6#

Retro-Reflection (sequel to: Thru the Mirror)

 

“Begitulah, Paman. Akhirnya aku diperbolehkan untuk kuliah di Seoul ini. Ayah langsung mengizinkanku, tapi Ibu selalu berpikir aku terlalu kecil untuk tinggal sendiri. Tapi aku sudah besar, benar tidak, paman? Aku sudah delapan belas tahun! Tidak seharusnya Ibu dan dua Noona-ku itu terlalu mencemau,” kata Jongin malam itu, saat mereka sedang menikmati makan malam. Jongin menceritakan banyak hal pada mereka, termasuk tentang bagaimana akhirnya ia bisa diizinkan untuk kuliah di tempat yang jauh dari orang tua dan dua kakak perempuannya. Jongin yang selalu terlihat mengantuk dan malas itu terlihat sangat bersemangat menceritakan semuanya. Ia juga sangat bersemangat menghabiskan semua makanan yang ada di meja.

“Wajar bila Ibumu khawatir, Jongin. Orang tua memang selalu mencemaskan anaknya. Dan Noona-mu juga jelas mencemaskanmu karena bagaimana pun juga kau adalah adik mereka yang paling kecil,” kata ayah sambil tertawa kecil.

“Aku sudah besar, Paman. Mereka tidak perlu mencemau seperti itu.” Jongin mengibas-ngibaskan tangan kirinya. “Aku bisa menjaga diri dengan baik,” sambungnya dengan keras kepala.

“Jongin, dengar, Bibi mengizinkanmu kuliah di Seoul ini hanya karena ada Ayah dan juga kami,” celoteh Chanyeol,”lihat saja bila yang terjadi sebaliknya, sudah jelas Ibumu itu tidak akan mengizinkanmu.” Ia menjulurkan lidahnya pada Jongin kemudian tertawa berderai. Jongin bersungut-sungut kesal. “Nah, dengan adanya Jongin di sini, aku lepas tangan dari jadwal berbelanja. Jongin yang menggantikanku,” kata Chanyeol santai.

Mata Sooyoon melebar. Dengan suara serak, ia melayangkan protes. “Yah Oppa, tidak bisa seperti itu, bukan? Lepas tangan begitu saja.” Chanyeol hanya tertawa senang melihat ekspresi protes Sooyoon. Jongin yang tidak tahu menahu menatap sepupunya bergantian.

“Jadwal berbelanja apa?” tanyanya.

Chanyeol mengabaikannya. “Ayolah, Sooyoon. Oppa-mu ini sudah harusnya lepas tangan dari tugas berbelanja. Oppa-mu ini sekarang sudah sibuk bekerja. Kau harus mengerti itu.” ia mengikik. Sooyoon mendengus, sementara Jongin semakin bingung.

“Tidak bisa begitu. Kita berbagi jadwal bertiga saja,” tukas Sooyoon.

“Jadwal apa?” tanya Jongin.

“Kalian berdua saja yang mengerjakannya,” sahut Chanyeol santai.

“Oppa, tidak bisa seperti itu.”

“Tentu saja bisa.”

“Berbelanja apa ini? Berbelanja sayur-mayur dan kebutuhan rumah tangga?”

Ayah berdeham keras. “Sudah, berdebatnya nanti saja setelah makan,” katanya dengan tegas. Sooyoon, Chanyeol dan Jongin langsung terdiam.

“Baik, Appa,” sahut Sooyoon dan kakaknya bersamaan.

“Akhirnya selesai juga,” kata Jongin setelah ia selesai membantu Sooyoon mencuci semua piring kotor. Mereka berdua berjalan menuju ruang tengah dan mendapati Chanyeol yang tertawa keras menonton sitcom di televisi. Sooyoon duduk di sebelah Chanyeol kemudian ia melirik adik sepupunya yang duduk tepat di sebelahnya.

“Aku tidak menyangka sekarang kau sudah sebesar ini,” gumam Sooyoon, memperhatikan tinggi tubuh adik sepupunya. Jongin hanya meringis.

“Noona terus saja menganggapku anak kecil,” katanya sambil terus tertawa. “Aku sudah besar, Noona. Dan aku sangat tidak mengerti mengapa dulu Noona memberikanku buku itu.”

Sooyoon mengerjap. “Buku? Buku apa?” ia tidak ingat ia pernah memberikan buku untuk Jongin. Mereka jarang bertemu dan lagipula ia tidak ingat ia punya buku untuk dibagikan pada sepupunya itu.

Jongin tersenyum kecut. “Noona sungguh tidak ingat? Buku itu, Noona, buku dongeng itu. Aku baru masuk sekolah menengah saat itu dan Noona tetap memberikanku buku itu seolah aku baru saja masuk sekolah dasar.” Ia bersungut-sunggut.

Buku dongeng? Segera setelah melihat ekspresi bingung di wajah Sooyoon, Jongin bangkit dan berjalan cepat menaiki tangga. Tidak beberapa lama kemudian, ia turun kembali dengan sebuah buku bersampul merah muda pucat bergambar kastil. Mata Sooyoon melebar.

Buku itu.

Setelah sekian lama akhirnya ia melihatnya lagi. Entah kenapa ia sedikit merinding.

“Ini,” kata Jongin, menaruh buku itu dipangkuan Sooyoon. “Aku sengaja membawanya karena aku ingin mengembalikannya pada Noona,” sambungnya. “Aku mengembalikannya bukan karena apa, hanya saja aku tidak begitu menyukai dongeng.” Ia mengusap-ngusap bagian belakang kepalanya dengan canggung.

Sooyoon mengacuhkan perkataan Jongin itu karena ia sudah tenggelam dalam benda yang ada dipangkuannya ini. Ia merinding. Bagaimana mungkin setelah dua tahun ia bisa melihat benda ini lagi? Ia mengira ia sudah membuang jauh buku itu dari hidupnya. Ia sungguh tidak menyangka Jongin membawanya kemari. Sooyoon yakin jika Jongin tidak membawa dan memperlihatkan buku itu lagi padanya, sudah pasti kilasan tentang malam di mana ia berusaha mengeluarkan Baekhyun dari cermin itu tidak terbayang-bayang dalam benaknya.

“Walaupun begitu, aku sudah membacanya sebagian.” Kata-kata Jongin menembus pikiran Sooyoon. “Ada satu cerita tentang Pangeran yang terkunci di dalam cermin. Cerita itu yang selalu aku ingat dari semua cerita yang kubaca.”

Sooyoon menelan ludah.

Kenapa harus cerita yang itu?

“Dan satu lagi. Tidak berhubungan dengan cerita tentang cermin itu, tapi tentang dermaga dan laut. Entah kenapa aku begitu mengingatnya, Noona.” Ia tertawa. “Apakah Noona sudah membaca semua ceritanya?” ia bertanya dengan ingin tahu.

Sooyoon menahan napas. Ia tidak akan berani membuka dan membaca cerita dalam buku yang ada di pangkuannya ini lagi. Begitu berat untuk melakukan itu karena buku ini masih menjadi trauma baginya. Ia memandang sampul buku itu dengan tatapan nanar. Tangannya sedikit gemetar saat ia meletakkan buku itu di meja.

 

п

 

“Apa yang kaulakukan? Keluarkan aku dari sini!”

Sooyoon terkejut bukan main mendengar suara teriakan itu. Suara itu begitu keras dan jelas sekali. Tepat beberapa langkah di depannya, di depan meja riasnya, berdiri Byun Baekhyun. Ia terlihat lebih pendek dari terakhir kali Sooyoon melihatnya. Byun Baekhyun mengecil? Tidak mungkin. Ah, tidak, Sooyoon sedang melihat Byun Baekhyun kecil. Sooyoon mengerjap. Mengapa ia melihat Byun Baekhyun kecil? Byun Baekhyun kecil tampak mengetuk-ngetuk permukaan cermin meja rias dengan keras, dan terlihat putus asa. Ia begitu terlihat putus asa sampai-sampai ia terlihat menangis. Matanya berkaca-kaca.

“Keluarkan aku dari sini!” Baekhyun berteriak lagi dengan lebih keras.

Sooyoon kebingungan dengan siapa Baekhyun berbicara. Menjawab pertanyaannya, terdengarlah suara lain yang lebih jauh.

“Kau tidak akan bisa keluar dari sana.” suara jauh itu terdengar dingin dan tidak menyenangkan. Suara itu, entah kenapa, membuat bulu kuduk Sooyoon meremang.

“Keluarkan aku!” Baekhyun berteriak. Ia semakin mengetuk permukaan cermin dengan lebih keras. Ia tidak peduli dengan kedua tangannya yang mengepal dan kini terlihat memar. Ia sungguh tidak peduli. Ia terus mengetuk-ngetuk permukaan cermin dengan seluruh tenaga yang ia punya, namun semua itu sia-sia. Cermin-cermin itu sama sekali tidak retak ataupun pecah. Dan cermin-cermin itu sama sekali tidak memantulkan apapun. Sooyoon sudah sering melihat cermin-cermin itu terlihat kosong, namun baru kali ini ia melihat Baekhyun yang mengetuknya adalah Baekhyun kecil. Ini aneh sekali. Ada apa sebenarnya?

“Tidak akan,” kata suara dingin tidak menyenangkan itu lagi. Sooyoon memang tidak bisa melihat orang itu namun ia mendengar langkah-langkah kaki. Langkah-langkah kaki itu terdengar mendekat. Tanpa disadari Sooyoon mundur selangkah. Entahlah, situasi ini membuatnya ketakutan.

“Tidak akan ada orang yang mengeluarkanmu dari dalam sana,” kata orang yang tak terlihat itu dengan suara dingin. Orang itu terdengar tertawa dan suara tertawanya terdengar mengerikan. Sooyoon kembali mundur selangkah. Ia mendengar ketukan di cermin, namun dari sisi yang lain. “Selama tidak ada yang membuka kain ini dan melihat lama ke dalam cermin, tidak akan ada yang tahu ada orang yang terperangkap di dalam.”

“Yah! Keluarkan aku dari sini!!” Baekhyun berteriak dan meninju permukaan cermin dengan lebih keras dan kasar. Tidak ada jawaban dan hanya terdengar suara tertawa. Langkah kaki terdengar menjauh dan terdengar suara pintu ditutup. Setelah itu Sooyoon mendengar suara-suara seperti ketukan di pintu. Sesaat setelahnya, ia melihat pintu kamarnya penuh dengan bekas belati yang ditancapkan dan dengan ukiran segienam aneh.

“Selamat tinggal, Byun Baekhyun.” Suara itu terdengar lagi sebelum terdengar langkah kaki yang semakin menjauh.

“Yah! Yahh!!!!” Baekhyun berteriak semakin keras. Ia masih terus memukul-mukul permukaan cermin. Sooyoon melihat Baekhyun menangis dan suara langkah kaki itu sudah tidak terdengar lagi.

Dengan sekejap Sooyoon membuka mata dan ia kehabisan napas. Dadanya sesak sekali. Ia mencoba menarik napas, namun hal itu membuat dadanya semakin sesak dan sakit. Ia terbatuk keras. Segera pintu kamarnya menjeblak terbuka dan Chanyeol muncul dengan wajah cemas.

“Sooyoon, kau tidak apa-apa?”

Sooyoon tidak menjawab pertanyaan kakaknya dan terus mencoba bernapas dengan baik. Tidak, ia tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa. Ia memukul-mukul dadanya sendiri agar dadanya tak lagi sesak namun itu percuma. Ia semakin merasa sesak, ia semakin tidak bisa bernapas. Chanyeol lekas menyodorkan alat bantu pernapasan dan Sooyoon segera memakainya. Sooyoon tidak menyukainya saat ia mulai mencoba bernapas dengan susah payah dan ia mendengar suara siulan aneh dari dirinya sendiri.

Dada Sooyoon masih sesak dan sesekali ia terbatuk. Chanyeol terlihat sedih saat menyentuh kepala adiknya pelan, sambil menyaksikan adiknya berusaha mengambil napas. Ia sedikit ketakutan melihat wajah Sooyoon yang segera berubah menjadi pucat pasi. Chanyeol menepuk-nepuk pelan punggung Sooyoon.

“Berhentilah keras kepala dan dengarkan kata-kata Oppa-mu ini,” katanya dengan gusar. “Kau harus segera berobat ke rumah sakit, Sooyoon.”

Sooyoon yang masih memakai alat bantu pernapasan menggeleng kuat. Astaga, dadanya sakit sekali. Tangannya yang memegang alat bantu pernapasan basah karena keringat dan juga bergetar. Air mata sudah bergulir di kedua belah pipinya. Ia merasa sebentar lagi Tuhan akan mengambilnya. Chanyeol yang resah dan putus asa bangkit dan mengambil ponsel dalam saku celana. Dari sudut matanya, Sooyoon bisa melihat kakaknya berbicara serius di telpon dan ia mendengar bahwa kakaknya itu berbicara pada ayah mereka. Sooyoon melirik jam beker kecil di meja di sebelah tempat tidurnya. Pukul 9.21 malam. Ayah belum pulang dari kantor karena ada rapat mendadak. Dan Jongin adiknya masih berada di upacara penutupan masa orientasi di kampus. Hanya Sooyoon dan kakaknya yang berada di rumah.

Semua yang ia lihat dalam mimpi berkelebat kembali dalam kepalanya. Sesaat kepalanya berdenyut sakit, namun ia mengabaikannya. Dengan masih menggunakan alat bantu pernapasan dan dengan sedikit kekuatan yang ia punya, ia bangkit dari tempat tidur tanpa sepengetahuan kakaknya yang berdiri memunggunginya. Ia berjalan menuruni tangga dan melewati ruang tengah yang gelap namun dengan televisi masih menyala. Cahaya dari televisi yang sedikit remang membantu Sooyoon menemukan buku berwarna merah muda pucat di atas meja yang sejak beberapa hari lalu tergeletak di sana. Ia meraih buku itu dengan tangan kirinya kemudian ia berjalan menuju pintu.

 

п

 

Sooyoon melangkah gontai menuju daerah apartemen Baekhyun. Napasnya semakin tersengal dan ia semakin kekurangan tenaga. Sesekali ia menggunakan alat bantu pernapasan dan terus berjalan. Pakaian yang dikenakannya sudah basah oleh keringat. Angin malam yang menerpanya membuatnya menggigil dan sesaat membuat sesak napasnya semakin parah. Namun ia tidak peduli. Ia tetap menyeret kakinya untuk pergi ke apartemen Baekhyun. Pemuda itu tidak pernah memberitahu dengan jelas di mana apartemennya berada. Sooyoon sudah pergi ke tempat kursus Hapkido dan menemui salah satu rekan Baekhyun yang tingginya hampir 190cm itu. Orang yang nyaris tanpa ekspresi itu nampak sedikit terkejut melihat Sooyoon yang datang dengan wajah dan pakaian basah penuh keringat dan dengan membawa-bawa buku tua dan alat bantu pernapasan bagi penderita asma. Untungnya orang itu memberitahukan Sooyoon alamat apartemen Baekhyun. Baekhyun meninggalkan alamat apartemennya dengan jelas di tempat kursus. Segera setelah orang itu menyebutkannya, Sooyoon segera berbalik dan pergi.

Lantai 4, nomor 48.

Sooyoon terus mengingat-ngingat nomor apartemen Baekhyun itu. Bangunan apartemen itu tidak begitu besar dan tidak ada lift. Sekali lagi Sooyoon memaksa dirinya untuk lebih kehilangan napas. Dan lagi-lagi ia tidak peduli. Ia perlu menemui Baekhyun, ia perlu berbicara dengannya. Ia harus menanyakan apakah mimpinya dua tahun yang lalu, cerita di dalam buku dongeng tua ini ada kaitannya.

Apakah benar ada seseorang yang mengunci Baekhyun di dalam cermin?

Ia tidak pernah menanyakannya dan Baekhyun tidak pernah menceritakannya. Dua tahun yang lalu Sooyoon memimpikan tentang Baekhyun kecil, dan saat itu ia melihat satu anak laki-laki lain. Anak itu melemparkan pasir berkilauan ke arah Baekhyun dan setelah itu gelap, Sooyoon tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia pernah berpikir bahwa ada seseorang yang mengunci Baekhyun di dalam cermin. Namun setelah rumahnya terbakar, ia tidak pernah memikirkan tentang hal itu lagi. Terlebih ketika ia sudah bertemu Baekhyun kembali. Ia dan juga Baekhyun seperti memutuskan untuk melupakan semuanya, kejadian tentang cermin dan segala yang berhubungan dengan itu.

Namun saat ini ia tidak bisa diam saja dan berpura-pura lupa tentang kejadian yang berhubungan dengan cermin itu.

Dan Baekhyun harus menjelaskan semua padanya, mau tidak mau.

Sooyoon telah sampai di depan pintu dengan angka 48. Ia terbatuk keras, mencoba menarik napas dalam-dalam sebelum memencet bel. Tidak ada reaksi. Ia mengetuk dua kali. Tidak ada jawaban. Ia mengerutkan kening kebingungan. Apakah Baekhyun sedang tidak ada di apartemennya? Kemana pemuda itu pergi? Sooyoon tidak bisa berpikir dengan jernih di mana kemungkinan pemuda itu berada. Ia tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu, apa yang dilakukannya selain menjadi guru Hapkido. Ia tidak tahu apa-apa. Betapa payahnya ia dan betapa hebatnya Baekhyun menyimpan banyak hal darinya.

Setelah beberapa kali mencoba memencet bel, Sooyoon menunduk dan melirik kenop pintu. Imajinasinya mulai bermain. Ia mencoba untuk menyentuh dan memutar kenop dan betapa terkejutnya ia menemukan pintu itu tidak terkunci. Apakah Baekhyun ada di dalam? Sooyoon berpikir.

“Baekhyun?” Sooyoon memanggil dengan suara serak, sesaat setelah ia membuka daun pintu perlahan. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sooyoon perlahan masuk ke dalam apartemen. Baru kali ini ia memasuki apartemen Baekhyun. Apartemen ini begitu kecil dan tidak ada begitu banyak barang. Dan semua barang yang Sooyoon lihat jatuh berserakan di lantai. Apartemen ini seperti telah kemalingan. Ya Tuhan.

Belum sempat Sooyoon memanggil Baekhyun kembali, ia sudah dikejutkan oleh genangan air dari kamar mandi, yang kini telah mengalir hingga ke ruang tengah, tempat ia sedang berdiri. Pikirannya mulai melayang ke hal yang buruk, jadi ia segera mengecek ke kamar mandi. Tidak ada siapa pun.

“Baekhyun…?” Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Ia hanya mendengar suara aliran air yang semakin deras di lantai. Segera, ia menemukan sebuah kertas yang ikut tergenang bersama dengan barang-barang lainnya. Ia memungut kertas itu dan melihat sebuah gambar. Gambar itu terpotong, ia rasa. Sebab ia melihat gambar kapal-kapal dan hanya setengahnya saja. Ia mengerutkan kening dalam bingung.

Serangannya bertambah parah. Sooyoon kembali menggunakan alat bantu pernapasannya. Tubuhnya gemetar. Ia ketakutan. Ia ketakutan membayangkan hal buruk terjadi pada Baekhyun. Apapun yang akan terjadi, ia harus menemukan pemuda itu. Ia sudah tidak dapat berpikir dengan jernih saat semua ketakutan itu melandanya. Ia bergegas pergi dari apartemen Baekhyun dan pergi menuju apartemen Kyungsoo. Temannya itu harus membantunya menemukan Baekhyun.

Ia begitu terkejut begitu menemukan hal yang sama di apartemen Kyungsoo. Kyungsoo tidak ada di apartemennya yang berantakan. Dan lagi-lagi Sooyoon menemukan sebuah potongan kertas. Dan potongan kertas itu menjawab semua pertanyaannya. Potongan-potongan kertas itu saling berhubungan dan ia yakin ia pernah melihatnya dalam buku yang dipegangnya saat ini, di mana Jongin menunjukkan salah satu cerita favoritnya.

Dermaga dan laut.

 

п

 

Sooyoon tidak tahu sejauh apa ia pergi dan berapa lama waktu yang dihabiskannya. Napasnya semakin habis. Suara siulan dari dalam dirinya semakin terdengar. Alat bantu pernapasan yang dibawanya sudah tidak dapat membantunya menghadapi serangan-serangan yang ada. Ia semakin kesulitan bernapas. Angin laut yang menerpanya membuat tubuhnya gemetar dan dadanya menjadi semakin sesak. Ah ya, kini ia sedang berada di sebuah dermaga yang penuh dengan banyak kapal. Ia mengikuti gambar dari potongan kertas yang ditemukannya di apartemen Baekhyun dan Kyungsoo. Ia, jujur saja, tidak mengerti akan semua keanehan ini. Namun ia mengikuti instingnya untuk pergi mencari dermaga seperti gambar yang ia temukan. Ia berlari kecil ke arah jembatan kayu dan terkejut melihat sebuah sosok berdiri di ujung jembatan dengan jaket berkibar-kibar dikarenakan angin laut yang bertiup kencang.

Siapa dia? Sooyoon membatin. Sosok itu tampak tidak jelas karena tengah memunggunginya. Sooyoon kembali berlari kecil meski ia sendiri tidak yakin mengapa ia harus mendekati sosok itu. Penerangan tidak begitu bagus saat ini. Sooyoon hanya mendapat cahaya temaram dari beberapa lampu jalan. Tidak ada satu lampu pun di jembatan kayu ini. Ia tidak bisa melihat benda-benda di sekelilingnya dengan jelas. Namun ia masih bisa melihat siluet kapal-kapal besar yang ada di pinggir jembatan. Ia terperanjat saat menemukan dua sosok lain di jembatan, terbaring tidak bergerak.

“B-Baekhyun…? Kyungsoo…?” Suara Sooyoon nyaris seperti bisikan. Ia berhenti berlari. Apakah ia tidak salah lihat? Tidak salah? Ia tidak mempercayai matanya kali ini saat ia berjalan mendekat dan melihat dengan jelas sosok-sosok terbaring itu. Orang-orang itu benar-benar dua orang yang sedang dicarinya. Ya Tuhan. Apakah mereka baik-baik saja? Apa yang sudah terjadi pada mereka?

“Akhirnya kau datang,” kata sebuah suara dingin tidak menyenangkan. Orang dengan jaket berkibar-kibar itu berbalik dan Sooyoon dapat melihat wajahnya dengan cahaya lampu yang temaram. Mata Sooyoon melebar ketakutan.

“Akhirnya kau datang,” kata orang itu dengan senyum mengejek,”Park Sooyoon.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
morinomnom
#1
Chapter 8: Oh my god. Akhir ceritanya so sweet bgt ;_; dan rasanya kayak terbangun dari mimpi buruk. Off to your other stories~
weirdoren
#2
Chapter 8: Suho jadi org jahat ;_; tapi asli intinya ini BAGUSSSS bgttt ;;;;;;;
nora50
#3
Baekyhun fanfic?! Oh...update plizz
weirdoren
#4
oke hohoho ditunggu ^^
nammyunghee
#5
@weirdoren : mian, masih dalam proses lol~ kkk ^^;
weirdoren
#6
Updatenya pls T~T