Back in The Saddle

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Aku menghabiskan sisa liburan musim panasku dengan cat air serta cat minyak saat aku tidak berada di studio bekerja dengan kru. Seni telah menjadi satu hal besar yang membantuku berjuang sekali lagi akan kelainan kebiasaan makanku. Aku tidak tahu mengapa aku tidak memikirkannya sebelumnya. Mungkin karena aku terlalu sedih dan pikiranku terlalu berantakan.

Seni menjadi bagian penting dalam hidupku dan juga pemulihanku. Aku selalu gemar membuat doodle sejak kecil meskipun aku tidak terlalu mengasahnya karena aku sibuk bermimpi menjadi dokter, jadi aku menelantarkannya.

Gairahku untuk seni meningkat pada masa pemulihanku. Berbicara dan bercerita dengan kakakku tentang perasaanku memang membuantu, namun ia juga disibukkan dengan sekolahnya. Aku tidak ingin mengganggunya dan aku juga tidak ingin mama mengetahui penyakitku. Lalu, tiba-tiba saja aku mengambil pensil dan menggambar di balik struk belanja setelah aku menemani mama ke pasar pada siang hari. Itulah awal dari segalanya.

Aku memulai menggambar dan membuat sketsa tentang perasaanku pada saat-saat tertentu, atau apapun yang dapat aku pikirkan saat itu. Aku juga ingat bahwa aku sempat menggunakan cat air dan setelah itu, aku mulai melukis di kanvas dan juga pintu kamar mandiku, yang tentu saja tidak mama ketahui.

Disaat tangan dan lenganku, terkadang mukaku juga, terkena cat atau cat air adalah masa paling bahagia dan tenang dalam hidupku. Hal tersebut meringankan bebanku dan membantuku mengekspresikan perasaanku, mencurahkan dan mengartikan pikiran dan emosiku yang rumit. Hal tersebut juga membantuku menemukan sebab awal kelainan kebiasaan makanku dimulai. Menggambar dan melukis memberiku keberanian untuk keluar dari diriku yang lama dan membangun Su Ji yang baru.

“Mungkin kau tidak membuat Su Ji yang baru,” ujar Hye Rin setelah aku memberitahunya apa yang kupikirkan. Ia selalu menjadi orang pertama yang mendukung dan menyemangatiku untuk melakukan apa yang aku mau. “Mungkin kau selalu memiliki orang ini dalam dirimu, hanya saja ia bersembunyi, menunggu sinar yang akan meneranginya. Su Ji, kau tidak membangun seseorang yang baru, kau baru saja menemukan jati dirimu.” Ia tersenyum kepadaku dan aku juga tersenyum kembali.

Masa itu adalah masa yang menentukan hidupku. Sebuah kaledoskop energi dan harapan baru terbentuk dan aku merengkuhnya dengan senyuman—sebuah senyuman hangat yang kukira tidak akan pernah tersirat di wajahku pada masa itu. Aku merasa terbebaskan.

-----

“Menurutmu bagaimana perubahan yang Eun Hye buat?” Jongin bertanya padaku saat aku sedang duduk di kursi tinggi di salah satu meja dekat konter, menunggu barista itu membuatkan pesananku.

Jumat malam, beberapa hari setelah semester kedua di mulai. Semua anggota kru bertemu di kafe saat Eun Hye menelepon karena rapat penting menyangkut produksi film pendek kami. Ia langsung menarikku dan Da Hee ke kafe setelah sekolah. Setelah kami semua berkumpul, Eun Hye mengumumkan beberapa hal yang ia ubah. Memang bukan perubahan total yang ia lakukan, ia hanya menambah dan menghilangkan adegan yang tidak penting.

“Bagus sekali.”

Jongin mengerjapkan mata. “Kau menyukainya?” tanyanya, sungguh aneh, ia terlihat seolah tidak percaya.

“Iya,” jawabku, sedikit menolehkan kepala sehingga aku dapat menatapnya dengan jelas. “Menurutku hal tersebut akan membuat film ini lebih menarik. Kau tidak menyukainya?”

“Tidak, aku menyukainya.” Ujar Jongin dengan cepat lalu ia meringis seperti anak kecil.

Ponselku bergetar, Hye Rin mengirimkan SMS untuk mengingatkanku tentang buku yang ia meminta tolong aku untuk membelikannya saat aku pulang.

Aku memberitahu Hye Rin tentang kambuhnya penyakitku. Aku tidak dapat menyembunyikannya. Aku tahu ia akan kecewa akan hal itu. Namun aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja sekarang. Aku memulainya dengan tujuan kecil dan aku sedang berjuang. Hye Rin menarikku ke dalam pelukannya dan mengingatkanku akan bagaimana besarnya rasa sayangnya padaku.

Aku merasa sangat beruntung memiliki Hye Rin karena aku dapat bersandar padanya, tanpa beban apapun. Aku tidak berharap untuk memiliki hubungan seperti ini dengan Jongin. Dari luar, ia terlihat tidak peduli dan tidak ramah, namun setelah menghabiskan waktu dengannya pada hari-hari terakhir musim panas, aku menyadari bahwa ia adalah teman yang baik.

Setelah malam dimana ia mengetahui rahasia kelamku, aku takut ia akan berubah pikiran. Mungkin saja ia mengatakan hal-hal yang menenangkanku karena itu kewajibannya lalu ia akan mengabaikanku. Aku juga takut ia akan mulai bertingkah seperti ahli, menanyaiku pertanyaan-pertanyaan dan sebagainya. Aku menunggunya melakukan semua itu, namun ia tidak pernah melakukannya, bahkan sampai saat ini.

Ia berbicara denganku dan bertingkah seperti biasanya seolah ia tidak pernah tahu akan penyakitku. Kami pergi bersama dan berbicara akan banyak hal, seperti apa yang terjadi di studio. Dan saat aku ingin berbicara tentang sesuatu, ia akan mendengarkannya. Dan karena beberapa hal, ia membuatku mempercayainya bahwa aku dapat mengalahkan penyakitku sekali lagi. Dan aku berhasil.

“Hei, Su Ji,” Ujar Jongin setelah beberapa saat, ia mengambil sesuat dari kantong celananya dan memberiku sebuah amplop.

“Apa ini?” aku bertanya, mengambil amplop itu dari tangannya. Aku membukanya dan melihat sebuah cek.

“Bayaran terakhirmu.” Ujarnya yang sedang menatapku dengan penuh senyum.

Aku tertawa kecil dan berterimakasih padanya. Aku bertanya tentang toko, bagaimana keadaan di sana. Dua minggu yang lalu aku pergi ke sana. Jongin menunjukkanku cara membuat piagam kayu di tempat kerja. Aku mulai memberitahunya tentang beberapa orang yang dapat aku rekomendasikan pada Noo Ri yang masih mencari penggantiku.

“Lalu, ada satu anak dari kelas seniku,” kataku, “Ia sangat rapi, mungkin Noo Ri dapat—“

“Lyra,” Jongin menginterupsiku. Ia sedang menatapku dengan senyuman kecilnya.

Aku mengerjapkan mataku. “Apa?”

“Aku dapat membuat Lyra dari bintik-bintik di wajahmu.” Ucap Jongin yang sedang menunjuk bintik-bintik yang terbentang di hidungku.

“Lyra?”

“Perbintangan.” Ia mengklarifikasinya, sebuah senyum tampak di wajahnya—tenang dan lembut.

Aku menatap matanya dalam-dalam untuk beberapa saat, yang juga tersenyum dan terlihat jelas serta indah. Enam puluh detik lamanya aku menatap wajahnya, lalu aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku.

“Benar,” aku tertawa kecil dengan canggung, “Thanks.” Tambahku saat aku kembali menatapnya.

Pandangan kami bertemu, matanya masih tersenyum dan tiba-tiba aku merasa lutut kami bersentuhan. Pipiku terasa panas seketika. Untung saja, seorang barista datang, aku mengalihkan pandanganku kepada barista dan juga pesananku.

“Oh ya,” Ujar Jongin setelah ia memesan makanan kepada barista yang sekarang telah kembali ke dalam daput, “Aku sudah tahu apa yang aku mau untuk bayaranku.”

“Hm?” aku melihat ke arahnya. Jongin menganggukkan kepalanya, setengah tersenyum. “Apa itu?”

“Aku tidak dapat memberitahumu,” Jongin sedikit mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Aku harus menunjukkannya padamu.”

Mungkin karena suaranya yang rendah dan dalam, atau dari caranya menatapku atau mungkin karena keduanya, hatiku mulai berdebar-debar. Aku tidak dapat berkata apapun untuk beberapa saat. Aku tidak dapat memahami apa yang ia katakan.

“Apakah kau sibuk malam ini?” Tanya Jongin, sebelum aku dapat berkata apapun.

Aku nyaris tersedak minumanku. “Ma-malam ini?” Jongin menganggukkan kepalanya dengan ringan.

“Iya, malam ini benar-benar waktu yang tepat.” Ucap Jongin, “Tidak ada orang di rumah.”

Aku menelan ludah dan menggenggam minumanku dengan cemas, namun aku mencoba untuk terlihat tenang. “Apa yang…” aku berhenti sejenak karena aku tersadar aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bertanya padanya tentang apa yang aku pikirkan. Aku tidak yakin apa yang kupikirkan sama atau tidak dengannya. “…sebenarnya kau inginkan?” tutupku dengan timpang.

“Sudah kubilang aku tidak dapat memberitahumu tentang ini,” ujar Jongin, “Aku harus menunjukkannya terlebih dahulu sebelum menjelaskannya padamu. Hal ini tidak akan lama, aku berjanji.” Ia menggigit bibir bawahnya seolah ia berusaha menyembunyikan senyumannya.

Ia sedang menggodaku, aku menyadarinya. Aku menarik nafas panjang dan berpikir. Jangan-jangan Jongin… tidak, ia adalah temanku dan tidak mungkin ia menginginkan hal tersebut. “Baiklah,” aku akhirnya memutuskan untuk ikut bersamanya.

Jongin tersenyum. “Baiklah kalau begitu.”

Kami keluar dari kafe setelah beberapa menit. Aku dan Jongin berpisah dengan teman-teman kami karena mereka akan naik kereta bawah tanah, dan karena aku dan Jongin akan pergi ke toko, kami naik bus. Setelah beberapa menit kemudian kami sampai di tempat tujuan kami yang masih saja buka dan penuh dengan pelanggan. Aku menyapa teman kerja lamaku saat aku melalui mereka.

Aku dan Jongin berjalan menuju ke halaman belakang lalu ia memimpin jalan menuju ke arah yang berlawanan dengan tempat kerjanya. Aku langsung mengenali jalan ini. Kami menuju ke rumahnya, pikirku dengan gelisah. Aku menggigit bibir bawahku dan berusaha menenangkan hatiku yang sedang berdebar-debar dengan hebatnya. Aku terus-menerus meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja dengan Jongin karena dia temanku hingga aku bereaksi berlebihan saat ia membuka pagar dan menyuruhku mengikutinya. Semua lampu yang ada sedang dalam keadaan mati kecuali lampu yang berada di teras depan.

“Jongin, kemana kita akan pergi?” aku akhirnya bertanya padanya. Aku dapat mendengar ketegangan dalam suaraku dan aku tidak peduli apabila ia mendengarnya.

Jongin tidak menjawab, namun aku merasakan tanga

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin