka adalah teman kerja kakaknya, itu berarti jelas topik pekerjaan sama sekali bukan topik yang sering diungkit di sini. Bocah ini tidak mencurigai mereka sama sekali setelah itu, dan dia terlihat begitu penasaran. Yang itu berarti….

Suho tidak bisa menahan senyumnya, “Tentu saja aku yakin kakakmu tidak pernah menyebutkan tentang kami berdua, terutama ketika dia sendiri tidak ingin kau tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Ya kan?”

Untuk sesaat Chanyeol merasa terhenyak. Tetapi ia buru-buru menata kembali perangainya. “Kakakku bukan orang yang senang mengobrol. Bukan berarti aku bisa mempercayai kalian apakah kalian benar-benar teman kerjanya.”

Oh, senyuman yang ada di wajah Suho pun semakin melebar. “Dan meskipun begitu kau masih mau mempersilakan kita untuk duduk dan membuatkan kita kopi.”

Skak mat, Park Chanyeol sudah kalah. Suho mengulurkan tangan untuk meraih gelas kopinya. “Jadi Chanyeol-goon*, aku yakin kau penasaran dengan apa yang sebenarnya dilakukan kakakmu kan?”

Chanyeol menarik tubuhnya untuk menyandarkan diri ke sofa, “Dia tidak mau bercerita meskipun aku sudah memohon kepadanya berkali-kali.” Suaranya terdengar putus-asa dan lemah. “Jadi ketika kalian berdua datang dan mengaku sebagai teman kerjanya, aku pikir…. Mungkin ini saatnya aku untuk tahu.”

Woohyun yang mendengar itu pun mengangkat kedua alisnya, “Apa yang membuatmu berpikir kami mau memberitahumu soal itu?”

“Kalian sedang mencari kakakku, agak putus-asa kalau aku melihatnya. Dan satu-satunya harapan kalian adalah aku.”

“Kita sudah memastikan bahwa ini rumahnya, kita bisa saja menunggu.”

“Dia sudah tidak pulang selama lebih dari tiga hari. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi ketika kakakku sejak seminggu lalu berhenti pergi untuk bekerja, dan tiga hari yang lalu mendadak dia minta ijinku untuk menginap di tempat kerabat kami. Sekarang hanya aku yang bisa memintanya untuk pulang. Aku yakin posisi kita berada dalam posisi tawar-menawar yang setara.”

“…”

“…”

Bocah ini memang benar-benar adik Park Chorong.

“Bocah, kau tahu benar kita akan babak belur kalau Chorong sampai tahu kami memberitahukanmu sesuatu yang dia tidak ingin kau tahu.” Woohyun menyedekapkan dua tangannya di depan dada, merasa takjub dengan remaja lelaki jangkung itu.

“Lebih baik dari pada tidak akan pernah bertemu dengannya lagi kan?”

Suho mau tidak mau berusaha keras untuk menahan tawanya, “Dia terdengar persis seperti Chorong.”

“Baiklah! Terserah! Kami akan memberitahu apapun yang kau mau!” seru Woohyun pada akhirnya.

Chanyeol pun memperlihatkan deretan giginya yang rapi, tersenyum dengan sangat lebar. “Setelah kalian selesai bercerita akan kupastikan diriku sendirilah yang memintanya untuk pulang. Nah bagaimana kalau kalian mulai dengan… menjelaskan siapa kalian sebenarnya?”

Secara bersamaan, Woohyun dan Suho mulai melirik satu sama lain, berdebat tanpa suara siapa yang harus menceritakannya duluan. Akhirnya, Suho pun berdehem keras sebelum ia membuka mulut. “Kami adalah partner satu tim kakakmu, bisa dikatakan kami HAMPIR selalu bersama dengannya setiap kami bekerja. Mulai dari empat tahun yang lalu…”

Dan setelah itu ceritanya pun mengalir. Baik Woohyun maupun Suho selalu berhati-hati untuk menceritakan bagian yang benar-benar perlu diketahui oleh orang awam seperti Chanyeol. Selalu memastikan agar mereka tidak terlalu fokus pada detail dan hanya menceritakannya secara general. Dengan begitu secara otomatis mereka juga tidak akan membahayakan Chanyeol dengan informasi yang ia ketahui.

Setelah mereka berdua selesai bercerita, Chanyeol hanya diam untuk sesaat. Bocah itu memandang hampa tanpa arah, hilang dalam rentetan pikirannya sendiri.

“Chanyeol-goon, kau tidak… apa-apa kan?” tanya Suho pelan.

Ia mematung sebentar sebelum ia mengeluarkan suara dengusan keras, “Ya, ya, aku tidak apa-apa. Aku hanya baru saja tahu kalau kakakku terlibat dalam suatu organisasi bawah tanah Seoul dan bekerja untuk salah satu orang paling berpengaruh di Seoul dan Korea Selatan dan aku tidak merasa apa-apa akan hal itu. Tentu saja. Semua santai.”

“Aku rasa kau butuh waktu untuk memprosesnya lebih dulu.” sebut Woohyun di antara sisipan kopinya.

“Aku hanya… Aku hanya lega kakakku tidak… melakukan sesuatu yang… entahlah, lebih gila dari itu mungkin?” jawab Chanyeol dengan setengah gagu.

“Jadi kau akan menghubungi kakakmu, kalau begitu?”

“Tentu, semua akan diurus. Kalian bisa menunggu kalau--“

“Chanyeol-goon, aku punya permintaan satu lagi.” potong Suho mendadak. Pria itu meletakkan cangkirnya yang sudah kosong ke meja dan kemudian mengaitkan kedua jemarinya dengan pembawaan tenang. “Apa kau keberatan kalau sekarang giliran kami yang memintamu untuk bercerita?”

Woohyun tahu ada sesuatu yang direncanakan oleh Suho, jadi lelaki itu memilih untuk diam dan memerhatikan apa yang akan dilakukan oleh temannya.

“Yah… mungkin saja kalau aku bisa membantu…?” Chanyeol menjawabnya dengan sedikit keragu-raguan.

“Nah kalau begitu,” Suho kemudian tersenyum sopan. Senyuman yang ia perlihatkan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Apa yang kau ketahui soal lelaki bernama Lee Minhyuk?”

Tidak sampai dua detik bagi wajah Chanyeol untuk mendadak berubah pucat.

 

 


(A/N): after months of hiatus, finally it's here. 11 upvotes, 89 subscribers, 5945 views, and 89 comments ;u; saya bersyukur karena saya diberi pembaca yang sangat apresiatif dan suportif. terima kasih karena sudah mau bertahan sampai di sini! untuk menunjukkan rasa terima kasih dan sekaligus permintaan maaf saya, part berikutnya akan langsung saya upload dalam waktu dekat, mungkin 3 hari ke depan. yap yang ini adalah part pertama dari chapter 8 yang ternyata sangat panjang (total ada sekitar 37-38 halaman ms words). please do subscribe and upvote if you think this deserves it! saya tunggu komentar, analisis, dan prediksi dari anda sekalian :D

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
crepusculum
this story is discontinued until further notice. huge writer's block and because i currently at the point where i hate my own writings very much so.

Comments

You must be logged in to comment
evolvirea #1
Semangat, kak.
KimYuuna
#2
When will this story updated. Update please :(((
DinaKarl #3
Chapter 11: Kak author ceritanya a keren, seru!! Aku tunggu kelanjutan ceritanya ya kak!! Semangat kak author!!
blackday #4
Chapter 11: Thor!! Semangat!! Lanjutin thor!! Saya dengan setia akan menunggu kelanjutan ceritanya!!
evolvirea #5
Chapter 11: And how can i come to this story again... it makes me sad to realize that the last updated is still the same...
purupota #6
Chapter 1: gatau kenapa liat drama theK2 jadi inget fanfic ini
natsuki_aiko #7
authorrr, ayo di lanjutttt. aku bener2 penasaran sm kelanjutannya. di tunggu banget ><. semangat author!!
Leekyugi #8
Bakalan baca untuk ketiga kalinya, yaampuun berapa tahun ya nungguin ini comeback?? Ahhh ini tuh salah satu story keren dan terapih yang gue baca.... Sumpahhh entah kapan comebacknya Tuhaannnnnn!!!!
Alvin_19 #9
Chapter 11: Udah baca ni ff untuk kedua kalinya.. Kpan diupdate nya??? suka bgt ma crita ini... jgn lama" diupdate y... nggak sabar.. jebal authornya.... critanya beda dri yg lain.. dtunggu bgt updatenya...
Difalaa99 #10
Chapter 11: Ide ceritanya ngga mainstream. suka banget sumpah!~~ Kapan dilanjut? Ayo thor semangat!~