Dua Belas

Sister Complex

Raekyo menjerit. Ia duduk dan untuk sesaat, otaknya tidak dapat memproses kejadian yang terjadi. Gadis itu mengangkat tangannya ke wajah, ia menangis. Ketika matanya sudah bisa menyesuaikan dengan kegelapan, Raekyo sadar ia berada di kamarnya. Di atas ranjangnya. Raekyo menghela nafas lega, berusaha menormalkan detak jantungnya. Syukurlah semua hanya mimpi.

                Sudah beberapa malam Raekyo bermimpi buruk, selalu tentang kakak-kakaknya. Tapi harus ia akui, mimpi terakhir inilah mimpinya yang paling mengerikan. Semua terasa begitu nyata, bahkan sampai ke tusukan Donghae ke punggungnya. Raekyo meraba punggung dan perutnya, mengira akan menemukan bilah besi gunting di sana, namun memang tidak. Semua hanya mimpi buruk.

                Sekilas Raekyo melihat bayangannya di cermin. Kantung matanya dan juga lingkaran hitam di matanya membuatnya menjadi sosok menyedihkan. Seperti malam-malam sebelumnya, ia tidak akan bisa tidur lagi sampai pagi. Maka, mengenakan mantel, Raekyo berjalan keluar kamar.

                Rumahnya nampak sepi, semua orang masih tertidur lelap. Raekyo berjalan begitu pelan, ia memilih untuk pergi ke taman belakang rumah saja. Mencoba menenangkan diri di sana.

                Angin dingin membuatnya menggigil ketika Raekyo membuka pintu. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang seakan bernyanyi. Raekyo mengadah ke atas, melihat bulan dan bintang di langit. Ia melamun mencoba membayangkan bintang-bintang itu membentuk sebuah gambar utuh, berimajinasi membuatnya tenang. Raekyo memang sedari dulu senang dengan imajinasi, ia selalu berkhayal bahwa di dimensi lain itu ada. Bahwa di dimensi itu seseorang yang sama persis seperti dirinya sedang menatap juga ke langit. Orang seperti apakah ia di dimensi itu? Apakah baik? Apakah jahat? Bahagiakah? Atau hidupnya menderita? Raekyo begitu asik melamun sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya.

                “Jangan terlalu lama memandang langit, Rae. Konon katanya bila kau dan dirimu di dimensi lain melihat ke arah yang sama, jiwa kalian bisa tertukar. Kau akan terbangun di dimensi itu dan dirimu dari dimensi lain akan terbangun di kehidupanmu yang sekarang.” Raekyo sontak menoleh. Ia terkejut, selain karena kemunculan tiba-tiba kakeknya, juga karena ucapan kakeknya yang bisa nyambung dengan apa yang sedang ia pikirkan.

                “Grandpa bisa membaca pikiran?” Raekyo menatap ngeri kakeknya. Grandpa Cho hanya terkekeh. “Grandpa mau ke mana malam-malam?” Raekyo baru memperhatikan kakeknya. Grandpa Cho tidak memakai setelan piyamanya, pria tua itu malah memakai baju untuk bepergian. Kemeja, celana kain dengan sabuk, juga mantel panjang. Sehelai syal juga disematkan di lehernya. Gadis itu mengernyit bingung. Kakeknya baru tiba di rumah setelah bepergian ke luar negeri tadi pagi, membawa banyak sekali oleh-oleh untuk keempat cucunya. Tapi ini kan sudah lewat tengah malam, memang kakeknya itu harus pergi lagi menggunakan penerbangan di jam paling pagi?

                “Grandpa tidak ke mana-mana. Kau sendiri sedang apa malam-malam di sini?”

                “Aku tidak bisa tidur. Tapi serius, Grandpa, pakaianmu seperti orang mau pergi. Memang grandpa mau ke mana?”

                “Memang tidak boleh grandpa tidur dengan gaya?” Raekyo merengut sementara kakeknya tertawa. “Tidak bisa tidur karena bermimpi buruk?”

                “Woah, grandpa, kau memang cenayang. Grandpa bisa melihat isi hati yaa? Coba tebak aku sedang memikirkan angka berapa?”

                “Dasar gadis nakal.” Grandpa menjitak Raekyo main-main, “Hanya tebakan beruntung. Benar tidak?”

                “Ya, iya sih…” Raekyo pun tanpa sadar menceritakan mimpinya. Mimpi yang terus ia peroleh akhir-akhir ini. Hingga mimpinya yang terakhir. Tanpa sadar, Raekyo memeluk tubuhnya, sensasi mengerikan dari mimpinya yang terakhir ternyata masih mempengaruhinya.

                Keduanya lantas terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Raekyo tidak keberatan, kesunyian ini terasa nyaman. Kemudian Raekyo merasakan tangan kakeknya menepuk-nepuk tangannya dalam ritme yang menenangkan. Tangan kakeknya hangat, sama seperti ketiga kakaknya. Bedanya tangan kakeknya sudah berkeriput.

                “Menurutmu mimpi itu apa?”

                “Bentuk kekhawatiran yang diwujudkan otak dalam bentuk gambaran nyata. Wuh penjelasanku keren sekali ya grandpa, aku harusnya jadi ilmuwan.” Raekyo geleng-geleng kepala sendiri kagum dengan pemikirannya yang gemilang. Kakeknya tersenyum.

                “Menurut grandpa mimpi itu visualisasi kejadian yang akan datang. Tapi terjadi atau tidaknya tergantung tindakan yang kau pilih di masa sekarang.”

                “Grandpa kebanyakan nonton drama korea. Grandpa habis nonton While You Were Sleeping ya? Bias grandpa Suzi?” Raekyo mengeluh. Kakeknya itu ada-ada saja.

                “Lee Jongsuk.”

                “Ne?”

                “Bias grandpa Lee Jongsuk.” Grandpa Cho memainkan matanya dengan genit membuat Raekyo bergeser menjauhi kakeknya. Tak bisa menahan, grandpa Cho tertawa lepas.

                “Grandpa menjahiliku!” Raekyo berseru tidak terima.

                “Habis kau sih terlalu serius.” Grandpa Cho mengelus kepala cucu perempuan satu-satunya itu, “Kau mirip sekali dengan appamu. Grandpa jadi kangen.”

                “Benarkah? Aku tidak mirip eomma?”

                “Mm, ya kau perpaduan keduanya. Kalau saja mereka berdua masih ada, kalian akan sangat bahagia.” Raekyo menggeleng, memeluk pria tua di sebelahnya itu, ia benci melihat sinar mata kakeknya meredup. Hal yang selalu terjadi bila kakeknya membicarakan appa dan eomma.

                “Tapi kami juga bahagia bersama grandpa.”

                “Belajar gombal dari mana eoh?” Grandpa Cho terkekeh, “Kalau diberi kesempatan, kau mau bilang apa pada orangtuamu, Rae?”

                “Hm.” Raekyo nampak berpikir keras, “Aku mau bilang terima kasih karena telah melahirkan aku ke dunia. Juga karena memberikan kakak-kakak yang begitu menyayangiku. Juga karena telah menuntun grandpa menemukanku.”

                “Sungguh kau bersyukur karena ditemukan? Kau tidak sedih dipisahkan dari ibu ayah dan Hae oppamu?”

                “Ibu pernah bilang, aku pindah ke sini dikembalikan ke keluarga Cho bukan berarti aku akan membuang keluarga Lee dari hidupku. Aku hanya menambah orang-orang yang perlu kusayangi saja. Aku seorang Cho tapi juga seorang Lee. Logika yang aneh ya?”

                “Tidak.” Grandpa tersenyum lembut, “Itu benar Rae. Ibumu sangat bijak. Pesanmu akan grandpa sampaikan.”

                “Huh?”

                “Sudah, ayo masuk, kau harus tidur. Kau bisa sakit nanti. Jangan khawatirkan mimpi-mimpimu, Rae. Hanya saja, jangan terlalu asik bersama ketiga kakakmu, sering-seringlah menelepon Donghae. Ajak Donghae bersama kalian kalau bisa. Dia pasti kesepian hanya sendirian.” Raekyo mengangguk. Gadis itu menggandeng grandpa Cho masuk ke dalam rumah. Kehangatan rumah begitu menyenangkan. Tidak sadar, Raekyo mengantuk. “Mau tidur di kamar grandpa?”

                Raekyo tidak menolak. Ia masuk ke dalam kamar kakeknya. Kamar itu begitu kebapaan hingga membuat Raekyo tersenyum. Rak buku ditata di sepanjang dinding, penuh dengan buku-buku. Raekyo memang tahu kakeknya itu kutu buku. Raekyo sempat memprotes karena grandpa Cho langsung naek ke ranjang tanpa membuka baju bepergiannya. Namun pria tua itu hanya tersenyum simpul sambil teguh menolak untuk berganti pakaian. Raekyo pun berbaring di sebelah kakeknya. Mengamati sang kakek bernafas teratur. Tidak lama kemudian Raekyo membiarkan kantuk menguasainya, ketika kesadaran menghilang, ketika Raekyo jatuh ke dalam tidur, gadis itu tidak menyadari sama sekali nafas kakeknya sudah tidak terdengar. Dada pria itu diam dengan konstan. Raekyo tidak pernah sadar malam itu akan menjadi malam terakhirnya dengan sang kakek, pria tua itu, grandpa Cho, kakek dari ketiga kakaknya telah pergi. Raekyo tidak salah mengira, kakeknya memang mau pergi. Namun kakeknya pergi ke tempat jauh yang tidak bisa ia jangkau. Kakeknya pergi ke tempat appa dan eommanya berada, pergi ketika sedang tidur. Tanpa rasa sakit tanpa menderita tanpa kesedihan persis seperti yang selalu grandpa utarakan dalam doa-doanya.

 

* * *

 

                Donghae memakai jas hitam. Jas yang buru-buru ibunya cuci juga kemeja yang baru tadi pagi ibunya setrika. Dasi hitam melengkapi penampilannya. Donghae tidak pernah mengerti kenapa dukacita selalu dikaitkan dengan warna hitam. Mungkin warna cerah memang agak keterlaluan, namun warna gelap kan banyak. Kenapa bukan hijau tua? Atau biru navy? Atau abu-abu? Atau cokelat tua? Apa karena warna hitam adalah warna tergelap dari semua warna?

                Donghae memandang kerumunan di hadapannya, semuanya memakai pakaian yang hampir sama dengannya. Semua memakai pakaian formal, jas untuk berduka. Apa karena yang meninggal orang penting? Bila hanya pegawai rendahan yang meninggal, akankah tamu-tamu hanya memakai kaos?

                Donghae maju ke depan, merapatkan diri dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Beberapa orang mengangguk menyapa padanya, padahal ia jelas-jelas tidak mengenal mereka. Lucu bukan hanya karena mereka ada di tempat yang sama, di waktu yang sama, di kondisi situasi yang sama dengan memakai pakaian yang hampir sama satu sama lain, mereka semua langsung merasa terhubung dan bahkan repot-repot mengangguk seolah saling menguatkan satu sama lain.

                Raekyo ada di sana, gadis itu berdiri dalam diam, nampak setengah melamun. Ia juga memakai pakaian berwarna hitam. Ketiga kakaknya berdiri berjajar di sampingnya, nampak gagah juga sedih. Kyuhyun yang berdiri di sebelah Raekyo merangkul gadis itu, merapatkan badannya pada sang adik. Pemuda pucat itu membisikkan sesuatu pada Raekyo, membuat sebulir air mata menetes dari mata indah adiknya. Donghae mendengus, kalau barusan Kyuhyun membisikkan kata-kata penghiburan, maka pemuda itu gagal total. Raekyo yang tadinya diam saja, malah jadi menangis.

                Kini giliran Donghae untuk memberikan penghormatan terakhir. Orangtuanya sudah datang sejak pagi, dan berusaha membantu di rumah duka ini. Maka kini Donghae maju sendirian, berdoa terutama bagi keluarga yang ditinggalkan agar tabah dan kuat menghadapi kematian orang yang dikasihi. Ketika membuka mata, ia baru bisa melihat secara detail bunga-bunga cantik yang diatur mengelilingi foto almarhum. Apakah grandpa Cho melihat semua keindahan dekorasi ini? Apa ia tersanjung? Atau ia bahkan sudah pergi ke tempat yang jauh lebih indah sebelum bahkan satu tangkai bungapun disusun?

                “Aku turut berdukacita, hyung.” Donghae menghampiri Leeteuk. Pemuda itu memeluk Donghae, tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Matanya bengkak habis menangis. Kemudian Donghae beranjak dan melakukan hal yang sama pada Kibum dan Kyuhyun. Mengucapkan belasungkawa, berpelukan, saling tersenyum sambil mengamati mata-mata yang bengkak dan memerah habis menangis. Donghae meringis melihat Kyuhyun begitu pucat, bocah yang selalu Heechul ceritakan padanya itu nakal bermulut tajam dan jahil, tapi pemuda yang kini ada di hadapannya hanyalah seorang anak kecil. Kyuhyun nampak amat terpukul dengan kepergian kakeknya yang begitu tiba-tiba. Tanpa sadar Donghae mengelus puncak kepala Kyuhyun, menyebabkan pemuda itu tersentak kaget. Donghae juga kaget, namun ia meneruskan tindakannya, sedikit terkejut merasakan begitu halus rambut Kyuhyun di tangannya.

                “Gomawo hyung.” Ucapan Kyuhyun terdengar begitu pelan namun Donghae masih bisa mendengarnya. Ia tidak menyangka Kyuhyun akan mengucapkan itu padanya, padahal ia sudah menyangka akan terjadi kecanggungan setelah ia dengan berani mengelus kepala Kyuhyun. Donghae pun tersenyum dan kembali memeluk Kyuhyun, pemuda itu tidak menolak, memeluk Donghae dengan kuat.

                Lalu Donghae bergeser, berhadapan dengan sosok yang sedari tadi memandanginya. Raekyo. Donghae tidak mengucapkan apapun, tidak perlu, ia hanya merentangkan kedua tangannya, menawarkan sebuah pelukan. Raekyo tidak berpikir dua kali, gadis itu masuk tepat ke dalam kehangatan kakaknya yang begitu tidak asing. Donghae menepuk-nepuk punggung gadis di pelukannya, ia merasa kemeja depannya basah. Raekyo menangis. Donghae tidak berucap apa-apa, toh memang tidak perlu, Raekyo bukan butuh itu saat ini.

                Ketika mereka saling melepaskan, Donghae menyeka air mata Raekyo dengan jarinya. Bagaimana adiknya itu tetap sangat cantik bahkan ketika wajahnya bengkak dan matanya sembab? Raekyo berusaha tersenyum, matanya menyorotkan pesan dengan jelas, terima kasih. Sama seperti dengan Kyuhyun tadi, Donghae mengelus kepala adiknya dengan sayang. Lalu ia pun berlalu dari sana, membiarkan tamu-tamu lain tidak menunggu terlalu lama untuk bersalaman dengan anggota keluarga Cho. Donghae sempat melihat adiknya sekali lagi, gadis itu masih memandanginya, tersenyum dan melambai pada Donghae, baru teralihkan ketika Kyuhyun menggandeng tangan Raekyo, ketika Raekyo menolehkan wajah kepada Kyuhyun, Donghae sudah berjalan pergi.

                “Ibu dan ayah masih akan di sini membantu. Kau bagaimana?” Nyonya Lee menepuk pelan pipi putranya. Donghae melihat raut kelelahan dari orangtuanya. Mereka datang begitu pagi dan tidak berhenti membawakan makanan dan minuman untuk tamu-tamu bahkan sampai sekarang. Namun Donghae tidak bisa melarang mereka, kedua orangtuanya melakukan ini semua karena Raekyo, putri mereka.

                “Aku akan ke sini lagi pulang bersama ibu dan ayah. Tapi aku ada janji dulu sebentar. Jangan terlalu lelah bu.”

                “Kamu meremehkan kekuatan kami ya? Punya anak dua sama saja, dua-duanya tidak menganggap kita kuat, yeobo. Mereka meremehkan karena kita tua. Padahal mereka tidak tahu Hercules saja kalah dengan kita.” Tuan Lee tiba-tiba datang sambil menepuk kepala Donghae. Nyonya Lee tertawa mendengar ucapan suaminya namun Donghae hanya geleng-geleng kepala. Donghae memikirkan kata-kata ayahnya, orangtuanya tetap menganggap anak mereka itu dua. Dia dan Raekyo. Mau tidak mau Donghae tersenyum, mau bagaimanapun Raekyo itu memang tetap adiknya.

                “Aku pergi dulu, Yah, Bu.” Donghae mencium pipi keduanya lalu berlalu dari sana. Ia menghela nafas, lalu berjalan dengan langkah tergesa. Getaran di sakunya sudah cukup menjelaskan bahwa orang yang sedang menunggunya mulai tidak sabar. Donghae pun bergegas.

                Langkah kaki Donghae menggema di sepanjang gang. Tembok-tembok tinggi nampak menjulang di kanan-kiri, seolah berusaha menghimpit dan menempel satu sama lain. Donghae mengecek GPS di ponselnya, ia tidak menyangka jalan menuju tempat janjiannya begitu sepi dan menyeramkan. Hanya ada beberapa lampu yang menerangi jalan, hingga membuat kesan suram. Di depan, terpampang papan nama yang Donghae cari, lampu kedap-kedip dan suara musik makin terdengar jelas begitu Donghae mendekat. Pemuda itu sama sekali tidak tahu ada cafe tersembunyi di tempat seperti ini.

                Begitu masuk, bau alcohol begitu menyengat menerpa indra penciuman Donghae. Meja-meja nampak separuh penuh. Hampir semua orang melihat ke arahnya ketika ia masuk. Donghae celingak celinguk mencari orang yang ingin ia temui. Orang itu melambai dari lantai dua, mengabaikan tatapan mata orang-orang padanya, Donghae melangkah menaiki tangga.

                “Kupikir kau tidak akan datang. Mau minum apa?” Orang yang duduk di hadapan Donghae itu tersenyum. Donghae memperhatikan pakaian yang orang itu pakai sama persis dengan dirinya. Berarti dia juga baru memberikan penghormatan terakhir.

                “Jus jeruk saja. Maaf membuatmu menunggu lama, Kangin-ssi.”

                “Tidak minum alkohol? Hidup suci?” Kangin tertawa mengejek. Pemuda itu lantas meneguk cairan kecokelatan dari gelasnya dalam sekali teguk. Lalu Kangin memanggil pelayan terdekat, memesankan minuman pesanan Donghae dan untuk dirinya sendiri.

                “Aku akan kembali ke sana. Untuk menjemput ayah dan ibuku. Tidak berkesan baik bila aku datang dan mabuk. Ini, tempat langgananmu?”

                “Ah, ahjumma dan ahjussi yang membawakan makanan minuman untuk tamu itu orangtuamu? Cho Leeteuk membayar mereka berapa hingga mau bersusah payah seperti itu? Ngomong-ngomong tempat ini milikku.”

                “Mereka tidak perlu dibayar, mereka melakukannya tulus untuk adikku.”

                “Adikmu? Adik yang mana? Setauku kau anak tunggal. Oh maksudmu adik orang lain yang kau anggap adik kandungmu? Putri bungsu keluarga Cho?” Donghae berusaha menahan hasrat kuat untuk memukul wajah pemuda di hadapannya. Kangin tersenyum seakan mengerti pergelutan hati Donghae.

                “Untuk ukuran cucu yang baru kehilangan kakeknya, kau tidak terlihat sedih.”

                “Aku?” Kangin tertawa, “Harusnya aku bahagia ya masih ada orang yang menganggap aku cucu kakek tua itu. Bahkan yang bersangkutan saja sudah mencoret namaku dari daftar keluarganya.”

                “Lalu bagaimana denganmu? Kau masih menganggap beliau kakekmu, keluargamu atau sudah mencoretnya dari jati dirimu? Ah tidak mungkin yaa, kalau tidak kenapa kau susah-susah selalu datang ke istana keluarga Cho, membuat onar dan entah merencanakan apa lagi. Apa ya itu namanya, ah, benar, cari perhatian?” Sedetik, topeng lepas dari wajah Pemuda itu nampak marah tapi juga terluka, namun kemudian topeng itu kembali. Kangin tertawa begitu lepas sambil memukulkan tangannya ke meja seolah geli dengan pernyataan Donghae. Donghae menghindar dengan cepat, gelas minumannya terguling karena goncangan meja, jus jeruknya hampir saja tumpah ke celananya. Kini cairan kekuningan itu menetes-netes membasahi lantai.

                “Kau salah paham Donghae-ah.Dangkal sekali pemikiranmu.” Kangin masih tertawa, “Aku ingin balas dendam. Motifku ingin menghancurkan keluarga itu dan merebut singgasananya. Akulah yang berhak.”

                “Balas dendam? Pada orang yang sudah meninnggal? Kakekmu yang mengusir kau dan keluargamu kan sudah tiada. Seperti meninju angin kosong. Tipe balas dendam yang sulit.”

                “Ah, tidak tidak tidak.” Kangin menggoyangkan satu jarinya ke hadapan Donghae, kening pemuda itu berkerut seolah jengkel karena kebodohan Donghae, “Kau itu polos atau pura-pura bodoh? Kematian pria tua itu justru memudahkanku. Perusahaan akan bergejolak, sudah ada genangan bahan bakar yang siap meledak. Tinggal kita jatuhkan setitik api dan bum! Habislah sudah.  Kau harus belajar padaku, Hae. Akan kubuat cucu-cucunya menyesal karena dilahirkan di keluarga itu.”

                “Sejak kapan aku mengijinkanmu bicara banmal padaku? Seingatku kita tidak seakrab itu, tidak bahkan sejak terakhir kau mengobrol denganku. Lagipula tahu dari mana kau aku akan memihak padamu? Bila pulang dari sini aku memberitahukan niat jahatmu pada Leeteuk dan adik-adiknya, maka tamat bukan riwayatmu?” Donghae tersenyum mengejek.

                “Benarkah? Kau akan berbuat begitu? Kurasa justru pada akhirnya kaulah yang akan merengek padaku untuk ikut dalam rencana yang sudah kubuat.”

                “Kenapa kau bisa seyakin itu Kangin-ssi? Jangan berusaha mengontol diriku dan apa yang akan kuperbuat. Aku bukan pion catur yang bisa kau mainkan seenaknya.” Donghae mengambil gelas di hadapan Kangin, meminumnya perlahan-lahan sambil matanya tetap tajam menatap pemuda di hadapannya.

                “Bahkan bila Raekyo taruhannya?”

                “Apa maksudmu?”

                “Aku akan memberikanmu penawaran. Kau membantuku maka Raekyo akan kubebaskan, aku mendapatkan takhtaku, kau akan mendapatkan adikmu kembali. Benar-benar kembali, tidak akan ada yang akan mengambilnya lagi darimu, tidak bahkan ketiga kakaknya yang tidak berguna itu. Itu kan yang kau inginkan? Keluargamu bersatu kembali seperti sedia kala. Ayah, ibu, kau dan adikmu satu-satunya. Cho Raekyo, ah, maksudku Lee Raekyo.”

                “Ini penawaran tergila yang pernah kudengar!” Donghae meletakkan gelas ke meja dengan geli, “Kau pikir akan semudah itu? Raekyo akan membenciku bila tahu aku terlibat. Lagipula ketiga kakaknya tidak akan diam saja. Mereka akan tetap berusaha membuat Raekyo tetap bersama mereka. Kau pikir karena jatuh miskin mereka akan membuang Raekyo begitu saja? Kau memang tidak tahu apa-apa, Kangin-ssi. Kau yang anak tunggal tidak akan pernah tahu rasanya mempunyai seorang adik yang begitu kau sayangi dan lindungi. Pada akhirnya mereka bertiga akan meminta Raekyo kembali pada mereka, dan seperti sebelumnya, tidak akan ada yang bisa kuperbuat karena aku tidak berhak. Jadi penawaran ini hanya lelucon belaka. Kau hanya mau memanfaatkan aku. Kau pikir aku sebodoh itu?”

                “Kau meremehkanku. Yah, bisa dimaklumi kita tidak kenal dekat sebelumnya,” Kangin menatap Donghae lekat-lekat, “Kau tidak memahami perkataanku rupanya. Kau tidak punya bayangan akan sejauh apa aku bisa bertindak. Bagaimana bila aku berani menjamin bahwa ketiga pemuda Cho itu tidak akan pernah mau mengambil Raekyo lagi darimu? Bagaimana bila aku berani menjamin bahwa justru mereka bertiga yang akan memohon bahkan berlutut untuk memintamu mengambil Raekyo dari hidup mereka? Bagaimana bila kujanjikan bahwa Rekyo akan saling membenci dengan ketiga kakak Chonya itu dan berharap dirinya tidak akan pernah mengenal mereka lagi seumur hidupnya? Aku akan melindungi jati dirimu dan menyembunyikan keterlibatan dirimu serapi mungkin. Tidak akan pernah ada yang tahu kau terlibat denganku. Tidak di kehidupan ini ataupun kehidupan yang akan datang. Aku berniat meratakan takhta keluarga Cho itu jadi abu dan menggantinya dengan kerajaan milikku sendiri.”

                Kangin tersenyum mengejek, pemuda itu mengambil gelas bekas Donghae, meminumnya perhalan sambil mengamati pemuda itu lekat-lekat. Donghae terdiam. Separuh dirinya ingin menolak, lari dari tempat ini memperingati Raekyo dan kakak-kakaknya. Namun separuh lagi begitu tergoda. Semua ini terasa begitu mudah. Harapannya, keinginan terbesarnya sudah di depan mata. Tinggal mengerahkan keberanian untuk meraihnya. Donghae ingat perkataan Eunhyuk bahwa ia harus merelakan semuanya, kalau tidak ia akan terluka. Eunhyuk salah, sahabatnya itu tidak mengerti, justru dengan merelakan semuanya, merelakan adiknya pergi dari hidupnya lebih parah dari terluka. Itu membuat Donghae mati. Tapi, benarkah semua ini? Benarkah semudah itu?

                “Dan bila aku tetap menolak?” Donghae berusaha memberikan senyum acuh, berusaha terlihat tidak terintimidasi dan tergiur dengan tawaran Kangin. Sebelum Kangin sempat menjawab, seorang perempuan tiba-tiba datang, duduk di pangkuan Kangin. Donghae langsung tahu ini lah perempuan itu, tunangan Kangin yang pernah Raekyo ceritakan. Perempuan itu, Mina.

                “Pendengaranmu kurang bagus ya? Ingat-ingat lagi Kangin oppa bicara apa. Dia bilang akan membebaskan Raekyo bila kau bekerja sama. Jadi bila kau menolak, maka tentu saja Raekyo akan dihancurkan, tidak ada pengecualian, gadis itu akan rata menjadi abu seperti nasib ketiga kakaknya yang lain.” Kangin tertawa, pemuda itu merasa begitu bangga dengan tunangannya. Sementara itu Mina tersenyum senang, menggelayut manja pada Kangin. Donghae tidak sempat merasa jijik dengan pasangan di hadapannya, senyum menghilang dari wajahnya. Donghae menyadari sesuatu, dari semenjak ia melangkahkan kaki ke tempat ini, bahkan dari sejak Donghae setuju untuk berbicara dengan Kangin, pemuda berbadan besar itu sudah menguasai dirinya. Kangin sudah berhasil membujuknya, menekan di titik yang tepat, di luka hatinya. Donghae awalnya merasa dirinya setara dengan Kangin, ia rekan yang Kangin butuhkan untuk membantunya dan bahwa Donghae mempunyai hak untuk menentukan tindakannya. Namun semua itu salah, Donghae persis seperti ucapannya sendiri, ia adalah pion catur yang bisa Kangin mainkan sesuka hatinya. Dirinya adalah prajurit perang di baris depan, berusaha memenangkan satu pihak tanpa benar-benar tahu penyebab perang dimulai. Donghae merasa dirinya amat bodoh dan tidak berguna. Juga terlalu egois. Dia selalu berprinsip untuk mengejar kebenaran namun terlalu pengecut untuk mengambil tindakan yang beresiko.

                Donghae mengepalkan tangannya begitu kuat hingga hari-jarinya memutih. Pemuda itu mencondongkan badan ke depan, “Katakan rencananya. Aku ikut. Kuharap kau memegang janjimu, Kangin-ssi.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
LMoria
#1
Please read my story if you have time <3
LMoria
#2
I hope you will continue this asap <3
LMoria
#3
I love your story omgggg
Awaefkyu1311 #4
Chapter 7: yeayyy cepat skali updatenya... makin kecanduan baca ff ini,. jd sikap Rae dan kyu itu 11:12 ya,. apa jd nya mreka klo kerja sama jahilin kakak mreka..hehee,. aku penasaran sama masing masing rahasia yg mereka,.. smoga bisa update cpet lg heheee...
Awaefkyu1311 #5
Chapter 6: yeaayy update..!!, btw alur'a cepet banget udah 8 bulan kemudian aja..pdahal aku pengen liat interaksi kyu stelah bangun dr pingsannya sma ryaekyo,. terus rahasia mereka masing" gimana? sudah saling terus terang kah??,. lanjut pleasee
Awaefkyu1311 #6
Chapter 5: aduh aku suka bgt smaa ceritanya... tp aku agak kesusahan untuk komen disini, setelah sekian lama akhirnya tau jg cara komen disini,.. knpa gak coba pub di watpadd aja? lebih mudah baca dan kasih komentar'a,.. *saran aja hehehe... ttep smangat lanjut yaaaa... sangat ditunggu...