04: Labirin Penasaran Chanyeol

Disney Nightmare [Indonesian]

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


04: Labirin Penasaran Chanyeol

“Jadi, Wufan jatuh cinta pada seorang peri?” Aku mengernyit, bertanya-tanya mengapa hal itu masih mengejutkanku.

“Ia menghormatinya dengan beberapa sebab, ya.” Suara Sehun menjelaskan dengan tenang.

“Aku tak mengerti,” rengekku, membiarkan kepalaku jatuh di atas kedua lututku.

Aigoo, Luhannie.” Ia terkikik dan berputar di sekelilingku. “Beberapa orang tidak mengerti perbedaan antara peduli dan mencintai.”

“Jadi Wufan peduli padanya, tapi Zitao salah paham mengira itu cinta. Ia tak mengerti karena ia tidak tahu apa itu.”

“Salah satu cara menjelaskannya.”

“Apa maksudmu?”

“Ah, aku takut itu akan menjadi pertanyaan lainnya. Terkadang lebih baik membiarkan jawaban datang kepadamu daripada mencarinya. Mengapa kau tidak pergi tidur saja? Kau lelah.”

Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum beranjak bangun. Setidaknya ia memberiku sesuatu...

“Kalau begitu, kita bicara lagi nanti, Luhannie. Selamat malam.”

“Terima kasih, Sehun-ah. Sampai jumpa besok.”

“Mimpi indah.”

Aku mendengus. Apa artinya mimpi indah bila kau tengah terjebak dalam mimpi buruk yang mengerikan?

 

♦♦♦

 

Aku meninggalkan Istana tanpa sarapan dan tanpa mengucapkan selamat tinggal pada Yixing. Jongin mungkin sudah pergi, jadi aku tak punya alasan untuk menyembunyikan diri. Aku melangkah keluar, menutup pintu di belakangku dengan pelan dan hati-hati sebisaku dan memulai langkah awal hari ini. Ini hari ketiga dan aku sudah merasa lelah. Seberapa lama semua akan berlangsung? Sembari berjalan, aku mulai terbiasa dengan kesunyian di sekelilingku. Bahkan aku merasa nyaman akan hal itu, mengetahui bahwa aku sendirian untuk sebuah perubahan. Tak ada seorang pun yang akan memberiku pertanyaan lagi atau apapun. Aku bahkan tidak lapar dan mungkin itu karena terlalu banyak pertanyaan berdenyut di kepalaku.

“Kau pergi keluar tanpa mengucapkan selamat tinggal.”

“Aku tidak punya pilihan, Sehun-ah.”

Angin bermain dengan helai rambutku dan berputar di sekelilingku sebelum terhenti. “Akan selalu ada pilihan.”

“Kau tidak akan mengerti.” Aku menggeleng.

“Berbicara sendiri, huh?”

Aku menengadah, terkejut oleh sebuah suara berat.

“Di atas.”

Aku mengikuti akar pohon hingga ke dahan-dahannya dan menemukan seekor kucing ungu berbaring di sebuah dahan besar. Tubuh belang itu menghilang hingga hanya mata biru besar yang terlihat. Beberapa detik kemudian mata itu juga ikut menghilang.

“Ke mana kau pergi?” Aku bertanya dalam keterkejutan, berputar balik, dan kembali dikejutkan oleh sosok jangkung di hadapanku.

Ia menaungi jauh di atas kepalaku, memakai sebuah sweater bergaris-garis ungu dan merah muda dan mempunyai mata dan senyum yang sama dengan kucing tadi. Kau mungkin berpikir bahwa aku mulai terbiasa dengan keanehan di tempat ini, namun sayangnya hal itu masih mengejutkanku.

“Aku di sini, terima kasih.” Ia tersenyum dan melingkarkan lengannya yang panjang pada bahuku. “Mari masuk ke kantorku.”

Tangannya meraih dan membuka sebuah pintu tak nampak sementara ia menuntunku menuju jalan setapak kecil, kotak kayu tinggi di masing-masing sisi, menunjukkan kami jalan mana yang harus kami tuju.

“Ini labirin.” Aku mengernyit.

“Yah, tentu saja ini labirin.” Ia tertawa keras dan berhenti melangkah untuk menatapku. “Pertanyaan sesungguhnya adalah jalan mana yang harus ditempuh? Kiri,” ia melanjutkan dan menunjuk setapak di sisi kiri kami. “Atau kanan?” jemarinya menunjuk setapak di sisi lain kami.

“Tidakkah seharusnya kau tahu ke mana harus pergi?”

“Aku selalu bingung,” tawanya. “Yah, kita bertemu di pusatnya dalam dua belas menit.”

Kakinya menghilang lebih dulu sebelum seluruh tubuhnya mengikuti, senyumnya bertahan terlama sebelum berubah menjadi udara tipis. Aku menggaruk leherku dan melihat dari kanan ke kiri. Kedua sisi terlihat sama tapi mungkin terlalu sama. Aku mencoba mengingat jalan mana yang harus dituju di dalam labirin, namun bertanya-tanya apakah hal itu akan benar-benar berguna karena bisa saja kedua sisi akan menuntun pada jalan buntu.

“Kau punya sepuluh menit tersisa.” Suara Zitao terdengar memecah hening.

“Ya, aku sedang memikirkannya,” bentakku dan memutuskan untuk belok ke kanan karena tak ingin kehabisan waktu.

“Kau punya lima menit tersisa.”

“Baik, maaf. Ku tarik kembali.” Aku berkata cepat-cepat.

“Kau punya sembilan menit tersisa.” Ia menjawab dan aku mulai berlari.

Udara di sekitarku menggelap setiap detik aku melewati dan aku sadar bahwa aku telah membuat Zitao begitu kesal dan aku harus segera bergerak karena sudah jelas bahwa tak seorang pun akan menang melawannya. Jejak kakiku menghentak kecil di sepanjang jalan setapak dan napas beratku adalah satu-satunya hal yang dapat didengar di dalam labirin yang sunyi dan untuk alasan tertentu hal itu membuatku begitu tidak nyaman. Semua seolah terdiam tiba-tiba dan aku melompat kaget saat Sang Ratu Hati tiba-tiba muncul dari semak-semak, cahaya di bawahnya menyinari wajahnya dan memberi kesan menakutkan. Dedaunan dari semak di sekitarku mulai bergemerisik keras namun tidak ada angin sama sekali. Aku berbalik, jantungku berdetak kencang dan kuat di dadaku, namun tidak ada apa pun di belakangku selain kegelapan.

“Kau punya lima menit tersisa.”

Aku mulai berlari kembali, lari ke kiri, belok kanan, berbalik ketika bertemu jalan buntu sementara napasku menjadi semakin berharga di setiap detiknya. Aku mencoba bergerak lebih cepat ketika ku pikir semak-semak itu bergerak mendekat padaku, membentuk jalan sebagai satu-satunya jalan keluar. Pikiranku penuh sesak dan dadaku terasa berat.

“Kau punya dua menit tersisa.”

Aku memaki dan mencoba fokus pada kegelapan di hadapanku untuk mencari jalan keluar. Air mata menggantung di kelopakku dengan rasa panik dan aku baru mampu menenangkan diri ketika kurasakan angin mendorongku maju ke arah kanan, membimbingku ke arah yang benar. Aku berlari dengan sisa-sisa tenaga dan berhasil tersenyum ketika kulihat setapaknya meluncur lurus sepanjang waktu, menandakan bahwa jantung labirin sudah dekat.

“Dua puluh, sembilan belas, delapan belas, tujuh belas, enam belas....”

Berlari secepat yang kubisa pada tangga yang entah sejak kapan ada di sana.

“-sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat....”

Aku membuka pintu sebuah rumah di puncak bukit dengan seluruh tenaga yang ku punya dan menemukan seekor kucing tidur dengan malasnya di depan sebuah jendela. Ia menengadah dan meregangkan tubuh sebelum berubah menjadi pria jangkung itu lagi. Senyumnya masih membayang namun ada sesuatu di matanya yang terasa berbeda.

“Satu.”

“Kau semakin mahir di permainan-permainan ini, ya?” Pemuda itu berkata.

Aku tak menjawab, sibuk menenangkan detak jantungku dari kepanikan sebelumnya.

“Kau tahu jalan kembali, kan? Arah kanan.”

“Terima kasih,” ujarku sebelum berbalik, menuruni tangga dan kembali ke labirin.

Aku berjalan tanpa tergesa-gesa dan berbelok kiri di setiap kesempatan, mengikuti nasihat dari pemuda kucing itu. Berisiko, namun setidaknya tidak ada tenggang waktu di perjalananku pulang. Aku mengernyit pada cahaya dan rasa hangat yang tiba-tiba menyelimutiku. Baru saja ku sadari bau dan bunyi kayu terbakar. Aku berbalik dan melihat api di kejauhan menjilat-jilat mendekat lebih cepat dari yang ku kira. Untuk kedua kalinya hari itu, aku mulai berlari. Rasa lelah mulai melumer dari sistemku saat aku memohon sebuah jalan keluar dan berbelok kiri lagi. Aku terkejut oleh patung Ratu Hati namun tak ragu melewatinya saat kurasakan panas merayapiku dengan cepat. Air mata telah lama jatuh di wajahku, isakanku mengambil seluruh sisa napas kecil yang kupunya namun semua bertambah buruk ketika aku tersantuk jalan buntu. Tak ada jalan kembali saat api itu mulai mendekatiku.

“Tolong.” Aku memohon dalam sunyi sebelum mengulang kata itu dalam jeritan terkeras yang mampu ku buat.

Ku rasakan paru-paruku terisi oleh asap tebal dan aku meringkuk, berharap menemui ajal tanpa terlalu menyakitkan. Aku mulai menyerah ketika ku rasakan lengan-lengan kokoh di pinggangku mengangkatku.

“Terima kasih,” bisikku sebelum larut dalam kegelapan.

 

♦♦♦

 

“Apa yang ku lakukan di sini?” Aku mengerjap oleh cahaya disekelilingku.

Aku tengah berbaring di sebuah kasur empuk dalam sebuah kamar yang seluruhnya berwarna putih dan terang kecuali sesosok makhluk hitam yang duduk di seberangku. Wajahnya kecil, seperti matanya. Lingkaran hitam di sekeliling matanya sungguh kontras dengan kulitnya yang putih dan bahkan lebih parah dengan sapuan eyeliner hitam. Helai rambutnya hitam, sama seperti pakaiannya. Anting-antingnya perak dan berbentuk tengkorak sementara kalung salib di lehernya. Garis rahangnya tegas, begitu juga dengan sorot matanya.

Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya, namun aku tahu pasti siapa dia.

“Apa aku mati?” Aku bertanya kecil.

Ia mengangkat bahu. “Sungguh? Kau mau mati?”

Aku menutup mata dan menggeleng. “Tidak.”

“Tidakkah itu terasa lebih baik? Dengan mampu menghentikan semua ini? Itu akan mengakhiri derita yang kau alami. Pertanyaan-pertanyaan dalam kepalamu. Bukankah itu yang kau inginkan?”

Aku tak mengucapkan apa pun. Aku tahu mengapa ia di sini dan berusaha sekerasnya untuk tak menyerah pada bujukannya.

“Akan sangat mudah. Bahkan tak menyakitkan. Kau juga sudah di sini, lagipula.” Ia menelengkan kepalanya dan hampir terlihat seperti seorang remaja normal untuk beberapa saat.

“Apa yang kau inginkan dariku? Aku bisa memberikannya padamu. Bila aku mati, maka kesempatanmu memiliki apa yang kau mau akan hancur.”

Ia tertawa sejenak. “Bila saja semudah itu, 'kan? Bila kau setuju memberikanku kekuatanmu, bila kau setuju bergabung denganku maka aku akan menghidupkanmu kembali. Aku akan membiarkan Yixing merawatmu dan kau akan kembali seperti semula suatu hari nanti. Namun kau akan tetap tinggal di dunia ini, melayaniku.”

“Yixing....”

Ia menaikkan sebelah alis. “Yixing dan aku punya sebuah persetujuan. Ia bisa membantumu bila ia membantuku. Yixing bekerja untuk kedua belah pihak.”

“Tapi ia baik....” Aku berbisik tak percaya.

“Memang. Tak bisakah ia menjadi baik sembari melayani kedua pihak?”

Aku tak mengatakan apa pun, merasakan dadaku terasa berat kembali. Aku menggigit bibirku kasar agar berhenti bergetar. “Apa pilihan lainnya?”

“Pilihan lain, kau kembali dan beristirahat. Kau akan kembali normal paling lama dua hari, Yixing melakukan pekerjaannya dengan baik. Kau akan kembali melakukan tugas-tugasmu dan meninggalkan yang lain. Berarti bahwa kau akan terjebak di sini tapi kau akan membuat banyak masalah untuk itu.”

“Atau?”

“Kau menyelesaikan semua tantangan dan bertemu dengan keluargamu lagi.”

Aku meneguk liur gugup.

“Itu berarti kau akan terjebak di sini lagi. Tak akan ada jalan keluar dari sini jadi mengapa tak mengabaikan masalah dan menyerahkan diri? Mudah dan tidak menyakitkan.”

Seolah menyenangkan. Mampu mengakhiri semua itu hanya dengan sebuah perjanjian. Namun tidak pernah lagi kembali ke rumah.

“Lagipula kau bergantung pada orang-orang di sini, Luhan. Pikirkan hal itu. Tidakkah kau akan merindukan mereka bila kau pulang?”

“Orang tuaku.” Aku bergumam.

“Mereka akan mengerti. Apa kau mau tidak bahagia sepanjang hidupmu?”

Aku tak bisa meninggalkan orangtuaku. Lebih baik aku tak bahagia daripada mereka yang bersedih.

Aku mengangguk. “Aku akan pulang. Aku tidak akan menyerah hingga tak ada harapan lagi. Melihat keadaan saat ini, masih ada seberkas harapan.”

Ia memaksakan sebuah senyum dan bangkit. “Cukup adil. Kalau begitu akan sangat menantikan pertemuan kita selanjutnya.”

Ia menghilang dan arus aneh menghampiriku, membawaku kembali ke Istana. Jongin dan Yixing duduk di samping tempat tidur tempat aku berbaring dan meluruskan diri ketika melihat aku terbangun.

“Luhan!”

Aku menatap Yixing dan merasakan bibirku bergetar lagi. “Kau bekerja untuknya.”

Ia menunduk dan berbisik. “Tak ada pilihan lain, Luhan. Percayalah padaku.”

“Kau bertemu dengannya.” Jongin mengalihkan.

Aku mengangguk, memperhatikannya.

“Zitao itu... inilah yang ia lakukan, Luhan. Ia tahu bagaimana mengubah pikiran seseorang. Ia mahir dalam meyakinkan orang-orang dalam hal buruk, melupakan hal baik karena ia tak tahu hal baik apa yang terdapat pada seseorang. Ya, Yixing bekerja untuk kedua belah pihak. Namun hatinya memihakmu.” Ia melanjutkan, menatap tepat di mataku.

Aku mengangguk. “Maafkan aku, Yixing. Bukannya berterima kasih padamu, aku malah....” Menghela napas, aku mengusap keningku.

“Aku mengerti.” Ia meremas pelan bahuku sebelum bangkit mengambil teh lagi.

Ruangan terasa lengang dan baru ku sadari bahwa Jongin menggenggam jemariku. Aku membalik jemariku untuk menautkan jemari kami. Ia menengadah kaget dan aku tersenyum.

“Terima kasih untuk menyelamatkanku. Lagi.”

“Tak mengapa.” Ia berucap pelan.

“Apa yang ia inginkan dariku, Jongin? Kekuatan apa yang kumiliki?”

“Pikirkan tentang apa yang ku beritahu padamu saat hari pertamamu di sini. Kau punya pikiran yang kuat, kau akan menemukan jawabannya di sana.” Ia juga bangkit, menarik tangannya dari milikku dengan hati-hati. “Jangan membuat kesalahan yang sama dengan yang ku buat, Luhan.”

“Kau juga akan pergi?”

“Kau sebaiknya beristirahat.”

Aku mengangguk namun lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku tak ingin sendirian. Tidak lagi. Aku menatapnya melangkah menuju pintu dan kemudan terpikir sesuatu dengan tiba-tiba.

“Jongin-ah.”

Ia menatap balik dengan terkejut. “Mm?”

“Apa perjanjianmu dengan Zitao? Mengapa kau diizinkan membantuku?”

Ia menunduk sejenak dan untuk sejenak itu, aku merasa seperti melihat diriku sendiri di cermin. Melihat pantulanku, namun dalam sosok yang lain. Aku mengernyit ketika mendadak aku sadar. Alasan mengapa ia tahu begitu banyak tentang semua hal.

“Apakah kau akan pulang?”

Ia menggigit bibirnya dan mengangkat bahu setelah sepuluh detik. “Mungkin... suatu hari, aku harap.”

“Kau membantuku dengan bayaran tinggal di sini selamanya.” Aku berbisik.

Ia tak menjawab dan lebih memilih menatap gagang pintu.

“Masih ada kesempatan untukmu pulang namun kau berkata kau akan tinggal bila kau bisa membantuku.” Aku menegakkan diri dalam hantaman kesadaran.

“Kau benar-benar harus beristirahat, Luhan.” Ia berujar sebelum melangkah pergi.

“JONGIN!” aku menjerit, namun ia tak kembali dan tubuhku terlalu lemah untuk bergerak. “Jongin....”

Aku kembali menghempas pada tempat tidur dan mengabaikan air mata yang mengaliri wajahku. Yixing tak kunjung kembali dengan tehnya dan aku perlahan terlelap dalam mimpi yang mengerikan.

Aku terbangun oleh sebuah tangan lembut yang mengusap rambutku. Aku membukat mata, melihat seorang pemuda dengan wajah manis. Ia hampir dewasa dilihat dari sosok kelelakiannya. Kulitnya putih, matanya kelabu dan bibirnya merona merah muda. Surai pirangnya tersisir keatas. Ia tersenyum padaku namun aku mampu melihat tangis dalam matanya.

“Halo, Luhan.”


translated by _fanboy 

edited by amusuk

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next