Till Death Do Us Apart

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Dulunya aku heran mengapa mama bersikap berbeda terhadap nenekku. Aku berusia sepuluh tahun saat beliau berkunjung dan menginap pertama kali di rumah kami. Aku dan kakakku sangat senang karena beliau jarang mengunjungi kami dan beliau satu-satunya nenek yang masih hidup—orang tua mama telah meninggal sewaktu mama muda.

Saat aku beranjak dewasa, aku menyadari bahwa mama tidak seberapa menyukai nenek dan begitu pula sebaliknya. Sepanjang yang aku tau, hal itu disebabkan karena nenek tidak menyukai mama sebagai menantu. Alasan klasik, aku tahu.

Bagaimana pun juga, nenek tidak memiliki pilihan karena papa bersikeras menikahi mama. Melalui kunjungan-kunjungan nenek, aku sering melihat mama berlaku menerima dan ramah (demi papa, tentu saja) meskipun nenek menampiknya.

Makan siang dan makan malam adalah masa yang paling canggung. Nenek gemar mengkritik persiapan dan kemampuan memasak mama. Aku biasanya menatap mama dan nenek bergantian sewaktu mereka saling membelalak. Lalu  kakak akan menyikutku ringan dan berbisik agar aku berhenti menatap mereka dan melanjutkan makan.

Terakhir kali aku melihat nenek adalah sewaktu pemakaman papa, sekitar dua tahun yang lalu. Kami sempat berpikir kami tidak akan melihatnya lagi karena satu-satunya alasan beliau berkunjung adalah papa, dan terkadang kami sewaktu kami melakukan sesuatu yang dapat dia banggakan kepada teman-temannya.

Jadi ketika nenek menelepon di sabtu pagi dan memberitahu kami bahwa beliau akan datang sore ini, aku dan mama nyaris tersedak sewaktu sarapan.

Mama langsung panik setelah menelepon dan meneriaki pembantu kami untuk membersihkan rumah lagi. Ia pun membolak-balik buku resep dan majalah untuk mencari apa yang akan ia masak untuk makan malam. Ia memberitahuku untuk mengganti pakaian karena kami akan pergi berbelanja. Ini adalah kali pertama mama berbicara padaku setelah aku memberitahunya aku tidak akan masuk ke sekolah kedokteran.

Mama menggerutu dan mengomel dengan geram saat menyetir dan juga saat memilih sayuran serta buah. Itu adalah kebiasaan mama saat ia gelisah.

Nenek datang tepat sebelum makan malam. Beliau tidak terlihat berbeda. Aku tersenyum padanya setelah aku menyilakan nenek masuk ke rumah.

Sementara itu, mama memasang muka gembiranya tepat ketika nenek masuk ke ruang keluarga. Mama sedang membawa nampan berisi teh kegemaran nenek. Aku mengingatkannya akan hal itu karena aku pikir nenek akan menyukainya. Mama awalnya kurang menerima saranku, namun akhirnya setuju dan teh itu sudah mama sajikan dengan senyuman lebar. Nenek menatap mama dengan kritis sebelum menerima teh tersebut. Setelah menyisipnya, nenek memberikanku tatapan yang sama.

 Aku selalu merasa bahwa nenek lebih menyukai kakakku. Aku tahu karena aku lebih terlihat seperti mama, seperti perawakan kecil dan bintik-bintik kecil di sepanjang jembatan hidungku, sementaera kakakku lebih terlihat seperti saudara papa. Aku juga tahu dari bagaimana nenek secara tidak langsung mengatakannya padaku.

“Puji Tuhan kau memiliki mata seperti papamu.” Kata nenek sembari menatap mataku, “seperti aku melihatnya.” Lalu aku tersenyum kecil padanya.

Aku kembali makan karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan apabila mereka memulai pertengkaran mereka. Untung saja mereka dapat menahannya. Nenek mengejutkan kami dengan mengatakan beliau akan tinggal di rumah sepanjang musim panas. Aku mendapati mama terkejut namun cepat-cepat sadar dan tersenyum meyakinkan saat mengatakan ia akan menyiapkan kamar tamu untuknya.

Saat aku turun keesokan harinya, mama dan pembantu kami sedang sibuk di dapur. Nenek mengadakan jamuan makan siang dengan teman-temannya dan sudah jelas, mama merasa terganggu.

Pemilihan waktu yang buruk karena aku berpikir untuk membicarakan kembali diskusi kami sebelumnya—tentang aku tidak akan sekolah kedokteran. Percakapan kami pendek-pendek dan mama belum menatap mataku sama sekali sejak Jumat kemarin. Saat aku berpamitan padanya,  ia juga tidak meanatapku dan hanya mengingatkanku untuk pulang sebelum jam malam.

Awan gelap menyambutku saat aku keluar rumah. Hujan pun mulai turun ketika aku sampai di kafe tempat aku, Eun Hye, dan Da Hee bertemu. Kami berencana untuk berlatih beberapa baris dengan beberapa laki-laki yang sekiranya memiliki potensi. Eun Hye kecewa saat aku memberitahunya tentang Jongin. Namun, kami berdua tahu kami harus segera bergerak.

Temanku melambaikan tangan padaku menandakan dimana mereka duduk. Ternyata mereka menyewa meja terbesar. Kyungsoo menyapaku saat kami bertemu. Segera setelah aku duduk, aku dikenalkan pada ketiga lelaki yang duduk di seberang kami. Kami bertanya pada mereka seputar film kegemaran mereka, apakah mereka bergabung dalam klub drama dan apakah mereka memiliki pengalaman dalam akting. Sebenarnya tidak ada persyaratan yang jelas, tapi kami hanya ingin memastikan bahwa setidaknya mereka pernah berakting atau tertarik dengan dunia akting.

Beberapa menit kemudian, Da Hee berlatih dengan setiap lelaki dan Eun Hye menilai penampilan mereka. Dua diantara mereka benar-benar tidak mampu dan Da Hee juga dapat merasakannya. Aku tidak ingin terdengar kasar, tetapi setelah melihat akting mereka, aku yakin mereka telah berbohong tentang klub drama yang mereka bicarakan tadi.

Lelaki yang ketiga, cukup masuk dalam kriteria.  Perawakannya pun juga cukup sesuai, namun kami hanya memiliki satu pertimbangan.

“Jadi,” Kata Eun Hye kepada lelaki ketiga, yang sedang tersenyum lebar pada kami. “Penyampaianmu cukup baik, tapi aku ingin bertanya satu hal, kapan suaramu akan turun?” aku menyikut Eun Hye. Kedua lelaki lainnya tertawa pelan. Lelaki ketiga, terlihat bingung. Eun Hye menatapku dengan tatapan polos.

“Kerja yang baik!” kataku pada mereka, sedikit terdengar terlalu bersemangat. Aku mendengar helaan napas pelan Eun Hye dan Da Hee yang sibuk menelepon. “Kami akan mempertimbangkan kalian dan memberitahu hasilnya besok.”

Sesaat setelah ketiga lelaki itu meninggalkan kafe, kami mulai berdiskusi. Setelah beberapa menit kemudian, lelaki ketiga adalah satu-satunya pilihan kami. Kami pikir kami bisa mentolerasi suaranya yang agak terlalu tinggi.

“Bagaimana dengan sepupumu?” tanya Da Hee saat Kyungsoo menghampiri meja kami untuk mengisi ulang gelas kami.

Aku dan Eun Hye menatapnya yang sedang menuangkan minuman ke gelas kami. “Bagaimana dengannya?” tanya Eun Hye.

“Tidak dapatkah kita mempertimbangkannya?” usul Da Hee.

“Tidak.” Sahut Eun Hye datar.

“Kenapa tidak?” Dahi Da Hee pun berkerut. “Ia sepertinya performer yang baik.”

“Aku setuju.” Sahutku. “Lagipula, aku pernah melihatnya tampil dengan Chanyeol.”

“Girls, jangan salahkan aku.” Eun Hye menghela napas panjang. “Aku suka sepupuku dan ia memang berbakat dalam banyak hal seperti menyanyi, menari, dan memasak. Tapi akting? Tidak.”

Da Hee dan aku tidak lagi mengungkit-ungkit hal tersebut. Eun Hye berkata mungkin ini bukan tahun untuk kami dan sebaiknya kami mundur saja. Da Hee dan aku protes bersamaan. Kami menjelaskan padanya bahwa kami masih bisa menyelesaikannya. Saat Da Hee berjuang merayu Eun Hye agar tidak membatalkannya, aku pergi ke belakang sejenak karena teleponku berdering. Mama menyuruhku membeli sekotak brownies dan aspirin karena persediaan di rumah sudah habis. Percakapan kami sedikit berlanjut saat mama mulai mengeluh soal ulah nenek, aku membiarkannya menggerutu selama sekitar 10 menit.

Mama menutup telepon dengan jengkel saat nenek mulai memanggilnya. Aku meyakinkannya ia akan baik-baik saja. Aku kembali ke meja dan memikirkan sesuatu agar Eun Hye tidak jadi mundur. Aku mendadak berhenti saat aku melihat seseorang duduk bersama

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin