Worst Button

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Bukan sesuatu yang mengejutkan jika kedatangan Jae Hoon disambut dengan senang oleh orang-orang rumah. Nenek pun mengundangnya untuk datang ke jamuan makan siang. Saat Jae Hoon datang ke rumah kami pada hari Minggu, nenek mengintrogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia mampu  jawab dengan sopan, nenek pun berkata ia sangat menyukai Jae Hoon akan hal itu.

Aku menganggukkan kepala karena aku sangat tahu Jae Hoon dan muka datarnya tidak berarti apa-apa bagiku.

“Sumpah, nenekmu lebih menakuktkan dari papamu.” Gumam Jae Hoon saat kami berjalan menuju meja buffet.

Bagaimanapun juga, antusiasme nenek saat bertemu Jae Hoon tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan mama. Mama merangkul Jae Hoon seolah-olah ia adalah anaknya sendiri.

Saat pertama kali aku memperkenalkannya kepada mama dan papa, mama sangat enggan menerimanya. Tetapi setelah mengenal Jae Hoon lebih lanjut, mama akhirnya memperbolehkan kami berpacaran namun dengan penekanan akan beberapa peraturan seperti jam malam dan Jae Hoon tidak diperbolehkan olehnya untuk pergi ke maupun mendekati kamarku.

Seiring berjalannya waktu, mama dan Jae Hoon semakin dekat. Aura mama menjadi lebih cerah saat Jae Hoon datang berkunjung. Mungkin karena mama dan papa sangat menginginkan anak laki-laki. Ia terus menerus bertanya padanya soal perjalanan Jae Hoon dan mereka pun bercakap-cakap, lalu nenek juga terkadang menginterupsi mereka.

Setelah makan siang, aku dan Jae Hoon pergi ke halaman belakang dan duduk di ayunan. Ia bercerita padaku tentang surat pernyataan ia diterima di sekolah kedokteran. Topik tersebut membuat kami canggung untuk beberapa saat karena dulunya kami bermimpi untuk bersekolah di universitas yang sama. Kami dulunya belajar bersama untuk meraih target, bahkan melampaui target, agar kami bisa diterima lalu aku berubah pikiran. Tapi aku tahu ia mengerti keputusanku, tidak seperti mama. Aku menggenggam tangannya saat aku berkata padanya bahwa ia pasti diterima.

Kami mengubah topik pembicaraan dan ia bercerita tentang pekerjaan suka rela yang ia lakukan. Aku bercerita padanya tentang pembuatan film pendek kami dan pekerjaan sampinganku. Aku bercerita padanya tentang teman-teman baru yang kutemui dan aku ingin ia bertemu dengan mereka.

Berbicara tentang pekerjaan, aku menemukan hal baru tentang Jongin. Berita ini cukup lama sebenarnya, namun tidak ada yang berani berbicara soal hal ini, terutama saat Jongin berada di sekitar mereka. Cerita mereka cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang bagaimana Jongin kurang menyukainya jika orang lain tahu akan tarian di malam harinya dan alasan yang cukup masuk akal tentang bagaimana ia tidak ingin melanjutkan kuliah.

Aku sedang berada di ruang penyimpanan pada hari Senin siang dengan salah satu rekan kerjaku. Kami sedang merapikan kotak-kotak di ruangan tersebut. Ia berkata bahwa Jongin bertingkah cukup aneh beberapa hari ini.

“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran.

Rekan kerjaku, yang sedang duduk di lantai, melirik ke belakang untuk memastikan tidak ada Jongin, lalu membalikkan badan padaku dan menjawab pertanyaanku dengan pelan.

“Ia terlihat…bersemangat belakangan ini.” Ujarnya.

“Baiklah, jangan-jangan ia lebih mudah marah sebelumnya,” jawabku karena aku tidak sepenuhnya percaya dengannya.

“Kau tidak mengerti.” Tekannya. “Ia sangat jarang berbicara dengan kami saat ia pertama kali datang di tempat ini. Pada awalnya kami pikir ia pendiam, tetapi kadang ia pemarah, jadi kami cukup kesusahan untuk berteman dengannya. Lagipula, ia kelihatannya tidak ingin berteman dengan kami. Ia biasanya menyendiri. Kami akhirnya mampu membangun profesionalitas diantara kami. Lalu, kami mengetahui hal tentang  kakak perempuannya—“ ia tiba-tiba menutup mulutnya dan mengumpat kecil. Ia melirik ke arah pintu lagi dan menghela nafas.

“Ada apa? Ada apa dengan Noo Ri?” tanyaku.

Rekan kerjaku menatapku sejenak lalu ia beranjak ke arah pintu dan menutupnya.

Aku mengerutkan dahiku, “ia kakaknya.”

“Benar. Tapi ia memiliki satu lagi kakak perempuan.”

Rasa penasaran mulai memasuki pikiranku dan aku menunggunya untuk melanjutkan ceritanya. Tetapi ia berkata bahwa ia tidak dapat bercerita banyak karena ini akan menjadi masalah besar jika Jongin tahu mereka bergosip tentangnya. Aku meyakinkannya aku tidak akan memberitahu siapapun tentang hal ini.

Rekan kerjaku pun menyerah dan mulai bercerita tentang Jongin dengan pelan. Hampir satu tahun yang lalu, dua minggu sebelum Jongin lulus SMA, kecelakaan parah menimpanya dan juga kakak perempuannya. Kakak perempuannya lah yang menyetir saat mereka di perjalanan pulang dari salah satu kompetisi menari yang Jongin ikuti, lalu mobil mereka ditabrak dengan keras oleh truk besar. Kakaknya meninggal di tempat dan Jongin koma selama empat hari. Noo Ri bercerita soal hal ini karena kami berpikir bahwa ia adalah seorang pecundang, padahal ia sedang depresi.

Aku tidak tahu bagaimana perasaanku setelah mendengarkan cerita tersebut. Kehilangan seseorang yang berarti, hal itu sungguh membuatku merasa patah. Seperti ada lubang dalam dirimu dan tidak ada satupun yang mampu mengisinya.

“Kalian sudah mengetahui hal dibalik perilakunya,” kataku pada rekan kerjaku setelah itu, “mengapa kalian tidak mencoba berteman dengannya?”

“Karena ia menutup diri.” Ujarnya. “Bukankah hal itu sudah jelas? Ia tidak banyak menghabiskan waktu di sini, dan saat ia berada di sini, ia hanya berbicara tentang toko, tidak ada hal yang lain. Beberapa hari ini ia terlihat berbeda. Dalam hal yang baik.” Tambahnya, “ia tertawa dengan tulus. Kau melihatnya atau tidak?”

Aku menganggukkan kepala. Beberapa minggu ini saat aku bekerja, setiap kali Jongin masuk ke toko, raut mukanya selalu serius. Masuk akal jika aku menyimpulkan bahwa ia tidak pernah tertawa dengan tulus sebelumnya. Aku tidak pernah melihatnya tertawa dengan orang lain. Namun pagi ini, Jongin tersenyum dan tertawa dengan santai dengan salah satu rekan kerja kami di konter.

Ia sepertinya dalam mood yang baik, jadi saat jam makan siang aku pergi ke ruang kerjanya. Aku menawarkannya untuk makan siang bersama rekan kerja kami lainnya namun ia menolak. Ia memintaku untuk berlatih bersama saat kami akan syuting. Kami naik ke atap dan duduk di tempat kami biasanya, di meja piknik. Pada hari ini, Jongin membawa makan siangnya sendiri. Ia berkata bahwa neneknya memasakkan ini untuk dirinya sebelum menghadiri rapat penting.

“Kau tidak pernah makan siang dengan yang lain?” tanyaku dengan berani. Jongin yang sibuk dengan makanannya hanya menggelengkan kepala. “Apa kau tidak pernah merasa kesepian? Makan sendiri di sini?”

“Kemana arah percakapan kita ini?” Tanya Jongin, dengan mulut setengah terisi. “Dan jika kau tidak menyadarinya, aku makan denganmu, jadi aku tidak sepenuhnya ‘sendirian’,” ujarnya dengan membuat tanda petik dengan tangannya.

“Aku hanya melihat kau tidak punya teman di sini.”

Jongin berhenti mengunyah dan menatapku. “Kau temanku.” Jawabnya dengan polos.

“Aku tahu.” Jawabku dengan cukup santai, meskipun aku tidak menyangka ia akan menjawab seperti itu. Bukan berarti aku tidak ingin menjadi temannya, tapi aku hanya tidak tahu kualifikasi untuk menjadi temannya, “maksudku tadi, hidupmu akan lebih menyenangkan jika kau memiliki banyak teman.”

“Kau juga tidak memiliki banyak teman.”

“Aku punya banyak teman. Di sekolah.” Jawabku, mencoba agar tidak terdengar kasar karena pernyataannya. “Aku tidak banyak pergi dengan mereka seperti dengan Eun Hye dan Da Hee.” Jongin kembali meneruskan makannya. “Lagipula, rekan kerja kita baik-baik. Kau sebaiknya mulai pergi dengan mereka. Jika kau ada waktu.” Tambahku dengan ragu karena aku tidak ingin menekan tombol yang salah.

Aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan karena percuma saja berbicara soal hal ini dengan Jongin. Untuk saat ini. Kami kembali berlatih dan sepertinya ia telah berlatih sendiri sebelumnya karena ia menyampaikannya dengan sempurna.

Keesokan harinya, rekan kerjaku berkata bahwa Jongin bergabung dengan mereka malam itu setelah jam kerja selesai. Ia berkata bahwa mereka pergi ke tempat makan lain dan mereka terkejut karena Jongin cukup ramah dengan mereka. Aku tidak dapat pergi dengan mereka karena a

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin