0. The Cards

The Merciless Truths

 

 

( The Justice -- La Justice --

                Code Name: Athena )

 

::Impartiality -- Distance -- Justice -- Intellect -- Responsibility -- Strategy -- Rationality -- Insensitivity::

 

 

2004

 

Joonmyun tidak peduli jika seluruh tubuhnya basah karena langit yang menangis malam ini. Ia tidak peduli jika tubuhnya berteriak meminta kehangatan, yang ia yakin saat ini tidak bisa ia dapatkan. Tetes-tetes air hujan terus menghantamnya, membuat pakaiannya lengket menempel ke tubuh.

Tidak apa, ia menyukai hujan.

Hujan bisa membuatnya bersih. Hujan bisa membersihkan dirinya yang kotor.

Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan.

Joonmyun terduduk di pinggir jalanan yang sepi, tanpa ada satu atap pun yang melindunginya dari hantaman tangisan langit itu. Toh, dia juga tidak berusaha untuk mencarinya. Bocah lelaki itu menatap ke telapak tangannya yang bersimbah warna merah. Merah yang mengotori dirinya. Merah yang membuatnya membenci dirinya sendiri.

Oh, Joonmyun tidak tahu, bahwa malam itu yang menangis bukan hanya langit. Ia hanya tidak sadar bahwa air matanya menyamar di antara air hujan yang menetesi wajahnya.

Joonmyun hanya berusia 13 tahun dan ia kehilangan semuanya.

Mengapa dunia begitu kejam? Tanya Joonmyun, tidak kepada siapa-siapa. Lagipula, tidak akan ada yang menjawab.

Sesungguhnya Joonmyun berharap hidupnya lebih baik ditarik saat itu juga.

“Wah, wah, lihat siapa yang kita temui di sini.” Sebuah suara maskulin mengejutkan Joonmyun dari renungan gelapnya. Bocah itu melihat ke samping dan menemukan dua orang lelaki, satu yang tinggi mengenakan mantel panjang dan berpakaian rapi dengan payung yang hampir menutupi setengah wajahnya, dan satu lagi yang jauh lebih pendek. Yang disebutkan terakhir, Joonmyun yakin, sesungguhnya belum bisa disebut sebagai ‘lelaki’ --terlalu muda, mungkin malah seumuran dengannya--, bocah itu berdiri agak jauh bersama payung hitamnya, mengambil posisi di belakang lelaki bermantel.

Karena malam gelap dan penerangan yang ada hanya samar-samar redup, Joonmyun tidak bisa melihat dengan jelas wajah keduanya. Ia mengerutkan kening, waspada, jangan lengah. “Siapa kalian?” desis Joonmyun.

Lelaki bermantel tidak langsung menjawab apa-apa, ia justru mendekat (yang langsung diwaspadai oleh Joonmyun) dan mengulurkan tangannya (yang tidak disambut balik). “Kau tidak punya tempat untuk pulang? Ikutlah bersama kami.”

“Siapa kalian?” Joonmyun tidak menyukai kalau pertanyaannya diabaikan. Ia lebih menyukai jawaban.

Karena jaraknya yang sekarang lebih dekat, Joonmyun bisa menangkap wajah lelaki bermantel itu dengan lebih jelas. Wajahnya mengingatkannya akan hamster, tapi bukan dalam pengertian yang baik. Kedua mata lelaki bermantel itu membentuk bulan sabit ketika ia tersenyum. “Namaku Sunggyu, dan aku ingin membantumu.”

“Sunggyu kita tidak punya banyak waktu.” Seru bocah lelaki di belakang, agak terdengar kesal.

Lelaki bermantel --atau Sunggyu-- menengokkan wajahnya sedikit ke belakang, “Sesungguhnya aku berharap kau bisa berkoordinasi denganku saat ini, Woohyun, tidak bisa lihat kalau saat ini aku sedang mengadakan pertemuan penting? Dan kau masih bocah, hormatilah orang yang lebih tua dengan tidak memanggil namanya sesuka hatimu.”

Bocah itu kemudian berdecak kesal. Arogan, rupanya.

Mata Joonmyun berkelebat dari lelaki bernama Sunggyu itu, ke bocah di belakang (yang dipanggil dengan nama Woohyun), kemudian kembali ke Sunggyu lagi. Sunggyu sudah mengalihkan perhatiannya kembali ke arah Joonmyun ketika ia menatapnya.

Malam itu, Joonmyun merasakan intuisinya menyuruhnya untuk percaya. “Bagaimana caramu untuk membantuku?”
 

Dan Sunggyu tersenyum, menampakkan kedua bulan sabitnya sekali lagi.

 

:::

 

 

( The Chariot -- Le Chariot --

                Code Name: Ares )

 

::Conquest -- Honor -- Victory -- Egocentrism -- Self-confidence -- Willpower -- Bravery -- Pride::

 

 

2007

 

“O-oppa”

“Hmm?”

“K-k-kenapa kau melihatku seperti itu?”

“Melihat seperti apa?”

“Seolah-olah kau ingin memakanku…”

Ia tersenyum, sebuah senyuman lebar yang berhasil melelehkan gadis yang duduk di depannya, “Habis kau manis sekali sih rasanya aku jadi ingin memakanmu.”

Berhasil, gadis polos itu kini tampak seperti kepiting rebus, sementara gadis-gadis yang lain yang mengerubuti mereka mulai berdengung seperti lebah. Menggumamkan kekaguman mereka akan mulut manisnya.

“Woo-woohyun oppa!! Jangan begitu aku jadi malu!”

Woohyun memamerkan deretan gigi putihnya. Ia senang menjadi pusat perhatian, ia mencintai kepopulerannya, ia bahagia menjadi dirinya sendiri yang hebat. Woohyun yang selalu dikagumi oleh para gadis-gadis di sekolahnya, atau bahkan gadis-gadis yang tak sengaja ia temui di jalan. Ah, betapa Woohyun mencintai para keturunan Hawa itu. Jika Adam memberikan tulang rusuknya untuk Hawa, maka ia rela memberikan seluruh materi tulangnya untuk setiap perempuan di dunia ini.

“Ah Woohyun oppa kenapa cuma Yewon yang dipuji?? Minah juga mau!”

“Woohyun oppa nanti ikut kita yuk pergi karaokean? Mau ya? Hari ini kan Yoonhee ulang tahun jadi ayo kita rayakan bersama ya?”

“Jangan! Oppa ayo ikut kami saja ya ke café yang baru saja dibuka di dekat stasiun, aku dengar makanannya enak lho!”

Tapi terkadang, putri-putri Hawa ini bisa membuatnya sakit kepala juga dengan permintaan tanpa akhir mereka.

“Permisi nona-nona.” Sebuah suara memotong hiruk pikuk segerombolan gadis remaja yang mengerubungi Woohyun. Hanya saja sepertinya para gadis itu tidak keberatan jika dipotong oleh orang ini.

“Kya!! Suho oppa!!!”

 ‘Selamat’ pikir Woohyun dalam hati, sahabatnya itu tahu benar kapan harus muncul di saat yang tepat.

“Maaf mengganggu kalian, tapi aku ada urusan mendadak dengan Woohyun, apa kalian tidak keberatan?” selalu diucapkan dengan tutur kata dan sikap yang santun, tapi begitulah caranya untuk (meskipun dia tidak berniat begitu) memikat para gadis-gadis tanggung itu.

Semua kepala mengangguk, tentu saja tidak ada yang bisa menolak permintaan si pangeran berkuda putih. Woohyun tanpa berpikir panjang langsung melesat meninggalkan kerumunan dan menggeret temannya ke luar kelas. “Whoa untung kau muncul di saat yang tepat, Joonmyun-ah kau memang luar bi-- AW!!”

“Ini kali ke-52 aku bilang padamu, jangan memanggilku dengan nama itu.”

“YAH! Tapi tidak perlu mengingatkan dengan menyikut diafragmaku dasar bocah sialan!” meskipun memiliki hasrat untuk mengumpat keras-keras tetapi suara yang keluar hanyalah seperti desisan pelan dari mulutnya, Woohyun tidak punya cukup tenaga untuk berteriak ketika diafragmanya masih terasa berdenyut-denyut.

“Kau melakukannya untuk ke-53 kalinya maka bukan hanya diafragmamu saja yang merasakan kesakitan, Woohyun.”

“Hmph.” Woohyun mendengus keras, “Seolah-olah kau punya kemampuan untuk mengalahkanku.”

“Mungkin tidak, tapi membuatmu kesulitan, jelas iya. Setidaknya bersyukurlah aku menyelamatkanmu dari… nona-nona itu.”

“Yah aku rasa aku bisa bersyukur untuk saat ini, tapi sejujurnya aku tidak pernah keberatan ditemani mereka semua.” Suho menahan diri untuk tidak memutar bola matanya dan berkomentar lebih jauh tentang ini.

“Terkadang aku tidak bisa mengerti dengan sikap manis dan ‘obsesi’mu untuk menaklukan semua perempuan di dunia ini. Berhati-hatilah, Woohyun-ah, siapa tahu kau bertemu dengan wanita yang bisa memutar balikkan duniamu nanti.”

Woohyun tertawa lepas, “Omong kosong! Aku terlalu mengagumkan untuk bisa ditaklukan oleh seorang perempuan, karena aku menyukai mereka semua dengan takaran kasih sayang yang sama.”

Temannya itu berusaha mengabaikan semua perkataan Woohyun yang makin lama makin terdengar absurd. “Ngomong-ngomong aku rasa kau pasti mengerti kan kenapa aku tiba-tiba memanggilmu?”

“Tentu saja. Aku hanya perlu melihat dari matamu dan aku pasti langsung tahu. Kita menuju atap sekolah kan?”

“Yap.” Jawaban pendek Suho tersampaikan saat mereka sudah berada di tangga yang menuju atap sekolah mereka. Woohyun merentangkan tangan dan menghirup nafas sedalam mungkin ketika kulitnya bersentuhan dengan angin segar, ia selalu menyukai atap sekolahnya yang langsung memberi gambaran horizon lengkap Kota Seoul yang padat tetapi indah. Suho, yang selalu berhati-hati di setiap gerik yang ia ambil, mengunci pintu tempat tadi mereka masuk agar tidak ada yang bisa melihat apa yang mereka lakukan.

“Oh! Cool! Ada darts!” dengan antusias yang berlebih, Woohyun mengambil beberapa biji panah darts yang tergeletak (mungkin anak-anak berandal sekolah yang memasang benda ini di atap supaya mereka punya sesuatu untuk dikerjakan ketika membolos) dan langsung memicingkan satu matanya, menarget titik tengah papan darts yang berjarak sekitar 4 meter darinya.

Orang biasa mungkin akan mengejek Woohyun dan ‘usahanya’ untuk memanah darts dari jarak sejauh itu, apalagi saat itu anginnya bertiup cukup lebih kencang dari biasanya. Tapi yang sedang kita bicarakan adalah seorang Nam Woohyun dan tidak ada kata mustahil di otaknya. Maka ketika dalam kecepatan tak kasat mata panah dartsnya membelah angin dan menancap kokoh tepat di titik tengah papan darts, Suho sudah tidak terlalu terkejut lagi.

Seperti yang telah disebutkan, lagipula Nam Woohyunlah yang sedang kita bicarakan.

Tepat saat itu juga, Suho bisa merasakan ponselnya berdering karena ada panggilan yang masuk. Ia merogoh ponselnya dari saku dan seperti yang telah ia duga (lagipula ia hampir tidak pernah salah mengira), Caller ID di layar ponselnya adalah orang yang telah ia tunggu-tunggu.

‘The Magician’

“Woohyun-ah!!” untunglah refleks Woohyun bekerja cepat hingga ia bisa menangkap ponsel Suho yang dilemparkan kepadanya tepat waktu sebelum benda itu mencium lantai. “Kau saja yang angkat teleponnya!” seru Suho dengan nada enteng.

Dahi Woohyun sedikit berkerut ketika ia melihat Caller ID yang muncul di ponsel milik Suho, “Yah Suho kau masih memasang nama ini jadi Caller IDnya? NORAK BANGET TAHU. Harusnya nama kontaknya diubah jadi ‘Si Kakek Buyut’ atau ‘Hamster Tua’.” Meskipun mulutnya dipenuhi dengan bertubi-tubi komentar, toh tetap saja Woohyun mengangkat teleponnya.

“Sunggyu, ada apa? Kau butuh apa?” Karena ini Woohyun, tentu saja laki-laki itu tidak memikirkan tata krama dalam bertelepon, beramah-tamah terlebih dahulu misalnya.

“HEY NAM WOOHYUN DASAR BOCAH KERAS KEPALA!! Aku lebih tua darimu tahu!” meskipun Woohyun tidak memasangnya dalam mode loudspeaker, tapi dari jarak jauh pun Suho masih bisa mendengar teriakan Sunggyu dari ponselnya. Ia tertawa kecil melihat rutinitas Woohyun dan Sunggyu yang seperti biasa, berteriak dan diteriaki.

“Yah kakek, tahu tidak kalau berteriak terlalu keras itu bisa mengurangi umurmu 30 hari? Kau tidak ingin cepat mati kan eh? Makanya pelankan suaramu.”

“Aish dasar bocah tidak tahu diuntung, idiot, keras kepala, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu.”

“Kakek, kita lanjutkan saja langsung ke intinya. Jadi, urusan apa kali ini?”

“Sudah jelas kan? Aku punya pekerjaan untuk kalian berdua, kali ini lakukanlah dengan benar.”

Woohyun menyeringai, ia bisa merasakan adrenalinnya mulai dipompa ke seluruh nadi yang tersebar di seluruh tubuh. Tantangan, ia begitu menyukai tantangan. Woohyun mencintai pekerjaannya lebih dari apapun.

“Tentu saja, memangnya apa lagi yang kau harapkan? Kau sedang berbicara dengan ‘The Almighty Nam Woohyun’ di sini.”

 

:::

 

 

( The Lovers -- L’Amoureux --

                Code Name: Aphrodite )

 

::Passion -- Desire -- Physical Attraction -- Affinity -- Bonding -- Romance -- Dilemma -- Choice -- Doubt::

 

2008

 

Mati rasa. Perasaannya, hatinya, ia sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Park Chorong menatap lelaki yang mencuri pandang ke arahnya itu dengan pandangan apapun selain kasih sayang. Meskipun begitu, ia adalah aktris yang terlatih, dan juga seorang yang ahli dalam menggoda terutama kaum lawan jenisnya itu. Maka ia memberikan sebuah senyum palsu yang hampir tidak bisa dibedakan dengan yang asli.

‘Kaum mereka hanya  menginginkan supaya hasrat mereka terpuaskan’

Itu yang pernah Chorong dengar dari seseorang.

Jadi ketika pria itu mendekatinya --termakan umpan rupanya-- Chorong sekali lagi membuktikan bahwa perkataan itu memang benar.

Sepatah dua patah kata, lelaki itu mengajaknya berkenalan, mengambil duduk tepat di sebelahnya menghadap bar. Di percakapan awal, Chorong tak lagi ingat siapa nama lelaki ini. Lagipula ia tidak merasa perlu untuk menyimpannya di dalam kenangannya yang sudah terlalu penuh.

Sungguh manis segala pujian yang diucapkan pria ini. Betapa ia terlihat begitu memukau malam ini (Chorong sendiri sadar betul akan fisik dan wajahnya yang jauh berada di atas rata-rata), betapa ia tampak lebih muda dari kebanyakan wanita yang ada di klub malam sekarang (ia tahu bahwa pria ini berusaha memuji, meskipun sesungguhnya ia memang tidak seharusnya diperbolehkan berada di sini --katanya 17 tahun belum cukup umur untuk klub malam), dan betapa pandainya ia dalam percakapan (tidakkah pria ini tahu bahwa salah satu kekuatan terbesar pada manusia terletak di lidah?).

Tapi Chorong tidak pernah memasukkan ke dalam hatinya segala pujian itu. Sama saja, semuanya hanya mengulang roda yang berputar, pria-pria yang mendekatinya hampir selalu mengucapkan pujian yang sama. Terlebih, Park Chorong berpikir bahwa pujian seharusnya diucapkan ketika kita benar-benar merasakannya. Bukan hanya sekedar formalitas dan menjilat orang lain. Dan jelas bukan untuk menggaet wanita mana pun di bar.

Gelas demi gelas berisi alkohol silih berganti memasuki tenggorokan pria ini. Sementara Chorong selalu mengingatkan dirinya untuk menghindari alkohol sebisa mungkin. Ia harus tetap sadar ketika lelaki ini akhirnya kehilangan akal sehatnya.

Hingga saat ini, semua rencananya berjalan lancar.

Ketika pria itu sudah setengah sadar, Chorong tahu sebentar lagi adalah saat yang tepat, ia hanya perlu menyelesaikan bagian akhirnya dengan gemilang.

“Sayang, kau mabuk, bagaimana kalau kita menyingkir dulu? Mencari tempat yang sepi?” Bisikan Chorong di telinga lelaki itu seolah seperti candu yang semakin memabukkan. Ia memberi Chorong sebuah senyuman dan tatapan kemenangan, setengah sadar karena dimabukkan oleh alkohol (atau mungkin karena pesona Chorong, yang manapun keduanya sama berpengaruh kuat).

Kotor, dasar makhluk rendahan yang kotor.

“Tentu, aku sudah tidak sabar mengagumi kecantikanmu, sayang.”

Kelinci buruan sudah masuk ke dalam perangkapnya.

Jika saja pria itu cukup waras untuk menyadari sebuah seringai terulas di paras Chorong yang cantik.

Tak butuh waktu yang lama sampai mereka menyelusup ke luar melalui pintu darurat yang tembus ke gang kecil di samping klub. Hanya ada penerangan redup dari lampu neon yang dipasang di dekat pintu, dan juga dari kemeriahan lampu-lampu jalan yang berhasil menembus gang kecil ini.

Dan detik berikutnya, pria itu tiba-tiba mendorong Chorong hingga memperangkap tubuh gadis itu dengan tubuhnya dan tembok.

“Kau… adalah perempuan tercantik… yang pernah… kulihat… aku ingin memilikimu…” Dahi mereka bersentuhan, dan pria itu menatap Chorong dengan matanya yang sudah setengah tertutup. Jemarinya yang kasar mengelus-elus pipi Chorong yang terasa kontras di tangannya, lembut selembut sutera.

Chorong terdiam untuk sejenak, ia tidak bereaksi apa-apa. Hanya terdiam seperti patung. Menggigil akibat disentuh pun tidak. Karena ia telah membekukan hatinya sendiri.

Gadis itu kemudian menangkupkan kedua tangannya ke wajah pria yang --sudah cukup jelas-- mabuk dan tidak bisa berpikir dengan akal sehatnya lagi. Chorong tersenyum kecil, kemudian ia maju, menempelkan tubuh mereka hingga tidak ada jarak lagi. Bibir mungilnya mendekat ke arah telinga lelaki ini. Ia berbisik kecil.

“Aku tahu itu. Dan selamat tidur, sayang.”

Dalam hitungan detik Chorong sudah membuat pria itu pingsan dengan pukulan tepat di belakang lehernya. Tidak ada sama sekali niat untuk menopang badan pria ini yang tersungkur begitu saja ke tanah gang yang kotor. Dua bola mata milik Chorong yang dingin hanya menyaksikan tubuh mangsanya tergeletak, jatuh ke dalam tidur yang pulas.

Ia berlutut di samping korbannya, berusaha berhati-hati agar cocktail dress berwarna putihnya tidak kotor. Chorong tidak butuh waktu lama sampai ia menemukan dompet lelaki itu, yang dalam sekejap sudah berada di tangan Chorong. Nasib yang sama juga melanda jam tangan Rolex miliknya, Chorong memastikan tidak ada barang berharga yang tersisa di tubuh lelaki yang mabuk ini.

Seolah tidak terjadi apa-apa, Chorong pergi menjauh dari gang dan membaur bersama para pejalan kaki lainnya di trotoar. Sebentar lagi ia yakin pelayan klub akan menemukan pria tadi yang sudah tidak sadarkan diri, dan dalam waktu sesingkat itu Chorong tahu ia harus menghilang dari sini secepat mungkin.

Gadis itu membuka isi dompet buruannya dan memeriksa berapa banyak yang ia dapatkan. Tiga puluh ribu won. Tidak banyak. Chorong mengumpat dalam hati. Rupanya ia salah menarget orang. “Tsk.” Desisnya pelan karena kesal. Jumlah segini masih sangat kurang. Ia harus mencari buruan lagi, tapi ia tidak akan mau kembali lagi ke klub.

Beberapa meter di depannya, ada sekumpulan laki-laki yang sibuk mengobrol sedang berjalan mendekat. Mereka terlalu hanyut dalam percakapan mereka sendiri hingga mungkin tidak akan menyadari keberadaannya. Chorong tersenyum di dalam hati, saatnya bekerja lagi.

Mereka semua berjumlah tiga orang dan Chorong sibuk memilih targetnya. ‘Pilih yang kelihatan paling berduit.’ Matanya berkelebat sejenak dan akhirnya ia menetapkan pria yang berjalan paling sebelah kiri adalah targetnya yang berikut. Pria itu lebih tinggi daripada kedua laki-laki yang lain, dan tampak paling tua, serta berpenampilan sangat rapi. Chorong tidak perlu mengamati lebih lama untuk memilih.

‘Brugh’

Bahu mereka bertabrakan.

“Ah maafkan saya.” Menunduk, alihkan perhatiannya dan jangan memperlihatkan wajahmu.

“Tidak apa-apa Nona.” Ketika perhatiannya teralihkan sekarang ambil barangnya.

Kemudian pergi secepat mungkin dari sini.

Mudah. Ini semua akan menjadi mudah. Chorong tersenyum dalam hati.

Selangkah, dua langkah, ia sudah yakin pria itu tidak akan curiga.

Tapi,

‘Bruak!!’

Dalam kecepatan kilat, Chorong bisa merasakan tubuhnya didorong ke tembok. Ia mengerang kesakitan saat bagian belakang kepalanya terantuk ke benda itu dengan keras. Kedua tangannya dikunci oleh tangan-tangan yang lebih kuat darinya.

“Tidak secepat itu, Nona.”

Sial.

Chorong menatap sengit ke arah orang yang menyerangnya.Rupanya salah satu teman dari targetnya tadi. Jadi, dia ketahuan? Bukan berarti ia tidak bisa lolos kan?

Putar pergelangan tangannya, puntir dan buat ia merasakan sakit di sekujur lengan, dengan begitu pegangannya akan terlepa--

“Berusaha melarikan diri dengan trik lama heh? Tidak akan mempan.”

Chorong mengumpat pelan ketika tubuhnya sekali lagi dipaksa untuk bersandar ke tembok. Usahanya untuk meloloskan diri gagal karena gerakan pria ini begitu cepat mengatasi serangan dan jelas tenaganya lebih kuat dari Chorong. Tidak lupa Chorong menembaknya dengan tatapan marah, ia benci kalah.

“Woo-woohyun ada apa?” rupanya targetnya tadi masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Beruntung (atau tidak beruntung jika dilihat dari sisi Chorong) ia punya teman seperti pria ini yang sekarang sedang mengunci tubuh Chorong ke tembok.

“Apa hyung tidak bisa lihat? Wanita ini mencoba mencuri dompetmu!”

“Dompet hyung dicuri?” tanya temannya yang satu lagi.

“Ah!” targetnya kini meraba-raba isi saku celananya “Kau benar! Dompetku hilang! Oh itu dompetku!” jemarinya kini menunjuk ke arah tangan Chorong yang masih tidak melepaskan benda itu meskipun tangan-tangannya dikunci di samping badannya.

Woohyun (Chorong sadar pria yang sedang menahannya ini dipanggil seperti itu) kembali menatap ke dalam mata Chorong, tatapannya sama tajamnya dengan tatapan yang diberikan oleh Chorong untuknya. “Wanita ini mengambilnya ketika kalian bertabrakan tadi.”

“Lepaskan aku.” Desis Chorong, “Kalian ingin dompetnya kembali? Ambil! Tapi lepaskan aku.” Ia tahu betul sebenarnya ia tidak berada di posisi yang tepat untuk bernegosiasi, tapi toh Chorong sudah tidak memperdulikannya lagi.

“Kau pikir kami akan melepaskanmu dengan mudah? Dengan teknikmu yang rapi tadi aku yakin kau sudah melakukan ini berkali-kali, jadi kenapa tidak kita laporkan ke polisi saja?”

Chorong menggemeretakkan giginya menahan emosi, “Bajingan.” Umpatnya ke wajah laki-laki itu. Kini setelah ia sadari, rupanya wajah mereka bisa dibilang sudah terlalu dekat hingga kau tidak bisa meregangkan jemarimu di antara jaraknya. Kedua teman Woohyun yang lain pun diam-diam mengomentari tentang jarak keduanya yang terlalu dekat di dalam hati mereka.

Woohyun mengerutkan alisnya, “Dan mulutmu rupanya juga berbisa ha?”

“Woohyun sudahlah jangan terlalu kasar dengan perempuan.”

“Sunggyu hyung benar, aku tidak pernah melihatmu memperlakukan seorang perempuan seperti ini sebelumnya.”

“Perempuan atau bukan, tapi dia tetap mencuri dompet milik Sunggyu hyung.” Tegas Woohyun keras kepala.

“Nah, perempuan,” wajah Woohyun kembali menatapnya, kali ini dengan sebuah senyuman licik. Chorong tidak menyukai ini. “Kau tahu, kami tidak terbiasa --apalagi menyukai-- jika ada sesorang yang mencuri barang dari kami. Jadi, kira-kira apa yang harus kulakukan terhadapmu dulu?” nadanya begitu manis,terlalu manis hingga terasa seperti racun di telinga Chorong.

Chorong tidak menjawab dan tetap menatap Woohyun dengan tatapannya yang paling sengit dan dingin yang bisa ia keluarkan. Begitu juga dengan Woohyun, mereka berdua hanya terlibat perang dingin melalui pandangan mata mereka.

Tanpa diduga oleh Woohyun, tiba-tiba Chorong menyunggingkan satu ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman sinis. “Bagaimana kalau ini?”

Gadis itu maju untuk menghilangkan jarak di antara mereka, dan tanpa bisa mencerna semuanya tepat waktu Woohyun bisa merasakan bibir gadis itu berpadu dengan bibirnya sendiri. Otomatis tubuhnya menjadi kaku dan otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Yang bisa ia rasakan hanya aliran listrik singkat yang sempat mengejutkan seluruh syarafnya.

Chorong tahu ia sudah menang.

‘Brugh’

Gadis itu menyerang daerah selangkangan pria di depannya itu dengan lutut ketika ia lengah.

“AAAAAARGH!!” Betapa puasnya Chorong mendengar erangan kesakitan Woohyun, lagipula tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan keras terakhirnya.

Chorong sudah yakin ia akan lolos dari sana ketika dilihatnya Woohyun jatuh tersungkur dan dirinya sudah berlari menjauh secepat mungkin, namun rupanya Chorong memang tidak beruntung hari ini. Salah satu teman Woohyun (ia tidak tahu namanya) sudah memblokir jalan kabur Chorong dengan gesit. Chorong tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengumpat lagi.

“Sayangnya aku tidak bisa membiarkanmu lolos dulu untuk sementara ini.” ucap lelaki itu kalem. Chorong berhenti di tempatnya berdiri. Setidaknya pria ini tidak mencoba untuk mengunci tubuhnya lagi ke tembok.

Kini gadis itu bisa mendengar suara kesakitan dan tawa yang saling bertabrakan di belakangnya. Chorong berbalik dan menemukan Sunggyu, si targetnya tadi, sedang tertawa lepas hingga terbungkuk-bungkuk sementara Woohyun meringkuk kesakitan di trotoar.

“HAHAHAHHAHA!!”

“ARGH SIALAN DASAR PEREMPUAN KURANG AJAR”

“AHAHA AKU BENAR-BENAR MENYUKAI INI”

“BRENGSEK SIALAN CECUNGUK WANITA ITU BERANINYA”

Pemandangan yang kontras itu membuat Chorong mengerutkan dahinya, mungkin sesungguhnya kali ini ia memang bertemu dengan orang-orang aneh.

“Abaikan saja mereka,” Chorong berbalik lagi dan menemukan pria-yang-ia-tidak-tahu-namanya sedang tersenyum ke arahnya “Sunggyu hyung dan Woohyun memang… nyentrik. Tapi jujur saja baru kali ini aku melihat Woohyun bisa meledak gara-gara perempuan.”

Chorong tidak menjawab, meskipun ia tidak ada niatan untuk kabur lagi (ia sudah menyerah untuk kabur) tetapi bukan berarti ia boleh menurunkan tingkat kewaspadaannya. Sejak pertama kali Woohyun menyadari triknya ketika mengambil dompet tadi, Chorong sudah sadar kalau mereka bukan orang biasa. Selama ini Chorong tidak pernah gagal.

“Aaahahahaha Nona, kau sungguh orang yang sangat menarik.” Sunggyu kini mendekat ke arah Chorong sambil menepuk-nepukkan tangannya. “Aku jadi tertarik kepadamu dan kemampuanmu yang tidak biasa ini. Kalau saja Woohyun tidak melihatnya aku pun bisa saja tertipu. Dan perlu kutekankan bahwa, sesungguhnya, aku bukan orang yang mudah tertipu.”

“Sekarang apa maumu? Membawaku ke polisi?” sambar Chorong ketus.

Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa, “Tidak, tidak, tidak. Bakat sepertimu akan sia-sia saja kalau kita menyerahkanmu ke polisi.”

“Hyung kau mau…” di sampingnya Chorong bisa merasa pria-tidak-bernama itu terkejut sedikit.

“Tentu saja, Suho, kau tidak bisa melihat gadis ini punya bakat alami?” Ah. Suho. Kini Chorong tahu namanya.

“Aku bukannya tidak setuju tapi…”

Sunggyu sudah mengabaikan Suho sekarang, “Nah, Nona Manis, dengan segala hormatku, aku mengundangmu untuk bergabung bersama kami.”

Suho menghela nafas, Woohyun mengerang tertahan berusaha memprotes Sunggyu meskipun ia masih bergelut dengan rasa sakitnya, sementara Chorong hanya menatap Sunggyu dengan pandangan aneh.

“Bergabung? Dengan kalian?”

Pria bernama Sunggyu itu tersenyum.

‘Bulan sabit’ pikir Chorong ketika melihatnya tersenyum.

“Jika tidak keberatan, aku berikan kartu namaku.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu yang ia ambil dari dalam mantelnya. Awalnya Chorong ragu-ragu, namun akhirnya ia menerimanya juga.

Kedua alis Chorong bertaut ketika dilihatnya rupanya kartu itu adalah kartu tarot dengan huruf romawi ‘I’ tertulis di atas gambar seorang pria yang mengenakan jubah dengan tongkat ular serta pedang tergeletak di sampingnya. Chorong membalikkan sisi kartunya dan menemukan ada satu kalimat tercetak miring dengan huruf capital berwarna hitam di tengah-tengahnya.

“The Magician?” nada yang Chorong keluarkan lebih terdengar seperti heran.

Suho menatap ke arah hyungnya tidak percaya, “Hyung! Kau masih pakai kartu nama yang ini?! Aaah ini sungguh memalukan. Kau benar-benar norak.”

“Kalian tidak sedang mengerjaiku kan? Apa maksudnya ini?” Chorong memberikan Sunggyu sebuah tatapan terganggu, ia masih belum benar-benar mempercayai pria-pria ini.

“Lihat kan hyung? Orang akan berpikir ini lelucon, sudah kubilang buang saja kartu nama itu dan buat yang lebih normal.” Protes Suho yang lagi-lagi diabaikan oleh Sunggyu.

Sunggyu mendekat ke arah Chorong tanpa menghilangkan senyuman kecilnya, “Ah sungguh kasar jika kita tidak saling memperkenalkan diri terlebih dulu ya? Namaku Kim Sunggyu, dan Anda?”

Chorong mengalami perang mental yang singkat selama Sunggyu semakin mendekat ke arahnya, “P-Park… Chorong…” Apa benar tidak apa-apa memberitahukan namanya kepada orang-orang ini?

Senyuman yang ada di wajah Sunggyu kini semakin melebar, “Park Chorong-ssi, aku, The Magician, mengundang anda dengan segala hormat untuk bergabung dalam organisasi kami, The Arcana.”

 

 

 

A/N: so this was originally my companion project along side with Trapped. dont know if  i'll update it soon, untuk sekarang project ini masih berada di tahap pengembangan dan mungkin saya akan meng-update chapter berikutnya... kira-kira masih untuk waktu yang akan lama. for now saya masih terfokus untuk menyelesaikan project saya yang satunya ;)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
crepusculum
this story is discontinued until further notice. huge writer's block and because i currently at the point where i hate my own writings very much so.

Comments

You must be logged in to comment
evolvirea #1
Semangat, kak.
KimYuuna
#2
When will this story updated. Update please :(((
DinaKarl #3
Chapter 11: Kak author ceritanya a keren, seru!! Aku tunggu kelanjutan ceritanya ya kak!! Semangat kak author!!
blackday #4
Chapter 11: Thor!! Semangat!! Lanjutin thor!! Saya dengan setia akan menunggu kelanjutan ceritanya!!
evolvirea #5
Chapter 11: And how can i come to this story again... it makes me sad to realize that the last updated is still the same...
purupota #6
Chapter 1: gatau kenapa liat drama theK2 jadi inget fanfic ini
natsuki_aiko #7
authorrr, ayo di lanjutttt. aku bener2 penasaran sm kelanjutannya. di tunggu banget ><. semangat author!!
Leekyugi #8
Bakalan baca untuk ketiga kalinya, yaampuun berapa tahun ya nungguin ini comeback?? Ahhh ini tuh salah satu story keren dan terapih yang gue baca.... Sumpahhh entah kapan comebacknya Tuhaannnnnn!!!!
Alvin_19 #9
Chapter 11: Udah baca ni ff untuk kedua kalinya.. Kpan diupdate nya??? suka bgt ma crita ini... jgn lama" diupdate y... nggak sabar.. jebal authornya.... critanya beda dri yg lain.. dtunggu bgt updatenya...
Difalaa99 #10
Chapter 11: Ide ceritanya ngga mainstream. suka banget sumpah!~~ Kapan dilanjut? Ayo thor semangat!~