Jam Ding Dong

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own this story. It belong to PurplePluto.

t/n: thankz buat ttalgibit yang udah membantu nerjemahin chapter ini. ^^


12. 

 

Ambisi. Kyungsoo bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki hal itu. Jelas terlihat bahwa Kai memiliki ambisi. Jenis ambisi yang merancang seluruh masa depannya. Dia tahu sekolah seni mana yang ingin dia masuki, dia tahu di mana harus mempromosikan karya seninya, dan dia juga tahu orang-orang berpengaruh yang nantinya dapat menghubungkannya dengan orang-orang yang berpengaruh lain.

Dibanding itu, apa yang sudah Kyungsoo rencanakan? Tidak ada. Kyungsoo bahkan tidak suka memikirkan masa depan. Itu tidak pernah menarik hatinya karena pada kenyataannya, memikirkan masa depan selalu membuat suasana hatinya buruk. Menghindar adalah sesuatu yang Kyungsoo kuasai dengan mudah. Tapi, setelah bertemu Kai, Kyungsoo akhirnya mengakui bahwa menghindari masalah tidak benar-benar mengatasi masalah. Dan apa ia pernah mendapat masalah. Kyungsoo tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya. Dia punya satu tiket sekali jalan tidak ke manapun jika dia tidak memikirkan tujuannya secepatnya.

Kyungsoo hanya memiliki waktu setengah tahun sebelum dia lulus dari sekolah menengah dan, tanpa perlu dikata, waktu tidak menunggu siapa pun. Waktu berjalan cepat dan Kyungsoo berpikir cepat tentang minat yang mungkin dikejarnya. Mungkin dia bisa mendalami di pelajaran yang dia kuasai dengan baik? Dia memang mendapat nilai matematika tertinggi di kelasnya, mungkin menjadi seorang ahli matematika?

Tidak mungkin, Sudah pasti tidak. Bagaimana bisa hal itu terlintas di pikirannya? Di mana letak kesenangan dalam hal itu? Kyungsoo tidak menemukan kesenangan apa pun dalam memecahkan soal matematika; dia ingin berguna. Jika dia akan melakukan sesuatu dengan hidupnya, dia menginginkannya untuk memiliki arti yang lebih, dampak yang lebih.

Pikirannya menjelajah hingga ke pekerjaan orang tuanya. Novel yang bagus selalu memiliki arti atau pesan tersembunyi di balik plotnya. Menulis bisa saja menurun dalam keluarga, kan?

Salah. Kyungsoo buruk dalam kelas menulis bebas. Gurunya bilang plotnya datar, berulang-ulang dan kurang kreatif. Seperti dia butuh guru untuk memberitahunya bahwa dia kurang kreatif saja. Kyungsoo mengagumi seni, tapi dia yakin dia tidak hebat dalam hal itu. Yang memunculkan masalah baru bagi Kyungsoo. Dia ingin melakukan sesuatu yang dia nikmati. Pekerjaan dari jam sembilan hingga jam lima bukan pilihan untuknya jika dia akan diperbudak tanpa hati di sebuah ruang kecil bersekat. Lantas… apa yang Kyungsoo nikmati untuk di waktu luang? Bersantai di dalam kotak kardus sepertinya tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan apa pun. Selain itu, Kyungsoo biasanya membaca novel misteri. Tapi, dia sudah mengesampingkan menulis. Tidak, Kyungsoo belum menyerah. Ini masa depannya yang dia pikirkan. Pasti ada sesuatu yang tepat untuknya. Ini hanyalah sebuah misteri untuk dia pecahkan, dan dia tahu dia dapat melakukannya jika dia memakai topi berpikirnya. Sebuah ide, sebuah pencerahan yang tiba-tiba, apa saja.

“Kau tahu, kupikir kau akan menjadi seorang investigator yang baik,” kata Kai setelah menggigit sandwich yang digenggam Kyungsoo saat Kyungsoo merenung. “Seperti tokoh-tokoh di bukumu.”

Oke, sial, pikir Kyungsoo. Itu dia. Kai hanya perlu membuka mulut dan mengeluarkan jawaban yang Kyungsoo pikirkan dengan keras hingga membunuh sel-sel otaknya. Itu adalah jawaban yang sangat bagus. Itu sudah pasti terdengar menarik bagi Kyungsoo. Menjadi seorang investigator membuat Kyungsoo berpikir tentang sebuah novel misteri yang tidak ada habisnya dengan dia sebagai tokoh utama. Tentu saja, Kyungsoo bukan tipe orang yang positif, dia benar-benar mempertanyakan kemampuannya untuk menjadi seorang investigator yang layak. Bagaimanapun juga, dia bahkan tidak tahu apa langkah besar selanjutnya dalam hidupnya beberapa saat yang lalu.

“Maksudku, kau suka mencari tahu, kan? Dan aku percaya jika kau menyukai apa yang kau lakukan, maka kau akan bahagia. Itulah mengapa aku mendaftar ke sekolah seni terbaik di negeri. Aku tidak yakin akan diterima, tapi jika aku diterima, aku akan melihatnya sebagai tanda untuk kabur dan mengejar mimpiku.” Kai menghela nafas, memandang langit tanpa memikirkan apa-apa. “Karena merasa bahagia lebih penting dari ketenaran dan kekayaan.”

Kyungsoo menyelipkan tangannya di atas lantai dan menggenggam salah satu tangan Kai yang terbaring di sebelahnya. “Terima kasih, Jongin. Aku juga berpikir demikian.” Ya, yang terpenting dari semua hal yang dia inginkan adalah kebahagiaan Kai. Kai pantas mendapatkannya. Dan Kyungsoo bertekad membantunya dengan cara apa pun yang mampu dia lakukan.

Jadi, sehari setelah dia meletakkan buku sketsa di kantor ayah Kai, dia merasa baik namun gelisah dan canggung juga. Selalu ada kemungkinan akan terjadi sesuatu yang negatif. Bahwa ayah Kai akan marah besar dan Kai akan marah padanya karena sudah lancang ikut campur. Kyungsoo berdoa semoga tidak berakhir seperti itu. Rencananya harus berhasil. Dia butuh rencananya untuk berhasil.

Saat itu permulaan jam pertama dan Kyungsoo baru saja membuka buku paketnya ketika Kai membanting pintu kelasnya terbuka. Mata Kyungsoo melebar saat dia mendapati memar di sekitar salah satu mata Kai. Mata lebam. Jantung Kyungsoo seakan terperosok jatuh ke perut.

Kyungsoo tidak diberi cukup waktu untuk memulihkan jantungnya karena Kai tidak membuang waktu untuk berjalan ke meja Kyungsoo dan menyambar lengan Kyungsoo dengan keras. Kyungsoo diseret paksa keluar kelas diiringi pandangan terkejut teman-teman sekelasnya dan teriakan dari gurunya.

Rencananya tidak berhasil. Kai benar-benar marah. Kai akan menghajarnya habis-habisan. Dia akan merobek jantungnya dari dada lalu menginjak-injaknya. Siapkanlah dirimu, Kyungsoo. Siapkanlah dirimu.

Kyungsoo meronta dalam cengkraman Kai dan memohonnya untuk berhenti. Dia meminta Kai untuk pelan-pelan, untuk melihat padanya atau berbicara padanya. Perlahan, Kyungsoo mulai takut. Seberapa marah Kai? Apakah Kai…akan menyakitinya? Tidak. Tidak. Kai tidak akan melakukan itu.

Kai terus menyeret Kyungsoo melintasi sekolah dan keluar dari pintunya. Mereka melewati halaman sekolah dan Kyungsoo tahu betul ke mana mereka pergi. Kai sedang membawanya keatap dan Kyungsoo hanya menyimpulkan dia dalam masalah besar. Dia ingin percaya bahwa Kai orang yang terlalu baik untuk melakukan kekerasan terhadap apa pun. Dia benar-benar ingin, tapi dengan lokasi atap yang terpencil, apa pun bisa terjadi dan tidak ada seorang pun yang akan mendengar teriakannya.

Kai membuat Kyungsoo menaiki tangga terlebih dahulu, atau lebih tepatnya mengisyaratkan pada Kyungsoo untuk naik lebih dulu. Apa pun yang terjadi, Kyungsoo senang cengkraman kuat itu lepas dari lengannya dan menaiki tangga dengan Kai mengintil di belakangnya.

Mereka sama-sama berada di atap. Udara berhembus melewati rambut mereka. Sesaat suasana tegang, Kyungsoo menganalisa ekspresi Kai dan berubah gugup ketika mendapatinya tidak bisa difenisikan. Kyungsoo tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat itu. Jadi, dia mengatakan hal pertama yang terlintas di pikirannya.

“Maafkan a—“

Kai menangkap bagian belakang lehernya dengan kasar lalu menghantamkan bibir mereka bersama. Suara terkejut Kyungsoo teredam dengan sukses saat mulut Kai memakan habis suaranya. Kebutuhan. Itulah yang jelas di pikiran Kyungsoo. Dia mengerti apa maksudnya, tapi tidak mengerti bagaimana itu terjadi di situasi ini. Kai tidak seharusnya menciumnya seperti itu jika dia sedang marah. Kecuali kalau…dia tidak sedang marah?

Kai menarik diri dan mengecup Kyungsoo berkali-kali, “Kau bodoh.”

Jadi, apa Kai marah?

“Aku sangat beruntung karena memiliki orang bodoh itu.”

Tunggu, Apa itu artinya dia tidak marah?

“Aku tidak percaya kau akan melakukan itu pada ayahku, setelah semua yang kau ketahui.”

Kyungsoo tidak tahu apa yang harus dipikirkan, jika pikirannya masih berfungsi. Tidak menghiraukan memar di mata Kai yang menatapnya menuduh. Tuhan, dia berharap memar itu tidak di sana karena alasan yang dia pikir.

“Tapi kau tahu apa yang dia katakan, Kyungsoo? Kau tahu apa yang dia katakan padaku?”

Tidak, dia tidak tahu, dan sesungguhnya, dia tidak yakin dia ingin tahu,

Kai tersenyum cerah dan jantung Kyungsoo saat itu juga lega. “Dia tidak masalah dengan itu. D-dia menerimanya. Dia bahkan memberikanku surat dari sekolah seni yang ku beritahukan padamu. Aku diterima dis ana juga, sekolah seni terbaik di negeri. Aku akan pergi dan ayahku baik-baik saja dengan itu. Dia… bahkan mengatakan dia suka karyaku. Kyungsoo, Tuhan… Aku benar-benar.” Manik Kai mencari maniknya, air mata membasahi ujungnya. “Aku sangat senang. Terima kasih, Kyungsoo. Terima kasih sudah mengambil resiko yang tidak pernah aku ambil.”

Kai menciumnya sekali lagi dan Kyungsoo meleleh dengan cepat. Sebuah pikiran memutus kebahagiaannya dan dia menarik diri, “Tunggu, matamu—apa yang terjadi?” Kyungsoo berhasil mengatakannya di antara kecupan.

Kai berkedip-kedip sebelum menyadarinya, “Oh, aku menabrak sebuah pilar di rumah saat aku membaca ulang surat penerimaanku. Aku sulit mengalihkan pandanganku darinya.”

Kyungsoo tersenyum, “Aku turut bahagia untukmu.”

“Bahagia karena mataku lebam?”

“Tidak, bodoh, karena ayahmu menerimamu.” Kyungsoo terkikik dan mencolek memar Kai. Kai cemberut sebelum bibirnya membentuk kembali sebuah senyuman cerah.

“Siksa aku semaumu, karena aku pikir aku tidak akan turun dari puncak ini dalam waktu dekat.” Kai berseru dan meneruskan mengecup Kyungsoo, tangan membujuknya mendekat.

“Baguslah, tanganku sudah gatal ingin memukul wajah tampanmu.”

Kai hanya menyeringai saat dia memeluk pinggang Kyungsoo dan menariknya lebih dekat ke kotak mereka. Dia memperdalam ciuman mereka dan memaksa Kyungsoo untuk merunduk. Mereka berdua masuk ke dalam kotak dan Kai mengurung kedua kaki Kyungsoo.

“Pernah dengar kalau ciuman disertai tinjuan lebih baik daripada tidak?” Kai berkata saat mereka memisahkan bibir mereka untuk beberapa saat.

“Tidak tapi kedengarannya seperti cinta yang menyakitkan.” Kyungsoo berkata, memandangi bibir Kai sendiri.

“Kalau begitu kita bisa mencintai tanpa mengangkat tinju.” Kai mengusapkan ibu jarinya di rahang Kyungsoo dengan sayang.

Kyungsoo tersenyum balik, “Kedengarannya rencana yang bagus.”


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ